• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pelayanan pendampingan pastoral merupakan tugas penting Gereja. Pelayanan pendampingan pastoral penting karena pelayanan ini berfokus kepada pertumbuhan iman jemaat, membangun spiritual dan relasi antar umat dengan Tuhan serta memperbaiki relasi antar sesama manusia. Pelayanan pendampingan pastoral tidak melulu berbicara mengenai kebaktian di hari minggu atau pelayanan mimbar yang bersifat satu arah, namun mencakupi pelayanan seperti perkunjungan ke rumah-rumah jemaat dan pembinaan-pembinaan yang diadakan secara rutin oleh Gereja. Setiap pelayanan pendampingan pastoral yang dilaksanakan, diharapkan dapat memberi dampak yang lebih baik bagi pertumbuhan spiritual umat, memperkuat dan memelihara keutuhan hidup serta menjaga relasi antar sesama makhluk ciptaan, khusunya relasi dengan Allah.

Ada begitu banyak Gereja yang telah berusaha melaksanakan pelayanan pendampingan pastoral bagi jemaatnya melalui berbagai jenis program pelayanan. Namun pertanyaan ialah, apakah pelayanan yang telah dilaksanakan oleh Gereja telah menjawab kebutuhan jemaat dalam segala aspek kehidupan secara holistik? Yang saya maksud dengan holistik ialah mencakup kehidupan kerohanian dan keimanan, ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup dan beberapa aspek kehidupan lainnya. Untuk menghadirkan pelayanan yang bersifat holistik, maka dibutuhkan suatu pelaksanaan pelayanan yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat pelayanan pendampingan pastoral tersebut diterapkan. Dengan kata lain, pelayanan pastoral yang kontekstual adalah salah satu jawabannya.

Salah satu buku yang disusun oleh SEAGST Institute Of Advanced Pastoral Studies bersama Panitia Studi Kasus NTT yang berjudul Studi Kasus Pastoral II Nusa Tenggara Timur yang di dalamnya diuraikan beberapa kasus yang terjadi dalam pelayanan Gereja di NTT dan telah dianalisis dan ditanggapi melalui Metode Studi Kasus dari refleksi teologi pastoral.1 Salah

satu tujuan dari buku tersebut yaitu untuk menolong para teolog dalam menghadapi kasus-kasus pastoral yang bertujuan untuk mengembangkan keahlian dalam teologi pastoral yang kontekstual. Buku ini sangat menarik karena bagaimana para penyusun buku ini menggunakan metode studi kasus sebagai jawaban untuk mengembangkan teologi pastoral yang kontekstual di

1 SEAGST Institute of Advaced Pastoral Studiesdan Panitia Studi Kasus NTT, Studi Kasus Pastoral II Nusa

Tenggara Timur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), x.

(2)

Indonesia. Melalui metode studi kasus, buku ini hadir membawa pergumulan para teolog yang sedang berhadapan dengan berbagai persoalan dan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan warga jemaat khususnya yang kehidupan warga jemaatnya masih dipengaruhi oleh tradisi-tradisi budaya lokal mereka seperti yang terjadi di NTT. Salah satu contoh menarik dari buku ini ialah ketika muncul pertanyaan sederhana seperti, “apa salahnya dengan poligami?” jika hal itu tidak masalah bagi Abraham, Yakub, Daud dan Salomo sedangkan hal ini justru bermasalah bagi orang Kristen”?2 atau kasus lainnya seperti hal-hal yang berbau doa penyembahan berhala, yang

memunculkan pertanyaan dari warga jemaat, “apakah salah bagi seorang Kristen yang mengadakan upacara adat dan dalam doanya menggunakan doa Bapa Kami?”.3 Kasus-kasus

seperti ini menjadi perhatian utama dalam penulisan buku ini. Hal ini dilakukan demi upaya mencari jalan tengah bagaimana seharusnya Gereja mengadapi berbagai kasus dan pertanyaan yang hidup dalam kehidupan masyarakat Kristen di Indonesia, khususnya warga jemaat yang masih menghidupi tradisi kebudayaan lokal.

Hal yang saya tuliskan di atas sebanding lurus dengan persoalan yang sering dihadapi oleh beberapa Gereja di Indonesia. Sangat menarik karena buku tersebut berusaha melakukan pendekatan antara Gereja dan budaya melalui jalur yang berbeda. Hal ini jugalah yang berusaha saya lihat melalui kacamata pelayanan pendampingan pastoral yang efektif dan kontekstual khususnya di Gereja Toraja. Selama ini Gereja Toraja telah berupaya melaksanakan pelayanan pendampingan bagi warga jemaatnya, namun kembali ke pertanyaan saya di awal, apakah pelayanan tersebut telah menjawab kebutuhan warga jemaat Gereja Toraja secara holistik? Menurut asumsi awal saya, pelayanan pendampingan pastoral belum menjawab sepenuhnya4 apa

yang menjadi kebutuhan warga jemaat Gereja Toraja. Mungkin asumsi awal saya terkesan begitu naif namun saya berusaha mencari jawaban melalui wawancara kepada beberapa warga jemaat Gereja Toraja yang berasal dari wilayah yang berbeda dengan ikut mempertimbangakan usia serta jabatan yang dipegang oleh warga jemaat yang menjadi partisipan dalam wawancara tersebut. Hasilnya cukup melegahkan karena keenam warga jemaat yang saya wawancarai ternyata pernah mendapat pelayanan pendampingan pastoral dari Gereja mereka. Bahkan salah satu warga jemaat mengaku bahwa pendeta mereka begitu rutin mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah warga jemaat setiap minggunya. Namun satu hal yang membuat saya terkejut ialah metode pelayanan pastoral yang diterapkan ternyata memiliki kesamaan (padahal mereka berasal

2Ibid., 97. 3Ibid., 101.

4Yang saya maksud dengan belum menjawab sepenuhnya yaitu apakah pelayanan yang telah dilaskanakan

oleh Gereja telah menjawab kebutuhan jemaat dalam aspek kehidupan secara holistik atau menyeluruh yang mencakup kehidupan kerohanian dan keimanan, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup warga jemaatnya.

(3)

dari wilayah yang berbeda). Keenam warga jemaat ini mengakui bahwa pelayanan pendampingan pastoral yang dilaksanakan oleh masing-masing Gereja mereka berupa perkunjungan pendeta, di mana pendeta hadir lalu kemudian mengajak keluarga yang sedang dikunjungi untuk beribadah. Sayangnya saya belum mendapat jawaban seberapa efektif dan bergunanya pelayanan pendampingan pastoral yang mereka terima dari Gereja (dengan model seperti di atas) dan seberapa jauh model pelayanan seperti itu memberi dampak bagi pertumbuhan iman mereka. Namun jawaban tersebut dapat kita lihat dari isi rancangan garis besar program pengembangan Gereja Toraja 2006-2011 yang menjelaskan bahwa:

Kondisi keimanan warga jemaat banyak mengalami dekadensi (kemerosotan), hal ini dapat terlihat dari perilaku warga jemaat yang banyak terseret ke dalam arus negatif globalisasi dan modernisasi…[yang] jika dianalisis lebih jauh ternyata situasi demikian dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang signifikan berkorelasi positif adalah rendahnya kualitas pembinaan mental spritual dalam pelayanan Gereja Toraja yang disebabkan oleh mutu kotbah (rendah) dari para pelayan yang tidak mampu mengubah pribadi anggota jemaat, hal ini juga sangat terkait dengan muatan kotbah yang kurang kontekstual dengan pergumulan yang tengah dihadapai anggota jemaat, sering kali pemaparan kotbah hanya melakukan teknik analisis isi (content) berdasarkan tekstual Alkitab (belum kontekstual) dengan pemahaman akademik, filosofis yang tidak langsung dapat tercerna dan dipahami oleh jemaat yang hadir dalam ibadah. Hal lain yang turut berpengaruh secara signifikan terhadap degradasi keimanan jemaat adalah kurangnnya frekuensi pelayanan spritual seperti konseling mingguan (rutin), KPI [Kebaktian Penyegaran Iman] kategorial mingguan (rutin), kelompok-kelompok sel PA [Pendalaman Alkitab]. Kegiatan kerohanian hanya dilakukan sebagai tradisi mingguan (hari minggu dan ibadah Rumah Tangga).5

Pesan yang dimuat di atas merupakan sebuah kegelisahan yang muncul dari Gereja sendiri yang menyadari bahwa selama ini beberapa pelayanan yang dilaksanakan dinilai belum mampu membawa jemaat ke arah pertumbuhan iman yang lebih baik. Yang menjadi ketakutan saya ialah bagaimana bila model pelayanan bersifat seperti ini terus dipertahankan dalam pelayanan Gereja Toraja (khususnya di daerah pedesaan), akan ke mana arah pelayanan pendampingan pastoral Gereja ke depannya?

Pelayanan pendampingan pastoral yang kontekstual pada masa sekarang ini adalah hal yang sangat penting, mengingat zaman terus berkembang dan pergumulan warga jemaat tidak melulu harus ditangani dengan model yang sama seperti yang diwariskan dari masa puluhan tahun yang lalu. Saya merasa bahwa pelayanan pendampingan pastoral Gereja khususnya Gereja Toraja sedikit membutuhkan suatu metode pelayanan yang baru. Metode yang tidak hanya

5http://sidangsinodeam.blogspot.com/2006/01/rancangan-garis-besar-program.html. Diakses pada tanggal 27

Juli 2014.

(4)

bersifat satu arah, namun suatu metode pelayanan yang dibangun berdasarkan kebutuhan dan praksis jemaat.

Dalam budaya masyarakat Toraja, ada sebuah wadah yang masih hidup dan dihidupi oleh beberapa kelompok masyarakat di kampung tertentu yang disebut Kombongan. Kombongan adalah salah satu warisan adat leluhur masyarakat Toraja yang menyerupai musyawarah, di mana ketika orang-orang berkumpul di dalam pertemuan kombongan maka akan diputuskan beberapa keputusan yang dianggap penting, adil dan bijak demi kesejahteraan banyak orang. Mengapa kombongan? Seperti pernyataan saya yang tertulis pada halaman-halaman sebelumnya bahwa pada masa sekarang ini Gereja perlu melakukan kontekstualisasi. Saya mengatakan hal ini bukan berarti Gereja Toraja belum melakukan tindakan kontekstualisasi terhadap budaya lokal. Saya justru melihat bahwa pada beberapa kasus tertentu, Gereja Toraja telah berhasil melakukan suatu upaya kontekstualisasi budaya namun dalam bidang pelayanan pastoral masih sangat kurang. Justru melalui titik inilah saya ingin berangkat, Gereja yang telah terbuka dengan kebudayaan, terus melakukan proses kontekstualisasi adalah tindakan yang tepat. Kontekstualisasi tidak melulu soal bagaimana kita membawa sesuatu yang bersifat merubah, namun kontekstualisasi juga berbicara tentang suatu sikap menghidupkan kembali apa yang memang sudah dihidupi oleh masyarakat dalam suatu kebudayaan tertentu.Kombongan adalah sesuatu yang memang sudah ada, hidup dan dihidupi oleh masyarakat Toraja. Dalam proses ini saya berusaha mencoba untuk melihat sesuatu yang memang sudah hidup dalam budaya masyarakat Toraja lalu kemudian mengembangkannya guna membangun pelayanan Gereja. Stephen B. Bevans menyebut upaya kontekstualisasi budaya ini sebagai Model Antropologis. Menurut Bevans:

“Model antropologis bersifat “antropologis” dalam dua arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos pribadi manusia.. di dalam setiap pribadi, dan setiap masyarakat serta lokasi sosial dan setiap budaya, Allah menyatakan kehadiran ilahi-Nya, dan dengan demikian teologi bukan melulu perkara menghubungkan sebuah pewartaan dari luar—betapapun sifatnya yang adi-budaya atau adi-kontekstual—dengan sebuah situasi khusus… kedua, model ini bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi. Dengan menggunakan disiplin ilmu ini, seorang praktisi model antropologis berupaya memahami secara lebih jelas jaring relasi manusia serta nilai-nilai yang membentuk kebudayaan manusia, dan dalamnya Allah hadir, menawarkan kehidupan, penyembuhan serta keutuhan.”6

Selain itu Bevans juga mengajak kita untuk7 menemukan harta karun rahmat Allah di dalam diri

Kristus, dan kehadiran Allah yang menyembuhkan dan menebus ini tersembunyi di dalam setiap kebudayaan dan setiap agama di dalam kebudayaan- kebudayaan tertentu. Dalam kombongan

6Stephen B. Bevans, Model- Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), 97-98. 7Ibid., 101

(5)

inilah saya akan mencari harta karun rahmat Allah yang tersembunyi itu. Saya memiliki keyakinan bahwa di dalam kombongan pasti terkandung suatu nilai Injil yang dapat dikembangkan. Alasan kedua, mengapa saya memilih kombongan karena kombongan memiliki nilai mistis karena menurut keyakinan mitologi masyarakat Toraja, kombongan pertama kali diadakan karena bersumber dari inisiatif atau tindakan Tuhan Sang Pencipta sendiri karena merasa kasihan kepada manusia Toraja yang tidak dapat lagi menemui Tuhan Sang Pencipta untuk meminta petunjuk hidup akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa dan hal ini ditandai dengan runtuhnya eran di langi’.8

“Sang Pencipta atau Puang Matua merasa kasihan melihat manusia sehingga Ia menjawab kebingungan manusia dengan mengatakan, “Sangbara’mo eran di langi’ ke unggaragako kombong kalua’. Iamo nasituru’I kombongan kalua’ padamo kada indeto” (hendaklah engkau mengadakan musyawarah sebagai pengganti tangga ke langit. Apa yang disepakati oleh musyawarah nilainya sama dengan sabda Puang Matua).”9

Karena adanya keyakinan bahwa setiap hal yang diputuskan dalam kombongan nilainya sama dengan sabda Puang Matua (Tuhan Sang Pencipta). Masyarakat Toraja mulai berkumpul dan mengadakan kombongan demi mencari sophia dari Tuhan sendiri. Kombongan yang diadakan terus berfokus kepada pengambilan keputusan yang mengutamakan keadilan baik secara personal, keluarga dan masyarakat secara luas. Yang mengatur jalannya suatu pertemuan ialah para tuan kepala distrik yang membawahi badan pemerintahan kampung atau desa masing-masing pemerintahan toparengge’ (pemimpin tradisional) dan tominaa (orang yang pandai berdoa menurut Aluk Todolo10). Dalam tradisi masyarakat Toraja menurut aluk todolo, toparengge’ dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas kesejahteraan jasmani dan rohani rakyatnya serta bertanggung jawab atas segala bentuk aturan untuk menyembah dewa-dewa dan mengatur aturan kemasyarakatan. Sedangkan tominaa adalah orang yang pandai berdoa dan menggunakan bahasa sastra Toraja. Mereka adalah orang-orang yang berbudi, kaya pemikiran, dan bijaksana khusunya di bidang keagamaan.

8Eran di langi’berarti: tangga ke langit. Tangga yang menghubungkan antara dunia dan langit tempat Puang

Matua (Tuhan Sang Pencipta) berada.

9Y. A. Sarira, Aluk Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen Terhadapa Rambu Solo’, (Toraja: Percetakan

Sulo Gereja Toraja, 1996),64.

10Aluk Todolo berarti: agama para leluhur atau cara hidup, aturan hidup para leluhur. Di tahun 1060-an, Aluk

Todolo diakui sebagai aliran Hindu-Bali. sebelumnya Aluk Todolo dikualifikasi sebagai “animisme” dan dengan demikian, tidak mempunyai tempat dalam negara Pancasila. Para penganutnya sering mempergunakan istilah “Alukta”, yang berarti “aluk kita” atau “agama kita”. Orang Kristen jelas tidak dapat menerima istilah tersebut, karena itu akan berarti bahwa mereka kembali menganut Aluk Todolo itu sebagai aluk mereka. Andaikata “Alukta” itu berarti “kebudayaan kita”, hal itu tidak akan menyulitkan bagi orang Toraja Kristen. Tetapi, istilah Aluk Todolo

pasti tepat dari segi sejarah dan fenomenologi agama.

(6)

Kombongan tidak hanya menetapkan aluk11 tetapi juga dapat membatalkan aluk karena tidak sesuai dengan keadilan atau tidak membawa berkat. Pada tahun 1930-an, musyawarah atau kombongan kalua’ di Baruppu’ telah membatalkan aluk membayar denda perceraian karena kematian. Karena salah satu hukum perkawinan di Tana Toraja ialah hukum membayar denda berupa materibila ada perceraian suami istri, yang harus membayar denda bila terjadi perceraian ialah yang bersalah, suami atau istri yang merusak rumah tangga. Semula di Baruppu’ perceraian karena kematian salah seorang di antara suami atau istri juga harus membayar denda dan selama ini aturan menyebutkan bahwa suamilah yang harus membayar denda kepada istrinya baik istrinya yang meninggal maupun suami tersebut yang meninggal. Ketika J. Sarungu’ menjadi kepala Distrik Panggala’ (Baruppu’) beliau membawa masalah ini ke dalam musyawarah Baruppu’ atau kombongan kalua’ karena menurut beliau tidak ada orang yang sengaja meninggal, karena itu perceraian suami istri karena kematian bukanlah perceraian yang disengaja, sehingga tidak perlu membayar denda perceraian. Hal tersebut disetujui masyarakat Baruppu’ sehingga sejak saat itu denda perceraian karena kematian ditiadakan atau dibatalkan.12

Setiap keputusan yang diambil dalam pertemuan kombongan diharapkan dapat selalu memberikan keputusan-keputusan yang mendatangkan keadilan bagi banyak pihak. Memang kasus di atas terdengar sederhana bagi beberapa orang, namun jika diteliti lebih dalam, hasil keputusan kombongan yang dilaksanakan di Baruppu’ mengenai pembatalan denda perceraian karena kematian dianggap dapat berpengaruh kepada perbaikan nilai ekonomi masyarakatnya dan juga akan mengurangi beban moral dari pihak yang akan membayar hutang denda. Ada banyak keputusan lainnya yang telah diputuskan dalam pertemuan kombongan. Namun sayangnya, wadah musyawarah masyarakat yang merupakan tradisi murni leluhur orang Toraja dan memiliki nilai mistis ini belum sempat dilirik oleh Gereja Toraja. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak saya, apakah kombongan berpotensi sebagai alternatif yang dapat dipakai oleh Gereja untuk melaksanakan pendampingan pastoral bagi warga jemaatnya?

2. Rumusan Masalah

Dalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical Perspective, William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle menyebutkan ada empat fungsi pasoral yaitu healing (menyembuhkan), sustaining(mendukung), guiding(membimbing), dan reconciling (memulihkan).13Fungsi

pertama, healing atau menyembuhkan adalah suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

11Kepercayaan atau aturan hidup. 12Y. A. Sarira, Aluk, 65.

13William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (New York: Harper &

Row Publishers,1964),32.

(7)

mengatasi kerusakan yang dialami orang dan sedang dipulihkan menuju kepada keutuhan serta membimbing orang tersebut untuk lebih maju dan dapat keluar dari kondisinya terdahulu.14

Fungsi kedua, sustaining atau mendukung berfungsi untuk menolong orang yang sedang memiliki masalah dan dapat bertahan di dalam masalahnya yang sulit.15 Fungsi ketiga, guiding

atau membimbing adalah fungsi yang dapat menolong orang ketika sedang diperhadapkan dengan masalah yang sulit, seperti ketika ia harus memilih pilihan hidupnya.16 Fungsi keempat,

reconciling atau memulihkan. Reconciliation adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan tindakan Allah di dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan seluruh umat (bnd, 2Kor 5:19) oleh karena itu yang dimaksud dengan fungsi memulihkan di sini ialah menolong orang-orang untuk membangun atau memperbarui kembali hubungannya dengan Tuhan dan dengan sesama manusia.17 Namun Howard Clinebell menambahkan satu lagi fungsi pastoral yaitu

nurturing(memelihara atau mengasuh). Clinebell menyebutkan tujuan dari memelihara adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka, di sepanjang perjalanan hidup mereka dengan segala lembah-lembah, puncak-puncak dan dataran-datarannya.18 Saya juga menggunakan konsep teori dari Aart Martin van Beek yang

kemudian menyempurnakan kelima fungsi pendampingan pastoral menjadi enam fungsi dengan menambahkan fungsi “mengutuhkan”. Aart van Beek mengatakan,“fungsi ini adalah fungsi pusat karena sekaligus merupakan tujuan utama dari pendampingan pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental, dan spiritual”19

Secara umum, kini ada enam fungsi pendampingan pastoral yang nantinya akan saya uraikan sebagai sebuah kerangka teori sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur atau meneliti, apakah kombongan juga memiliki keenam fungsi pastoral (dengan demikian kombongan dapat dinyatakan layak atau tidak layak sebagai alternatif yang lain yang dapat dipakai oleh Gereja Toraja dalam membangun pelayanan pendampingan pastoral kontekstual).

Keenam fungsi pastoral tersebut juga akan ditinjau dengan menggunakan sebuah pendekatan yang bersifat holistik. Maksudnya ialah, setiap fungsi akan ditinjau secara menyeluruh baik secara sosial, mental, fisik dan spiritual. Menurut Handi Hadiwitanto, “setiap fungsi seharusnya memiliki perspektif holistik”, contohnya healing yang berfungsi untuk membimbing orang yang sedang menderita menuju kepada keutuhan. Fungsi healing ini

14Ibid., 33. 15Ibid., 43. 16Ibid., 49-50. 17Ibid., 56.

18Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta, Jakarta:

Kanisius, BPK Gunung Mulia, 2002), 54.

19Aart Martin van Beek, Pendampingan Pastoral,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 16.

(8)

seharusnya dianalisis menggunakan perspektif holistik atau secara menyeluruh. Alfred Anggui misalnya menulis tentang pelayanan pastoral bagi kaum buruh di Indonesia, Alfred mengatakan ketika melakukan sebuah pelayanan pastoral kepada seorang buruh, fungsi ini akan memperlihatkan bahwa kaum buruh (yang tergolong berada di bawah garis kemiskinan) juga adalah orang-orang yang terluka dan membutuhkan penyembuhan. Jika ditinjau melalui perspektif holistik, mereka membutuhkan penyembuhan bukan hanya pada aspek ekonomi dan politik, namun juga sosial, spiritual fisik dan mental. Setelah melakukan proses analisis sehingga kita dapat menemukan jawaban penyelesaian penderitaan yang mereka alami.20 Jadi bagaimana

penderita tersebut benar-benar dibimbing menuju kepada keutuhan dan hidup yang lebih baik dengan ikut memperhatikandari banyak sudut.

Istilah pendampingan sendiri menurut Aart van Beek memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.21 Sedangkan istilah pastoral Pastoral berasal dari akar kata “pastor”, dalam bahasa

Latin atau dalam bahasa Yunani disebut “poimen” yang artinya “gembala”. Secara tradisional, dalam kehidupan gerejawi kita hal ini merupakan tugas “pendeta” yang harus menjadi gembala bagi jemaat atau “domba”-Nya. Pengistilaan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik (Yoh.10).22 Istilah pastor dalam

konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. Makna dari pendampingan pastoral sendiri menurut Aart van Beek,

“...merupakan sifat dari pekerjaan pendampingan itu sendiri..[yang seharusnya] bersifat pastoral. Atau dengan kata lain, pertolongan kepada orang sesama yang utuh mencakup jasmani, mental, sosial, dan rohani hendaklah bersifat pastoral..[sesuai keenam fungsi pastoral]. Sebab Allah yang adalah pencipta, bersifat merawat dan memelihara dengan baik, maka bila pastoral dihubungkan dengan istilah pendampingan, dimaksud untuk memperdalam makna pekerjaan pendampingan. Pendampingan tersebut tidak hanya memiliki aspek horizontal (dari manusia kepada manusia) akan tetapi juga mewujudkan aspek vertikal (hubungan dengan Allah).”23

Setelah melakukan analisis dan mencoba mencari tahu unsur-unsur di dalam konsep pastoral yang saya tawarkan di atas maka saya akan mulai melihat kembali kombongan. Sebagai seorang teolog Kristen, saya ingin meneliti secara langsung seberapa besarkah kemungkinan kombongan memiliki potensi sebagai alternatif yang dibutuhkan oleh Gereja Toraja dalam melaksanakan pendampingan pastoral bagi warga jemaatnya. Alasan ketiga mengapa saya begitu tertarik dengan kombongan karena keberadaan kombongan di dalam kehidupan masyarakat Toraja

20Michael Andin (Ed.),Perantau Toraja, Bersama Membangun Toraja: Pelayanan Pastoral bagi Buruh di

Indonesia (Jakarta: Penerbit PAPT, 2010), 95.

21Aart Martin van Beek, Pendampingan Pastoral, 9. 22Ibid., 10

23Aart Martin van Beek, Pendampingan Pastoral, 12.

(9)

ternyata memiliki suatu nilai mistis yang sangat bernilai harganya. Pada latar belakang saya telah menjelaskan bahwa dalam kisah mitologi masyarakat Toraja, ada suatu keyakinan bahwa kombongan mulai diadakan karena berasal dari inisatif Tuhan Sang Pencipta kepada manusia Toraja yang mulai kebingungan untuk menemukan arah kehidupan mereka yang diakibatkan kejatuhan manusia ke dalam dosa. Menurut kisah mitologinya, Tuhan Sang Pencipta sendiri yang mengungkapkan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan di dalam kombongan nilainya sama dengan sabda Puang Matua. Di sini saya melihat meskipun kombongan hanya merupakan suatu wadah musyawarah yang telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Toraja namun ia tetap memiliki sebuah nilai mistis, saya sendiri meyakini bahwa kombongan sendiri merupakan sebuah bentuk penyataan Tuhan Sang Pencipta atau Puang Matua kepada manusia Toraja yang telah berdosa. Dengan kata lain, Tuhan ingin menyapa masyarakat Toraja melalui cara yang berbeda. Tuhan tidak membiarkan manusia bergumul sendiri dalam berbagai problematika yang mereka hadapi. Ada sebuah keyakinan di dalam diri masyarakat Toraja bahwa sesungguhnya Tuhan hadir melalui kombongan untuk menolong manusia Toraja serta mengarahkan mereka untuk mengerti akan kehendak Tuhan Sang Pencipta. Namun hal yang paling menarik ialah, Tuhan Sang Pencipta atau Puang Matua sendiri menyatakan kehadiran dan kehendak-Nya bukan hanya secara individual namun juga secara komunal.

Meski awalnya kehadiran kambongan tidak memperkenalkan dirinya sebagai suatu wadah yang bersifat “pastoral”. Namun tanpa disadari keberadaannya yang telah menjadi wadah di mana masyarakat Toraja bisa berkumpul bersama membicarakan suatu masalah dan memutuskan jalan terbaik demi terciptanya kehidupan yang damai serta mengusahakan keadilan bagi banyak pihak, menurut saya hal ini bisa saja digolongkan sebagai suatu pertemuan yang bersifat pastoral karena kombongan hadir untuk menolong masyarakat Toraja. Hanya saja hal ini perlu ditinjau kembali. Apakah kombongan dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif yang dapat mendukung pelayanan pastoral Gereja Toraja. Untuk itu disinilah saya ingin melakukan sebuah penelitian, mencari jawabannya.

Oleh karena itu saya mengusulkan pertanyaan teologis yang akan membimbing saya dalam melakukan penelitian ini. Pertanyaan penelitian tersebut, sebagai berikut:

1. Bagaimana warga Gereja dan masyarakat memahami dan menjalankan budaya Kombongan?

2. Sejauh mana keenam fungsi pastoral (healing (menyembuhkan), sustaining (mendukung), guiding (membimbing), reconciling (memulihkan), nurturing

(10)

(memelihara atau mengasuh), dan holistic (mengutuhkan) dapat ditemukan dalam Kombongan ?

3. Sejauh mana Kombongan berpotensi menjadi alternatif bagi pelayanan pastoral Gereja Toraja?

3. Batasan Masalah

Penelitian Empiris dilakukan terhadap kegiatan pertemuan kombongan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Toraja memaknai dan menghidupi kegiatan kombongan tersebut. Penelitian hanya dibatasi pada usaha mencari pemahaman tentang kombongan, bagaimana kombongan dihidupi dan apa saja yang dilakukan dalam pertemuan kombongan. Menurut saya, batasan-batasan masalah yang saya maksudkan di atas dapat memberi informasi yang cukup untuk saya dapat mengerti makna penting dari kegiatan kombongan. Cara masyarakat Toraja Toraja memaknai kombongan inilah yang kemudian akan saya dialogkan dengan keenam fungsi pastoral untuk dianalisis dan mencari jawaban, apakah keenam fungsi pastoral terkandung di dalam kombongan. Asumsi awal saya, kombongan dapat dijadikan sebagai alternatif pelayanan pendampingan pastoral Gereja Toraja. Oleh karena itu pemeriksaan terhadap kombongan perlu untuk dilakukan dengan cara melakukan penelitian empiris dan difokuskan kepada mereka yang memahami makna penting dari pertemuan kombongan dalam budaya masyarakat Toraja.

4. Judul

Gereja Toraja dan “Kombongan”: Sebuah Tinjauan Empiris-Teologis Terhadap “Kombongan” di dalam Adat Masyarakat Toraja dan Peran Gereja Toraja Memfungsikannya di Tengah

Persoalan-persoalan Pastoral

5. Tujuan Penulisan

1. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan pemahaman, arti dan potensi dari kombongan dalam kaitannya dengan nilai-nilai Kristiani dan bagaimana memfungsikannya di tengah persoalan pelayanan pendampingan pastoral Gereja Toraja.

2. Tulisan bertujuan untuk memberi sumbangan pemikiran bagi Gereja Toraja melalui strategi pembangunan jemaat yang berhubungan dengan pelayanan pendampingan pastoral yang kontekstual.

6. Metode Penelitian

(11)

Metode penelitian yang akan dipakai yaitu menggunakan pendekatan lingkaran empiris (the empirical cycle) yang diperkenalkan oleh van der Ven dengan beberapa tahapan, sebagai berikut: 1. Tahap pertama, melihat dan menemukan persoalan dan tujuan penelitian yang relevan di lapangan.24 Pengamatan dan pertanyaan teologis, fenomena yang muncul dan digambarkan

dalam latar belakang masalah dilihat sampai memunculkan pertanyaan teologis.

2. Tahap kedua, melihat lebih jauh apa yang dialami oleh Gereja dan manusia berdasarkan pengamatan dan persoalan tahap pertama. Tahap ini disebut sebagai tahapan Induksi teologis.25 Perumusan masalah dengan menggunakan kerangka teoritis (Induksi).

3. Tahap ketiga, sistematisasi dan konseptualisasi hasil tahapan kedua. Di sini dilakukan proses deduksi teologis, membuat hipotesis, operasionalisasi berbagai konsep, dan penyusunan alat tes yang terukur.26 Pengartikulasian konsep dalam operasionalisasi

(Deduksi), menentukan variabel-variabel berlandaskan kerangka teoritis. Varibel-varibel inilah yang digunakan sebagai alat untuk memeriksa permasalahan.

4. Tahap keempat disebut empirical testing, di mana hipotesis akan diperiksa, seluruh data dikumpulkan dan dianalisis sesuai dengan pertanyaan penelitian.27 Analisa

Empiris,langkah yang dilakukan ketika telah melakukan penelitian dengan menggunakan variabel yang telah ditentukan pada langkah deduksi. Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu melalui wawancara mendalam kepada informan yang sudah ditentukan berdasarkan kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

5. Tahap kelima, adalah evaluasi teologis atau refleksi teologis, baik terhadap praksis maupun teori yang telah digunakan sebagai kerangka teoritis penelitian.28

7. Profil Informan

Pada bagian ini saya akan memberikan uraian singkat mengenai profil kelima belas informan yang telah saya wawancarai untuk memperoleh data terkait kegiatan pertemuan kombongan dalam kehidupan masyarakat Toraja. Perlu diingat bahwa kelima belas informan saya berasal dari latar belakang yang berbeda. Hal ini penting mengingat pada bagian sebelumnya saya telah

24Handi Hadiwitanto, “Teologi Praktis-Empiris, Pembangunan Jemaat, dan Relevansi Pemikiran Pdt. Prof.

E. Gerrit Singgih, Ph.D”, dalam Victor Hamel, dkk. (Eds.), Sang Guru dari Labuang Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 128. 25Ibid., 128 26Ibid., 128. 27Ibid., 128. 28Ibid., 128.

@UKDW

(12)

memberi penjelasan bahwa Toraja terdiri dari 32 wilayah adat dan setiap wilayah adat dipimpin oleh beberapa tokoh adat seperti tomina (imam atau orang bijaksana), toparengge (orang yang bertanggung jawab atau berkuasa dalam suatu pemerintahan di sebuah wilayah adat)’, pa’kamberan (orang yang dituakan sebagai Ayah di satu kampung atau wilayah adat), pa’kaindoran (orang yang dituakan sebagai Ibu di satu kampung atau wilayah adat), ma’dika (gelar bagi orang yang disebut sebagai puang atau tuan). Informan 13 yang adalah seorang tokoh adat (pemangku adat di wilayah adat Tikala) memberi sebuah gambaran mengenai penyebutan gelar dari beberapa wilayah adat di Toraja.29 Menurut informan 13, penyebutan pemimpin adat

di wilayah selatan dan utara memiliki perbedaan, misalnya saja di daerah selatan disebut sebagai toparengge’ dan di utara disebut sebagai ambe’ atau indo’ yang bersifat father and mother. Oleh karena itu menurut informan 13, dalamstruktur pemerintah bersifat ayah dan ibu dan mereka tidak memimpin dalam kekuatan atau dalam keangkuhan. Setiap wilayah adat membangun peraturan yang berbeda dengan wilayah adat yang lain. Meski aturan diciptakan berbeda namun setiap aturan yang diputuskan selalu diusahakan agar tidak bertentangan dengan aturan wilayah adat lainnya.

Berikut profil para informan yang telah memberikan informasi melalui proses wawancara:

 Informan 1 : Seorang pendeta Gereja Toraja yang kini selama masa emiritasi telah diangkat menjadi tokoh adat masyarakat Toraja di wilayah adat Randan Batu.

 Informan 2 : Seorang tokoh adat, wilayah adat Buntao’yang berusia 70 tahun.

 Informan 3 : Seorang tokoh adat, adat wilayah adat Buntao’ dan saat ini menjabat sebagai seorang Majelis Gereja Toraja Jemaat Ledo, Buntao’.

 Informan 4 : Seorang Pendeta dan juga sebagai dosen UKI Toraja Fakultas Teologi pengampu mata kuliah Pastoral.

 Informan 5 : Seorang Pendeta dan juga sebagai dosen UKI Toraja Fakultas Teologi pengampu mata kuliah Praktika, Pastoral dan Biblika.

 Informan 6 : Seorang tomenani dengan gelar ne’ Sando yang telah berusia 77 tahun. Perannya hampir sama dengan seorang tomina. Namun tomenani berbeda dengan tomina karena menurut informan, turunan tomenani tidak boleh digantikan oleh orang yang tidak sedarah

29Lihat pernyataan informan 13 pada lampiran II, kolom sustaining,hal. YY-AAA

(13)

daging dengannya sedangkan tomina, siapa saja pun dapat disebut tomina. Informan 6 bertempat tinggal di tongkonansampai saat ini masih memeluk kepercayaan aluk todolo.

 Informan 7 : Tokoh adat Wilayah adat Kesu’

 Informan 8 : Seorang pemangku adat, Toparengge’ wilayah adat Karopi Alo yang kini menjabat sebagai Ketua Koordinator masyarakat adat wilayah kecamatan Nanggala.

 Informan 9 : Seorang Pendeta Gereja Toraja Jemaat

 Informan 10: Seorang turunan toparengge’ yang masih berusia 35 tahun. Ayahnya adalah seorang ketua pemangku adat atau Toparengge’ wilayah adat Londa dengan gelar Sokkong Bayu (saat ini lebih banyak mewakili tugas ayahnya sebagai toparengge’)

 Informan 11: Seorang pendeta yang telah mengabdikan dirinya sebagai seorang pendeta jemaat di Gereja Toraja selama 35 tahun.

 Informan 12: Seorang pendeta yang telah mengabdikan dirinya dalam pelayanan sebagai seorang pendeta jemaat selama 19 tahun. Saat ini melayani sebagai pendeta jemaat di Gereja Toraja Jemaat Sion Makale, juga sebagai Sekertaris team Pendampingan Pastoral Pendeta Gereja Toraja dan seorang konselor.

 Informan 13: Seorang tokoh adat (pemangku adat di wilayah adat Tikala), seorang tokoh pendidik (Kepala Sekolah SD), saat ini juga menjabat sebagai seorang Majelis Gereja Toraja Jemaat Tikala dan berusia 65 tahun.

 Informan 14: Seorang Sekertaris Masyarakat Adat dalam kombongan Sang Tikalan, Anggota Pemuda Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berusia 40 tahun.

 Informan 15: Seorang pendeta yang berusia 63 tahun dan telah mengabdikan dirinya dalam pelayanan sebagai seorang pendeta jemaat selama 22 tahun. Pada saat ini informan 15 melayani di Gereja Toraja Jemaat Tantanan, Klasis Tallunglipu.

Karena Tana Toraja terdiri dari 32 wilayah adat maka saya berusaha mencari informasi dari beberapa tokoh adat yang berasal dari wilayahadat yang berbeda. Meski beberapa di antaranya adalah Pendeta yang bukan turunan toparengge’ atau ma’dika namun mereka adalah pendeta yang memahami mengenai pertemuan kombongan. Beberapa diantara informan pernah menghadiri pertemuan kombongan di wilayah adat tertentu (tempat mereka melayani).

(14)

8. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisi latar belakang permasalahan, permasalahan teologis awal yang muncul, batasan masalah, judul, tujuan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Teologi Pastoral, Teologi Pendampingan Pastoral dan Keenam FungsiPendampingan Pastoral Sebagai Konsep Teologi Praktis.

Pada bab ini saya menjelaskan teori Teologi Pastoral secara umum lalu menjelaskan Teologi Pendampingan Pastoral serta menguraikan Keenam Fungsi Pendampingan Pastoral healing ( menyembuhkan), sustaining (mendukung), guiding (membimbing), reconciling (memulihkan), nurturing (memelihara atau mengasuh), dan holistic (mengutuhkan). Yang mana teori ini akan dipakai sebagai alat untuk meneliti apakah Kombongan dapat berpotensi sebagai sebuah alternatif pelayanan pendampingan pastoral Gereja Toraja.

BAB III: Analisis Terhadap Pemahaman Kombongan dengan Keenam Fungsi Pastoral (Healing/Menyembuhkan, Sustaining/Mendukung, Guiding/Membimbing, Reconciling/Memulihkan, Nurturing/Mengasuh, Holistic/Mengutuhkan)

Pada bab ini, saya akan menguraikan hasil penelitian yang bersumber dari data yang ada di lapangan. Selanjutnya, data yang diperoleh melalui proses wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan teori keenam fungsi pastoral yang ada pada Bab II.

BAB IV : Evaluasi Teologis : Membangun Pelayanan Pendampingan Pastoral yang Kontekstual dan Holistik

Pada bab ini, saya akan melakukan evaluasi teologis terhadap hasil penelitian yang telah dianalisis pada Bab III. Pada bagian ini saya juga akan mendiskusikan hasil analisis kombongan dengan Teologi Kontekstual dalam rangka membangun pelayanan pendampingan pastoral yang kontekstual dan holistik di Gereja Toraja.

BAB V : Kesimpulan dan Saran Membangun Pelayanan Pendampingan Pastoral yang Kontekstual

Pada bab ini, saya akan memberikan kesimpulan dari isi seluruh bab dalam skripsi ini. Berdasarkan hasil Evaluasi Teologis pada Bab V maka pada bagian ini juga saya akan memberikan saran dalam membangun pelayanan pendampingan pastoral yang kontekstual.

Referensi

Dokumen terkait

Orang jahat bisa menjadi baik apabila ia dapat mengerti hukum kamma dan hukum negara yang menyatakan bahwa barang siapa yang berbuat jahat akan mendapat balasan yang sesuai

Gerakan Infaq Beras Jakarta menjadi jembatan amal sholeh dimana gerakan ini hanya untuk menjembatanin antara OTA (Orang Tua Asuh) yang ingin berdonasi atau berinfaq untuk

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menjelaskan tentang upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh Badan Pengurus Gereja Kemah Injil Indonesia Daerah Sintang di

Metode peneltian yang dipakai dalam penulisan skripsi adalah metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat empiris, yaitu mengkaji dan menguji data yang berkatian

Dari hasil penumbuhan lapisan tipis yang dilakukan secara umum terlihat bahwa pada kondisi penumbuhan yang sama, teknik HWC-VHF-PECVD memiliki laju deposisi yang lebih tinggi

Dengan perkembangan clock, yang pada awalnya menggunakan pendulum kemudian berkembang menjadi atom clock dan baru-baru ini ditemukan clock yang lebih akurat

Pengaruh perlakuan anil terhadap indeks bias dan fungsi dielektrik lapisan tipis a-SiC:H hasil deposisi target grafit memperlihatkan kecenderungan yang berbeda

Ilmu ini termasuk salah satu ilmu penting yang disusun dan dibangun dalam sejarah keilmuan Islam guna memilah dan memilih suatu informasi yang disandarkan ke Nabi ﷺ