• Tidak ada hasil yang ditemukan

perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi sanksi pidana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi sanksi pidana."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Perilaku kriminal atau sering disebut dengan kriminalitas adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi sanksi pidana. Kriminalitas termasuk dalam kategori kejahatan. Kejahatan sendiri diartikan sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (Bonger, 1982). George C. Vold juga menjelaskan bahwa kejahatan selalu menunjuk pada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semuanya terdapat di dalam undang-undang, termasuk kebiasaan dan adat istiadat (Susanto, 2011). Perilaku yang termasuk dalam kategori kriminalitas antara lain seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, mengganggu ketertiban umum, dan lain sebagainya seperti yang dituliskan dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Perilaku kriminal di Indonesia diberi ancaman sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum di dalam KUHP antara lain berupa hukuman pidana penjara. Hukuman pidana penjara adalah pemberian hukuman berupa kurungan penjara terhadap narapidana selama kurun waktu tertentu atau seumur hidup. Hukuman kurungan penjara pada mulanya bertujuan untuk memberikan balasan kepada Narapidana, namun berdasarkan UU No. 12 Th 1995 tentang pemasyarakatan, sebutan penjara diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Lapas), dan sebutan terpidana juga diubah menjadi Warga

(2)

lagi untuk memberikan balasan melainkan untuk membuat WBP menyadari perbuatannya dan tidak mengulanginya, serta mempersiapkan WBP kembali ke masyarakat secara lebih adaptif (Pasal 2 UU No.12 Th 1995 tentang Permasyarakatan).

Selama di dalam Lapas WBP diberikan pembinaan sebagai bentuk pelaksanaan tujuan pemasyarakatan itu sendiri, yaitu agar WBP lebih adaptif ketika kembali ke mesyarakat (Azriadi, 2011). Pembinaan pada WBP adalah perlakuan yang diberikan untuk dapat mengubah pandangan dan sikap-sikap WBP sehingga tidak lagi melakukan kejahatan di masa yang akan datang (Handayani, 2010). Pembinaan yang diberikan seharusnya mencakup rehabilitasi bagi WBP, karena pemberian rehabilitasi dianggap sebagai cara paling efektif yang dapat diberikan kepada pelaku kriminal ketika berada di dalam penjara (Bailey, 2007).

Rehabilitasi psikis atau psikologis adalah sebuah rangkaian rehabilitasi yang dilakukan oleh para ahli psikologi untuk membuat suatu program terintegrasi guna memberdayakan individu dengan kondisi cacat dan kondisi kesehatan kronis untuk mencapai pemenuhan pribadi, sosial dan interaksi yang fungsional dalam konteks sehari-hari (APA, 2014). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi psikologis pada warga binaan pemasyarakatan adalah serangkaian program terintegrasi yang diberikan oleh ahli psikologi untuk memulihkan dari gangguan fisik, psikis dan sosial yang bertujuan agar WBP dapat melaksanakan perannya kembali secara fungsional ketika kembali ke keluarga dan masyarakat.

(3)

Pada kenyataannya, tidak sedikit dari para WBP tersebut yang sudah bebas dari Lapas kemudian kembali melakukan perilaku kriminal atau menjadi seorang residivis1. Berdasarkan data yang didapatkan dari salah satu Lapas di Yogyakarta,

hingga Januari 2014 tercatat memiliki sekitar 352 WBP (termasuk narapidana dan tahanan)2. Enam puluh dua diantaranya tercatat sebagai residivis. Selama di dalam

Lapas para WBP menerima pembinaan berjenis keterampilan, olahraga dan kegiatan keagamaan. Belum ada pembinaan yang berdasar pada rehabiltasi dan mengarah ke sasaran perilaku kriminal. Menurut salah satu petugas Lapas, para WBP yang kembali menjadi residivis selalu memberikan alasan sempitnya lapangan pekerjaan setelah keluar dari Lapas3. Lapangan pekerjaan disebutkan sebagai salah satu alasan

terpenting yang dapat menghentikan perilaku kriminal (Fromader & Malott, 2010), namun ketika keterampilan yang diberikan di Lapas sebagai bentuk rehabilitasi tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan atau kesempatan yang diberikan kepada WBP setelah keluar dari lapas, maka WBP akan kembali melakukan perilaku kriminal dengan dalih tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia untuk mereka.

Berdasarkan hasil penelitian juga menyebutkan bahwa penjara bukan penentu seorang pelaku kriminal untuk tidak menjadi residivis, tetapi perlakuan (rehabilitasi) 1 Residivis adalah orang yang pernah dihukum dan mengulangi tindak kejahatan serupa; penjahat kambuhan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016).

2 Narapidana adalah pelaku kriminal yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara serta sudah diberi keputusan hukuman. Tahanan adalah pelaku kriminal yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, namun belum diberi keputusan hukuman.

(4)

yang mereka terima selama dalam penjara yang menentukan perilaku residivis mereka (Cochran, Mears, & Bales, 2012). Rehabilitasi yang diberikan sebaiknya bukan hanya mengarah pada bagaimana ketika mereka akan kembali beradaptasi dengan masyarakat, tetapi juga harus memperbaiki perilaku mereka (secara internal) (Steward & Ward, 2003). Rehabilitasi seharusnya mengubah perilaku kriminal yang sangat berkaitan erat dengan kognitif (proses berpikir) dan afektif (perasaan) para WBP. Profesi psikologi dapat terlibat pada pembentukan dan pelaksanaan rehabilitasi di Lapas, karena salah satu yang harus diubah melalui rehabilitasi adalah psikis dari WBP. Profesi psikologi dapat membantu mengetahui akar permasalahan perilaku kriminal sehingga kemudian dapat menentukan bentuk rehabilitasi yang tepat sasaran. Pada kenyataannya profesi psikologi tidak banyak dilibatkan dalam pemberian rehabilitasi pada WBP selama di dalam Lapas.

Sasaran rehabilitasi hendaknya tepat pada faktor risiko yang menjadi pendukung faktor kriminal, bukan hanya faktor eksternal, tetapi juga internal individu. Andrews dan Bonta (2007) mengungkapkan tentang criminogenic needs atau faktor risiko yang ada pada diri pelaku kriminal dan berkorelasi dengan perilaku kriminal. Para pelaku kriminal hendaknya dilihat sebagai ‘individual’ yang memiliki beragam keunikan perasaan, pikiran dan perilaku (Owen, 2007). Perilaku kriminal memiliki latar belakang criminogenic needs yang bervariasi. Hal ini seharusnya menjadi suatu pertimbangan dalam menentukan target rehabilitasi (Stewart & Ward, 2003). Rehabilitasi juga seharusnya disesuaikan dengan keunikan masing-masing criminogenic needs pada residivis, untuk itu diperlukan asesmen untuk mengetahui

(5)

criminogenic needs masing-masing residivis, sehingga rehabilitasi yang diberikan dapat tepat sasaran (Caudy, Durso, & Taxman, 2013).

Criminogenic needs adalah dinamika faktor risiko yang secara langsung berhubungan dengan perilaku kriminal yang menyebabkan atau membentuk perilaku kriminal (Farlex, 2004). Faktor-faktor pada criminogenic needs antara lain dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1. Faktor Risiko

Antisocial personality pattern Kesenangan mengikuti kata hati (impulsif), Melakukan perilaku yang meresahkan, agresifitas, kurangnya self-control, tidak mengenal kasihan dan menentang.

Procriminal attitudes Perilaku, nilai, keyakinan dan rasionalisasi untuk melakukan kejahatan, emosional kognitif yang berisi dengan kemarahan, suka menantang, melakukan tindakan yang melawan hukum

Social support for crime Berteman dengan pelaku kejahatan, mengisolasi diri dari pertemanan yang lain

Substance abuse Penggunaan NAPZA (Narkotika Alkohol Psikotropika

Zat Adiktif)

Family/marital relationship Ketidakmampuan orangtua mengontrol, kurangnya disiplin dan kurang eratnya hubungan dalam keluarga.

School/work Tingkat pencapaian pendidikan yang lemah dan

tingkat kepuasan yang rendah

Prosocial recreational activities Kurangnya keterlibatan dalam kegiatan yang dapat mengisi waktu luang seperti melakukan hobi atau olahraga.

Risk Factor Karakteristik

Non-Criminogenic, minor needs Indikator

Self-esteem Perasaan kurang berharga (harga diri rendah)

Vague feelings of personal distress Perasaan cemas, galau Major mental disorder Skizofrenia, manik-depresi

Physical health Cacat fisik, kurang nutrisi

(6)

Criminogenic needs merupakan sebutan untuk faktor risiko berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andrews dan Bonta. Pada selanjutnya peneliti akan menyebut criminogenic needs dengan faktor risiko4. Hal ini dikarenakan nama criminogenic needs pernah mendapat kritik, karena faktor-faktor yang disebutkan pada criminogenic needs bukan termasuk pada golongan needs. Needs adalah pembawaan psikologis yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan psikologis yang terus menerus, integritas dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan (well being). Manusia pada dasarnya secara natural dan aktif mencari tiga komponen yaitu kebutuhan akan otonomi (autonomy), keterikatan (relatedness), dan kompetensi (competence) (Deci & Ryan, 2000). Pemenuhan needs pada setiap orang sangat berkaitan dengan kesejahteraannya (Diener & Tay, 2011). Pemenuhan kebutuhan berasal dari kondisi internal dan eksternal individu tersebut. Faktor risiko merupakan distorsi kognitif dari kondisi pemenuhan needs, dan distorsi kognitif dari kondisi pemenuhan needs tersebut yang menghasilkan perilaku kriminal. Hal ini akan dijelaskan melalui bagan 1.

4 Pada beberapa sumber, sebutan criminogenic needs yang dikeluarkan oleh Andrews dan Bonta disebut sebagai dynamic factor atau risk/needs factor, namun ketiga hal tersebut sama esensinya (Caudy, dkk, 2013).

(7)

BASIC NEEDS Kecenderungan bawaan

yang selalu ada dan bernilai dalam setiap

aktivitas. Jika tidak dipenuhi, maka menimbulkan bahaya atau

meningkatkan risiko yang membahayakan di masa depan, seperti keterikatan,

kompetensi, otonomi

Human well being (+) Kebaikan manusia yang diperoleh dari basic needs dan terjadi karena

kondisi internal dan eksternal, seperti cinta, persahabatan, kreativitas,

keadilan, pekerjaan, kenikmatan estetika,

seksualitas. (-) Adanya hambatan internal dan eksternal yang mengakibatkan gangguan psikologis dan

sosial berfungsi secara baik

Internal conditions Faktor risiko merupakan

ditorsi dari kondisi ini (rintangan) Misalnya kemampuan, kompetensi, keyakinan,

perilaku, nilai. External conditions Faktor risiko merupakan

ditorsi dari kondisi ini (rintangan). Misalnya pendidikan,

hubungan dengan orangtua yang efektif,

dukungan sosial.

Bagan 1. A framework for needs based interventions (Steward & Ward, 2003)

Berdasarkan bagan di atas, diketahui bahwa pada dasarnya needs pada masing-masing manusia sama, hanya kadar dan besarnya berbeda. Perbedaan itu bisa dikarenakan adanya kondisi pemenuhan needs yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Kondisi pemenuhan needs itu berasal dari internal dan eksternal individu. Kondisi pemenuhan needs inilah yang menghasilkan distorsi kognitif, dan distorsi kognitif tersebut menghasilkan perilaku kriminal.

Distorsi pada kondisi pemenuhan needs merupakan kesalahan proses berpikir individu atas kondisi pemenuhan needs. Kesalahan berpikir ini bisa dikarenakan keyakinan yang salah pada dirinya. Keyakinan merupakan konstruksi yang dibentuk dari pemaknaan subjektif atas kejadian-kejadian pada diri individu. Individu melihat suatu kejadian kemudian ia maknakan secara subjektif peristiwa tersebut pada dirinya. Pemaknaan yang keliru dapat menghasilkan Negative Automatic Thought

(8)

(NAT) yaitu sebuah pemikiran yang sifatnya tidak realistis dan pesimis yang munculnya secara otomatis dan tiba-tiba. NAT tersebut kemudian menjadi keyakinan dan muncul secara otomatis. NAT berdampak pada perasaan dan perilaku seseorang, termasuk perilaku kriminal (Wilding & Milne, 2008). Misalnya saja seorang residivis yang sejak kecil melihat Ayahnya memukuli Ibunya ketika marah. Ia menangkap bahwa memukul adalah cara menyelesaikan masalah. Sehingga ketika ia beradu pendapat dengan temannya, ia melakukan pemukulan yang termasuk dalam perilaku kriminal sehingga dijerat hukuman5. Residivis memiliki distorsi kognitif dan

kesalahan berpikir untuk menjelaskan perilaku kriminalnya. Beberapa dari para pelaku kriminal cenderung menyalahkan keadaan eksternal untuk menjelaskan alasan perilaku kriminal mereka (Emmer & Lopez, 2000).

Perilaku kriminal juga erat kaitannya dengan penyimpangan nilai-nilai normatif dan moral yang dipegang oleh seseorang (Brown, Cromby, Gross, Locke, Patterson, 2010). Penanaman nilai sebaiknya sudah ditanamkan sejak kecil sehingga ketika dewasa ia tidak akan mengembangkan sikap destruktif dan brutal (Yuliantoro, 2014). Penanaman aturan, nilai dan moral akan menjadi sebuah keyakinan yang akan berdampak bagaimana seseorang berperilaku. Nilai-nilai moral yang ditanamkan pada seorang anak pertama kali oleh keluarga kemudian berkembang lewat belajar anak dari lingkungan sekitarnya, termasuk sekolah dan pergaulan (Dwiyanti, 2013). Bentuk-bentuk pola asuh orangtua, pendidikan, lingkungan sosial dan berbagai faktor

(9)

lainnya yang dapat mempengaruhi pola pikir individu. Hal tersebut dapat mempengaruhi pola berpikir yang kemudian dimaknakan dan mempengaruhi individu dalam berperilaku termasuk perilaku kriminal.

Individu menangkap faktor risiko dari seluruh pejalanan hidupnya, sejak ia lahir hingga saat ini. Individu mengobservasi kejadian dalam hidup kemudian diinterpretasi dengan cara sendiri. Interpretasi personal, membuat penjelasan, menafsirkan pengalaman berdasarkan cara pandang yang unik atas suatu peristiwa. Hal tersebut merupakan konstruksi pribadi tiap individu. Konstruksi terebut merupakan proses kognitif yang kemudian termanifestasi menjadi perilaku (Schultz, 2013). Individu belajar tentang nilai moral atau normatif yang ia pegang tentang suatu yang boleh atau tidak boleh dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Apabila nilai-nilai tersebut gagal untuk dipelajari maka bisa saja membentuk perilaku kriminal termasuk mengulangi kembali perilaku tersebut atau menjadi seorang residivis. Mengetahui pemaknaan dari WBP penting untuk terlebih dahulu diketahui sebelum menentukan bentuk rehabilitasi yang akan diberikan. Harapannya, rehabilitasi tersebut dapat mengarah tepat pada faktor risiko yang membentuk perilaku kriminal WBP sehingga WBP tidak kembali menjadi residivis.

Sebuah Penelitian di lapangan menemukan bahwa penjara tidak memberikan efek yang signifikan berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi residivis (Cochran, Mears, & Bales, 2012). Data di lapangan juga menemukan bahwa bahwa 20 persen residivis dari pengambilan data pada Lapas yang sama adalah perempuan.

(10)

yang terlibat dalam perilaku kriminal lebih kejam dan lebih banyak melakukan pelanggaran. Misalnya saja pada Lapas yang sama, data yang didapatkan peneliti menyebutkan bahwa hingga Januari 2014, jumlah Narapidana laki-laki berjumlah 260 orang dan perempuan sebanyak 51 orang. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki lebih banyak terlibat dalam kriminalitas daripada perempuan. Pada kenyataannya perempuan atau laki-laki tetap bisa menjadi residivis. Terdapat penelitian menemukan bahwa perempuan lebih memiliki kontrol impulsif dan lebih mengetahui konsekuensi dari perbuatan mereka. Mereka juga kurang rentan dalam pengaruh kelompok kenakalan remaja dan kurangnya pengawasan orangtua. Perempuan seringkali merupakan korban (Cochran, Mears, & Bales, 2012).

Pada budaya ketimuran khususnya Jawa yang memegang sistem patriarki (Wiyatmi, 2010), perempuan digambarkan sebagai seorang makhluk domestik yang tidak boleh lebih berperan daripada lelaki. Perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut. Seorang perempuan khususnya di Jawa seharusnya memiliki perasaan malu, sabar, eling, legowo (Ratnawati, 2008), sedangkan penggambaran agresivitas itu adalah miliki lelaki dan perempuan lebih digambarkan sebagai sosok yang penurut (Idrus, 2011). Pada kenyataannya, perempuan bisa menjadi seorang pelaku kriminal bahkan menjadi residivis.

Konstruksi pemaknaan subjektif juga terjadi pada perempuan berdasarkan perjalanan hidupnya. Ia juga memiliki faktor risiko yang merupakan distorsi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi selama hidupnya. Faktor risiko tersebut yang

(11)

membentuk perilaku kriminal pada dirinya Perempuan juga merupakan hasil dari konstruksi yang seharusnya bersikap lebih lembut, dan punya kontrol impulsivitas. Pada kenyataannya perempuan bisa melakukan perilaku kriminal yang tergolong kejahatan, bahkan menjadi residivis. Dari para residivis perempuan inilah, peneliti ingin,

1. Memahami life history residivis perempuan

2. Mengetahui perjalanan hidup yang menjadi faktor risiko pada residivis perempuan

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang membentuk perilaku kriminal pada residivis perempuan melalui perjalanan hidupnya

Manfaat Penelitian

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang baru sebagai sasaran rehabilitasi pada WBP di lapas dengan mengetahui fektor risiko sebagai akar perilaku kriminal.

Referensi

Dokumen terkait

orang-orang yang bekerja secara langsung dengan menggunakan komputer sebagai alat bantu, ataupun orang-orang yang tidak bekerja secara langsung menggunakan komputer, tetapi

dicapai, sedangkan dengan menggunakan metode fuzzy goal programming dapat diperoleh solusi optimal yang disesuaikan dengan keinginan pembuat keputusan, yaitu

Tindak pidana adalah hal yang menjadi pusat perhatian masyarakat dan perlu perhatian khusus, Pengertian tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak

Dalam penelitian ini sumber data sekunder diperoleh dari dokumentasi BAZIS Desa Slumbung dan LAZ Desa Bedug Kecamatan Ngadiluwih Kabupaten Kediri berupa sejarah

Kaedah pembersihan: Bagi tumpahan yang sikit, serap dengan tisu dan simpan di dalam bekas untuk pelupusan Bagi tumpahan yang banyak serap dengan bahan lengai dan simpanlah di

tidak mendapat asupan gizi yang baik. Namun ada sisi positif yang bisa dilihat dimana adanya jaminan kesehatan dan penambahan rumah sakit dan tenaga medis meskipun belum

Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama,

Seperti dalam menerapkan keterampilan variasi suara, guru belum sepenuhnya melakukan variasi suara pada saat menjelaskan materi essensial, guru belum sepenuhnya