• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUSAHAAN GULA PRAJA MANGKUNEGARAN MASA K.G.P.A.A. MANGKUNEGARA VI ( ) Iwan Krishna Wardhana C ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUSAHAAN GULA PRAJA MANGKUNEGARAN MASA K.G.P.A.A. MANGKUNEGARA VI ( ) Iwan Krishna Wardhana C ABSTRACT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

58

PERUSAHAAN GULA PRAJA MANGKUNEGARAN MASA K.G.P.A.A. MANGKUNEGARA VI (1896-1916)

Iwan Krishna Wardhana C0504043 ABSTRACT

This research discusses about management of sugar firm in Mangkunegara VI era. This research proposed to know about management of sugar firm in Mangkunegara VI era and how he maked the change of this firm that owned by

Praja Mangkunegaran. This research included in historical research which used

literature and document review as its data sampling. Thus, these data critized internally and externally, integrated with literature study to result in historical facts. These facts are analyzed by descriptive qualitative analysis technique and arranged into historiography.

Research result concludes that heavy duty at beginning of ruling has made Mangkunegara VI applied retrenchment method and changed management of sugar firms called Colomadu and Tasikmadu, improved and reformed machines to increase the output, separated cash of goverment from firms owned by Praja

Mangkunegaran, and collected cash reserves to strenghthen Praja’s financial. All

efforts aimed to save country from huge debt which left by Mangkunegara V. His efforts were successful. Praja Mangkunegaran had paid its debt successfully to Netherlands et Indies goverment. Beside that, Praja Mangkunegaran has received its autonomy in financial field since 1899. This research used historical methode. Keywords: Management, Retrenchment, Autonomy

PENDAHULUAN

Perusahaan gula di Praja Mangkunegaran mulai ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853 – 1881). Hal yang melatarbelakangi Mangkunegara IV dalam membangun perusahaan gula ialah gula merupakan produk ekspor yang pada saat itu sedang naik daun dipasarkan baik di dalam negeri maupun luar negeri, tanaman tebu sudah biasa ditanam di sejumlah tempat di wilayah Surakarta termasuk Mangkunegaran. Di smaping itu, sumber pendapatan Praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah dirasa

(2)

59

tidak mencukupi.1 Dengan dibangunnya dua pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu maka pendapatan Mangkunegaran meningkat serta dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar pabrik dengan bekerja di pabrik maupun di perkebunan tebu.

Masa Mangkunegara IV merupakan masa kejayaan perekonomian Mangkunegaran khususnya di sektor perkebunan yaitu kopi dan gula yang pada saat itu sedang naik daun di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut berubah setelah meninggalnya Mangkunegara IV dan digantikan puteranya Mangkunegara V. Dengan adanya krisis ekonomi dunia (1875 – 1890) dan wabah penyakit sereh yang menyerang tanaman kopi dan tebu mengakibatkan pendapatan Praja menurun sehingga harus berhutang kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk memenuhi kebutuhan praja. Sehingga mulai masa Mangkunegara V (1881 – 1896) keuangan Praja Mangkunegaran diawasi langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam hal ini Residen Surakarta dengan dibentuk suatu Dewan Komisi yang bertugas mengawasi keuangan Praja.

Akibat krisis ekonomi dunia tahun 1880-an, terjadi proteksi terhadap gula

bit di Eropa yang mengakibatkan peredaran gula dalam negeri menjadi lebih besar

karena tidak dapat diserap dalam pasaran Eropa yang selama itu menjadi pasar utama produksi gula dari Jawa. Oleh karena penawaran lebih besar dari permintaan maka harga gula mengalami kerugian karena laba dari penjualan gula tidak seimbang dengan biaya produksi. Selain itu di Jawa juga sedang berjangkit penyakit sereh yang melanda kebun-kebun tebu, termasuk kebun-kebun tebu Mangkunegaran, baik di sekitar Colomadu maupun Tasikmadu. Akibatnya, jumlah tebu yang dihasilkan tiap hektar menurun drastis dan kualitas gula yang dihasilkan tidak baik. Peristiwa ini merupakan pukulan berat bagi kelangsungan industri gula Mangkunegaran.

Pukulan ekonomi terhadap industri gula Mangkunegaran ini membawa dampak pada perekonomian Mangkunegaran yang ketika itu telah memasuki jalur kapitalisme industri. Guncangan terhadap kaum kapitalis dunia yang ketika itu berpusat di Eropa juga berpengaruh terhadap denyut nadi ekonomi Praja

1

Wasino, Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (Yogyakarta : LKIS, 2008), hlm 47.

(3)

60

Mangkunegaran. Kerajaan kecil yang baru mulai bangkit membangun kekuatan ekonominya sendiri dengan mengikuti pola ekonomi kapitalis produksi ala Eropa ini terpaksa harus mengalami ujian yang berat.2

Perusahaan gula masa Mangkunegara VI di sini menarik untuk dikaji karena dengan kegigihannya berhasil meningkatkan perekonomian Praja Mangkunegaran khususnya di bidang produksi gula. Manajemen dan mesin-mesin pabrik diperbaiki dan diperbarui untuk meningkatkan hasil produksi gula. Mesin-mesin yang telah rusak diganti dengan mesin-mesin baru yang didatangkan dari Eropa, sehingga produksi gula meningkat dan hasil penjualan meningkat.

Perusahaan gula merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar sejak masa Mangkunegara IV dengan dibangunnya 2 pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu. Pada masa Mangkunegara IV inilah perekonomian Mangkunegaran mengalami masa kejayaannya, namun setelah digantikan puteranya Mangkunegara V perekonomian Mangkunegaran mengalami masa kemunduran dan meninggalkan banyak hutang. Tugas berat di awal pemerintahan Mangkunegara VI membuatnya melakukan politik penghematan dan meningkatkan produksi gula untuk menunjang perekonomian. Cita-cita Mangkunegara VI ingin mengembalikan masa kejayaan perusahaan gula yang pernah dialami oleh ayahnya Mangkunegara IV.

Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.3 Metode sejarah ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu : heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.

Heuristik merupakan proses pengumpulan sumber-sumber tertulis baik studi dokumen berupa arsip, surat keputusan, laporan-laporan maupun studi pustaka berupa hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan. Arsip tersebut berasal dari

2

Ibid., hlm. 55.

(4)

61

perpustakaan Reksopustaka Mangkunegaran karena sebagian arsip atau dokumen sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Adapun arsip yang digunakan antara lain : Surat Residen Surakarta kepada Asisten Residen Surakarta dan superintenden

urusan Mangkunegaran tanggal 28 Desember 1894 no. 6901/38 dalam Arsip P 1760, Surat Superintenden kepada Residen Surakarta tanggal 25 Januari 1895 no. MN 738 dalam Arsip YN 992, babad dan serat-serat mengenai Mangkunegara

VI serta dokumen lainnya.

Kritik sumber bertujuan untuk mencari otensitas atau keaslian data-data yang diperoleh melalui kritik intern dan kritik ekstern. Dalam hal ini data yang diperoleh harus diuji, baik secara intern maupun ekstern. Data yang diperoleh dari arsip Mangkunegaran, buku-buku dalam sumber lain seperti koran, majalah yang ada di Monumen Pers kemudian dikritik sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Interpretasi atau analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analitis yaitu menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah teknik analisis dengan teknik deskriptif kualitatif, yaitu mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan dan di mana peristiwa ini terjadi tetapi juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas.

Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan merangkaikan fakta-fakta menjadi kisah sejarah berdasarkan data-data yang sudah dianalisa. Di sinilah pemahaman dan interpretasi atas fakta sejarah itu ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan logis serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.

PEMBAHASAN

Wilayah Praja Mangkunegaran berdasarkan perjanjian Salatiga tahun 1757 memperoleh tanah lungguh milik pribadi Susuhunan sejumlah 4.000 cacah.4 Pada awalnya tanah lungguh milik Mangkunegaran tidak dapat diwariskan secara

4

Mohammad Dalyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, Terj. Sarwana Wiryasaputra, (Surakarta : Reksapustaka, 1977), hlm. 89.

(5)

62

temurun, baru pada tahun 1792 tanah lungguh tersebut menjadi hak turun-temurun. Mangkunegara I hingga V posisi Mangkunegara sebagai Pangeran Miji (seorang pangeran yang langsung di bawah Susuhunan), baru pada tahun 1896 saat pengangkatan Mangkunegara VI posisinya telah berubah menjadi Pangeran Merdeka terlepas dari Kraton Kasunanan Surakarta. Hal ini berhubungan dengan yang disebutkan dalam Piagam Pengangkatan sebagai kolonel dan komandan dari Legiun Mangkunegaran berada langsung di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa Mangkunegara VI (1896-1916) wilayah Mangkunegaran tidak mengalami perubahan. Wilayah Mangkunegaran pada tahun 1903 dibentuk

onderregentschap Kota Mangkunegaran, sehingga Mangkunegaran terbagi dalam

tiga Kabupaten Anom yang meliputi Mangkunegaran, Karanganyar dan Wonogiri dengan ditambah enclave Ngawen.5

Sampai dengan tahun 1930-an, wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi dua kabupaten dan enclave Ngawen. Adapun luas dari tiap-tiap wilayah kabupaten dan daerah enclave Ngawen, yaitu Kabupaten Kota Mangkunegaran seluas 888,75 km2 yang meliputi kawedanan kota Mangkunegaran, Karanganyar dan Karangpandan, dan Jumapolo. Kabupaten Wonogiri luasnya 1.922,65 km2 meliputi kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro. Selanjutnya ditambah daerah Ngawen seluas 33,74 km2 yang terletak di daerah Gunung Kidul.6

Wilayah Mangkunegaran sebagian besar terletak di daerah Wonogiri. Daerah ini merupakan daerah perbukitan kapur yang sebagian besar tanahnya tidak subur dan lahan pertaniannya pun sangat tergantung pada curah hujan. Sebagian kecil daerah ini adalah daerah yang berada di sebelah timur, antara lain Kedawung meliputi daerah Jatisrono, Ngadirojo, dan Girimarto, daerah Honggobayan meliputi Jatipura dan Jumapolo. Untuk tanah-tanah yang terletak di Sembuyan (daerah Baturetno), Ngawen, Semanu, Wiraka (daerah Tirtomoyo) dan

5 Lihat Rijksblad Van Mangkunegaran tahun 1917 No. 331.

6Th. M. Metz, Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa (terj.) (Surakarta :

(6)

63

daerah sekitarnya, merupakan tanah yang kurang subur. Daerah-daerah ini sangat cocok untuk tanaman keras atau tanaman kehutanan.7

Daerah di lereng Gunung Lawu, seperti Honggobayan merupakan daerah yang cocok untuk pertanian meskipun tanahnya berbukit-bukit. Daerah kota Mangkunegaran, yang meliputi sebagian daerah Pajang, Pedan, Haribaya (sekarang Kepuh) dan Gunung Kulon adalah pertemuan antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang sangat subur tanahnya. Di dataran ini banyak ditemukan sumber mata air yang cocok untuk perkebunan tebu.

G.R.M. Suyitno, dilahirkan di Mangkunegaran pada hari Jum’at Pon 17 Rejeb tahun Wawu 1785 Jawa atau tanggal 13 Maret 1854 M. Beliau adalah putra nomor 22 dari K.G.P.A.A. Mangkunegara IV yang dilahirkan dari ibunda Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Arya Mangkunegara IV (B.R.Aj. Dhunuk, putri Mangkunegara III). Beliau mendapatkan pendidikan di sekolah berbahasa Belanda (Europesche Lagere School) di Surakarta kemudian dipindahkan ke sekolah Pamong Siswo (Bijzondere Inlandsche School). Akhirnya, G.R.M Suyitno belajar sendiri dengan mendatangkan guru ke Purwasana sambil menjadi juru tulis ibunya. Di samping pelajaran biasa, beliau juga mempelajari kesusasteraan Jawa, adat istiadat, kebatinan dan keagamaan serta olah kanuragan sesuai tradisi pendidikan Jawa pada waktu itu. Pelajaran-pelajaran tersebut kebanyakan ditimbanya langsung dari ayahnya, S.P. Mangkunegara IV, terutama dalam manajemen modern dan keuangan.

Setelah mangkatnya Mangkunegara V pada tanggal 2 Oktober 1896 M, G.R.M Suyitno diangkat menggantikan kakaknya mengepalai keluarga dan menjadi Komandan Legiun Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI. Pengangkatannya dilakukan pada hari Sabtu Legi tanggal 15 Jumadilakir, Jimakir, Windu Sangara 1826 J atau 21 Nopember 1896 M.8

Mangkunegara VI berpandangan jauh ke depan untuk jamannya. Dalam alam feodalisme dan penjajahan asing yang serba penuh simbol-simbol kebesaran

7 Mohammad Dalyono, op. cit., hlm. 105. 8

Arsip Riwayat K.G.P.A.A. Mangkunegara VI, Membangun Kemakmuran dari Puing

(7)

64

dan kesopanan yang dianggapnya kurang praktis dan ekonomis, dengan penuh keberanian dirombaknya secara drastis dan total. Semua pengalaman semasa di Legiun Mangkunegaran dan pendidikan yang langsung diterima dari ayahnya Mangkunegara IV terutama dalam manajemen modern perusahaan gula dan keuangan Praja membentuk kepribadian Mangkunegara VI menjadi pribadi yang disiplin, ahli di bidang ekonomi, modern, ulet serta mampu menerima dan mengikuti perkembangan zaman.

Perusahaan gula di Praja Mangkunegaran mulai ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853 – 1881). Pabrik gula pertama yang dibangun adalah pabrik gula Colomadu, pada tahun 1862 pabrik gula itu sudah siap untuk dioperasikan. Pabrik gula kedua, adalah pabrik gula Tasikmadu dan diselesaikan pembangunannya tahun 1874. Setelah terjadi krisis ekonomi pada masa Mangkunegara V, maka Mangkunegara VI berusaha meningkatkan perekonomian Praja Mangkunegaran dengan melakukan pemisahan keuangan Praja dengan keuangan perusahaan gula, efisiensi atau penghematan, pembaharuan mesin-mesin pabrik, reorganisasi agraria dengan dibantu oleh seorang superintenden yang cakap dalam mengurus perusahaan gula sehingga sedikit demi sedikit perekonomian Praja Mangkunegaran mulai bangkit dan berkembang.

Dalam proses penanaman tebu diperlukan adanya sejumlah faktor pendukung, antara lain : bibit, pengolahan, pemupukan dan pemanenan atau rembang. Untuk memenuhi persediaan bibit, industri gula Mangkunegaran mengadakan penanaman sendiri di kebun bibit yang terletak pada lahan yang mudah perolehan airnya. Lahan yang digunakan untuk kebun bibit bisa berasal dari tanah persewaan maupun tanah di wilayah pabrik gula sendiri. Kebun bibit di tanah sewa sudah berlangsung sejak akhir abad XIX hingga tahun 1924. Kebun bibit hasil sewa lahan dari pabrik gula Colomadu berasal dari Ampel, suatu lahan bibit di wilayah sunan yang disewa oleh pabrik gula ini. Untuk mengangkut bibit yang jaraknya cukup jauh itu digunakan jasa kereta api. Sementara itu, kebun bibit

(8)

65

di lahan sendiri berada di sekitar pabrik gula Colomadu. Pengangkutannya menggunakan gerobag atau cikar.9

Tabel 1

Lahan sawah di Colomadu yang ditanami tebu tahun 1904 Afdeeling Lahan sawah yang ditanami tebu

Bahu Ru (4m) 1. Ngasem 286 324 2. Pucung 254 085 3. Sanggir 311 490 4. Blulukan 221 371 5. Gedongan 162 144 6. Banyuanyar 257 393 7. Klodran 315 030 Jumlah 1.806 1.723,15

Sumber : Arsip MN VI 134, Staat Gronden der Onderneming Tjolomadoe 1904, (Surakarta, Reksapustaka).

Data tentang luas lahan tebu secara kontinue di wilayah perkebunan Colomadu pada awal abad XX tidak ditemukan. Data yang dapat dikemukakan hanyalah luas lahan yang digunakan untuk keperluan tanaman tebu pada tahun 1904 sebagaimana terdapat dalam Tabel 1. Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa luas lahan yang ditanami tebu di seluruh wilayah Colomadu seluas 1.806 bahu atau 1.264,2 hektar ditambah 1.723,15 ru atau 6.892 m. Lahan tebu tersebar ke dalam tujuh kelurahan, yaitu Ngasem, Pucung, Sanggir, Blulukan, Gedhongan, Banyuanyar dan Klodran. Lahan tebu paling luas terdapat di Klodran, yakni 315

bahu dan 0,30 ru. Lahan tebu paling sedikit terdapat di Blulukan, yakni 21 bahu

dan 371 ru.

Berbeda dengan di Colomadu, bibit tebu untuk perkebunan tebu Tasikmadu terutama dipenuhi dari kebun bibit dari wilayah Tasikmadu sendiri. Semula kebun bibit hanya berlokasi di Desa Klangon dan Tasikmadu, tetapi sejak tahun 1912 terdapat tambahan kebun bibit di Triagan. Kebun bibit Triagan ini tanahnya diperoleh dengan menyewa kepada Sunan karena meskipun letaknya masih dalam areal Tasikmadu, tanah itu merupakan milik Sunan.

Sejalan dengan membaiknya kinerja manajemen industri gula Mangkunegaran, luas lahan dan produksi gula yang dihasilkan juga mengalami

9

Warsino, Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran (Yogyakarta : LKIS 2008), hlm. 79.

(9)

66

peningkatan. Lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu tidak hanya pada wilayah Mangkunegaran, tetapi juga ke wilayah Kasunanan dengan cara sewa lahan. Misalnya, pada tahun 1912 wilayah kebun tebu Triagan disewa oleh Manajemen Pabrik Gula Tasikmadu.

Peningkatan areal tanam didorong oleh membaiknya kinerja pabrik gula akibat harga gula yang kompetitif di pasaran. Selain itu, penyakit tebu mulai dapat diatasi karena pemilihan bibit varietas unggul. Besarnya permintaan bahan dasar tebu untuk digiling di pabrik gula Tasikmadu juga menjadi faktor peningkatan luas areal tanam. Untuk wilayah Tasikmadu data luas lahan ditemukan untuk tahun 1911 – 1917. Selain tebu yang ditanam sendiri, juga terdapat tebu hasil pembelian. Tabel 3 memberikan gambaran tentang luas lahan tebu Tasikmadu pada periode awal ketika industri gula kembali dikelola oleh Praja Mangkunegaran.

Tabel 2

Luas Areal dan Produksi Gula Mangkunegaran Akhir Abad XIX Tahun Luas areal (ha) Produksi gula (kuintal)

Tasikmadu Colomadu Jumlah Tasikmadu Colomadu Jumlah

1895 373 319 692 32.142 23.925 56.067

1896 355 319 647 32.185 23.987 56.172

1897 355 319 674 32.917 22.202 55.119

1898 Ttd Ttd Ttd 37.038 28.014 65.052

Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1976, Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Terj. Maryono Taroeno, (Surakarta : Reksopustaka Mangkunegaran), hlm 103.

Catatan : Ttd : Tidak tersedia data

Tabel 3

Luas Lahan Tanaman Tebu dan Banyaknya Tebu Hasil Pembelian dari Pabrik Gula Tasikmadu 1911 – 1917

Tahun

Tebu tanaman sendiri Banyak tebu pembelian (kuintal) Jumlah tebu yang digiling (kuintal) Luas areal (hektar) Hasil tebu (kuintal) Rata-rata hasil tebu/ha 1911 693 523.159 754 28.001 551.160 1912 785 874.901 1.114 84.285 959.186 1913 979 1.319.066 1.347 180.770 1.499.836 1914 966 1.309.779 1.355 205.329 1.515.108 1915 969 1.213.825 1.252 190.882 1.404.707 1916 1.040 1.386.163 1.332 256.276 1.642.439 1917 1.028 1.247.060 1.213 373.681 1.620.741

(10)

67

Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1976, Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Terj. Maryono Taroeno, (Surakarta : Reksopustaka Mangkunegaran), hlm 127.

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa luas areal tanaman tebu sendiri wilayah Tasikmadu terus mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 1911 luas lahan tebu sudah mencapai 693 hektar, padahal pada akhir abad XIX ketika masih dikelola oleh residen luas areal tertinggi hanya 373 hektar (tahun 1895). Dengan demikian, selama 16 tahun mengalami kenaikan luas lahan tebu 86%. Dari tahun 1911 sampai dengan tahun 1917 luas lahan tanaman tebu cenderung mengalami kenaikan.

Luas lahan tanaman terendah terjadi pada tahun 1911 (693 hektar) dan luas lahan tanam tertinggi untuk jangka waktu itu terjadi pada tahun 1916, yakni 1.040 hektar. Perkembangan luas lahan diikuti pula dengan peningkatan hasil tebu dalam kuintal. Pada tahun 1911 hasil tebu dari tanaman sendiri sebesar 523.159 kuintal yang ditanam dalam lahan seluas 693 hektar sehingga hasil tebu per hektar sebesar 754 kuintal. Hasil itu terus mengalami kenaikan dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1916, yaitu sebesar 1.386.163 hektar yang ditanam dalam lahan tebu seluas 1.040 hektar sehingga hasil tebu per hektar sebesar 1.332 kuintal.

Perkembangan jumlah tebu yang digiling di pabrik gula Tasikmadu juga didorong oleh kemampuan gilingnya. Pada perempat kedua abad XX, kemampuan giling pabrik gula ini meningkat pesat. Perkembangan kemampuan giling ini disebabkan oleh perbaikan teknologi dan sarana pendukung dari pabrik gula itu. Setelah berakhirnya musim giling tanggal 23 Desember 1912, pabrik gula ini mengalami pembangunan secara besar-besaran. Kecuali penempatan mesin penggiling dengan kualifikasi multiple effect, semua bagian pabrik dibongkar dan dibangun lagi. Pada bekas gedung tempat mengolah tebu menjadi gula dibuat bangunan besar dengan atap besi. Di samping atau di sebelah pabrik baru ini dibangun bangsal penumbukan yang baru beratap besi. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan pembangunan bagian-bagian lain dari pabrik itu.

Perkembangan kemampuan giling pabrik gula Tasikmadu setelah mengalami pembaruan bangunan pabrik dan instalasinya terlihat dalam tabel 3.

(11)

68

Berdasarkan tabel itu terlihat jumlah tebu yang berhasil digiling tahun 1911 hanya 551.160 kuintal tebu. Pada tahun 1913, ketika sudah ada pembaruan; jumlah tebu yang berhasil digiling sebanyak 1.499.836 kuintal. Musim giling setelah itu jumlah tebu yang digiling umumnya di atas 1.500.000 kuintal.

Tabel 4

Jumlah tebu yang digiling di Pabrik Gula Tasikmadu 1911 – 1917

Unsur Tahun 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 Tebu yang digiling (kw) 551.160 599.186 1.499.836 1.515.108 1.404.707 1.642.439 1.620.741 Hasil gula (kw) 96,06 83,92 71,16 68,26 81,37 82,83 87,64 Sumber : A.K. Pringgodigdo, Ibid, hlm 127.

Tabel 5

Kapasitas giling tiap 24 jam di Tasikmadu 1911 – 1917

Tahun Jumlah kuintal tebu

1911 5.382 1912 5.865 1913 6.657 1914 7.884 1915 7.926 1916 8.148 1917 9.719

Sumber : A.K. Pringgodigdo, Ibid. hlm.63.

Dari data tabel 5 dapat dilihat perkembangan kapasitas giling tiap 24 jam di Tasikmadu yang terus mengalami peningkatan dari tahun 1911 per hari mampu menghasilkan 5.382 kuintal tebu yang digiling dan terus mengalami perkembangan hingga tahun 1917 yang mampu menggiling hingga 9.719 kuintal, hal ini terjadi selain karena pembaruan mesin-mesin pabrik juga ditunjang oleh hasil panen tebu yang terus meningkat. Untuk mempertahankan kualitas tanaman tebu, selain dengan pemilihan bibit tebu, pembuatan lubang tanaman tebu, pengaturan air yang baik melalui dinas irigasi Mangkunegaran, juga dilakukan pemberantasan penyakit sereh. Penyakit sereh tersebut sangat diwaspadai dan secara periodik diteliti untuk dibasmi dengan bahan kimia.

(12)

69

Sejak tahun 1870-an hingga awal abad XX pekerjaan di kebun tebu dieksploitasi melalui kerja wajib tanam (cultuurdiensten). Kerja wajib tanam itu dikenakan kepada para nara karya. Proses eksploitasi sesungguhnya tidak langsung dari pabrik kepada kuli kenceng, tetapi melalui bekel. Bekel ini sesungguhnya berfungsi sebagai perantara (broker) yang menghubungkan antara petani penggarap dan pihak perusahaan gula. Sebagai imbalannya, mereka mendapat pituwas tanah jabatan sebanyak 1/5 bahu dalam penguasaan setiap nara

karya. Nara karya dalam wilayah perkebunan tebu tidak memiliki tanah tetap,

mereka hanya kuli dari seorang bekel yang harus mengerjakan wajib tanam di kebun tebu mulai dari pembibitan, pemeliharaan, sampai tebu itu dapat

dirembang. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan tanah 400 – 600 ru untuk

wilayah Tasikmadu dan 250 – 300 ru untuk wilayah Colomadu. Tanah-tanah itu dikerjakan secara bergantian dengan pabrik gula. Tanah yang demikian dikenal sebagai tanah glebagan (wissel gronden).10

Proses pergantian (glebag) antara wilayah perkebunan Colomadu dan Tasikmadu berbeda. Oleh karena tanah-tanah di lingkungan perkebunan Colomadu umumnya lebih subur jika dibandingkan dengan tanah di wilayah Tasikmadu maka proses pergantiannya lebih cepat, yakni dua kali (glebag dua), sedangkan di Tasikmadu tiga kali, glebag tiga atau moro telu. Stelsel ini menuntut cara pengerjaan lahan yang berbeda, yakni di Tasikmadu dalam satu bahu lahan tebu dikerjakan oleh tiga orang, sementara di Colomadu dikerjakan oleh dua orang.11

Pengerjaan lahan tebu dari kedua pabrik gula Mangkunegaran pada awal abad XX sudah menggunakan sistem Reynoso. Penggarapan lahan tebu biasanya sudah dimulai sejak bulan Maret. Pertama-tama berbagai got atau parit untuk pengairan digali dan kemudian dilanjutkan dengan pembuatan lubang tanaman. Untuk kepentingan penanaman, parit dibuat sepanjang 24 dm, sebelah kiri kanannya dibersihkan dalam jarak 2 dm yang disebut gombengan. Ukuran lubang

10

Satu ru persegi sama dengan 4 m2, lihat almanak Tani 1930-1931.

(13)

70

tanaman panjang 20 ru dan lebar 20 dm dengan kedalaman minimal 20 dm dengan jarak masing-masing 4 kaki.12

Pada tahun 1904, penananam tebu masih dilakukan dengan sistem kerja wajib bagi para nara karya yang menggarap sawah itu. Cara pengerjaannya dengan sistem glebagan. Tanah seluas lima bahu dibagi menjadi tiga, 2/3 untuk ditanami tebu, 2/3 ditanami padi dan sisanya sebagai gaji para bekel. Setelah muncul buruh bayaran pada perempat kedua abad XX, tanaman tebu tidak dikerjakan secara wajib, tetapi melalui buruh bayaran. Petani penggarap sawah dikenakan pajak tanah dan pajak kepala. Para pekerja perkebunan sejak itu tidak selalu berasal dari petani penggarap tanah, tetapi bisa berasal dari luar daerah Colomadu dan Tasikmadu yang bekerja secara musiman.13

Tuntutan penggunaan buruh bebas semakin mencuat sejak tahun 1911, penduduk tidak lagi dikenakan kerja wajib tanam karena pekerjaan itu akan dilakukan oleh manajemen pabrik dengan menggunakan pekerja bebas yang bisa berasal dari penduduk setempat maupun penduduk lain yang mencari pekerjaan di perkebunan tebu. Penduduk pengguna tanah glebagan bisa lebih berkonsentrasi mengerjakan lahan glebagannya untuk ditanami tanaman pangan. Jika mereka ingin terlibat dalam tanaman tebu maka mereka pun akan dibayar sesuai aturan pabrik.

Untuk mempertahankan kualitas tanaman tebu, selain dengan pemilihan bibit tebu, pembuatan lubang tanaman tebu, pengaturan air yang baik melalui dinas irigasi Mangkunegaran juga dilakukan pemberantasan penyakit dan hama tanaman tebu, terutama penyakit sereh. Penyakit ini sangat diwaspadai dan secara periodik diteliti untuk dibasmi dengan bahan kimia. Perbaikan proses penanaman tebu dan pembaruan mesin-mesin pabrik telah mendorong perkembangan produksi dari pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu.

Pada tahun 1912, jumlah produksi gula dari pabrik gula Tasikmadu mencapai 99.052 kuintal, atau meningkat dua kali lipat (50%) dibandingkan dengan rata-rata pabrik gula Tasikmadu selama dasawarsa pertama abad XX.

12 Surat Residen Surakarta tanggal 17 Juni 1909 no 8611/44T dalam Arsip YN 992,

(Surakarta : Reksopustaka).

(14)

71

Sementara itu, pabrik gula Colomadu sebesar 52.408 kuintal atau hanya meningkat 13,92% dari rata-rata produksi selama dasawarsa pertama abad XX. Salah satu penyebab produksi gula dari pabrik gula Tasikmadu meningkat dengan pesat adalah telah selesainya pembangunan gedung dan instalasi pabrik gula itu pada tahun 1912 yang mendorong peningkatan kapasitas gilingnya.14

Ketika industri gula Mangkunegaran muncul pada tahun 1861, transportasi yang digunakan penduduk adalah transportasi darat dan sungai. Transportasi darat menggunakan alat transportasi berupa kuda, cikar, bendi dan gerobag. Jalan sebagai sarana transportasi darat dibagi menjadi dua bagian, yakni jalan besar (lurung gede) dan jalan kecil (lurung kecil) serta jalan penghubung menuju jalan desa. Di beberapa bagian jalan sering melintasi sungai sehingga memerlukan jembatan. Jembatan besar disebut kareteg dan jembatan-jembatan kecil disebut

ipeng. Jalan dan jembatan itu dalam pengerjaannya menggunakan tenaga kerja

wajib tanpa dibayar.15

Memasuki abad XX, dengan sendirinya alat transportasi yang berkembang hanyalah transportasi darat, baik yang melalui jalan raya maupun rel kereta api. Keduanya berkembang menjadi jalur transportasi, baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh. Jalur-jalur itu membentang ke sana ke mari membuka isolasi desa-kota di wilayah perkebunan tebu dan di daerah-daerah lain non perkebunan tebu. Kedua jalur itu seolah-olah bersaing untuk memperebutkan penggunanya.

Jalan raya yang semula sebagian dikerjakan dengan kerja wajib memasuki abad XX diganti dengan buruh upahan. Pada awal abad XX, jalan-jalan itu masih berupa jalan yang diperkeras dengan batu sungai (macadam), tetapi setelah dasawarsa kedua abad XX mulai diaspal. Sumber keuangan pembangunan dan perawatan jalan raya berasal dari anggaran praja, sedangkan untuk jalan penghubung menuju pabrik gula, selain dengan anggaran praja juga dibiayai oleh pabrik gula.16

14 A.K. Pringgodigdo, op. cit., hlm. 62.

15Arsip MN V 187, (Surakarta : Reksopustaka)

16 Pembangunan jalan raya di wilayah Mangkunegaran dilakukan oleh Dinas Pekerjaan

Umum Praja. Rencana anggaran untuk pekerjaan ini dimuat dalam buku laporan Anggaran Mangkunegaran dan Rijksblad Mangkunegaran sejak tahun 1917.

(15)

72

Nilai ekspor utama gula sejak tahun 1870-1920 di Pulau Jawa pada umumnya terus mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 1870 nilai ekspor gula di Jawa f 32.299 dan terus mengalami peningkatan di tahun 1900 mencapai f 73.659 dan tahun 1913 mencapai f 156.609 saat manajemen perusahaan gula Mangkunegaran pengelolaannya kembali di bawah komando pimpinan Praja Mangkunegaran, yang pada waktu itu dipegang oleh Mangkunegara VI. Semua hasil produksi gula dari pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu yang diekspor dikirim melalui jalur kereta api ke Semarang atau Surabaya yang memiliki pelabuhan besar untuk mengangkut hasil produksi perkebunan di seluruh Jawa ke luar Jawa dan luar Hindia Belanda.17

Nilai ekspor ke berbagai negara tahun 1900 – 1910, negara yang menjadi tujuan ekspor antara lain negeri Barat, Eropa, Nederland, Amerika, Australia, Singapore, Asia dan Afrika. Jalur perdagangan melalui laut menuju ke negara-negara tujuan ekspor semakin mudah dijangkau sejak dibukanya jalur Terusan Suez pada tahun 1869 yang mempermudah jalur transportasi dari Hindia Belanda menuju ke negara-negara Eropa dan sebaliknya.18

Keuntungan pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu yang semakin besar digunakan untuk beberapa keperluan. Keperluan pertama adalah peningkatan modal usaha, baik untuk pengembangan pabrik gula maupun usaha lain. Keperluan kedua adalah untuk tunjangan atau gaji para bangsawan dan aparat pemerintahan Mangkunegaran serta anggota kerabat raja. Keperluan ketiga adalah untuk kepentingan rakyatnya dalam bentuk pembangunan sarana irigasi, fasilitas pendidikan, jalan raya, dan sebagainya.

Industri gula Mangkunegaran membuka peluang kerja bagi masyarakat pedesaan Mangkunegaran. Penduduk pedesaan di sekitar perkebunan tebu banyak terlibat langsung sebagai tenaga kasar dalam pengolahan lahan tebu, mulai penanaman hingga tebang atau rembang, dan pekerja di pabrik gula bagi penduduk yang berpendidikan baik. Industri gula Mangkunegaran, bersama-sama dengan perkebunan lain di wilayah Surakarta telah mendorong perkembangan

17 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta : Aditya Media), hlm. 111.

(16)

73

jaringan transportasi dan perdagangan di wilayah pedesaan Mangkunegaran. Jaringan transportasi darat berupa rel kereta api untuk keperluan pengangkutan hasil gula telah membuka isolasi desa-desa di wilayah perkebunan tebu sehingga mobilitas penduduk pedesaan menjadi lebih luas. Demikian pula perkembangan jalan raya telah membuka peluang kerja di sektor jasa transportasi berupa gerobag, pedati dan andong.19

Kehadiran industri gula Mangkunegaran dan perkebunan tebunya berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat pedesaan Mangkunegaran. Pengaruh itu terjadi pada sektor tanaman pangan, terutama padi. Perkembangan lahan tebu diikuti dengan perkembangan lahan padi dan lahan kering. Perkembangan lahan ini dapat mengantisipasi pertumbuhan penduduk yang cepat pada awal abad XX sehingga rata-rata kepemilikan lahan per rumah tangga petani di atas 0,5 hektar, perluasan lahan diikuti dengan intensifikasi lahan. Lahan sawah yang digunakan secara bergiliran dengan tanaman tebu berpengaruh terhadap produktivitas lahan padi. Peningkatan rata-rata produksi padi ini disebabkan adanya penyediaan sarana irigasi yang dibuat secara besar-besaran sejak dasawarsa kedua abad XX. Selain itu sisa pupuk berupa pupuk kandang dan pupuk kimiawi yang digunakan oleh perkebunan tebu juga memengaruhi perkembangan produksi padi di wilayah perkebunan tebu Mangkunegaran.

KESIMPULAN

Tugas berat di awal pemerintahan Mangkunegara VI setelah adanya krisis ekonomi pada masa Mangkunegara V memaksanya melakukan penghematan, ia berusaha menekan sekecil mungkin pengeluaran Praja yang dipandang kurang mendesak. Akibat tindakan penghematan itu semua hutang Mangkunegaran dapat dilunasi. Sejak tahun 1899 atas permintaannya, pabrik gula Mangkunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak Mangkunegaran. Kekuasaan

superintenden menjadi lebih kuat di dalam mengurus perusahaan-perusahaan

Mangkunegaran. Hal itu terjadi karena selain berkurangnya campur tangan

(17)

74

residen juga tindakan Mangkunegara VI pada awal abad XX yang memisahkan antara keuangan Praja dengan keuangan perusahaan. Akibatnya, pengelolaan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran dalam praktik berada di bawah seorang

superintenden.

Pemisahan yang tegas antara keuangan pabrik gula dan keuangan Praja Mangkunegaran menjadikan problem keuangan yang terjadi di lingkungan istana tidak berimbas pada kinerja industri gula. Hal ini berpengaruh terhadap kesehatan perusahaan perkebunan yang ditandai dengan semakin meningkatnya luas lahan, produksi gula dan keuntungan yang diperoleh dari proses produksi.

Upaya meningkatkan produksi gula selain dengan melakukan perubahan manajemen atau pengelolaan perusahaan gula Tasikmadu dan Colomadu juga dilakukan perbaikan serta memperbarui mesin-mesin pabrik yang didatangkan dari Eropa juga mesin pabrik dari pabrik gula Triagan. Dengan dioperasikannya mesin-mesin baru tersebut awalnya membuat kerepotan para pekerja karena tidak biasa menggiling dalam jumlah yang banyak sekaligus, dengan mudah tebu 13.000 pikul dapat digiling dalam waktu 24 jam.

Keadaan keuangan telah membaik karena perusahaan-perusahaan bekerja dengan memperoleh laba yang banyak, penghematan tetap dilakukan sehingga keadaan keuangan lebih menjamin bertambahnya kemakmuran negara. Dalam periode 1896 – 1915 telah dapat ditabung uang sebanyak f 10.025.120,21. Dengan pertimbangan residen maka diakhirilah politik penghematan karena dana cadangan telah banyak terkumpul. Sejak saat itu Mangkunegara VI dengan pelan-pelan dan sangat hati-hati melakukan perbaikan-perbaikan di bidang sosial dan ekonomi, sehingga rakyatnya mengambil keuntungan dari keadaan itu.

DAFTAR PUSTAKA

A. Arsip :

Almanak Tani 1930-1931. Surakarta : Reksopustaka. Arsip MN V No. 187. Surakarta : Reksopustaka. Arsip P 1760. Surakarta : Reksopustaka.

(18)

75

Riwayat K.G.P.A.A. Mangkunegara VI. Membangun Kemakmuran dari Puing

Keruntuhan. No. MN 1645. Surakarta : Reksopustaka.

Surat Residen Surakarta tanggal 17 Juni 1909 no. 8611/44 dalam Arsip YN 992.

Surakarta : Reksopustaka.

Staat Gronden der Onderneming Tjolomadoe 1904 dalam Arsip MN VI No. 134.

Surakarta : Reksopustaka.

B. Buku :

Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia.

Gottschalk, Louis. 1984. Mengerti Sejarah. Dalam Nugroho Notosusanto Terj. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

H.R. Soetono. 2000. Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan di Daerah

Mangkunegaran. Terj. Surakarta : Rekso Pustaka.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.

Metz, Th.M. 1939. Mangkunegaran : Analyse van een Javaansch vorstendom.

Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam, Nijgh and van

Ditmar. Terj. Surakarta : Reksopustaka.

Much. Sidik Gondhowarsito. 2002. Mangkunegara VI 1896-1916 Pembaharu

pada Zamannya. Jakarta.

Muhammad Dalyono. 1977. Hat Staatstrecht van het Mangkunegorosche Rijk.

Ketataprajaan Mangkunegaran Terj. Sarwanta Wiryosaputra. Surakarta :

Reksopustaka.

Pringgodigdo, A.K. 1938. Geschiedenis des Ondernemingen van het

Mangkunegorosche Rijk, (‘S Gravenhage : Martinus Nijhoff). Lahir Serta Timbulnya Kerajaan Mangkunegaran. Terj. Maryono Taroeno. Surakarta :

Reksopustaka.

__________, 1976. Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan Mangkunegaran Terj. Maryono Taroeno. Surakarta. Reksopustaka.

Rouffaer, G.P. 1983. Swapraja. Terj. Surakata : Reksopustaka.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia

(19)

76

R.S.S. Sidamukti. 1965. Sri Paduka K.G.P.A.A. Mangkunegara VI. Surakarta : Rekso Pustaka.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta.

1830-1920. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta : LKIS.

Referensi

Dokumen terkait

Bellatrix Lestrange engages Hermione, Luna and Ginny in a fight in the Great Hall, but after firing a Killing curse that misses Ginny by an inch, Molly Weasley takes over

ًّٚزحت ٗهع مٛندنا لدٚ ٗتح خحبثلاا خهيبعًنا ٙف مصلأا.. Asal di dalam muamalah itu adalah harus sehingga ada dalil yang menunjukkan kepada

Jadi harapan penulis semoga dalam pelaksanaannya yang terlibat bisnis Multi Level Marketing hendaklah bermuamalah sesuai dengan maqashid (tujuan) syariat Islam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dan struktur modal berpengaruh signifikan pada nilai perusahaan sedangkan pertumbuhan.. perusahaan tidak

Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu.. pengetahuan dan juga memberikan banyak bantuan untuk

# MONTHLY FIGURES RELATE 2015 AND 2016 RESPECTIVELY... 3) ALL QUANTITIES REPRESENT ACTUAL REPORTED WEIGHT, NOT ESTIMATED FROM THE NUMBER OF PACKAGES. 4) SALES HELD DURING A

Gambar di atas menunjukkan mayoritas anggota organisasi merasa bahwa penyebaran informasi kurang merata, 40% responden mempersepsikan bahwa ada perbedaan

Tujuan dari proyek akhir ini adalah merancang, membuat, dan mencoba mesin pembuat pellet pupuk dari kotoran sapi dengan sistem kerja power screw.. Manfaat