• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERTIFIKAT. Diberikan Kepada. Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D. sebagai Pembicara dalam kegiatan Viveka Semester Ganjil 2020/2021 dengan judul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SERTIFIKAT. Diberikan Kepada. Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D. sebagai Pembicara dalam kegiatan Viveka Semester Ganjil 2020/2021 dengan judul"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

SERTIFIKAT

Diberikan Kepada

sebagai Pembicara dalam kegiatan

Viveka Semester Ganjil 2020/2021

dengan judul

Wakil Ketua I STFT Jakarta

Bidang Akademik

Agustinus Setiawidi, Th.D.

Pdt. Binsar J. Pakpahan, Ph.D.

“Teodisi dan Pascateodisi

dalam Memandang Pandemi Covid-19”

yang diselenggarakan pada 30 September 2020

di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Jalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

(4)

“Teologi Bencana dan

Hari-hari Terakhir”

T E M A

“Teodisi dan Pascateodisi dalam Memandang Pandemi Covid-19”

30 September 2020

Binsar J. Pakpahan, Ph.D.

14 Oktober 2020

“Tulah Kesepuluh, Pandemi yang Berasal dari Kesalahan Sendiri?”

Pdt. (Em.) Prof. E. Gerrit Singgih, Ph.D.

Pdt. Prof. Joas Adiprasetya, Th.D.

28 Oktober 2020

11 November 2020

Pdt. (Em.) Josef P. Widyatmadja, M.Th.

“Diakonia untuk Berbagi Harapan”

25 November 2020

“Imajinasi Masa Depan Semesta dalam Lensa Wahyu 21”

“Melakukan Misi di Era Pandemi”

Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D.

“Makna Teologis Bencana Ular Tembaga bagi Umat Israel di Perjanjian Lama”

Pdt. Agustinus Setiawidi, Th.D.

07 Oktober 2020

21 Oktober 2020

04 November 2020

Bambang Subandrijo, Ph.D.

18 November 2020

02 Desember 2020

“Holocaust dari Perspektif Filsafat

Hannah Arendt dan Elias Canetti”

Dr. Fransisco Budi Hardiman

“The End of Times menurut Kitab Daniel”

Pdt. Yonky Karman, Ph.D.

“Ritual yang Menguatkan yang Menderita”

Pdt. Ester P. Widiasih, Ph.D. dan Dina E. Siahaan, M.A.

“Kehidupan setelah Kematian”

(5)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

MEMBERI MATERI KURSUS TEOLOGI VIVEKA DI STFT JAKARTA DENGAN MATERI:

TEODISI DAN PASCA-TEODISI DALAM MEMANDANG COVID-19

ONLINE, 30 SEPTEMBER 2020

STFT Jakarta mengadakan kursus teologi berseri yang dinamai VIVEKA. Dalam kursus

ini peserta akan mengikuti 10 sesi pembinaan topik tertentu dalam teologi. Kali ini,

tema yang diberikan adalah Teologi Bencana dan Hari-Hari Terakhir dalam melihat

reaksi terhadap Pandemi Covid-19. Saya membuka seri kursus ini dengan

memperlihatkan tema respons teologis terhadap bencana.

Dalam penyampaian terhadap 45 peserta kursus, saya menjelaskan berbagai respons di

awal, sedang, dan sesudah bencana. Peserta tampak antusias, karena mereka banyak

mengajukan pertanyaan relevan.

Demikian laporan saya sampaikan,

Jakarta 1 Oktober 2020

(6)

Teodisi dan Pasca-Teodisi

dalam Memandang Pandemi Covid-19

Binsar Jonathan Pakpahan

Panggilan untuk berteologi terasa lebih kuat di masa Pandemi Covid-19 dibanding masa biasa. Seperti beberapa peristiwa lainnya yang mengubah wajah dunia dan teologi, Pandemi ini akan memengaruhi banyak percakapan dan tindakan ke depan, bahkan setelah kita menemukan vaksin virus Covid-19. Dunia teologi juga akan memasuki masa baru: Berteologi Pasca-Pandemi Covid-19.

Covid-19 adalah virus yang menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan. Pandemi Covid-19 telah menginfeksi 33,6 juta manusia dengan angka kematian melebihi 1 juta, sejak pertama kali dideteksi di Wuhan, China di penghujung 2019.1Karena sifatnya yang sangat

menular melalui percikan cairan dari hidung atau mulut manusia, juga karena ada manusia yang sudah terinfeksi tapi tidak menunjukkan berbagai negara menetapkan aturan social distancing atau lockdown, yaitu pembatasan pergerakan manusia atau penetapan jarak fisik antarmanusia agar penularan tidak terjadi. Beberapa masalah global yang disebabkan oleh Pandemi ini adalah: (1) masalah kesehatan dalam banyaknya korban jiwa dalam waktu singkat, belum adanya vaksin dan obat yang terbukti secara klinis; (2) masalah ekonomi yang muncul akibat berhentinya aktivitas ekonomi, dan kemungkinan jangka waktu yang akan berlangsung hingga 2021; dan (3) masalah psikologi dalam bentuk trauma, kedukaan, dan kesehatan mental masyarakat.

Beberapa teolog dan suara dari teologi kekristenan muncul untuk memahami, menjawab beberapa pertanyaan yang muncul, dan untuk menjawab pergumulan masyarakat, dan apa respons warga gereja yang tepat dalam menghadapinya, bukan Coronavirus itu sendiri, namun dampak dari Pandemi yang disebutkan di atas. Kita bisa menemukan respons para teolog, filosof melalui penerbitan buku, artikel, pernyataan di media sosial, atau khotbah-khotbah yang sekarang banyak tersedia online.2Saya akan menunjukkan diskursus

1Data per 30 September 2020 pkl 11.00 WIB. Untuk data terkini bisa dilihat di situs WHO

(http://who.int) atau situs worldometer (https://www.worldometers.info/coronavirus/).

2Beberapa buku karya teolog yang muncul sebagai respons Covid-19 adalah John Piper,Coronavirus and

(7)

yang muncul, yang mengajak para peneliti, teolog, dan warga gereja memberi kontribusi percakapan publik mengenainya.

Dalam tiap bencana yang terjadi, baik yang disebabkan alam atau kesalahan manusia, kita pasti akan memiliki paling tidak tiga reaksi: bertahan hidup (the survival mode), bertanya (the why), dan apa yang akan kita lakukan selanjutnya (the what to the next). Tiga reaksi ini tidak memiliki timeline, dan bisa mengalami pengulangan. Makalah ini akan mencoba mengurai ketiga reaksi tersebut sebagai dasar dari berbagai diskusi yang akan kita miliki di Viveka 8.

Tantangan Pertama Bencana: Survival Mode

Dalam mode survival, kita akan mencatat berbagai masalah yang muncul dan bagaimana kita bisa dengan segera mengatasinya. Dalam periode ini, teologi berusaha mendorong orang untuk bertindak dengan cepat, berbagi dan saling menolong, aksi pastoral lebih diutamakan ketimbang pemikiran yangnjlimet. Beberapa aksi kemanusiaan dilakukan oleh gereja-gereja dalam bentuk pembukaan dapur umum, pembuatan masker dan hand-sanitizer, serta membantu distribusi penjualan bahan-bahan pokok.

Tantangan selanjutnya dalam dunia pelayanan pastoral adalah soal privasi dan penyebaran informasi mengenai mereka yang positif, ODP, PDP atas virus ini. Beberapa pendeta mempertanyakan tugas menjaga rahasia (rahasia jabatan) atas jemaat yang memintanya untuk merahasiakan hasil pemeriksaan yang positif dan mereka yang meminta pendetanya untuk membuka informasi. Perdebatan ini berkenaan dengan stigma yang muncul atas mereka yang positif atau meninggal karena Covid-19. Mengapa stigma ini bisa muncul? Dan apa yang harus gereja lakukan dalam hal menjaga rahasia atau memberi informasi kepada jemaat?

Diskusi selanjutnya yang agak panjang adalah mengenai pemindahan ibadah Minggu ke rumah jemaat. Dalam antisipasi dan respons terhadap larangan untuk berkumpul yang dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, gereja-gereja mengadakan ibadah online. Pada awalnya, pemindahan peribadahan ke rumah mengundang banyak diskusi

Good Book Company, 2020); filosof Slavoj Žižek,Pandemic!: Covid-19 Shakes the World(New York City: OR Books, 2020)

(8)

mengenai apa makna gereja, dan apakah ibadah Minggu harus dilaksanakan dalam perseku-tuan di gereja. Di bulan Maret 2020, ada perdebatan para pendeta di beberapa gereja, salah satunya di gereja saya sendiri HKBP, mengenai keputusan untuk memindahkan ibadah Minggu dari gereja ke rumah, bahwa Allah Yang Mahakuasa akan menghindarkan kita dari virus. Pelaksanaan ibadah online membuat diskusi mengenai pemisahan ibadah di masa darurat dan makna persekutuan muncul. Apakah persekutuan itu adalah soal kehadiran atau soal perasaan? Pertama, apa arti perjumpaan? Seiring dengan kemajuan teknologi, perjumpaan didefinisikan ketika kita melakukan percakapan sambil saling “melihat” dan “mendengar.” Dengan definisi perjumpaan adalah saling melihat dan mendengar, tanpa sentuhan fisik, seorang mahasiswa akan dianggap hadir ketika dia bisa memperlihatkan diri dan mendengar/bicara dalam ruang belajar virtual. Bagaimana dengan kehadiran? Dalam Bahasa Indonesia, kehadiran berarti “adanya (seseorang, sekumpulan orang) pada suatu tempat” (KBBI s.v. “kehadiran”). Sampai September 2020, diskusi mengenai apakah ibadah secara online adalah ibadah sudah tidak terdengar lagi, karena fokus kepada kehidupan dan survival mode lebih penting didulukan sebelum masuk dalam perdebatan soal ritus dan makna.

Perdebatan selanjutnya adalah pemaknaan sakramen, misalnya Perjamuan Kudus, dan ritus lainnya seperti ibadah pemakaman, apakah bisa dilakukan secara virtual ketika perjumpaan fisik tidak dimungkinkan. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengeluarkan panduan yang memberikan tiga opsi kepada gereja-gereja mengenai Perjamuan Kudus di Masa Raya Paskah: menunda, melakukan dengan beberapa bentuk (termasuk online), dan melakukan Perjamuan Kudus secara spiritual.3 Sebenarnya apa makna Perjamuan Kudus

ketika kita dihadapkan dengan bencana dengan skala global yang mengharuskan kita tinggal di rumah? Kebanyakan gereja-gereja arus utama di Indonesia memilih untuk menunda ibadah perjamuan kudus pada Jumat Agung 2020, dan mungkin sampai sekarang ada yang masih belum melakukannya.

Tantangan Bencana Kedua: “The Why” – Diskursus Teodise

3Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, “Kebangkitan Kristus Membawa Harapan Baru: Pesan Paskah

2020 dan Tuntunan Merayakan Sakramen Perjamuan Kudus di Masa Pandemi Covid-19,” (Jakarta: tidak terbit, 28 Maret 2020), https://pgi.or.id/pesan-paskah-2020-dan-tuntunan-merayakan-sakramen-perjamuan-kudus-di-masa-pandemi-covid-19/ diakses pada 25 April 2020.

(9)

Setelah melampaui diskusi mengenai bagaimana cara bertahan, dan memberi simpati kepada yang kehilangan, kita masuk kepada diskusi yang cukup berat, “kenapa?” Diskursus teodise4adalah penelusuran mengenai bagaimana iblis atau kejahatan bisa muncul di dunia

yang diciptakan oleh Allah yang Mahabaik dan Mahatahu. Jika Allah Mahabaik, mengapa penderitaan muncul dan diizinkan, siapa yang menyebabkan hal ini terjadi, dan apakah pandemi ini merupakan hukuman Allah, peringatan, atau tanda akhir zaman? Mengapa Allah tidak menolong kita? Apa makna penderitaan kita? Sepertinya ada pertentangan yang cukup kuat antara pernyataan Allah Yang Mahakuasa dan Allah Yang Mahabaik. Misalnya, pernyataan bahwa jika Allah itu Mahabaik, Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa Dia mungkin tidak mampu mengatasi masalah kita, karena jika Allah Mahakuasa, berarti Dia tidak cukup baik untuk menolong kita?

Untuk menjawab pertanyaan mengapa, saya akan memulai dengan argumen yang diajukan oleh para sahabat Ayub untuk merespons penderitaan yang dialaminya. Kitab Ayub menawarkan sebuah eksplorasi yang sangat menantang mengenai tema penderitaan, kesalehan, sifat Allah, dan ketidakadilan dalam dunia. Teks Ayub diawali dengan cerita Iblis yang sedang menghadap Allah bersama makhluk surgawi lainnya. Terjadilah dialog antara Iblis dengan Allah.

Yang menarik dari kisah Ayub adalah kedatangan para sahabat Ayub: Elifas, Bildad, dan Zofar. Respons pertama para sahabat ketika melihat Ayub adalah menangis dengan suara nyaring (2:12). Bahkan, ada sikap yang bisa kita tiru ketika mereka mengoyak jubahnya, dan diam bersama-sama dengan Ayub. Karena iba atas penderitaan Ayub, mereka terdiam selama tujuh hari tujuh malam (2:13). Setelah tujuh hari mulailah mereka berbicara. Dialog para sahabat bisa dibagi dalam beberapa babak. Marie Barth-Frommel mengatakan bahwa babak pertama ada dalam pasal 4-14 (Barth-Frommel 2016, 50-74).

Kehadiran teman-temannya jauh dari peran penghibur. Mereka malah menuduh Ayub melakukan dosa besar, sehingga mengecilkan hati Ayub dan membuatnya mulai mengutuki diri sendiri bahkan hari kelahirannya. Dialog Ayub dengan keempat orang sahabatnya (pasal 4-31, dilanjutkan pada pasal 32-37), kurang memuaskan hati Ayub akan

4Meski istilah disebut pertama kali oleh Leibniz, teodise sudah dibahas oleh Epikuros (341-270 SZB)

dari zaman filsafat Yunani Kuno. Lihat G.W. Leibniz,Theodicyed. Austin Farrer, terj. E. M. Huggard (Charleston: BiblioBazaar, 1985); dibahas lebih lanjut dan dikritik oleh Emmanuel Levinas,Totality and Infinity: An Essay on Exteriorityterj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duqusne University Press, 1969).

(10)

pertanyaan sederhana, “Mengapa saya menderita?” Pembicaraan panjang mereka tidak membawa Ayub kepada jawaban atas pertanyaannya itu.

Elifas, Zofar, dan Bildad pertama-tama menasihati Ayub dan bersoal-jawab dengan Ayub pada pasal 3-27. Kemudian pada pasal 32-37, berbicara pula Elihu, seorang sahabat yang lain, yang keempat, yang paling muda, sehingga berbicara belakangan (Barth-Frommel 2016, 116).

Dari percakapan itu, kita bisa melihat pendapat para sahabat mengenai asal penderitaan Ayub (teodise)

 Elifas: segala sesuatu disebabkan tindakan sebelumnya (sebab akibat), sehingga seseorang yang menderita harus bertobat (karena penderitaan adalah akibat dari dosa).

 Bildad mengetahui mungkin ada situasi yang tidak diketahui penyebabnya sebelumnya, akan tetapi tradisi hikmat Allah harus dihormati.

 Zofar menasihati Ayub agar bersabar, karena Allah mengetahui segalanya; dia membandingkan Allah setinggi-tingginya, dan dengan manusia yang serendah-rendahnya, sehingga manusia harus pasrah.

 Elihu menambahkan bahwa keadaan Allah itu begitu tinggi, dan tidak tergapai oleh manusia, seperti tingginya awan-awan di langit, karena Dialah pencipta langit itu (35:5). Oleh karenanya, Ayub tidak layak bersoal-jawab dengan Allah, apalagi mempersalahkan Allah.

Meskipun pada akhirnya Allah membela Ayub di hadapan teman-temannya, dengan berkata kepada Elifas dan dua sahabat Ayub yang lain, bahwa merekalah yang harus bertobat (42:7), pertanyaan para sahabat menjadi dasar dari diskursus yang saya sajikan mengenai teodise.

Persoalan penderitaan sungguh tidak bisa dipahami ketika kita memahami bahwa Allah adalah Mahabaik. Karena itu, untuk memulai argumen ini, kita akan memasuki pemikiran Augustinus yang memahami bahwa kejahatan adalah penyimpangan dan bukan esensi dari alam ciptaan Allah. Bagi Augustinus, teologi harus memegang 4 argumen dasar:

1. Allah Mahabaik

2. Semua yang hadir di alam semesta datang dari Allah (Mahakuasa) 3. Hanya kebaikan yang datang dari Yang Mahabaik

(11)

4. Ada kejahatan

Seandainya diskusi kita hanya berhenti di tiga poin di atas, kita tidak akan menemui kesulitan yang diberikan oleh poin keempat. Jika Allah Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa ada kejahatan? Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa keempat presuposisi di atas benar dan menjawabnya secara logis. Jika kita mengatakan bahwa kejahatan hadir sejak awal, maka kejahatan bukan ciptaan Allah, namun jika kejahatan hadir belakangan, berarti dia ciptaan Allah. Salah satu pendapat Manichean yang dia lawan adalah bahwa dunia adalah tempat pertempuran kebaikan dan kejahatan (Augustine, Confessions VII. ii. 3).

Augustine kemudian menjelaskan bahwa kejahatan datang dari ciptaan allah dan menunjuk kepada cerita Adam dan Hawa sebagai penjelasan kemunculan kejahatan yang menjadi akibat dari kehendak bebas manusia. Karena kehendak bebas adalah milik manusia, termasuk kemampuan untuk menolak perintah Allah, mereka memilih kebaikannya sendiri dan tidak mematuhi kebaikan tertinggi. Dari pandangan demikian, Augustinus menyatakan bahwa: semua kejahatan adalah dosa atau konsekuensi dosa dan masuk akibat kehendak bebas manusia. Akibat dosa bisa berada dalam manusia itu sendiri atau kerusakan alam yang disebabkan oleh disharmoni (De Libero Arbitrio I III). Allah kemudian mengizinkan penderitaan terjadi karena dosa. Boethieus (480-525) masih mempertanyakan argumen Augustinus dan mengatakan Si Deus justus, unde malum? (jika Allah adil/mahabenar, bagaimana dengan kejahatan?). Dalam pertanyaannya, diskusi mengenai Ayub menjadi tema sentral penderitaan.

Dipengaruhi oleh pandangan Augustinus, karena dia sendiri adalah biarawan dalam aliran Augustinus, Martin Luther mengaitkan penderitaan dengan kesediaan Allah sendiri untuk menderita. Dalam Theologia Crucis, Martin Luther menyatakan bahwa penderitaan Kristus membatasi kuasa kejahatan karena karya penebusan-Nya.

Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), filosof yang memperkenalkan istilah teodise, yang berada dalam aliran Lutheran, memperkenalkan konsep lain. Argumennya adalah, justru karena Allah Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, Dia menciptakan dunia dengan segala kemungkinan terbaik di dalamnya, sehingga kejahatan, penderitaan, dan kebaikan merupakan kemungkinan terbaik.

Pendapat Leibniz banyak dikritik atau dikembangkan oleh para filosof seperti Hume (1711-1776) yang mengatakan bahwa kejahatan muncul akibat Allah yang tidak tidak cerdas,

(12)

atau Immanuel Kant serta G.W.F. Hegel yang berusaha menempatkan kejahatan dalam pengalaman manusia. Salah satu pendapat yang menarik untuk ditaruh di sini adalah pengembangan dari 4 premis awal Augustinus oleh Franz Magnis-Suseno pasca tsunami Aceh. Pada akhirnya Magnis-Suseno menyatakan bahwa meski kita harus membiarkan pertanyaan mengenai mengapa penderitaan muncul, dia mengakui bahwa filsafat memiliki batasan (Magnis-Suseno 2006, 231).

Dalam Alkitab kita menemukan beberapa tipologi teodise yang tidak meninggalkan empat premis awal.

1. Teodise retribusi. Kejahatan muncul sebagai akibat pelanggaran perjanjian Israel dengan Allah. Sifat retributif dari pelanggaran perjanjian bisa ditemukan juga dalam kitab-kitab apokaliptik.

2. Teodise edukatif. Bahwa kejahatan dan penderitaan membawa pengajaran kepada bangsa Israel setelah kembali dari masa pembuangan. Bahasa yang digunakan di sini adalah pemurnian dan pembelajaran dari penderitaan. Beberapa teolog yang ada di aliran ini atau di penjelasan yang berkenaan dengan tema edukatif adalah Irenaeus, f. Schleiermacher, dan J. Hick.

3. Teodise eskatologis, yaitu pemahaman bahwa penderitaan yang tidak datang dari dosa akan mendapatkan kemuliaan Allah pada akhirnya. Kisah Ratapan dan Habakuk menjadi pokok dari teodise ini. Salah satu teolog yang memegang pandangan ini adalah Abraham van de Beek yang menulis Waroom? Over lijden schuld en God (1994).

4. Teodise persekutuan yang mengajarkan bahwa Allah tidak hanya hadir bersama yang menderita, namun juga menderita bersama mereka (Yes. 52:13–53:12). Teolog yang bicara mengenai hal ini selain Martin Luther juga adalah teolog Asia Choan-Seng Song.

Beberapa teolog yang muncul kemudian dan berusaha menjawab berbagai masalah penderitaan di masa modern tidak bisa lepas dari tipologi di atas, atau paling tidak merupakan pengembangan dari keempat model tersebut.

(13)

Setelah melewati bagian pertanyaan mengenai mengapa, beberapa teolog dan filosof juga memindahkan pertanyaan mengapa jadi bagaimana meresponsnya. Menyadari keterbatasan logika dan permasalahan teoretis dari teodise, pemikir kontemporer justru berbicara soal respons kita terhadap kejahatan.

Salah satu filosof Kristen yang bicara mengenai kewajiban untuk mengasihi sesame dan tanggung jawab kita untuk penderitaan yang lain adalah Soren Kierkegaard. Dalam Works of Love (1847 – edisi 2009), yang merupakan perenungannya akan makna cinta “kǣrligheid”(love– cinta) dan“Elskov”(erotic love – cinta erotis), dia berpendapat bahwa cinta adalah perintah (Mat. 22:37-40) (Kierkegaard 1847, 40). Ini adalah asumsi dasar dari seluruh tulisannya. Menurut Kierkegaard, cinta tidak muncul dari dalam hati manusia. Kita mencintai yang lain karena mereka sesuai dengan selera kita sendiri, atau cocok dengan kebutuhan kita. Kita mencintai karena Allah memerintahkan kita untuk mencintai sesama manusia, tanpa perintah ini, cinta manusia adalah cinta yang egois.

Manusia bisa memiliki cinta yang spontan, yang muncul tanpa perintah Allah. Namun, cinta seperti ini biasanya datang dengan tuntutan dan kecemburuan ketika yang kita cintai tidak lagi sesuai dengan harapan kita (Kierkegaard 1847, 49-50). Perintah “Cintailah…!” menjadi dasar akan tindakan cinta manusia. Pertanyaan penting selanjutnya adalah siapakah sesamaku manusia? Sesama manusia adalah orang-orang yang ada di sekitar kita, yang bukan kita pilih untuk berada di dekat kita. Sesama manusia adalah siapa saja yang membutuhkan kita. Sahabat, teman, pacar, keluarga, bukanlah sesama manusia karena mereka adalah cinta yang dipilih. Cinta yang pemilih menuntut balasan. Sementara itu, cinta terhadap sesama adalah cinta yang menyangkal diri sendiri dan mengasihi siapa saja yang berada di sekitar kita (Kierkegaard 1847, 67). Kierkegaard berkata, “Love to one’s neighbour is therefore eternal equality in loving, but this eternal equality is the opposite of exclusive love or preference” (1847, 70). Perintah ini juga menuntut kita untuk mencintai musuh kita (Kierkegaard 1847, 79).5

Perintah untuk mencintai yang lain mengandung risiko tinggi. Kristus disalibkan karena Dia mengasihi sesamanya. Cinta ini menuntut pengorbanan, penyangkalan diri, dan

5Richard Holloway mengatakan bahwa ajaran Yesus memang revolusioner dalam hal mencintai, dan

(14)

kekuatan untuk bertahan di tengah siksaan. Di tengah tuntutan mencintai, kita juga harus melakukannya dengan hati yang tulus dan murni.6

Mengapa kita harus melakukannya? Kierkegaard mengatakan bahwa sebenarnya manusia berada dalam hutang cinta kepada Allah. Karena kasih Allah yang begitu besar, kita sedang berada dalam hutang untuk menolong sesama, siapa saja yang membutuhkan pertolongan yang ada di sekitar kita. Kierkegaard berkata, “precisely for this reason we say that it is theChristian’sduty: to be in the debt of love to one another” (196).

Cinta sejati tidak akan pernah kecewa dan tidak akan pernah dipermalukan, karena dia tidak pernah berharap akan balasan dari orang yang dicintainya. Mencintai adalah tindakan tulus tanpa mengharapkan balasan. Kita mencintai karena kita memiliki hutang kepada Allah, bukan untuk membayar hutang atau memiutangi orang lain dengan perbuatan baik kita. Karena itu, cinta akan menyembunyikan kesalahan yang lain dari mata kita dan membuat kita mampu melakukan pengampunan.

Pemahaman cinta Kierkegaard ini diwujudkan dalam tindakan nyata mengulurkan tangan kepada yang lain, karena mereka adalah sesama kita yang ada di sekitar kita. Tulisan Kierkegaard mungkin terbaca terlalu idealistis, atau bahkan sedikit utopis, namun argumennya, semua orang harus berusaha mencapai yang ideal.

Dalam pemahaman demikian, kita juga melihat gambaran Emanuel Levinas mengenai tanggung jawab moral sebagai reaksi kita atas penderitaan. Pada tahun 1940 Levinas ditangkap Nazi dan sebagian keluarganya dibunuh. Berangkat dari pengalamannya yang pahit di kamp konsentrasi, Levinas mengatakan bahwa wajah yang lain menuntutku untuk bertanggung jawab atas penderitaannya. Relasi saya dengan orang-orang di sekitar menjadi pengalaman religius (Levinas 1998, 138). Orang lain adalah pada dirinya memiliki otonomi dan untuk dapat memahami yang lain, saya harus keluar dari imanensi saya. Wajah yang lain menuntut saya untuk menolongnya, karena kita diminta untuk bertanggung jawab (Bertens 2014, 281-282).

Dalam artikel singkat “Useless suffering” (2003), Levinas mendekati penderitaan dengan fenomenologi, apa yang penderitaan itu katakana kepada saya. Penderitaan muncul sebagai pengganggu kesadaran saya yang akhirnya mengganggu saya (Levinas 2003, 156).

6Tidak semua orang setuju akan paham cinta kristiani yang tanpa tuntutan ini. Lihat alasan Simon

(15)

Kita tidak bisa mengontrol penderitaan, karena “it is no longer the performance of an act of consciousness, but, in its adversity, a submision; and even a submission to the submitting” (Levinas 2003, 157). Karena penderitaan yang muncul dari kejahatan, subjek yang menghadapi kesengsaraan tidak sempat memaknainya karena bisa jadi dia tidak akan menemuinya. Dalam penderitaan yang tidak bisa dipahami dan dikehendaki, Levinas sampai pada kesimpulan bahwa penderitaan adalahmeaninglessdan kemudian menjadiuseless,

It’s not the evil of suffering—extreme passivity, impotence, abandonment and solitude—also the unassumable and thus the possibility of a half opening, and, more precisely, the possibility that wherever a moan, a cry, a groan or a sigh happen there is the original call for aid, for curative help, for help from the other ego whose alterity, whose exteriority promises salvation? It is the original opening toward what is helpful, where the primordial, irreducible, and ethical, anthropological of the medical comes to impose itself—across a demand for analgesia, more pressing, more urgent in the groan than a demand for consolation or a postponement of death. For pure suffering, which is intrinsically meaningless and condemned to itself without exit, a beyond takes shape in inter-human. (Levinas 2003, 158)

Dalam masa seperti ini, kita tidak lagi bertanya soal makna penderitaan, atau dari mana dia datang, kita hanya bisa dituntut apa yang akan kita lakukan terhadap mereka yang menderita. Karena pemahaman demikian, bagi Levinas, etika adalah filosofi pertama, terutama etika tanggung jawab.

Jawaban Kierkegaard dan Levinas sepertinya hanya berguna bagi mereka yang menjadi saksi atas penderitaan. Bagaimana dengan yang menderita sendiri? Jalan lain untuk menjawab dunia pasca teodise adalah apa yang Victor Frankl sarankan dari pengalamannya di kamp konsentrasi Nazi. Dia mengatakan bahwa sikap kita untuk memberi makna kepada penderitaan akan menguatkan kita untuk bertahan dan maju ke depan, “everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way” (Frankl 1963, 104). Ketegangan akan penderitaan dan maknanya justru membuat seseorang akan bertahan (Frankl 1963, 164). Daripada bertanya mengapa saya menderita, lebih baik kita mengarahkan pertanyaan ke apa yang menjadi alasan saya untuk bertahan dalam penderitaan. Dia berkata, “He who has a why to live for can bear almost any how” (Frankl 1963, 164). Pencarian akan makna kehidupan memberi seseorang yang menderita untuk tetap kuat dan bertahan.

Seseorang bebas untuk memberi makna atas tujuan penderitaannya yang biasanya diawali oleh frustasi eksistensial, yaitu pertanyaan yang mengarah kepada eksistensi itu sendiri; arti dari eksistensi; dan perjuangan makna eksistensinya (Frankl 1963, 159). Dalam

(16)

pencarian makna, dia bebas untuk menentukan sendiri apa arti eksistensinya. Untuk menghadapi hal ini, dan kemungkinan untuk jatuh ke dalam keputusasaan, seseorang perlu bantuan dari yang lain.

Saya perlu mencatat bahwa Andreas Yewangoe di akhir bukunya,Menakar Covid-19 secara Teologis,mengatakan,

Penderitaan dan malapetaka alam, kata Rabbi Kushner, adalah bagian dari "kemanusiaannya manusia" dan "kealamannya alam Artinya, manusia tidak dapat dipikirkan tanpa penderitaan, dan alam pun tidak dapat dibayangkan tanpa bencana alam. Demikianlah kita terus berputar-putar dalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus ada karena manusia memang tetap hidup dan mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah alam semesta ini. (Yewangoe 2020, 139)

Kesimpulan

Dalam pandemi Covid-19, pertanyaan soal mengapa sepertinya belum banyak muncul, karena saat ini kita masih ada dalam tahap pertama, yaitu survival. Sepertinya, pasca pandemi, kita akan menemukan banyak tulisan baru yang akan berputar di 4 pandangan teodise atau justru memfokuskan diri kepada reaksi atas pandemi Covid-19. Viveka 8 kiranya memberi gambaran yang lebih komprehensif mengenai bagaimana memandangnya dari pengalaman yang ada dalam Alkitab dan beberapa bencana modern seperti Holocaust, serta apa reaksi yang harus kita berikan kepadanya untuk berbagi harapan kepada yang lain.

Tentang Penulis

Pendeta Huria Kristen Batak Protestan yang diutus menjadi dosen tetap STFT Jakarta, mengampu MK Filsafat, Etika, Teologi Sosial. Memperoleh gelar Ph.D. (2011) dari Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Menjabat sebagai Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan STFT Jakarta. Aktif menulis di blog pribadinya http://binsarspeaks.net, atau akun twitter @binsarpakpahan. Aktif menulis di jurnal teologi nasional dan internasional. Bukunya yang sudah terbit adalah God Remembers: Towards a Theology of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict(Amsterdam: VU University Press 2012), danThe Power of Shame (Jakarta: UPI STTJ bekerja sama dengan BPK GM, 2016). Email: b.pakpahan@sttjakarta.ac.id. Sekarang sedang menyelesaikan disertasi habilitasi di Evangelisch-Theologische Fakultät, Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster,

(17)

Jerman (sejak 2016), atas tema peran rasa malu dan hormat di komunitas Kristen Indonesia dalam praktik pengampunan dan kontribusinya terhadap pembentukan norma masyarakat Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan rancangan alat pemasak (ala presto) ikan duri lunak dengan menaikan temperature tekanan dan lama waktu pemaskkan untuk 2 kg bahan berupa ikan dengan

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa informasi merupakan hasil pengolahan data menjadi bentuk yang lebih berguna bagi yang menerimanya yang

Perjalanan Dinas Jabatan yang dilaksanakan lebih dari 8 (delapan) jam. 1) Perjalanan dinas untuk kegiatan dalam kabupaten/kota yang memerlukan waktu tempuh melebihi 8 (delapan)

Adapun tujuan penelitian ini yaitu menentukan perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku dengan pendekatan JIT, menentukan dan membandingkan dengan metode

Lembar Observasi Pembelajaran Guru Dalam Pembelajaran Narasi Kelas IV Dengan Metode Peta Pikiran (Mind Mapping) di SD Negeri Tangkisan 01 Siklus II Pertemuan 1

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terdapat pengaruh dari pemakaian masker daun sirsak (Annona muricata Linn) yang digunakan sebagai masker perawataan kulit

Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap rendemen pektin yang dihasilkan, sedangkan interaksi suhu dan waktu

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Retno Damayanti (2005: 30-31) menyatakan bahwa produktivitas merupakan aspek penting bagi perusahaan karena apabila karyawan