• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN DAN PENETAPAN DESA DAN DESA ADAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA. Zudan Arif Fakrulloh *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN DAN PENETAPAN DESA DAN DESA ADAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA. Zudan Arif Fakrulloh *)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

KEDUDUKAN DAN PENETAPAN DESA DAN DESA ADAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014

TENTANG DESA Zudan Arif Fakrulloh *)

Abstract

Rule of Law No. 6 of 2014 on the village. In Article 1, paragraph (1) of Law No. 6 of 2014 on the village explained that the village is a village and traditional village or called by another name, while the village is based on Law No. 32 Year 2004 on Regional Government is the village or the so-called other names, hereinafter called the village, is the unity of the legal community who have boundaries jurisdiction, authority to control and manage the interests of local communities based on the origin and the local customs are recognized and / or established in the National Government system and are in the district / city.

In the implementation, there may be difficulty to maintain the existence of the village and traditional village together because there is an explanation of Article 6 of Law No. 6 of 2014, which reads: "This provision is to prevent the overlapping region, authority, institutional duplication between the Village and the Village People in 1 (one) area then in 1 (one) region there are only Village or Village People. For that already happened overlap between the Village and the Village People in 1 (one) region, must be selected one type of village in accordance with the provisions of this Act. "

Principally related to the Village People Village People has the function of government, finance Village, Rural development, as well as the facilitation and guidance received from the government district / municipality. In this position, the Village and the Village People got the same treatment from the Government and Local Government. Therefore, in the future of the Village and the Village People can change the face of the village and the governance of effective governance, the implementation of the development of efficient, as well as community development and empowerment of communities in the region.

PENDAHULUAN

Setelah era desentralisasi, Desa dan Desa Adat mendapatkan pengaturan se-cara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjelaskan bah-wa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjut-nya disebut Desa, adalah kesatuan ma-syarakat hukum yang memiliki batas wila-yah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Re-publik Indonesia. Sementara Desa berdasar-kan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, se-lanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masya-rakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/ atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan

(2)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keane-karagaman, partisipasi, otonomi asli, demok-ratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam penjelasan Umum UU nomor 6 tahun 2014 diuraikan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indo-nesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende

lands-chappen” dan “Volksgemeenslands-chappen”,

seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palem-bang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia meng-hormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini un-tuk menjatuhkan pilihannya pada benun-tuk negara kesatuan. Meskipun disadari bah-wa dalam suatu negara kesatuan perlu ter-dapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap kebera-daan kesatuan masyarakat hukum dan kesa-tuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, pengakuan terhadap kesatuan masya-rakat hukum adat dipertegas melalui keten-tuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang ber-bunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Dae-rah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Pera-lihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pe-merintahan di Daerah, Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pelak-sanaannya, pengaturan mengenai Desa ter-sebut belum dapat mewadahi segala kepen-tingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah se-kitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan.

Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 disusun dengan semangat penerapan ama-nat konstitusi, yaitu pengaturan masya-rakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan keten-tuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat me-rujuk pada ketentuan peraturan

(3)

perundang-*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

undangan sektoral yang berkaitan. Dengan kon-struksi menggabungkan fungsi

self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan

masyara-kat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemi--kian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya mela-kukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal usul, terutama menyangkut pelesta-rian sosial Desa Adat, pengaturan dan pe-ngurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ke-tertiban bagi masyarakat hukum adat, ser-ta pengaturan pelaksanaan pemerinser-tahan berdasarkan susunan asli. Desa Adat memi-liki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasili-tasi dan pembinaan dari pemerintah Kabu-paten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Da-erah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelengga-raan pemerintahan yang efektif, pelaksa-naan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan pember-dayaan masyarakat di wilayahnya.

Penjelasan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan ke-masyarakatan, dan pemberdayaan masya-rakat berdasarkan Pancasila, Undang-Un-dang Dasar Negara Republik Indonesia Ta-hun 1945, Negara Kesatuan Republik In-donesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Istilah desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan masyarakat hukum adat/ masyarakat setempat seperti nagari, kam-pung, huta, bori atau marga. Hal tersebut

sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelasakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masya-rakat hukum adat beserta hak-hak tradi-sionalnya sepanjang masih hidup dan se-suai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik In-donesia, yang diatur dalam undang-un-dang. Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berupaya menata kembali pengaturan me-ngenai desa sehingga keberadaannya mam-pu mewadahi dan menyelesaikan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan peme-rintahan sesuai dengan perkembangan dan dapat menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya ma-syarakat setempat dengan semangat moder-nisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang.

Pengaturan tentang desa terkini ada-lah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Saat ini akan terjadi perubahan mendasar terkait pem-buatan peraturan daerah yang berhubungan dengan desa dengan dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah terkait desa. Semen-tara secara khusus terkait Desa Adat ter-dapat beberapa putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:

per-tama, Putusan Mahkamah Konstitusi

Re-publik Indonesia Nomor 010/PUU-l /2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 ten-tang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Kedua, Pu-tusan Mahkamah Konstitusi Republik

(4)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

Indonesia Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku. Ketiga, Putu-san Mahkamah Konstitusi Republik Indo-nesia Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Peng-ujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupa-ten Banggai Kepulauan. Keempat, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/ PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan-putusan terse-but telah semakin membuka ruang kearah kebutuhan terbentuknya Undang-Undang tentang Desa yang mengatur terkait materi desa adat. Kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa Adat pada dasarnya adalah melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) de-ngan adanya wilayah dede-ngan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pra-nata lain dalam kehidupan masyarakat hu-kum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat. OTONOMI DAERAH DAN OTONOMI DESA

Pasal 18 UUD NRI 1945 menya-takan bahwa Negara Kesatuan Republik Indo-nesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabu-paten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai peme-rintahan daerah, yang diatur dengan un-dang-undang. Pemerintahan daerah propin-si, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pem-bantuan. Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki De-wan Perwakilan Rakyat Daerah yang ang-gota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota

masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipi-lih secara demokratis. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, ke-cuali urusan pemerintahan yang oleh un-dang-undang ditentukan sebagai uru-san Pemerintah. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan pera-turan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerin-tahan daerah diatur dalam undang-undang. Selanjutnya berdasarkan konstitusi diben-tuklah undang-undang pemerintahan dae-rah termasuk dalam hal pengaturan ten-tang otonomi daerah.

Pada dasarnya “Otonomi Daerah” memiliki perbedaan makna dengan “Oto-nomi Desa”. Oto“Oto-nomi Daerah merupa-kan implikasi dari kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan melalui pe-nyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada Daerah, sehingga Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspi-rasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Implikasi dari ada-nya “hubungan kewenangan” tersebut adalah lahirnya “hubungan keuangan” ser-ta “hubungan pembinaan dan pengawas-an” antara Pemerintah Pusat dengan Pe-merintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah meng-akui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan ke-pada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelega-sian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan peme-rintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang ber-sifat administratif seperti desa yang diben-tuk karena pemekaran desa ataupun kare-na transmigrasi ataupun karekare-na alasan lain

(5)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

yang warganya pluralistis, majemuk, atau-pun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Kekhasan otonomi desa, minimal dapat ditinjau dari dua aspek. Pertama, otonomi desa bukan merupakan implikasi dari adanya penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Desa melalui kebi-jakan desentralisasi penyelenggaraan pe-merintahan, meskipun dalam kedudukan pemerintahan desa sebagai subsistem dari pemerintahan nasional, tetap diatur pula tentang hubungan keuangan serta hubu-ngan pembinaan dan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintahan Desa. Kedua, oto-nomi desa diselenggarakan berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat masyarakat setempat, sehingga otonomi desa lebih bermakna sebagai otonomi masyarakat desa dalam mengatur dan mengurus ke-pentingan bersama sesuai dengan sistem nilai sosial budaya masyarakat setempat, meskipun dalam pelaksanaannya perlu menggunakan pola administrasi pemerin-tahan modern. Hal ini berimplikasi pada penggunaan “istilah Desa atau sebutan lain”, seperti nagari, kampung, Huta, bori, atau marga, serta memfungsikan lembaga adat untuk mendukung proses penyeleng-garaan pemerintahan desa.

PENETAPAN DESA DAN DESA ADAT Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. Penjelasan Pasal 5 Un-dang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Desa menyebutkan bahwa Desa yang berkedudukan di wilayah Kabupaten/ Ko-ta dibentuk dalam sistem peme-rinKo-tahan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti kebe-radaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menye-butkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

“Zel-fbesturende landschappen” dan “Volksge-meenschappen”, seperti desa di Jawa dan

Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Da-erah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap se-bagai daerah yang bersifat istimewa. Ne-gara Republik Indonesia menghormati ke-dudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang meng-enai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap dia-kui dan diberikan jaminan keberlangsung-an hidupnya dalam Negara Kesatukeberlangsung-an Re-publik Indonesia.

Desa atau yang disebut dengan na-ma lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, utama karena kuatnya pengaruh adat ter-hadap sistem pemerintahan lokal, penge-lolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa.

Desa Adat pada prinsipnya meru-pakan warisan organisasi kepemerin-tahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masya-rakat Desa Adat agar dapat berfungsi me-ngembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di

(6)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

tengah masyarakat. Desa Adat adalah se-buah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang ter-bentuk atas dasar territorial yang berwe-nang mengatur dan mengurus ke-pen-tingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Desa atau yang disebut dengan na-ma lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, penge-lolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa.

Desa Adat pada prinsipnya meru-pakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turuntemurun yang tetap diakui dan di-perjuangkan oleh pemimpin dan masya-rakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan iden-titas sosial budaya lokal. Desa Adat me-miliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hu-kum adat yang secara historis mem-punyai batas wilayah dan identitas buda-ya buda-yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan me-ngurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul. Pada dasarnya kesatuan masya-rakat hukum adat terbentuk ber-dasarkan tiga prinsip dasar, yaitu alogis, teritorial, dan/atau gabungan gene-alogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang Undang no 6 tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara gene-alogis dan teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati

kesa-tuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera ba-gian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kaliantan, dan negeri di Maluku.

Di dalam perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan seuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia atas prakarsa masyarakat. De-mikian pula, status Desa Adat dapat be-rubah menjadi Desa/kelurahan atas pra-karsa ma-syarakat.

Secara Normatif pengaturan desa adat dan penetapannya diatur mulai dari Pasal 96 sampai dengan 111 UU Nomor 6 tahun 2014 dan dalam Pasal 29 sam-pai dengan Pasal 32 Peraturan Peme-rintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Pasal 29 ayat (1) menje-laskan bahwa Pemerintah daerah kabupa-ten/kota melakukan inventarisasi Desa yang ada di wilayahnya yang telah menda-patkan kode Desa. Pasal 29 ayat (2) Hasil inventarisasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar oleh peme-rintah daerah kabupaten/kota untuk mene-tapkan desa dan desa adat yang ada di

(7)

*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

wilayahnya. Pasal 29 ayat (3) Desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan dae-rah kabupaten/kota.

Dalam Pasal 30 Peraturan Pemerin-tah Nomor 43 Tahun 2014 mengatur hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penetapan desa adat. Pasal 30 ayat (1) menjelaskan bahwa Penetapan desa adat dilakukan dengan mekanisme: pertama, pengidentifikasian Desa yang ada. Kedua, pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat ditetapkan menjadi desa adat. Kemudian Pasal 30 ayat (2) menjelaskan bahwa pengidentifikasian dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota ber-sama majelis adat atau lembaga lainnya yang sejenis. Kemudian dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa Bupati/ wali-kota menetapkan desa adat yang telah memenuhi syarat berdasarkan hasil identi-fikasi dan kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. Pasal 31 ayat (2) Pene-tapan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rancangan peraturan daerah. Pasal 31 ayat (3) Ran-cangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah dise-tujui bersama dalam rapat paripurna dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur untuk menda-patkan nomor register dan kepada Menteri untuk mendapatkan kode desa. Pasal 31 ayat (4) Rancangan peraturan daerah yang telah mendapatkan nomor register dan kode desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan menjadi peraturan daerah. Selanjutnya Pasal 32 Peraturan Pemerin-tah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pera-turan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 menjelaskan bahwa ketentuan

lebih lanjut mengenai penataan Desa dia-tur dengan Peradia-turan Menteri.

Terkait Desa Adat pada prinsipnya Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyara-kat dan pemberdayaan masyaramasyara-kat di wila-yahnya.

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menjelas-kan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabu-paten/Kota melakukan penataan kesa-tuan masyarakat hukum adat dan dite--tapkan menjadi Desa Adat. Pasal 97 ayat (1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi sya-rat: pertama, kesatuan masyarakat hu-kum adat beserta hak tradisionalnya se-cara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang ber-sifat fungsional; kedua, kesatuan masya-rakat hukum adat beserta hak tradisio-nalnya dipandang sesuai dengan per-kembangan masyarakat; dan ketiga, ke-satuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menye-butkan bahwa Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: pertama, masyarakat yang warganya memiliki

(8)

pe-*) Zudan Arif Fakrulloh. Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur

rasaan bersama dalam kelompok; kedua, pranata peme-rintahan adat; ketiga, harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

keempat perangkat norma hukum adat.

Ke-mudian Pasal 98 ayat (1) Desa Adat dite-tapkan dengan Peraturan Daerah Kabu-paten/ Kota. Pasal 98 ayat (2) menjelaskan bahwa Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) dilakukan dengan mem-perhatikan faktor penyelenggaraan Pemerin-tahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.

Dalam implementasinya, kemung-kinan terdapat kesulitan untuk memper-tahankan keberadaan desa dan desa adat secara bersama-sama karena adanya ter-dapat penjelasan Pasal 6 UU nomor 6 tahun 2014 yang berbunyi: “Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tin-dih wilayah, kewenangan, duplikasi kelem-bagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wi-layah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

PENUTUP

Untuk melaksanakan UU nomor 6 tahun 2014 dan PP nomor 43 Tahun 2014 Pemerintah daerah memiliki kewenangan dan dapat melakukan perubahan status yaitu:

1. status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat.

2. kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat,

3. Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan

4. Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan.

Perubahan status tersebut berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat. Apabila lurahan berubah menjadi Desa Adat, ke-kayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dan apabila Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Pemerintah Dae-rah Kabupaten/Kota.

Dalam implementasinya mungkin terdapat masyarakat atau kelompok ma-syarakat yang keberatan dengan materi muatan Penjelasan Pasal 6 UU nomor 6 tahun 2014. Terhadap keberatan terse-but Negara menyediakan mekanisme pengu-jian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Daftar Pustaka

G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, (ed.), 1992, Decentralization and

Development, Policy Implementation in Developing Countries, Sage

Publica-tions, Baveriy Hills, London/ New Delhi. Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal

System : A Social Science Pres-pective, New York : Russel Sage

Foundation

Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan

Il-mu Sosial Bagi Pembangunan IlIl-mu Hukum, Alumni, Bandung

S.H. Sarunjang, 2002,”Pemerintah

Dae-rah diBerbagai Negara Sebuah Pe-ngantar”, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta.

Zudan Arif Fakrulloh, 2011, Ilmu

Lem-baga dan Pranata Hukum, Raja

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1, Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan

Evaluasi perkembangan kinerja di bagian produksi memerlukan suatu pengukuran produktivitas dengan tujuan mengetahui tingkat produktivitas di bagian produksi yang

Berbuat baik kepada kedua orangtua ialah dengan cara mengasihi, memelihara, dan menjaga mereka dengan sepenuh hati serta memenuhi semua keinginan mereka selama tidak

Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi

Seiring dengan namanya, maka aktiviti yang dijalankan menerusi kelab ini adalah berlandaskan kepada kelima-lima prinsip Rukun Negara yang bermatlamat agar ianya dihayati dan

Hasil penelitian dapat memberikan informasi untuk masyarakat tentang perspektif pemuka agama terhadap Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama dalam sebauh forum

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa apoteker di apotek milik PSA di Wilayah Surabaya Utara, dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian sudah memenuhi Peraturan

Untuk pemasangan bantalan pada bentangan-bentangan gelagar, dongkrak harus ditempatkan di bawah gelagar badan profil/plat girder sedekat mungkin dengan plin-plin untuk