• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umi Cahya Difteri Jadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Umi Cahya Difteri Jadi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jika kita merunut pada data dan sejarah, pada awalnya difteri merupakan penyakit yang sangat endemis di Eropa Barat, dan merupakan beban kesehatan yang sangat berarti pada jaman sebelum ditemukannya vaksin. Setelah era vaksinasi, kemudian Vaksin difteri toxoid dimasukkan sebagai salah satu program imunisasi rutin di Eropa Barat pada tahun 1940 dan 1950 dan program imunisasi anak di Eropa pada tahun 1950 dan 1960. Kemudian didapatkan hasil, bahwa program vaksinasi massal dapat mengendalikan wabah penyakit difteri yang ada di daerah endemis maupun impor.

Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkanDiperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis. dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.

Penyakit difteri saat ini menjdi momok menakutkan bagi masyarakat. Betapa tidak sejak januari hingga sekarang 328 orang yang terkena penyakit difteri sebagian besar adalah bayi dan anak anak dari jumlah itu,11 orang meninggal dunia.Penyakit difteri jarang terjadi di negara maju,tetapi sering terjadi di negara berkembang seperti di indonesia.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting,

(2)

karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Terdapat tanda-tanda pada penyakit dfiteri yaitu demam tidak tinggi, nyeri menelan, lemah, pucat, dan anoreksia.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

Di harapkan dengan penanganan tersebut dapat mengurangi angka kejadian difteri pada bayi dan anak.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada bayi dengan difteri 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran mengenai konsep medis tentang penyakit difteri

b. Mengetahui gambaran mengenai konsep dasar keperawatan tentang penyakit difteri

C. Metode Penulisan

Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ilmiah ini adalah metode narasi yang dilakukan dengan cara : Studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku sumber catatatan kuliahdan makalah yang berhubungan dengan judul makalah ilmiah yang dibahas.

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

(3)

BAB II : Tinjaun Teori yang meliputi konsep dasar medic yang terdiri dari definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, tes diagnostik, penatalaksanaan medis

BAB III : Paparan kasus

BAB IV : Asuhan Keperawatan pada bayi dengan difteri meliputi pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi keperawatan

(4)

BAB II

TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar Medik

1. Definisi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman

Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas

bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosasaluran pernapasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernapasan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)

(5)

2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernafasan Saluran pernafasan mulai dari atas secara berturut-turut :

a. Hidung

Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai 2 (dua) lubang (cavum nasi). Didalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna menyaring udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk kedalam lubang hidung.

Fungsi hidung dari:

1)Bekerja sebagai saluran pernafasan

2)Sabagai penyaring udara pernafasan yanh dilakukan oleh bulu-bulu hidung. 3)Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa.

4)Membunuh kuman kuman yang masuk bersama-sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.

5)Sebagai alat penciuman yang terletak dipuncak hidung. b. Pharink

Merupakan persimpangan antara saluran pernafasan dan saluran rongga makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.Pharink dilapisi oleh selaput lendir (mukosa) yang dibawahnya terdapat otot pharink, otot-otot pharynk ini penting untuk mekanisme menelan.

(6)

Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian pharing sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk kedalam trakea dibawahnya. Pangkal tenggorokan ini dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang epiglotis yang terdiri dari tulang-tulang yang berfungsi pada waktu menelan makana menitupi laring.

d. Trakea

Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk 16 s/d 20 cicin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk huruf C. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia hanya bergerak kearah luar.

Pasang trake 9s/d11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos.Sel-sel bersilia gunanya untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan

e. Bronkus

Merupakan cabang trakea setinggi vertebra thoracalis 5 yaitu setinggi bronkus kiri dan kanan.Bronkus dibentuk oleh cincin tulang rawan dan lebih panjang sedangkan bronkus kanan lebih lebar vertikal dan lebih pendek.

f. Brokiolus

Merupakan cabang dari bronkus yang mempunyai struktur sama hanya ukurannya berbeda.Bronkiolus sudah memasuki lobus paru-paru akan bercabang menjadi bronkiolus terminal dan ujungnya terdapat rongga udara (alveculus).

g. Paru-paru

Terletak dalam rongga dada terdiri dari paru kiri dan kanan. Diantara paru-paru kiri dan kanan terdapat jantung, pembuluh darah besar, trake, bronkus dan esopagus.Paru-paru kana terdiri dari 3 lobus dan paru-paru kiri terdiri dari 2 lobus, jaringan paru bersifat elastis sehingga dapat mengembang dan mengempis pada waktu bernafas.

3. Etiologi

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997), penyebab difteri adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.

(7)

Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak.

4. Patofisiologi

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997), corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.

Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas. akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.

5. Tanda dan Gejala

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997), tanda dan gejala difteri tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.

(8)

Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.

a. Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.

b. Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea. c. Diphtheria Laring

Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.

d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Dampak hospitalisasi pada anak :

Dampak tersebut bersifat individual dan sangat tergantung pada usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimilikinya, pada umumnya ,reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan, perlukaan tubuh dan rasa nyeri.

Dampak anak pada hospitalisasi : a. Masa bayi (0-1 th)

1) Dampak perpisahan

2) Pembentukan rasa P.D dan kasih sayang

3) Usia anak > 6 bln terjadi stanger anxiety /cemas 4) Menangis keras

5) Pergerakan tubuh yang banyak

(9)

b. Masa todler (2-3 th)

1) Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan .Disini respon perilaku anak dengan tahapnya.

2) Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain

3) Putus asa menangis berkurang,anak tak aktif,kurang menunjukkan minat bermain, sedih, apatis

4) Pengingkaran/ denial 5) Mulai menerima perpisaha

6) Membina hubungan secara dangkal 7) Anak mulai menyukai lingkungannya c. Masa prasekolah ( 3 sampai 6 tahun )

1) Menolak makan 2) Sering bertanya 3) Menangis perlahan

4) Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan d. Masa sekolah 6 sampai 12 tahun

Perawatan di rumah sakit memaksakan meninggalkan lingkungan yang dicintai , klg, klp sosial sehingga menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dlm klg, kehilangan klp sosial,perasaan takut mati,kelemahan fisik. Reaksi nyeri bisa digambarkan dgn verbal dan non verbal. e. Masa remaja (12 sampai 18 tahun )

Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya. Saat MRS cemas karena perpisahan tersebut. Pembatasan aktifitas kehilangan control

Reaksi yang muncul :

1) Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan 2) Tidak kooperatif dengan petugas

Perasaan sakit akibat perlukaan menimbulkan respon : 1) bertanya-tanya

2) menarik diri

(10)

6. Tes Diagnostik

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997)

a. Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

b. Gram Noda Kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi corynebacterium diphheriae. Untuk melihat ada tindakanya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat dilakukan dengan electrodiagram (ECG).Dan dengan uji schick yaitu sejumlah kecil toksin difteri disunikan secaraintrakutan dan jika tida ada antitoksin,maka akan terjadi respon radang lokal yang terjadi memuncak pada hari 5. Serta perlu adanya kontrol toxoid karena beberapa orang tersensiitasi pada toksin dan terjadi reaksi positif walaupun ada antibody netralisasi.

(11)

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997)

Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.

Pengobatan spesifik untuk difteri :

a. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.

b. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.

c. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda). Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit.

Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin. Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga

(12)

diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.

Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.

8. Penatalaksanaan Keperawatan

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997)

Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.

Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia. Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut. Sumbatan jalan napas ; kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor:

a. Berikan O2

b. Baringkan setengah duduk c. Hubungi dokter.

(13)

9. Pencegahan a. Umum

Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit diphtheria kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.

b. Khusus

Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

10. Komplikasi

Menurut (perawatan anak sakit, Kedokteran EGC 1997)

Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya :

a. Infeksi tumpangan oleh kuman lain

Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman streptokokus.

b. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas

Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.

c. Sistemik 1) Miokarditis

Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%.

Faktor yang

mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.

2) Neuritis

Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan :

a. Timbul setelah masa laten

b. Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik

(14)

3) Susunan saraf

Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa : a. Paralysis palatum molle

1) Manifestasi saraf yang paling sering timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2. Kelainan ini biasanya hilang sama sekalidalam 1-2 minggu.

2) Ocular palsy biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus.

b. Paralysis diafragma

1) Dapat terjadi pada minus 5-7

2) Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.

c. Paralysis anggota gerak

1) Dapat terjadi pada minggu 6-10

2) Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian.

11. Prognosis

Nelson berpendapat kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat bergantung pada :

a. Umur penderita,karena makin mudaumur anak proknosis makin buruk. b. Perjalanan penyakit,karena makin lanjut makin buruk proknosisnya. Letak lesi difteri :

a. Keadaan umum penderita,misalnya proknosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang

b. Pengobatan,makin lambat pemberian antitoksin,proknosis akan makin buruk.

B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian

(15)

a. Pola Pemeliharaan Kesehatan

Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri menelan, anoreksia, sesak nafas b. Pola Nutrisi Metabolik

Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia c. Pola Eliminasi

Mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia

d. Pola Aktivitas atau Latihan

Mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam e. Pola Tidur atau Istirahat

Mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur f. Pola Persepsi dan Kognitif

Mengalami nyeri menelan g. Pola Konsep Diri

Kurang mengetahui mengenai penyakitnya h. Pola Hubungan-Peran

i. Pola Seksual

Organ reproduksi belum matur

j. Pola Toleransi Terhadap Stress-Koping Orang tua klien merasa cemas

k. Pola Keyakinan-Nilai

Pasien selalu mengikuti orang tuanya beribadah di gereja

2. Diagnosa keperawatan

a. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan pseudomembran pada laring dan trakea b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret dan edema

kelenjar limfe, laring dan trakea

c. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring d. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia f. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kebutuhan cairan tidak adekuat

(16)

3. Intervensi

a. DP 1. Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan pseudomembran pada laring dan trakea

Tujuan : Kriteria Hasil : Intervensi :

b. DP 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret dan edema kelenjar limfe, laring dan trakea

Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, diharapkan pola nafas pasien kembali normal

Kriteria Hasil : frekuensi pernafasan dalam batas normal, tidak ada suara nafas tambahan

Intervensi :

1) Observasi TTV

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien terutama pernafasan 2) Anjurkan kepada ibu untuk memberikan posisi nyaman atau semifowler

kepada anaknya

Rasional : peninggian kepala memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi atau mempermudah pertukaran O2 dan CO2

3) Jelaskan kepada orangtua klien mengenai proses penyakit dan penanganan Rasional : untuk mengetahui pemahaman orang tua klien

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen lembab atau inhalasi Rasional : membantu agar sesak tidak bertambah

c. DP 3. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, diharapkan nyeri teratasi Kriteria Hasil : klien tampak rileks, nyeri berkurang atau hilang

Intervensi :

1) Kaji status nyeri pada bayi (lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri) Rasional : memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang diberikan

2) Anjurkan kepada ibu untuk memberikan posisi nyaman atau semifowler Rasional : menurunkan stimulus terhadap renjatan nyeri

3) Jelaskan kepada orangtua klien mengenai proses penyakit sampai mengalami nyeri dan berikan penanganan yang tepat

(17)

Rasional :

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic

Rasional : sebagai profilaksis untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri dan spasme otot

d. DP 4. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh Tujuan : setelah dilakukan keperawatan 3x24 jam diharapakn suhu tubuh klien kembali normal

Kriteria Hasil : suhu tubuh normal (36,50C-37,00C) Intervensi :

1) Kaji suhu klien

Rasional : untuk mengetahui pola demam klien

2) Berikan kompres air hangat pada daerah dahi, axila, lipatan paha Rasional : vasodilatasi pembuluh darah akan melepaskan panas tubuh 3) Jelaskan proses penyakit kepada keluarga pasien sampai terjadinya demam

Rasional :

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antipieretik Rasional : obat antipieretik membantu klien menurunkan suhu tubuh

e. DP 5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi

Kriteria Hasil : nafsu makan klien membaik, porsi makanan yang dihidangkan habis

Intervensi :

1) Kaji pola makan klien

Rasional : menganalis penyebab ketidakadekuatan nutrisi

2) Anjurkan orang tua klien dalam pemberian makan porsi kecil tapi sering disertai dengan makanan lunak/lembek

3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin Rasional : meningkatkan nafsu makan

f. DP 6. Aspirasi

(18)

5. Evaluasi

Dilakukan evaluasi sejauh mana manfaat dan keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan. Apakah terpenuhi sesuai kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi masalah ahtau diganosa dan mengacu pada tujuan dan kriteria hasil.

6. Discarge planning

Jelaskan terapi yang di berikan kepada orang tua meliputi : Dosis,efek samping melakukan prosedur imunisasi jika imuniansasi belum lengkap sesuai dengan prosedur. Menekan kan pentingnya kontror ulang sesuai dengan informasikan jika terdapat tanda tanda terjadinya kekambuhan.

(19)

C. Patoflowdiagram Gangguan pola nafas Udara menyempit dan terjadi gangguan jalan nafas Pembengkakan Laring Menyebar pada pita tenggorokkan Proses inflamasi Reaksi inflamasi Menyebabkan kerusakan jaringan diseluruh tubuh terutama jantung dan syaraf Anoreksia Menyebar melalui darah Menyerang syaraf Melepaskan toksin Bakteri masuk dalam tubuh Membentuk pseudomembran

Kuman hidup dan berkembang biak pada saluran nafas bagian atas vulva, telinga, dan kulit

Mulut, tenggorokkan Menyerang tenggorokkan Obstruksi saluran nafas Menyumbat saluran pernafasan Terlepas Penyempitan saluran udara Lapisan lendir berdarah Peradangan pada syaraf Kelemahan pada lengan dan tungkai Pada lengan dan tungkai Intoleransi aktivitas Peningkatan aktivitas seluler Metabolisme meningkat Nyeri menelan

(20)

BAB III PAPARAN KASUS

Anak L usia 3 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm. Kesadaran compos mentis, observasi TTV ; suhu = 37,9oC, TD = 130/80 mmHg, nadi = 84 x/menit, RR = 25x/menit. Terdapat sesak nafas, nyeri menelan, keadaan lemah, demam ringan, anoreksia (tidak nafsu makan)

(21)

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS 1. Pengkajian

a. Pola Pemeliharaan Kesehatan

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya 1 tahun yang lalu pernah masuk rumah sakit karena peradangan tonsil”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya badannya panas tapi tidak terlalu tinggi, kadang lesu, nyeri pada saat menelan, dan nafasnya suka sesak” b. Pola Nutrisi Metabolik

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya makan sehari 3x, sudah bias memakan makanan orang dewasa seperti nasi, sayur, lauk pauk, ikan, ayam, buah dan susu, makanan kesukaannya ayam goreng, BB=18kg, PB=95cm, status gizi normal”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya tidak nafsu makan, anak saya hanya makan 1 sendok saja makanan yang disediakan rumah sakit (bubur), BB=13kg, PB=95cm, status gizi badan kurus >-35D-<-25D”

c. Pola Eliminasi

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya minum susu sehari 3 gelas, terkadang diselingi air putih kurang lebih 3 gelas. Anak saya BAK 4x sehari, air kencingnya berwarna putih bening dan tidak sakit pada saat berkemih. BAB-nya 2x sehari, warnanya kuning dempul dan agak lembek dan tidak menggunakan obat pencahar”

Keadaan semenjak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya semenjak sakit minum susu dan air putih sedikit hanya 1 gelas perhari, anak saya BAK-nya hanya 2x sehari dan sedikit dan BAB-nya hanya 1x sehari, BAB-nya agak keras”

d. Pola Aktivitas atau Latihan

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya aktivitas sehari-harinya kalau pagi hari ikut saya ke pasar dan sore sehari-harinya bermain dengan anak tetangga”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya tidak mau bermain dan hanya diam atau berbaring di tempat tidur”

(22)

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya tidur 8 jam pada malam hari, dari jam 21.00WIB-06.00WIB dan tidur siang dari jam 12.00WIB-14.00WIB, kurang lebih lama tidurnya 2 jam”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya tidur dari pukul 21.00WIB-03.00WIB karena mengeluh sesak nafas tiba-tiba”

f. Pola Persepsi dan Kognitif

Keadaan sebelum sakit : tidak menggunakan kaca mata atau alat pendengar

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya mengeluh nyeri pada saat menelan”

g. Pola Hubungan-Peran

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya biasanya mencuci tangan sendiri, bermain dengan teman-temannya”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya merasa sedih karena tidak bias main dengan teman-temannya”

h. Pola Toleransi Terhadap Stress-Koping

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya kalau ada masalah atau lagi sedih, dia selalu bercerita kepada saya”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “anak saya semenjak sakit suka rewel, nangis, namun kadang-kadang diam murung”

i. Pola Keyakinan-Nilai

Keadaan sebelum sakit : Orang tua klien mengatakan “biasanya setiap hari minggu, saya selalu membawa anak ke gereja untuk beribadah”

Keadaan sejak sakit : Orang tua klien mengatakan “semenjak sakit anak saya tidak mau ikut beribadah, hanya tinggal dirumah bersama neneknya”

(23)

2. Analisa Data

NO DATA (SUBJEKTIF dan OBJEKTIF) ETIOLOGI MASALAH

1. DS : Orang tua klien mengatakan “anak saya mengeluh sesak nafas tiba-tiba”

DO : - klien tampak tegang

- TTV;suhu=37,5oC,TD=130/80mmHg, nadi=84x/menit, pernafasan = 26x/menit

Penumpukan secret dan edema kelenjar limfe, laring, dan trakea

Pola nafas tidak efektif

2. DS : Orang tua klien mengatakan “ anak saya tidak nafsu makan, anak saya hanya makan 1 sendok saja makanan yang disediakan rumah sakit (bubur)”

DO : - turgor kulit kurang elastis - BB = 13kg, PB = 95cm

- Status gizi : badan kurus >-350-<-250

Anoreksia Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3. DS : Orang tua klien mengatakan “anak saya mengeluh nyeri pada saat menelan”

DO : - klien tampak meringis pada saat menelan - klien tampak rewel

Proses inflamasi pada tonsil dan faring

Nyeri

4. DS : Orang tua klien mengatakan “badan anak saya panas tetapi tidak terlalu tinggi”

DO : TTV ; suhu = 37,5oC, TD = 130/80 mmHg, nadi = 84x/menit, pernafasan = 26x/menit

Proses masuknya kuman dalam tubuh

Hipertermi

5. DS : Orang tua klien mengatakan “sejak sakit anak saya minum susu dan air putih hanya sedikit sehari kurang lebih 1 gelas”

DO : pasien tampak lemah, turgor kulit kurang elastic, mukosa mulut kering, membungkus annemik Kebutuhan cairan tidak adekuat Kekurangan volume cairan

(24)

2. Diagnosa Keperawatan NO. TANGGAL/

WAKTU DIAGNOSA KEPERAWATAN

PARAF/NAMA JELAS 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan

penumpukan secret dan edema kelenjar limfe, laring dan trakea

DS : Orang tua klien mengatakan “anak saya mengeluh sesak nafas tiba-tiba”

DO : - klien tampak tegang

TTV;suhu=37,5oC,TD=130/80mmHg, nadi=84x/menit, pernafasan = 26x/menit

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

DS : Orang tua klien mengatakan “ anak saya tidak nafsu makan, anak saya hanya makan 1 sendok saja makanan yang disediakan rumah sakit (bubur)”

DO : - turgor kulit kurang elastis - BB = 13kg, PB = 95cm

- Status gizi : badan kurus >-350-<-250 3. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi

pada tonsil dan faring

DS : Orang tua klien mengatakan “anak saya mengeluh nyeri pada saat menelan”

DO : - klien tampak meringis pada saat menelan klien tampak rewel

4. Hipertermi berhubungan dengan proses

masuknya kuman dalam tubuh

DS : Orang tua klien mengatakan “badan anak saya panas tetapi tidak terlalu tinggi”

DO : TTV ; suhu = 37,5oC, TD = 130/80 mmHg, nadi = 84x/menit, pernafasan = 26x/menit

(25)

kebutuhan cairan tidak adekuat

DS : Orang tua klien mengatakan “sejak sakit anak saya minum susu dan air putih hanya sedikit sehari kurang lebih 1 gelas”

DO : pasien tampak lemah, turgor kulit kurang elastic, mukosa mulut kering, membungkus annemik

3. Intervensi Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret dan edema kelenjar limfe, laring dan trakea

Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, diharapkan pola nafas pasien kembali normal

Kriteria Hasil : frekuensi pernafasan dalam batas normal, tidak ada suara nafas tambahan

Intervensi :

1) Observasi TTV

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum pasien terutama pernafasan

2) Anjurkan kepada ibu untuk memberikan posisi nyaman atau semifowler kepada anaknya

Rasional : peninggian kepala memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi atau mempermudah pertukaran O2 dan CO2

3) Jelaskan kepada orangtua klien mengenai proses penyakit dan penanganan Rasional : untuk mengetahui pemahaman orang tua klien

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen lembab atau inhalasi Rasional : membantu agar sesak tidak bertambah

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi

Kriteria Hasil : nafsu makan klien membaik, porsi makanan yang dihidangkan habis Intervensi :

1) Kaji pola makan klien

(26)

2) Anjurkan orang tua klien dalam pemberian makan porsi kecil tapi sering disertai dengan makanan lunak/lembek

3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin Rasional : meningkatkan nafsu makan

c. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3x24 jam, diharapkan nyeri teratasi Kriteria Hasil : klien tampak rileks, nyeri berkurang atau hilang

Intervensi :

1) Kaji status nyeri pada bayi (lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri)

Rasional : memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang diberikan

2) Anjurkan kepada ibu untuk memberikan posisi nyaman atau semifowler Rasional : menurunkan stimulus terhadap renjatan nyeri

3) Jelaskan kepada orangtua klien mengenai proses penyakit sampai mengalami nyeri dan berikan penanganan yang tepat

Rasional :

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic

Rasional : sebagai profilaksis untuk menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri dan spasme otot

d. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh

Tujuan : setelah dilakukan keperawatan 3x24 jam diharapakn suhu tubuh klien kembali normal

Kriteria Hasil : suhu tubuh normal (36,50C-37,00C) Intervensi :

1) Kaji suhu klien

Rasional : untuk mengetahui pola demam klien

2) Berikan kompres air hangat pada daerah dahi, axila, lipatan paha Rasional : vasodilatasi pembuluh darah akan melepaskan panas tubuh 3) Jelaskan proses penyakit kepada keluarga pasien sampai terjadinya demam

Rasional :

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antipieretik Rasional : obat antipieretik membantu klien menurunkan suhu tubuh

(27)

5. Evaluasi

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Difteri sangat rentan pada usia bayi dan anak. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya bahayanya baik anak dan desa, proses penularannya oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

B. Saran

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

1. Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000

2. Merdjani, A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

3. Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72.. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005

4. http://74.125.153.132/search?q=cache:Bmq-xfKW6OsJ:library. usu.ac.id/ download/ fk/ penysaraf-kiking2. pdf+tetanus&cd=1&hl=id&ct= clnk&gl=id . Diakses tanggal 07Juni 2009.

5. http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/05/13/1164/2/Ba haya-Tetanus-dan-Cara-Pencegahannya Diakses tanggal 09 Juni 2009

http://medicastore.com/penyakit/91/Difteri.html Diakses tanggal 11 Juni 2009

6. Brook, I., 2002. Pediatric Anaerobic Infections : Diagnosis and Management 3th edition, Marcell-Dekker, Inc. : New York, p. 531-544

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Pernafasan  Saluran pernafasan mulai dari atas secara berturut-turut :

Referensi

Dokumen terkait

SKRIPSI ANALISIS DAMPAK PELAKSANAAN COMMON EFFECTIVE ....

Ahli terapi boleh tunjukkan tingkahlaku dengan Contohnya : seorang klien takut untuk menaiki tangga. Ahli terapi boleh tunjukkan tingkahlaku dengan memulakan

Industri yang mengalami nilai total produktivitas yang negatif ketika tahun krisis adalah industri tembakau, tekstil, kulit dan barang dari kulit, kayu, karet,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Aqaid Al-Khamsina adalah Sifat- Sifat Allah Swt dan RasulNya yang berjumlah 50 yaitu 20 Sifat Wajib Allah, 20 Sifat Mustahil Allah,

2. 'enghasilan yang diper&#34;leh perusahaan dapat berasal dari  berbagai kegiatan, sebagai %&#34;nt&#34;h penjualan barang, penyeaan aset tetap dan sebagiannya. /emikian halnya

Oleh karena itu pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk merancang sistem standarisasi desa wisata Bantul dengan model sistem pengukuran kinerja balanced scorecard yang

Menurut Sedarmayanti 2000 seperti yang dikutip oleh Arniwita (2003), Standar kompetensi adalah rumusan tentang kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan dalam melaksanakan suatu