• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN SYARAT IMPEACHMENT DI DALAM UN- DANG-UNDANG DASAR 1945 DENGAN PEMIKIRAN IMAM AL-MAWARDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN SYARAT IMPEACHMENT DI DALAM UN- DANG-UNDANG DASAR 1945 DENGAN PEMIKIRAN IMAM AL-MAWARDI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN SYARAT IMPEACHMENT DI DALAM

UN-DANG-UNDANG DASAR 1945 DENGAN PEMIKIRAN IMAM

AL-MAWARDI

Catur Alfath Satriya

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak

Pasca reformasi struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan yang fundamen-tal. Lembaga Negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi lembaga tertinggi. Selain itu, lembaga kepresidenan juga mengalami perubahan salah satunya adalah impeachment. Sebelum amandemen UUD 1945 pengaturan mengenai impeachment tidak terdapat di dalam UUD 1945. Hal ini menjadikan impeachment hanya didasarkan pada keputusan politik bukan keputusan hukum. Di dalam UUD 1945 setelah amandemen syarat dan mekanisme impeachment dimasukan di dalam UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk menjunjung tinggi semangat negara hukum atau rule of

law. Dalam hal ini, penulis ingin membandingkan bagaimana syarat impeachment yang diatur di

da-lam UUD 1945 dengan pemikiran Imam Al-Mawardi sebagai tokoh pemikir politik isda-lam terkemuka.

Kata kunci: impeachment, kepala negara, perbandingan

Comparison of Terms of Impeachment in Indonesia’ Constitution 1945 and Political Thought of Imam Al-Mawardi

Abstract

After reformation, constitutional structure of Republic of Indonesia has transformed fundamentally. People consultative assembly (MPR) is no longer as the highest of state institution anymore. Further-more, impeachment as one of the feature of presidential government system is regulated in new con-stitution. Before amendment, Indonesia has no rule of impeachment. So, impeachment is only based on political decision not law decision and it is not appropriate with rule of law principle. This article describe the comparison of impeachment requirement in UUD 1945 with impeachment requirement in Imam Al-Mawardi’s thought as a political islamic scholar.

(2)

Pendahuluan

Pasca Reformasi, situasi ketatanegaraan di Indonesia mengalami perubahan yang fundamental. Salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR yang awalnya merupakan lembaga tertinggi di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara yang lain seperti DPR, MA, dan Presiden di dalam UUD 1945 setelah perubahan. Selain perubahan kedudukan MPR, perubahan yang fundamental juga terjadi dalam mekanisme pemi-lihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemipemi-lihan Presiden dan Wakil Presiden yang awalnya dipilih melalui MPR berubah menjadi Pemilihan Umum yaitu dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia. Perubahan ini menyebabkan kedudukan Presiden berubah tidak lagi menjadi mandataris MPR namun menjadi mandataris rakyat. Menurut Bagir Manan di dalam bukunya Teori dan Politik Konstitusi, secara sistematis peru-bahan UUD 1945 dapat dikategorikan menjadi1:

1. Pembaharuan Struktur UUD

2. Pembaharuan sendi-sendi bernegara 3. Pembaharuan bentuk susunan negara

4. Pembaharuan kelembagaan atau alat kelengkapan negara

5. Pembaharuan yang berkaitan dengan penduduk dan kewarganegaraan 6. Pembaharuan yang bersangkutan dengan identitas negara

Salah satu aspek yang menjadi pembahasan adalah mengenai pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak ada syarat maupun mekanisme bagaimana memberhentikan Presiden dan Wakil den ditengah masa jabatannya. Hal ini mengakibatkan dalam pemberhentian Presi-den dan Wakil PresiPresi-den yang ada hanyalah proses politik, tidak ada proses hukum di dalamnya. Pemberhentian Presiden di Indonesia terjadi dua kali yaitu ketika Presi-den Soekarno dan PresiPresi-den Abdurahman Wahid2. Proses pemberhentian kedua

Pres-1 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 19-20.

2 Soekarno diberhentikan oleh MPRS dikarenakan Pidato pertanggungjawabannya ditolak

(3)

iden tersebut dilakukan oleh MPR selaku pemberi mandat presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen.

Oleh sebab itu, ketika dilakukan amandemen UUD 1945, salah satu kese-pakatan adalah penguatan sistem presidensiil yang menjadi arahan dalam proses amandemen UUD 19453. Konsekuensi logis ketika ingin diperkuatnya Sistem

Pres-idensiil yaitu: (1) Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga merupakan kepala pemerintahan; (3) Adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment4. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa

adanya pengaturan mengenai impeachment di dalam UUD 1945 pasca amandemen merupakan pengejawantahan dari dipertegasnya sistem pemerintahan Presidensil di dalam UUD 1945 pasca amandemen.

Di dalam tulisan ini, penulis ingin membuat perbandingan bagaimana syarat-syarat dan mekanisme impeachment antara konsep islam dengan konsep yang ter-dapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pembahasan

Di dalam hukum tata negara terdapat dua konsep pemberhentian seorang Pres-iden yaitu impeachment dan forum previlegiatum.

Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, sedangkan Gus dur diberhentikan dikarenakan tidak mengindahkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lalu MPR mengeluarkan Ketetapan MPR/ No. II/MPR/2001 untuk memberhentikan Gus dur sebagai Presiden Republik Indonesia. Lihat Ham-dan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak PiHam-dana Pemberhentian Presiden Menurut UUD

1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)

3 Terdapat 5 hal yang menjadi kesepakatan Badan Pekerja MPR RI, yaitu: (1) Tidak

men-gubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; (2) Tetap mem-pertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Mempertegas sistem Presidensiil; (4) Hal-hal normatif di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dima-sukan ke dalam batang tubuh UUD 1945; (5) Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum. Selain kelima kesepakatan tersebut, Badan Pekerja juga bersepakat bahwa pembagian kekuasaan di-rumuskan dengan tegas dengan prinsip checks and balances. Lihat Naskah Komperhensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Kon-stitusi, 2010), hlm. 5

4 Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”

Kerja sama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.

(4)

Pengertian impeachment

Secara definisi, impeachment adalah proses pendakwaan yang dilakukan oleh lembaga legislatif terhadap pejabat tinggi negara.5 Sementara itu, impeachment juga

dapat diartikan sebagai suatu tindakan politik dengan hukuman berhenti dari ja-batan dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jaja-batan, bukan hukuman pidana atau pengenaan ganti kerugian perdata.6 Di dalam Black’s Law Dictionary,

impeachment diartikan sebagai “the act (by a legislature) of calling for the removal from office of a public official, accomplished by representing written charge of the official’s alleged misconduct; articles of impeachment- which can be approved by as simple majority in the house- serve as the charging instrument for the later trial in Senate.”7

Namun yang perlu ditekankan adalah bahwa impeachment merupakan proses pendakwaan yang belum tentu berakhir dengan pemakzulan atau mundurnya peja-bat tinggi negara tersebut. Hal yang ditekankan dalam impeachment adalah harus adanya alasan hukum yang mendasari proses impeachment. Jangan sampai mun-durnya seorang pejabat tinggi negara atau Presiden lebih disebabkan karena alasan yang bersifat politis ketimbang alasan hukumnya. Selain itu, adanya mekanisme

im-peachment semakin menegaskan bahwa negara tersebut merupakan negara hukum

(rechtstaat).

Pengertian forum previlegiatum

Secara definisi, forum previlegiatum adalah konsep pemberhentian pejabat tinggi negara yang memiliki posisi strategis di pemerintahan, termasuk Presiden melalui mekanisme peradilan khusus. Dalam hal ini, Presiden yang dianggap me-langgar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan yang konvensional dari tingkat bawah. Fo-rum ini diselenggarakan dengan cepat dan singkat berbeda dengan peradilan umum

5 Reza Syawawi, “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD

1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, (Desember 2010), hlm. 72.

6 Wiwik Budi Wasito, “Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia”, (Tesis Magister Universitas Indo-nesia, Jakarta, 2009), hlm. 5.

7 Karina Amanda, “Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Mekanisme dan Pengaturan

Impeach-ment di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, 2006), hlm. 7.

(5)

sehingga prosesnya tidak mengganggu kinerja dari lembaga yang bersangkutan. Konsep seperti ini diterapkan di Perancis. Di dalam Pasal 68 Konstitusi Perancis menjelaskan bahwa Presiden dan pejabat negara dapat dituntut untuk diberhenti-kan di dalam forum pengadilan Mahkamah Agung Perancis apabila diduga telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, melakukan kejahatan kriminal dan tin-dakan tidak pantas lainnya yang menurunkan harkat dan martabat Presiden atau pejabat negara yang bersangkutan. Adanya mekanisme ini adalah bentuk dari im-plementasi konsep negara hukum. Dalam hal ini, putusan akhir berada dalam ranah hukum bukan ranah politik.8

Syarat-syarat impeachment di dalam UUD 1945

Secara garis besar, terdapat 3 kategori Presiden tidak dapat lagi menjalankan jabatan untuk sisa masa jabatannya, yaitu; (1) Mangkat dalam masa jabatannya; (2) Berhenti dalam masa jabatannya; dan (3) Tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya. Dalam hal, ini berhenti dalam masa jabatannya bisa diartikan me-ngundurkan diri atau berhenti karena diberhentikan.9

Di dalam Pasal 7A UUD 1945 dijelaskan secara garis besar bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat apabila terbukti telah melanggar hukum atau su-dah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam hal ini, pelanggaran hukum yang ditentukan yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.10

Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengkhianatan terhadap negara adalah kejahatan terhadap kea-manan negara sebagaimana yang diatur di dalam undang-undang. Menurut Wirjono Prodjodikoro di dalam Titel I Buku II KUHPidana memuat tindak pidana yang

ber-8 Reza Syawawi, “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD

1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, (Desember 2010), hlm. 73-74.

9 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 33.

10 Bunyi Pasal 7A UUD 1945, yaitu: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan

dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(6)

sifat mengganggu kedudukan negara sebagai kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional yang terdiri dari bangsa-bangsa yang merdeka dan ber-daulat. Sifat pengkhianatan yang merupakan kesamaan tindak pidana dari title I ini. Secara teori, pengkhianatan negara dibagi menjadi dua macam, yaitu pengkhianatan intern dan pengkhianatan ekstern. Pengkhianatan intern adalah pengkhianatan yang ditujukan untuk merubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Pengkhianatan ekstern ada-lah pengkhianatan yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terha-dap serangan dari luar negeri. Selain itu, kejahatan yang terkait dengan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, keinginan untuk mengganti Pancasila se-bagai dasar negara, dan kejahatan terorisme dapat dikelompokan sese-bagai kejahatan yang berkaitan dengan keamanan negara.11

Untuk kejahatan korupsi dan penyuapan, keduanya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomo 20 tahun 2001. Penyuapan terhadap penyelenggara negara atau pegawai negeri sudah dikualifikasi sebagai delik korupsi, namun tidak termasuk penyuapan yang dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980.

Untuk istilah “kejahatan berat lainnya” dan istilah “perbuatan tercela” tidak dijelaskan lebih rinci di dalam UUD 1945. Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat (3) butir c menjelaskan secara singkat bahwa yang dimak-sud dengan “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam den-gan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Menurut Friedman, yang termasuk ke dalam tindak pidana berat adalah pembunuhan berencana, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampokan, penganiayaan, pencurian tanpa diketahui, masuk dengan paksa, pencurian, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, dll. Sedangkan istilah “per-buatan tercela” di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat (3) butir d yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden walaupun hal ini masih bisa dianggap multi tafsir.12

Dalam konteks Presiden “sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden” berarti Presiden sudah tidak lagi memenuhi kriteria yang terdapat di dalam Pasal 6 UUD 1945, yaitu: (1) Presiden sudah harus seorang warga negara Indonesia sejak

11 Zoelva, Op.Cit., hlm. 54-56. 12 Zoelva, Op.Cit., hlm. 12.

(7)

kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendakn-ya sendiri; (2) tidak pernah mengkhianati negara; dan (3) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden.

Syarat-syarat pemakzulan Presiden menurut Imam Al-Mawardi

Imam Al-Mawardi di dalam bukunya, Al-Ahkam As-Sulthaniyah menjelaskan bahwa terdapat 2 kondisi yang menyebabkan bahwa seorang pemimpin dapat dipe-cat, yaitu: (1) Cacat dalam keadilannya; dan (2) Cacat tubuh. Cacat dalam keadilan-nya dalam hal ini diartikan sebagai fasik. Cacat dalam keadilankeadilan-nya dibagi menjadi dua. Pertama, akibat dari syahwat. Kedua, akibat dari syubhat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “akibat dari syahwat” berkaitan dengan tindakan-tindakan organ tubuh yang mengerjakan larangan dan kemungkaran karena menuruti syahwat dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan memutus kelangsungan kepemimpinannya. Jika sifat terse-but terjadi pada seorang pemimpin, pemimpin terseterse-but harus mengundurkan diri dan apabila dia kembali ke jalan Allah SWT (tidak fasik) hal tersebut tidak berlaku surut sehingga apabila ingin menjadi pemimpin harus ada pengangkatan baru.13

Kedua, yang dimaksud dengan “akibat dari syubhat” dalam hal ini adalah tidak sesuai dengan kebenaran. Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa syubhat menyebabkan seseorang tidak boleh diangkat sebagai pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinan-nya. Namun, sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa syubhat tidak mengha-langi seseorang untuk dijadikan pemimpin dan tidak harus mundur dari kepemi-mpinannya, sebagaimana syubhat tidak membatalkan jabatan hakim dan saksi.14

Di dalam bukunya, Imam Al-Mawardi membagi cacat pada tubuh menjadi 3 bagian, yaitu: (1) Cacat panca indera; (2) Cacat organ tubuh: (3) Cacat tindakan.

1. Cacat Panca Indera

a. Cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin Ada dua jenis cacat yang menghalangi seseorang untuk dapat diangkat

13 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, diterjemahkan oleh Fadli Bahri, cet. 6, (Bekasi: Darul Falah, 2014), hlm. 26.

(8)

menjadi pemimpin yaitu hilang ingatan dan hilang penglihatan. Hilang ingatan dibagi menjadi dua yaitu:

(a) Hilang ingatan yang mempunyai peluang untuk sembuh. Hilang in-gatan seperti ini tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan tidak mengharuskannya mundur sebagai pemimpin. Hal ini dikarenakan hilang ingatan seperti itu termasuk penyakit rin-gan yang dapat sembuh dalam waktu yang cepat.

(b) Hilang ingatan yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk sembuh. Contohnya seperti gila. Gila sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, gila terus menerus tanpa ada harapan untuk sembuh. Gila yang seperti ini menghalangi seseorang untuk dapat dijadikan pemi-mpin dan membatalkan kelangsungan kepemipemi-mpinannya. Kedua, gila yang pulih dan kembali sehat. Permasalahan seperti ini harus ditinjau secara mendalam. Apabila masa gilanya lebih lama daripa-da masa normalnya, maka ia dianggap sebagai orang yang gila terus menerus. Oleh sebab itu, ia tidak dapat diangkat menjadi pemimpin dan kepemimpinannya tidak dapat diteruskan.

Selain hilang ingatan, yaitu hilang penglihatan yang terjadi pada ses-eorang membuatnya tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan sekaligus menghentikan kepemimpinannya apabila terjadi pada seorang pemimpin. Namun, apabila gangguan penglihatannya hanya terjadi pada waktu-wak-tu tertenwaktu-wak-tu, maka hal tersebut tidak menghalangi seseorang unwaktu-wak-tuk menja-di pemimpin dan tidak menghentikan kepemimpinannya. Adapun lemah penglihatan, jika masih dapat mengenai orang per orang, maka tidak ghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin. Namun, jika tidak bisa men-genali orang per orang, maka membuatnya tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan menghentikan kepemimpinannya.15

b. Cacat yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemi-mpin

Cacat panca indera yang tidak mempengaruhi kepemimpinan ada 2,

(9)

tu:

(a) Cacat di hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau se-suatu

(b) Kehilangan alat perasa yang membedakan rasa makanan

Kedua cacat di atas dianggap tidak mempengaruhi kepemimpinan dikarenakan kedua cacat tersebut tidak mempengaruhi pola pikir dan perbuatan.16

c. Cacat yang diperdebatkan para ulama

Di kalangan ulama terdapat 2 cacat yang masih diperdebatkan apakah mempengaruhi kepemimpinan atau tidak yaitu tuli dan bisu.17

2. Cacat organ tubuh

Imam Al-Mawardi membagi cacat organ tubuh dalam 4 bagian, yaitu:18

1) Hilangnya organ tubuh yang tidak menghalangi seseorang untuk men-jadi pemimpin dan tidak menghentikan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh yang tidak mempengaruhi pola pikir, per-buatan, gerak, dan ketajaman penglihatan

2) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh yang mempengaruhi kerja seperti hil-angnya kedua tangan atau kedua kaki yang menyebabkan pemimpin tidak mampu bekerja dan bertindak cepat

3) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin namun diperdebatkan sah tidaknya kelangsungan kepemimpinannya seperti hilangnya organ tubuh yang menyebabkan seseorang hanya mampu mengerjakan sebagian pekerjaan. Contohnya yaitu kehilangan salah satu tangan atau salah satu kaki

16 Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 29. 17 Ibid.

(10)

4) Hilangnya organ tubuh yang menghentikan kelangsungan kepemi-mpinan seorang pemimpin namun diperdebatkan apakah hal tersebut menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin yaitu sep-erti kelainan fisik yang tidak mempengaruhi kerja dan gerak, sepsep-erti hidungnya jelekatau salah satu matanya rabun sehingga tidak dapat melihat dengan jelas

3. Cacat tindakan

Imam Al-Mawardi membagi cacat tindakan menjadi 2 jenis yaitu:19

1) Hajru

Dalam istilah fiqh yang dimaksud dengan Hajru adalah pembatasan gerak yang ditetapkan pada seseorang dikarenakan selama ini tindakan-tin-dakannya tidak benar. Contohnya, orang yang boros dan sering mengham-bur-hamburkan uang. Hal tersebut apabila dibiarkan akan membahayakan yang bersangkutan dan masyarakat umum. Oleh sebab itu, untuk kepent-ingan umum orang tersebut dapat dikenakan Hajru (pembatasan gerak). Namun, jika dalam waktu tertentu orang tersebut menyadari kesalahannya dan mampu mengelola keuangan dengan baik, maka Hajru dapat dicabut darinya. Sebaliknya, Jika orang tersebut tidak mengakui kesalahannya, maka

Hajru tidak dapat dicabut dari orang tersebut.

2) Kalah

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kalah adalah pemimpin jatuh menjadi tawanan pihak musuh yang menang dan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman musuh. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak dibenarkan untuk dijadikan pemimpin karena dalam kondisi tertawan ses-eorang tidak mampu memikirkan urusan dan permasalahan kaum muslimin. Namun, jika seseorang tertawan oleh musuh ketika sebagai pemimpin, maka seluruh ummat wajib membebaskannya karena di antara pemimpin yaitu mendapatkan pertolongan.

(11)

Penutup

Di dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan per-samaan antara syarat impeachment yang diatur di dalam UUD 1945 dengan pe-mikiran Al-Mawardi. Persamaannya yaitu bahwa sebagai pemimpin sehat jasmani dan rohani merupakan unsur utama. Pemimpin tidak boleh cacat yang membuatn-ya tidak mampu menjalankan urusan-urusan negara walaupun Imam Al-Mawardi masih mengklasifikasikan mana cacat yang dibolehkan mana yang tidak. Kedua, yaitu pemimpin tidak boleh melakukan pelanggaran. Dalam hal ini, Al-Mawardi mengklasifikasikan istilah “melakukan pelanggaran” dengan istilah “berbuat fasik” yang berarti pemimpin telah melanggar apa yang ditetapkan oleh Allah SWT sehing-ga diangsehing-gap cacat keadilannya. Di dalam UUD 1945, Presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran berat dalam hal ini pelanggaran yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun dan melakukan perbuatan yang merendah-kan harkat dan martabat Presiden. Sedangmerendah-kan, perbedaannya di dalam pemikiran Al-Mawardi diatur mengenai cacat tindakan yaitu Hajru dan Kalah sedangkan di dalam UUD 1945 tidak diatur mengenai cacat tindakan.

Referensi

Buku dan Dokumen

Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkam As-Sulthaniyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan

Negara dalam Syariat Islam. Diterjemahkan oleh Fadli Bahri. cet. 6. Bekasi:

Darul Falah. 2014.

Amanda, Karina. Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Mekanisme dan Pengaturan

Impeachment di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Repub-lik Indonesia Tahun 1945. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. 2006.

Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah stitusi” Kerja sama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Kon-rad Adenauer Stiftung, Jakarta. 2005.

Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2000.

(12)

Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Kon-stitusi 2010.

Syawawi, Reza. “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD 1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan. Jurnal

Konstitusi. Volume 7 Nomor 6 (Desember 2010).

Wasito, Wiwik Budi. “Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia.” Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2009.

Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian

Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press. 2005

Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal

Lokasi penelitian di lakukan di wilayah hukum Sektor Kecamatan Panca Lautang di bawah Polres Sidrap dengan menggunakan pendekatan Sosiologis Hukum. Penelitian

Berdasarkan analisis tentang world view pengarang dapat disimpulkan bahwa secara simbolik cerita dalam naskah drama Aa-Ii-Uu sebagaimana karya Arifin C.. Noer yang lain

Pada era globalisasi saat ini, sistem informasi manajemen berbasis tehnologi sangat dibutuhkan sebuah institusi, terkhusus dalam hal peningkatan aliran informasi,

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan neutrofil kemudian di sajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk mendapatkan gambaran jumlah neutrofil pada petani

1. Pesan dakwah tentang aqidah dalam tradisi Mappadendang di Desa Kebo Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng. Adalah keimanan kepada Allah yang ditekankan pada sifatnya yang

Faktor- faktor tersebut adalah faktor peserta didik, yaitu dengan melihat kesiapan, kesungguhan, dan keaktifan peserta didik dalam menerima dan mengikuti pelajaran serta sejauh

Menurut Muzid (2008:E-61) mengatakan bahwa penyakit pada seorang wanita yang sedang hamil merupakan penyakit yang sangat perlu diperhatikan. Karena hal ini menyangkut