• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

10 1.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang berhasil diperoleh.Hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut dapat dijadikan sebagai sumber acuan dalam melakukan penelitian ini.

Soelistyowati (2010) dalam artikelnya yang diterbitkan pada jurnal Lite volume 6 nomor 2yang berjudul “Pembentukan Kata Pinjaman (Gairaigo) dalam bahasa Jepang” menganalisis tentang pembentukan gairaigo yang terdiri dari bentuk, kategori dan perubahan fonologis. Yang dijadikan sumber data dalam penelitiannya adalah sebuah iklan mobil yang terdapat dalam surat kabar Asahi Shinbun edisi Jepang. Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitiannya adalah pendekatan deskriptif kualitatif sedangkan teori yang digunakan adalah teori morfologi menurut Baeur (1983) dan teori fonologi menurut Hittori (1996). Hasil dari penelitiannya yaitu dalam iklan mobil yang terdapat dalam surat kabar Asahi Shinbun terdapat beberapa bentuk-bentuk gairaigo yang terdiri dari gairago bentuk dasar, gairaigo bentuk turunan, kata majemuk, singkatan, sedangkan kategorinya terdiri dari kategori adjektiva, kategori nomina, dan kategori verba. Penelitian Soelistyowati memberikan gambaran mengenai pembentukan gairaigo baik yang berkelas kata adjektiva, nomina maupun verba. Berbeda dengan penelitian Soelistyowati yang mengkaji gairaigo dari segi morfologi dan fonologi, Penelitian yang akan dilakukan mampu memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai gairaigo baik dalam kajian morfologi, fonologi maupun semantik.

(2)

Suhartini (2003) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan Gairaigo yang diikuti Verba Suru”. Penelitian Suhartini menganalisis tentang perbandingan penggunaan gairaigo yang diikuti oleh verba suru dengan padanannya yang ada dalam bahasa Jepang. Metode dan teknik yang digunakan dalam tahap analisis data yaitu metode padan dan teknik hubung banding sedangkan teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik menurut Fishman. Hasil penelitiannya yaitu asal-usul gairaigo yang diikuti verba suru sebagian besar berasal dari Bahasa Inggris. Semua kategori gairaigo yang diikuti verba suru adalah nomina.Tidak semua gairaigo yang diikuti verba suru mempunyai padanan kata (wago). Penggunaan gairaigo yang diikuti verba suru dibandingkan berdasarkan fungsi, arti, subjek, objek dan situasi tertentu.Penelitian Suhartini mampu memberikan gambaran yang jelas mengenai penggunaan gairaigo dalam masyarakat Jepang. Dibandingkan dengan penelitian Suhartini, penelitian yang akan dilakukan tidak hanya menganalisis mengenai gairaigo yang diikuti verba suru namun semua kategori gairaigo termasuk adjektiva dan nomina.

Pebrima (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Wago dan Gairaigo pada bahasa Jepang Pariwisata”. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak, metode survei dan metode angket sedangkan teknik yang digunakan adalah teknik catat. Dalam metode dan teknik analisis data, metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Metode dan teknik penyajian analisis data yang digunakan adalah metode formal dan metode informal. Teori yang digunakan adalah teori makna menurut Ferdinand de Saussure, Abdul Chaer dan Harimurti. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu dalam majalah Api Magazine Volume 109 terdapat 34 pasang kata yang bersinonim. Kata-kata tersebut

(3)

terdiri dariryokou dan tsuaa, jouhou dan informeeshon, basho dan rokeeshon, mae dan furonto, mise dan shoppu, omiyage dan purezento, jikan dan taimu, ten’in dan sutaffu, ryouriten dan resutoran, tokubetsu dan supesharu, ninki dan popyuura, joukyou dan kondhishon, heya dan ruumu, yuushoku dan dhinaa, chuushoku dan ranchi, kaimono dan shopingu, tabi dan torippu, aji dan teisuto, kai dan furoa, kazoku dan famirii, kekkon dan wedhingu, gohan dan raisu, nomimono dan dorinku, shurui dan barieeshon, akeru dan oopun, dan hajimeru dan sutaato. Penelitian Pebrima menunjukkan bahwa sebagian besar dari kata yang bersinonim memiliki makna dan penggunaan yang berbeda-beda. Selain itu, dalam penggunaannya di bidang pariwisata dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor usia tamu, status sosial tamu, konteks pembicaraan, serta situasi dan kondisi ketika berbicara. Dibandingkan dengan penelitian Pebrima, penelitian yang akan dilakukan tidak menganalisis mengenai penggunaan gairaigo namun membahas gairaigo dalam kajian morfologi, fonologi dan juga semantik. Penelitian Pebrima dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan penggunaan dan makna antara wago dan gairaigo. 1.2 Konsep

Dalam sebuah penelitian, konsep sangatlah penting. Hal ini dikarenakan konsep memberikan arah yang benar dalam menyusun sebuah penelitian. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan konsep yang digunakan adalah sebagai berikut:

1.2.1 Gairaigo

Gairaigo merupakan istilah yang digunakan dalam bahasa Jepang untuk menyebutkan kosakata serapan dari bahasa asing, namun tidak termasuk kosakata serapan dari bahasa Cina (Shibatani, 1990:147). Kata serapan dari bahasa Cina (kango) berasal dari interaksi antara Jepang dengan Cina pada abad ke-5.

(4)

Panjangnya sejarah kango di Jepang menyebabkan kebanyakan masyarakat Jepang tidak lagi memandang kango sebagai gairaigo, namun sebagai bagian dari kosakata bahasa Jepang asli. Oleh karena itu, pada masa sekarang, yang termasuk dalam gairaigo umumnya adalah kata-kata serapan yang berasal dari negara barat ataupun bahasa lain selain Cina.

Meskipun gairaigo merupakan kata-kata serapan dari bahasa asing (bukan bahasa Jepang), nuansa Jepang kerap dimasukkan dalam gairaigo, sehingga gairaigo tidak dapat disamakan dengan gaikokugo (bahasa asing). Sudjianto dan Dahidi (2004:104) menyatakan bahwa gairaigo adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing (gaikokugo) lalu dipakai sebagai bahasa nasional (kokugo). Gairaigo memiliki berbagai macam karakteristik yang berbeda-beda. Menurut Sudjianto dan Dahidi (2004:105) karakteristik dari gairaigosebagai berikut.

1. Pemendekan pada gairaigo

Kata dalam bahasa Jepang memiliki ciri-ciri yang mana sebagian besar berbentuk silabel terbuka, atau setiap konsonan harus di akhiri dengan huruf vokal.Oleh karena itu, setiap gairaigo harus disesuaikan dengan sistem kata dalam Jepang. Setiap gairaigo yang ditambahkan dengan huruf vokal akan menyebabkan silabel dalam kata tersebut menjadi bertambah. Penambahan silabel menyebabkan kata-kata tersebut menjadi sangat panjang, sehingga agar lebih mudah diucapkan, kata tersebut kemudian dipersingkat.Seperti contoh kata konekushon yang berasal dari kata connectiondipersingkat menjadi koneyang berarti ‘koneksi’. Kata ini diubah ke dalam bahasa Jepang berdasarkan dengan sistem fonologisnya sehingga menjadi konekushon. Pada kata connection, setelah kata connec, ditambahkan dengan huful vokal /u/. Hal

(5)

ini dikarenakan suku kata dalam bahasa Jepang merupakan silabel terbuka maka kata connection ‘koneksi’ yang bersilabel tiga dalam bahasa Inggris menjadi empat silabel yaitu ko-ne-ku-shon.

2. Perubahan kelas kata pada gairaigo

Kata dalam gairaigo sebagian besar merupakan kata yang berkelas kata nomina. Dalam penggunaan gairaigo terdapat beberapa kelas kata yang dapat berubah, seperti contohnya kata supootsuyang berasal dari kata sport (N) yang berarti olahraga, bila ditambahkan dengan suru(V), maka akan berubah menjadi supootsu suru (FV). Kata yang awalnya berkelas kata nomina dapat berubah menjadi verba.Seperti pada bagan berikut.

Supootsu (N) + suru (V) Supootsu suru (FV)

3. Penambahan sufiks na pada gairaigo kelas kata adjektiva

Pada gairaigo yang termasuk dalam kategori adjektiva, diikuti oleh sufiks na. Hal ini dilakukan untuk memperjelas bahwa kata tersebut merupakan adjektiva, sehingga semua gairaigo yang termasuk dalam adjektiva diikuti oleh sufiks na. Setiap adjektiva yang diikuti oleh nomina maka adjektiva tersebut ditambahkan dengan sufiksna, seperti contoh besuto na hoohoo (Irwin, 1984:139).

4. Pergeseran makna pada gairaigo

Semakin berkembangnya pemakaian gairaigo dikalangan masyarakat, kini banyak gairaigo yang mengalami pergeseran makna.Banyak gairaigo yang maknanya bergeser, seperti contoh kata mishin atau kikai. Kata ini awalnya sama-samaberarti ‘mesin’, namun sekarang kata mishin hanya mengacu pada kikai yang digunakan untuk menjahit, sedangkan kikai berarti ‘mesin yang

(6)

digunakan pada umumnya’. Akibat dari penggunaan gairaigo di kalangan masyarakat Jepang, banyak timbul permasalahan mengenai makna sebenarnya dari gairaigo tersebut.Namun, meskipun demikian terdapat beberapa alasan penggunaan gairaigo dikalangan masyarakat Jepang. Berikut adalah alasan penggunaan gairaigo menurut sudjianto dan Dahidi (2004:107).

1. Tidak adanya suatu kata yang dapat mendiskripsikan sesuatu dalam bahasa Jepang yang dikarenakan oleh budaya.

2. Tidak ada kata yang memiliki nuansa makna yang sama yang dapat menggantikan kata tersebut dalam bahasa Jepang.

3. Gairaigo tersebut dianggap lebih efisien dan efektif.

4. Menurut rasa bahasanya, gairaigo tersebut dianggap lebih baik dan harmonis dari segi rasa bahasa.

1.2.2 Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar (Chaer, 2007:177). Dalam proses ini melibatkan tiga unsur yaitu bentuk dasar, afiks dan makna gramatikal yang dihasilkan. Bentuk dasar menjadi dasar dalam proses afiksasi yakni bentuk terkecil yang tidak dapat disegmentasikan lagi, misalnya meja dalam bahasa Indonesia atau go dalam bahasa Inggris. Selain itu, dapat pula berupa bentuk kompleks seperti aturan pada kata beraturan, atau berupa frase seperti ikut serta pada kata keikutsertaan.

Afiks biasanya berupa morfem terikat. Berdasarkan dengan posisi melekatnya pada suatu bentuk dasar, afiks dapat dibedakan menjadi prefiks, infiks, sufiks, konfiks, interfiks, dan transfiks (Chaer, 2007:178). Prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di awal bentuk dasar. Infiks adalah afiks yang diimbuhkan di tengah

(7)

bentuk dasar. Sufiks adalah afiks yang diimbuhkan pada akhir bentuk dasar. Konfiks adalah afiks yang diimbuhkan pada awal dan akhir bentuk dasar. Interfiks adalah sejenis infiks atau elemen penyambung yang muncul dalam proses penggabungan dua buah unsur. Transfiks adalah afiks yang berupa vocal-vokal yang diimbuhkan pada keseluruhan bentuk dasar (Chaer, 2007:181).

1.2.3 Komposisi

Komposisi adalah hasil dari proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun yang terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda, ataupun kata baru. Misalnya, lalu lintas yang merupakan penggabungan dari kata lalu dan lintas dalam bahasa Indonesia dan blackboard yang merupakan penggabungan dari kata black dan board dalam bahasa Inggris. Sering munculnya penggabungan dalam bahasa Indonesia menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah dan pendapat. Hal ini dikarenakan komposisi memiliki jenis dan makna yang berbeda-beda. Permasalahan tersebut antara lain, masalah kata majemuk, aneksi, dan frase.

Kata majemuk adalah sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak merupakan gabungan dari unsur-unsurnya (Abdul Sultan Alisjahbana dalam Abdul Chaer, 2007:186). Misalnya, dalam kata majemuk, kumis kucing memiliki makna ‘sejenis tumbuhan’, sedangkan dalam komposisi, kumiskucing memiliki makna ‘kumis dari binatang kucing’. Verhaar dalam Abdul Chaer (2007:188) menyatakan bahwa suatu komposisi dapat disebut kata majemuk apabila hubungan kedua unsurnya tidak bersifat sintaksis. Misalnya, komposisi matahari, bumiputera, daya juang adalah kata majemuk, sebab tidak dapat dikatakan matahari adalah matanya hari, bumiputera tidak dapat dikatakan bumi milik putera, atau daya juang tidak

(8)

dapat dikatakan daya untuk berjuang. Selain itu, dalam kata matahari, bumiputera ataupun daya juang tidak dapat disisipkannya sesuatu di antara kedua unsurnya, seperti matanya hari, bumi milik putera, dan dayaku juang.

1.3 Kerangka Teori

Dalam melakukan sebuah penelitian, diperlukan adanya landasan teori.Teori merupakan unsur sentral yang selalu memberikan pencerahan terhadap upaya perumusan masalah termasuk memberikan jawaban dari permasalahan tersebut (Mahsun, 2005:18). Oleh karena itu, kehadiran sebuah teori dalam sebuah penelitian sangatlah penting. Teori yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua teori yaitu teori morfologi menurut Tsujimura dan teori semantik menurut Abdul Chaer. Adapun penjabarannya sebagai berikut.

1.3.1 Morfologi

Morfologi merupakan tataran linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya (Abdul Chaer, 1994:146). Menurut Tsujimura (1996:148) terdapat beberapa proses pembentukan kata dalam bahasa Jepang yaitu afiksasi, komposisi, reduplikasi, kliping dan pinjaman namun yang akan digunakan untuk menganalisis proses pembentukan gairaigo yaitu afiksasi, komposisi, kliping dan pinjaman. Adapun penjabarannya yaitu sebagai berikut.

1. Afiksasi (affixation)

Afiksasi adalah penambahan awalan atau akhiran pada sebuah kata.Afiksasi terdiri dari prefiks, sufiks, dan konfiks.Prefiks adalah penambahan awalan pada sebuah kata dasar. Sufiks adalah penambahan akhiran pada sebuah kata dasar sedangkan konfiks adalah penambahan awalan dan akhiran secara bersamaan pada sebuah kata dasar, seperti kata mizu setelah ditambahkan dengan prefiks ‘o’ maka

(9)

menjadi o mizu yang berarti ‘air’. Penambahan prefiks pada suatu kata dapat menimbulkan makna yang berbeda. Dengan menambahkan prefiks ‘o’ pada kata mizu, maka kata mizu akan memiliki makna yang lebih sopan.

2. Komposisi (compounding)

Penggabungan dua kata atau lebih untuk membentuk suatu kata yang baru.Kata dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan berbagai cara, misalnya kata tersebut dapat semata-mata adalah penggabungan kata asli, sino japanese atau kombinasi kata-kata dari asal yang berbeda, sebagai contoh kata oyako yang berasal dari kata oya yang berarti ‘orang tua’ dan ko yang berarti ‘anak’, digabung menjadi oyako yang berarti ‘orang tua dan anak’.

3. Kliping (clipping)

Kliping adalah proses penyingkatan suatu kata. Proses ini dilakukan dengan memotong beberapa bagian dari kata tersebut. Penyingkatan ini dilakukan dengan tujuan agar kata yang dimaksud dapat memenuhi sistem fonologi masyarakat Jepang. Menurut Shibatani (1990:254) terdapat beberapa pola singkatan. Adapun beberapa pola singkatan yaitu:

1. Dengan mengkliping semuanya setelah beberapa mora pertama, seperti kata sutoraiki yang berarti ‘mogok (tenaga kerja)’ disingkat menjadi suto. 2. Dengan mengkliping keseluruhan dari pertama atau kedua bagian, atau

bagian tengah, misalnya kata supermarket yaitu suupaamaaketto menjadi supaa.

3. Pemilihan satu atau dua mora dari setiap anggota kompleks, misalnya kata paasonaru konpyuutaa (personal computer) disingkat menjadi pasokon.

(10)

Shibatani (1990:151) menjelaskan dua proses pembentukan gairaigo yaitu penggabungan dan penyingkatan. Kedua bentuk gairaigo ini cukup mengganggu penutur asli bahasa asing saat berhadapan dengan kata-kata bahasa Jepang yang dipinjam dari bahasa lain. Penggabungan merupakan salah satu proses pembentukan kata dalam bahasa Jepang yang paling sering dijumpai. Adanya proses penyingkatan dalam bahasa Jepang (kliping) disebabkan karena masyarakat Jepang dituntun untuk dapat mengakomodasi kata-kata yang panjang, sehingga masyarakat Jepang memutuskan untuk melakukan penyingkatan, contohnya kata old miss yang diserap ke dalam bahasa Jepang menjadi oorudomisu yang berarti ‘perawan tua’.

4. Reduplikasi (reduplication)

Reduplikasi adalah sebuah proses ketika bagian dari sebuah kata atau seluruh kata diulang untuk membuat kata baru, contohnya kata hito yang berarti ‘orang’, diulang menjadi hitobito yang berarti ‘orang-orang’.

5. Pinjaman (borrowing)

Proses peminjaman kata dari bahasa asing seperti bahasa Belanda, bahasa Prancis, bahasa Inggris dan lain-lain. Gairaigo yang termasuk dalam kata pinjaman merupakan gairaigo yang tidak mengalami proses morfologis namun hanya pelafalannya saja yang mengalami perubahan, contohnya kata hoteru yang berarti ‘hotel’.

1.3.2 Makna

Menurut Ferdinand de Saussure dalam Abdul Chaer (2007:285), makna adalah pengertian dan konsep yang dimiliki oleh sebuah tanda linguistik. Apabila tanda linguistik disamakan dengan identitasnya dengan kata atau leksem, makna makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem.

(11)

Apabila tanda linguistik disamakan idntitasnya dengan morfem, makna makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem.Dalam penggunaannya makna sebuah kata dapat berubah atau berbeda. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna yaitu:

1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi 2. Perkembangan sosial budaya.

3. Perkembangan pemakaian kata. 4. Pertukaran tanggapan indera. 5. Adanya asosiasi

Menurut Abdul Chaer (1994:289), Makna memiliki berbagai macam jenis, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna denotatif, makna konotatif, makna konseptual, makna asosiatif dan lain-lain, namun dalam penelitian ini akan meneliti mengenai makna leksikal. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki oleh suatu kata atau leksem tanpa adanya konteks tertentu,seperti contoh kata “kuda” memiliki makna leksikal yaitu ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’. Contoh lain, yaitu kata “air” yang memiliki makna ‘sejenis barang cair yang digunakan untuk keperluan sehari-hari’, sehingga dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang merupakan hasil dari observasi indera kita atau makna apa adanya. Kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna-makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya, sehingga makna leksikal juga sering disebut makna kata yang ada dalam kamus.

Terdapat berbagai macam perubahan makna. Menurut Abdul Chaer (2007:313) menguraikan tentang perubahan makna yang terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Perubahan makna meluas.

(12)

Perubahan makna meluas terjadi apabila suatu kata yang tadinya bermakna ‘A’ berubah menjadi memliki makna ‘B’, sebagai contohpada kata baju batik, baju olahraga dan lain-lain, kata baju yang awalnya memiliki makna ‘pakaian sebelah atas dari pinggang sampai ke bahu’, namun pada kata baju dinas atau baju olahraga memiliki makna ‘tidak hanya pakaian atas, akan tetapi juga celana, dasi dan topi’. 2. Perubahan makna menyempit.

Perubahan makna menyempit terjadi apabila suatu kata yang memiliki makna umum, berubah menjadi mengkhusus. Suatu kata yang awalnya memiliki makna ‘A1’, ‘A2’, ‘A3’ dan ‘A4’, berubah menjadi memiliki makna ‘A2’ saja. Seperti contoh kata sarjana yang awalnya berarti ‘orang cerdik pandai’ menjadi memiliki makna ‘lulusan perguruan tinggi’. Contoh lain, pada kata pendeta yang awalnya memiliki makna ‘orang yang berilmu’, kini memiliki makna ‘guru agama kristen’. 3. Perubahan makna total.

Perubahan makna total terjadi apabila suatu kata memiliki makna yang telah jauh berbeda dengan makna aslinya. Seperti contoh kata ceramah.Awalnya kata ceramah memiliki makna ‘cerewet’, ‘banyak cakap’, sekarang memiliki makna ‘uraian mengenai suatu hal yang dilakukan didepan orang banyak’. Contoh lain, pada kata seni yang awalnya memiliki makna yang berkenaan dengan air seni, namun sekarang memiliki makna yang sama dengan kata art dalam bahasa Inggris yaitu karya cipta yang bernilai halus, seperti pada kata seni lukis, seni pahat, dan seni musik.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dirasa penting, karena selain mahasiswa adalah pemimpin masa depan bangsa, mahasiswa yang tergabung dalam gerakan mahasiswa diharapkan dapat menjadi

diantaranya adalah karena pemadatan tanah dasar Perkerasan yang kurang sempurna, "levelling" yang ^rang baik, kadar aspal yang tidak merata k.r.n,.. terjadi segregasi

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusuma (2018) tentang pengolahan sampah organik pasar dengan metode Continuous Flow Bin

a.  3,5 jam  b.  4 jam   c.  4,5 jam   d.  5 jam  e. 

Derajat kesarjanaan tidak boleh dicantumkan.. Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang diacu dalam naskah penelitian dan disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis

Penyakit jantung yang berisiko besar menyebabkan penderita stroke meninggal antara lain aritmia jantung seperti fibrasi atrium, infark miokard, gagal jantung Terbentuknya

(2) Pengelolaan database kependudukan oleh satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

rolfsii secara in vitro dengan menggunakan sel secara langsung, dan merupakan calon agen pengendali hayati terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh