• Tidak ada hasil yang ditemukan

FABULOUS FABLE. Self-portrait of Agus Suwage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FABULOUS FABLE. Self-portrait of Agus Suwage"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

FABULOUS FABLE

“We all know that art is not truth. Art is a lie that makes us realize truth, at least the truth that is given us to understand”

— Pablo Picasso.

Self-portrait of Agus Suwage

Agus Suwage mungkin satu-satunya seniman Indonesia yang paling intens mengerjakan karya dengan tema 'self-portrait'. Sejak paruh kedua tahun 1990'an, karya-karya Agus Suwage, terutama lukisan dan gambar yang dikerjakannya, menunjukan image tentang wajah atau tubuhya dirinya sendiri. Dalam karya-karya Suwage, tradisi seni lukis dengan tema self-portrait mengalami perluasan. Lukisan self-portrait yang umumnya dipahami sebagai cara untuk menunjukan wajah atau sosok penampilan seseorang sebagai sebuah identitas mengalami pengembangan dalam berbagai aspek. Pertama, adalah perluasan cara menampilkan gambaran tentang seseorang yang tak hanya dengan menampilkan wajah atau atribut pakaian yang digunakannya, tapi juga lewat penekanan maknanya dari pose serta gesture tubuh.Di sini, pengertian tentang identitas menjadi juga soal apa yang dialami oleh tubuh fisik dalam rentang pengalaman hidup manusia.

Kedua, pose dan gestur tubuh sebagai persoalan identitas itu bersifat political, menggali berbagai pengalaman dan penghayatan eksistensi manusia sebagai kekuatan alam dan kebudayaan secara sekaligus. Pose dan gestur tubuh pada karya-karya Suwage jadi gambaran tentang berlakunya konstruksi genetis maupun instingtif pada manusia sebagai sosok mahluk alam. Pada karya itu juga sekaligus bisa kita temukan jejak dari konstruksi pengalaman sosial maupun kultural yang dialami oleh manusia. Gambaran tentang tubuh dan sosok manusia, dalam hal ini, tidak ditunjukan dalam performanya yang ideal, tak lagi dipercayai sebagai ukuran mutlak bagi alam dan kehidupan di dunia. Sosok dan

(2)

tubuh manusia dalam karya-karya Suwage manjadi sub-versi bagi

keyakinan dominan yang taken for granted mamahami manusia sebagai mahluk hidup yang utama. Pose dan gestur tubuh manusia itu seolah menggugat, dengan berbagai cara. Ia bisa mengajukan protes,

menunjukan ketidaksepakatan, memberikan dukungan, atau menyatakan undangan untuk berdamai, melakukan negosiasi, bahkan menertawakan diri-sendiri.

Ketiga, karya-karya self-portrait Agus Suwage menunjukan kecenderungan realisme yang berkembang dalam problematika pengalaman masyarakat kontemporer. Gambaran realistik self-portrait yang dikerjakan Suwage tidak sepenuhnya merupakan salinan dari pengalaman konkrit yang dialami oleh seseorang. Dimensi pengalaman manusia yang dimaksud Suwage adalah juga gambaran berbagai bentuk miniatur, model dan simulasi kultural yang dialami manusia dalam ruang pengalaman

globalisasi dunia. Di sini, Suwage yang kembali menimbang pentingnya kekuatan gambar sebagai bagian dari konstruksi image visual. Berbeda dengan tradisi lukisan realisme yang menimbang pentingnya

penggarapan detail bentuk dan warna untuk mencapai efek fotografis, lukisan realisme Suwage cenderung menjadi gambar. Meski tak jadi gambar animasi serta karikatural, lukisan itu jelas secara sadar menarik jarak dengan tradisi dan cara pengerjaan lukisan realis secara tradisional. Suwage justru hendak menunjukan pengalamannya berada dalam era ledakan gambar dan image yang di bentuk oleh kemajuan teknologi media komunikasi dan informasi. Lukisan realistik Suwage tak berdasar pada pengamatan langsung tentang obyek yang dilukisnya, ia melihat foto dan gambar tentang sesuatu (termasuk foto dirinya). Gambar dan foto itu lah yang mengalami pemikiran ulang pada bidang kanvas yang dikerjakannya. Lukisan realis Suwage tak lagi mencoba meniru foto sebagai suatu hasil, ia justru bekerja dengan logika fotografi dan

komputasi. Maka lukisan-lukisan ini adalah hasil dari proses pemilihan, croping, pemotongan, pertemuan, atau, persilangan berbagai image dan gambar. Agus Suwage dengan demikian hendak membiarkan karyanya

(3)

tetap ‘terbuka’. Seseorang bisa saja dengan mudah menemukan ‘sejarah atau asal-muasal image’ yang ditunjukan dalam lukisannya; ditempatkan sebagai gambaran tentang self-portrait (Suwage) sebagai bidang

proyeksinya.

The Fabulous Fable

Tahun 2003 di Galeri Nasional Indonesia, Agus Suwage memamerkan karya-karyanya dengan judul pameran “Ought . . . nguik !! ”. Judul itu unik, seperti handak menggambarkan (dengan cara, menuliskan) lenguh suara babi. Dalam pameran itu, sejumlah karya yang dipamerkan

memang menggambarkan manusia bertopeng wajah babi. Agus Suwage yang sering membuat karya self-portrait, jelas-jelas, tengah menutup wajah dirinya dengan topeng binatang (babi). Seri karya-karya itu

mengundang tafsir. Lewat gambar self-portrait, Suwage memang menerus menimbang perkara manusia dan kemanusiaan. Kini, ia menunjukan

image binatang. Bisa jadi, ia hendak belajar lagi. Dalam persepsi umum, manusia dianggap lebih unggul dibandingkan binatang. Mungkinkah saat menjajarkannya secara bersamaan, kita bisa menemukan rasa unggul manusia itu? Atau justru malah sebaliknya?.

Pada karya-karya Suwage, tak jarang kita melihat gambaran tentang manusia (dia) dalam derita kesakitan atau kebahagiaan. Sosok manusia (dia) pada karya itu sering nampak jadi orang lain, bukan dirinya sendiri, jadi semacam tokoh: sebagai pahlawan yang juga jahat, sebagai sosok berjasa tapi juga khianat, kaum intelek yang hiprokrit, orang yang bersahabat padahal dengki, jadi si pemurah hati yang juga licik, atau nampak bagai orang yang suci meski juga munafik. Karya-karya Suwage menunjukan suatu pergulatan, bisa karena sesosok manusia itu tengah menderita atau justru tengah berbahagia. Pergulatan itu lah sebuah gairah. Karya-karya self-portrait Suwage tak hanya menunjukan soal gambaran tentang potret-diri (seseorang) yang nampak tunduk sebagai korban, tapi juga tentang rasa ponggah sebagai penguasa yang tak mesti

(4)

takluk pada batas kesadaran-diri sebagai manusia. Binatangkah ia?.

Fabulous Fable’ menjadi tema perjalanan karya Agus Suwage yang terus menerus menunjukan upayanya menunjukan potret manusia sebagai suatu bingkai pertanyaan. Meski demikian, karya-karya Suwage memang tidak pernah berpretensi untuk bisa menjelaskan (explaining); ia lebih hendak memperagakan (demonstrating) suatu persoalan. Persoalan yang dimaksudnya terjalin dalam suatu kisah masyhur tentang sang manusia, ‘hewan berpikir’ yang luar biasa itu.

Dalam tema ‘fabulous fable’ ini terdapat beberapa kecenderungan

gagasan dan tanda-tanda karya yang dikerjakan oleh Suwage hingga saat ini. Karya “Double Happiness II” dan “The Kiss”, misalnya, merupakan gagasan yang diteruskan Suwage dari seri karya sebelumnya pada pameran “Ough. . .Nguik !!”. Kedua karya ini menggambarkan seri seseorang dengan topeng binatang (babi). Kali ini, Suwage menunjukan perhatiannya pada interaksi, pertemuan, kedua topeng itu. Apakah pertemuan itu sesungguhnya menunjukan interaksi yang sejati dari dua orang manusia ? Bukankah topeng (binatang) itu sesungguhnya telah gagal menunjukan keutamaan manusia untuk melampaui binatang ?. Karya-karya semacam “Insting Purba”, “I’m the Most Educated Parasite”, “Totem X Ray”, dan “Sihir Orientalisme” merupakan contoh dari cara kebiasaan Suwage menyisipkan sisi-sisi alamiah manusia yang

dibayangkannya hadir sebagai kekuatan di luar kontrol kesadaran dan logika manusia. Di sini, kita tak bisa dengan mudah menyimpulkan apakah kekuatan itu adalah sebentuk kekuasaan atau kelemahan dari sesosok manusia yang telah sering disanjung sebagai mahluk yang paling genius di muka bumi.

Karya-karya “The Super Omnivore”, “Kecoa di Depan Mata”, “Tukang Sulap dari Selatan”, dan “The Sound” menunjukan bentuk perkembangan dari pengolahan gagasan tentang kekuasaan alamiah manusia. Suwage

(5)

menggali berbagai kemungkinan asosiasi makna dengan cara

menjajarkan secara sekaligus image manusia dan binatang dalam suatu interaksi. Di sini jelas, bukan soal “manusia yang bisa seperti binatang”. Memahami soal manusia, Suwage justru seperti hendak berguru pada mahluk yang sering disebut tak berakal itu. Karya-karya “Beauty bin the Beast”, “Doggy Style” dan “Holy Dog” bahkan lebih tegas mempersoalkan ihwal sofistikasi eksistensi manusia, mungkin juga bahkan soal kerangka kebudayaan yang diciptakannya, lewat pertanyaan kritis sekaligus jenaka. Berhasilkah sofistikasi kebudayaan hingga kini melahirkan sifat

kemanusiaan yang sejati? Memenuhi harapan untuk bisa membebaskan manusia dari dorongan kekuatan instingtif ? Mewujudkan tahta yang paling utama bagi manusia?.

Bagi saya, perkembangan karya-karya Agus Suwage nampaknya akan menerus menghadapi berbagai pertanyaan yang mendasar tentang kemulian manusia. “Fabulous Fable” ini sebenarnya bisa disebut sebagai salah satu tema besar dari rangkaian perkembangan karya-karya Suwage. Tema itu secara spesifik menunjukan tanda penting perkembangan yang dicapai Suwage, saat ia secara demonstratif menggali berbagai

hubungkan makna yang diproyeksikan diantara image manusia dengan binatang. Tentang hal ini, saya teringat apa yang pernah dikatakan Agus Suwage suatu saat: “The human being, as an animal possessing

intelligence, is, of all this world creatures, the one with the greatest potential as a predator --towards its own kind, nature, and other creatures”.

Bandung, Maret 2004 Rizki A. Zaelani

Referensi

Dokumen terkait

(4) Standar Pendidikan Tinggi yang Ditetapkan oleh Perguruan Tinggi disusun dan dikembangkan oleh perguruan tinggi dan ditetapkan dalam peraturan pemimpin perguruan

Hasil analisis menunjukkan bahwa hakikat konteks ekstralinguisitk meliputi empat hal-hal berikut: (1) untuk memberikan latar belakang maksud penutur, (2) untuk

Dalam kasus ini, ekonom akan berusaha untuk mencari kebijakan yang akan menghindari kesia-siaan langsung di bawah kendali pemerintah, secara tidak langsung oleh regulasi yang

Pada beberapa penelitian sebelumnya, pendekatan yang digunakan pada perolehan informasi musik poliponik berdasarkan isi antara lain: mereduksi musik poliponik menjadi beberapa

Sampai dengan bulan Maret 2017 secara kumulatif Kota Madiun merupakan kota dengan inflasi tahun kalender tertinggi yaitu mencapai 2,15 persen, kemudian diikuti Kota Surabaya yang

graphique, qui peut substituer au langage articulé – naturellement fugace-, pour fixer et conserver un message, pour communiquer à distance, etc”. Menulis juga merupakan

IBM Kenexa Viewpoint Comment Reporting dapat dibeli sebagai layanan Pengaturan atau Pengaturan Berdasarkan Permintaan dan menyediakan kepada Klien satu laporan komentar PDF atau

filsafat bisa menjadi sentral atau poros, karena kegiatan berfilsafat selalu berkaitan dengan kegiatan berpikir, dimana kegiatan berpikir sendiri ibarat sebuah roda