• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Hidup dalam perekonomian terpuruk merupakan gambaran keseharian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Hidup dalam perekonomian terpuruk merupakan gambaran keseharian"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Hidup dalam perekonomian terpuruk merupakan gambaran keseharian sebagian masyarakat Yogyakarta ketika gempa terjadi. Banyak dari mereka yang kehilangan keluarga serta rumah sebagai tempat berlindung maupun sebagai tempat usaha. Semangat hidup mereka hampir hilang ketika mereka menyaksikan hancurnya rumah yang dibangun dengan jerih payah. Terlebih ketika mereka mengenang kembali keluarga yang telah meninggal akibat gempa tanggal 27 Mei 2006.

Situasi akibat bencana gempa ini semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat miskin yang pada saat sebelum gempa, kehidupan ekonomi mereka sudah cukup sulit. Ibu Paijah misalnya menuturkan bahwa bila sebelum gempa dia mendapat kentungan Rp. 50.000 dari hasil penjualan angkringannya, maka setelah gempa ia hanya mendapat Rp. 20.000 sampai Rp. 25.000. Setengah bulan setelah gempa, ia kembali berjualan. Meskipun ruang tamu ditambah bagian depan dari rumah kontrakannya hancur dan 2 kamarnya retak cukup parah, ia masih bisa mengunakan dapurnya untuk memasak.1

Ketika usaha kecil perempuan mulai bisa dijalankan sedikit demi sedikit, mereka kembali menemui kesulitan dengan naiknya harga pangan. Keuntungan

1

Saktya Rini Hastuti dan Budi Azhar, “Melongok Ekonomi Perempuan Paska Bencana Alam,” dalam Farsijana Adeney-Risakotta (ed), Perempuan dan Bencana, Pengalaman Yogyakarta, Yogyakarta, Selendang Ungu Press, 2007, hal. 189.

(2)

yang mereka dapatkan semakin sedikit dan biaya produksi semakin besar. Salah satu contohnya adalah Ibu Atin yang sehari-hari berjualan lotek di rumah. Sebelum gempa terjadi, ia menjual lotek, minuman dan gorengan setiap harinya. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan untung bersih Rp. 10.000 - Rp. 15.000. Menurutnya, untung tersebut cukup lumayan untuk menambah biaya sekolah anaknya. Suaminya sendiri adalah seorang supir bus kota dengan penghasilan yang tidak menentu. Terlebih lagi saat kenaikan BBM, bila jalur yang dilaluinya sedang sepi maka seringkali pendapatannya hari itu hanya cukup untuk membeli solar dan disetorkan kepada juragan. Kesulitan ekonomi semakin mereka rasakan setelah gempa terjadi. Menurut ibu Atin, jualan loteknya tidak laku. Ditambah lagi naiknya harga-harga bahan. Padahal dulu usahanya dapat memberi pemasukan tetap bagi keluarganya setiap hari.2

Namun, bencana alam seperti gempa bukanlah satu-satunya penyebab terpuruknya perekonomian perempuan dan usaha kecil mereka. Perempuan pelaku usaha kecil seperti penjual makanan, penjual camilan, dan pengrajin kecil pada umumnya mengalami kesulitan yang sama dalam mengembangkan usahanya seperti keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, rendahnya pendapatan, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya.

Salah satu penyebab keterbatasan akses permodalan ke bank adalah karena tidak adanya jaminan. Jaminan sulit didapatkan ketika kepemilikan aset rumah tangga secara formal tetap atas nama suami. Meskipun usaha kecil perempuan

2

(3)

telah memberi nafkah kepada keluarga, namun seringkali secara formal pengelolaannya atas nama suami.

Seorang pengusaha perempuan di desa Kembang Kerang, Lombok Timur mengatakan bahwa meski ia adalah orang yang mencari nafkah, namun kepemilikan aset rumah tangga dan aset usaha secara formal tetap atas nama suaminya. Dalam budaya Sasak hal ini dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap suami.3 Contoh lain adalah Ibu Haryati yang merintis usaha bordirnya sendiri. Setelah berkembang, suaminya mulai membantu. Dalam seluruh aktivitas produksi, ia sangat berperan dalam menentukan, mengatur dan mengontrol sementara suaminya berperan dalam pemasaran. Meski demikian, usaha tersebut didaftarkan atas nama suaminya. Ia enggan mendaftarkan usahanya atas namanya sendiri karena pikirnya itu akan tidak menghargai suaminya. Ketika mereka bercerai, mereka bersepakat bahwa 1/3 bagian diberikan kepada Haryati dan 2/3 bagian dimiliki suaminya.4

Pengalaman di atas merupakan salah satu contoh yang memperlihatkan nilai-nilai hierarkis dalam keluarga sebagai salah satu penghambat kepemilikan dan pengembangan usaha perempuan. Penghargaan dan penghormatan terhadap suami menjadi batasan kepemilikan usaha secara formal oleh perempuan. Tidak dimilikinya usaha secara formal oleh perempuan menyebabkan ia semakin terbatas dalam mengakses permodalan. Itulah sebabnya mengapa perempuan

3

Maskinuddin, “Kemiskinan dan Janji Surga Bagi Perempuan Sasak” dalam Jurnal Perempuan No.42,

Mengurai Kemiskinan, dimana Perempuan ?, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2005, hal 67.

4

Adriani S. Soemantri, “Pentingnya Pemberdayaan Ekonomi Bagi Daerah Korban Bencana”, dalam

Jurnal Perempuan No.40 : Perempuan dalam Bencana, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, 2005, hal.

(4)

pelaku usaha kecil ini umumnya tidak menjadi target pasar bank karena mereka dianggap terlalu beresiko dan tidak efektif. Mereka tidak punya jaminan untuk pinjaman modal. Dalam situasi seperti inilah para perempuan pelaku usaha kecil umumnya berhutang pada lintah darat. Hutang itu semakin menyulitkan karena bunga yang harus mereka bayar cukup besar. Kesejahteraan hidup mereka tidak meningkat tetapi justru semakin buruk.

Pemerintah sendiri tampaknya belum sungguh-sungguh menjadikan bidang Usaha Kredit Mikro yang banyak digeluti oleh kaum perempuan kecil sebagai prioritas pembangunan di beberapa daerah di Indonesia. Percepatan pembangunan dijalankan oleh pemerintah dengan mengedepankan kesiapan infrastruktur untuk menarik investasi dari luar daerah dengan asumsi bahwa ketika investasi didapat maka perekonomian daerah akan terangkat. Suatu penelitian di kabupaten Lebak dalam kerjasama antara Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan UNDP, Sofia Kartika menggambarkan bagaimana kebutuhan perempuan sebagai bagian dari pelaku ekonomi kecil tidak diperhatikan. Para perempuan pengolah ikan di daerah kecamatan Wanasalam, Desa Muara, harus melewati jalan dengan penerangan minim dan tidak banyak transportasi untuk sampai ke Jakarta menjual ikan segar. Untuk itu mereka biasanya bersama-sama menyewa truk ke Jakarta, pergi pada dini hari dan kembali pada malam hari. Perjalanan tersebut ditempuh kurang lebih selama 5 jam. Menurut Sofia, para perempuan-perempuan ini sebenarnya membutuhkan transportasi dan strategi pemasaran yang lebih menguntungkan mereka sekaligus aman. Biaya operasional untuk berdagang akan jauh lebih berkurang bila ada transportasi yang memadai ataupun pasar di kecamatan yang

(5)

lebih dekat bagi mereka untuk menjual ikan segar.5 Kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada perempuan pelaku usaha kecil seperti contoh di atas juga menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan perekonomian mereka. Jarak yang cukup jauh dengan situasi perjalanan yang kurang aman sesungguhnya membahayakan mereka. Untung yang mereka peroleh dari berjualan ikan di tempat yang jauh, berkurang karena mereka harus membayar sewa truk bersama-sama dengan teman-teman yang lain.

Dalam situasi ketidakberdayaan tersebut, pembentukan kelompok usaha bersama yang dilakoni oleh pelaku-pelaku usaha kecil merupakan suatu upaya kreatif. Di dalam kelompok, para pelaku usaha kecil ini berkumpul untuk melakukan usaha simpan pinjam yang kemudian digunakan sebagai modal usaha. Agar berjalan dengan baik, usaha simpan pinjam ini dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. Dengan usaha ini para perempuan, tidak perlu meminjam uang kepada rentenir. Pinjaman yang diperoleh dalam kelompok usaha dilunasi dalam jangka waktu tertentu dengan bunga rendah. Suatu tindakan kreatif yang mengindikasikan kerja keras dan inisiatif mereka untuk menyejahterakan hidupnya. Selain pinjaman, mereka juga berusaha belajar mengatasi masalah usahanya bersama-sama. Pembentukkan kelompok lahir dengan alasan berbeda dan dalam bentuk yang berbeda. Salah satu kelompok yang mengorganisir beberapa pelaku usaha kecil adalah Kelompok Usaha Produktif Sekar.

5

Sofia Kartika, “Pengarusutamaan Gender Versus Jawara Lebak” dalam Jurnal Perempuan No.50, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, November 2006, hal. 71-72.

(6)

Kelompok usaha yang terdapat di desa Sungapan, Argodadi, Bantul ini merupakan kelompok yang berupaya untuk mengatasi persoalan ekonomi dan usaha mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, khususnya setelah gempa melanda Yogyakarta pada tahun 2006. Keanggotaan kelompok ini didominasi oleh perempuan yang menjalani usaha kecilnya. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini melakoni berbagai usaha kecil seperti pedagang toko kelontongan, pedagang sayur, penjual makanan kecil, penjual bubur, gorengan dan sebagainya. Modal usaha adalah salah satu persoalan yang mereka hadapi. Awalnya mereka kesulitan dalam mendapatkan modal usaha yang dapat digunakan untuk menghidupkan kembali usaha mereka yang terhenti akibat gempa. Namun melalui kelompok usaha ini mereka mendapatkan pinjaman modal yang dilakukan secara bergulir. Pinjaman modal ini sangat membantu mereka. Namun meski telah mendapatkan bantuan pinjaman modal, beberapa perempuan pelaku usaha kecil mengakui bahwa mereka masih kesulitan mengembangkan usahanya. Seringkali modal mereka menipis bahkan kadangkala mereka tidak punya modal lagi untuk berjualan. Meskipun sudah memiliki modal, beberapa dari mereka tetap saja kesulitan mengembangkan usahanya. Mengapa demikian ? Apakah persoalan yang menghambat usaha mereka disebabkan karena pengaturan keuangan usaha dan pemanfaatan pinjaman modal yang kurang baik ? Apakah kurang berkembangnya usaha mereka lebih terkait dengan permasalahan pemasaran ? Bagaimanakah cara para perempuan yang tergabung dalam kelompok usaha produktif Sekar ini mengatasinya ? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang penting

(7)

dan menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam rangka memahami persoalan yang dihadapi perempuan pelaku usaha kecil ini.

Pergulatan Ekonomi Perempuan dalam II Raja-raja 4 :1-7

Berangkat dari kegelisahan dan pertanyaan mengenai persoalan perempuan pelaku usaha kecil, maka menarik untuk melihat sebuah teks yang menceritakan tentang pergulatan ekonomi perempuan dalam Alkitab yaitu kisah seorang ibu janda yang ditolong oleh Elisa dalam II Raja-raja 4 : 1-7.

Teks ini dipilih karena teks ini menggambarkan perempuan dalam situasi ekonomi yang sulit : terlilit hutang, anak-anaknya terancam dijadikan budak, tidak memiliki penghasilan bahkan tidak memiliki sesuatu apapun untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Situasi serupa juga dialami beberapa perempuan pelaku usaha kecil. Penafsiran terhadap teks ini umumnya lebih berfokus pada mujizat dan otoritas seorang nabi untuk membebaskan perempuan miskin dari persoalan ekonominya sementara tindakan yang dilakukan oleh para tokoh perempuan tampaknya luput dari perhatian penafsir. Oleh karena itu, teks ini dipilih untuk memperlihatkan wacana penafsiran alternatif dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil yang beberapa diantaranya juga mengalami situasi hidup terlilit hutang, tidak punya sawah atau kebun, atau tidak memiliki aset apapun. Analisis dilakukan untuk melihat bagaimana membaca teks ini dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil. Makna apa yang dibangun dan direfleksikan dari teks tersebut berdasarkan perspektif perempuan pelaku usaha kecil ?

(8)

Dalam II Raja-raja 4 : 1-7, Elisa menjadi tokoh utama penyelamat kehidupan seorang perempuan yang terlilit hutang. Janda tersebut menjerit kepada Elisa mengenai ketakutannya bahwa anaknya akan diambil penagih hutang dan dijadikan budak. Elisa menolongnya dengan terlebih dahulu bertanya kepadanya : Apakah yang dapat kuperbuat bagimu? Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang kaupunya di rumah ! Pertanyaan Elisa kepada si ibu ini sangat menarik oleh karena ia memulai dari apa yang dibutuhkan oleh si ibu dan apa yang dimiliki oleh si ibu. Dari kebutuhan dan dari apa yang dimiliki oleh si ibu itulah ia memberi pertolongan.

Pertolongan Elisa adalah sebuah mujizat bagi si ibu dan keluarganya. Dengan minyak dari bejana-bejana tersebut, ia dan keluarganya dapat berjualan untuk membayar hutang dan hidup dari sisa hasil jualannya. Dalam memahami cerita ini, fokus yang seringkali ditekankan dalam penafsiran adalah mujizat. Hal ini pula yang dipahami oleh Claudia V. Camp. Menurutnya cerita ini jelas sekali berfokus pada tindakan mujizat dan bukan pada hubungan antara seorang ibu dalam situasi terancam dengan seorang nabi.6 Pertolongan melalui mujizat adalah pertolongan dari Allah, melalui Elisa.7 Demikian pula penafsiran dalam New Interpreter’s Bible yang sejak awal menekankan bahwa cerita ini berfokus pada pertolongan Elisa secara ajaib kepada keluarga dari kelompok para nabi, yang kemungkinan adalah pengikutnya.8

6

Claudia V. Camp,”1&2 Kings,” dalam Carol A. Newsom dan Sharon Ringe (ed), Women’s Bible

Commentary, Louisville, John Knox Press, 1992, hal. 112-113.

7

John Gray, I & II Kings, Philadelphia , The Westminster Press, 1975, hal.491-492.

8

(9)

Menurut Richard Nelson, teks ini menunjukkan penekanan cerita pada kejaiban yang terjadi ketika minyak mengisi bejana-bejana kosong tersebut. Oleh karena perintah untuk mengumpulkan bejana langsung diikuti dengan cerita mengenai si ibu yang mengisi minyak dalam bejana tersebut. Menurutnya, cerita ini sederhana karena kebutuhan pada ayat 1 segera terjawab pada ayat 7. Permasalahan yang dipaparkan di awal kisah dapat terselesaikan di akhir cerita. 9 Sedangkan menurut Volkmar Fritz, fokus cerita ini adalah pada perhatian khusus yang diberikan oleh Elisa kepada komunitas para nabi dimana dia adalah ketuanya. Oleh karena itu, cerita ini menurutnya tidak hanya berfokus pada kekuatan mujizat tetapi juga pada keadaan buruk yang dialami pengikutnya dan bagaimana memperbaiki keadaan buruk tersebut menjadi lebih baik.10

Dari pendapat tersebut ada beberapa hal yang menarik untuk dipertanyakan lebih lanjut seperti : Apakah teks ini memang hanya berfokus pada mujizat yang dilakukan Elisa untuk mengatasi persoalan hidup perempuan miskin itu dan dengan demikian semakin menegaskan identitas kenabian Elisa ? Apakah perempuan dalam narasi ini hanya dilihat sebagai tokoh pelengkap cerita dengan kemiskinan dan situasi yang terlilit hutang ? Apakah reaksi perempuan itu terhadap masalah yang dihadapinya tidak menjadi perhatian kita sebagai penafsir ?

Cerita ini juga menurut Richard Nelson paralel dengan kisah Elia dalam I Raja-raja 17 terutama teks II Raja-raja 4 : 8-37 yang tampak sebagai variasi dari I

9

Richard Nelson, First & Second King, Lousville, John Knox Press, 1987, hal. 170.

10

(10)

Raja-raja 17 : 7-24. 11 Pandangan ini serupa dengan pandangan yang dimiliki oleh J. Robinson. Menurutnya variasi atau cerita yang paralel itu hendak menekankan Elisa sebagai penerus dari Elia.12 Sementara menurut Leah Bronner, cerita mujizat ini merupakan bentuk penegasan kembali akan status Elisa sebagai abdi Allah. Menurutnya, berbagai perempuan termasuk perempuan dalam kisah Elisa dan Elia hadir dalam cerita untuk menunjang figur laki-laki yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam otoritas politik.13 Cerita-cerita yang paralel ini dilihat oleh Burke O. Long sebagai suatu legenda nabi yang berfokus pada nabi sebagai tokoh utama, pembawa keajaiban tersebut. Oleh karena itu, ia melihat teks ini sebagai bagian yang terpisah dari teks sebelumnya. Teks ini seolah-olah menginterupsi alur kisah dari II raja-raja 3.14

Apakah ini berarti teks II Raja-raja 4 : 1-7 bertentangan dengan pasal 3 dan pasal 4 ? Apakah teks ini tidak memiliki keterkaitan makna antara satu dan yang lainnya ? Apakah cerita dalam II Raja-raja 4 : 1-7 ini hanya merupakan pengulangan kisah mujizat yang serupa dengan I raja-raja 17 dengan tokoh nabi yang berbeda ? Apakah tokoh janda miskin dalam teks-teks tersebut hanya berfungsi sebagai tokoh yang semakin menegaskan kuasa seorang nabi ?

Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa II Raja-raja 4 : 1-7 tidak didekati dari sudut pandang perempuan sebagai salah satu tokoh dalam teks. Hingga akhir cerita, perempuan itu tidak diketahui namanya dan hanya dikenal

11

Richard Nelson, First & Second King, hal. 170-171.

12

J. Robinson, The Second Book of Kings, New York, Cambridge University Press, 1976, hal. 39.

13

Leah Bronner, The Stories of Elijah and Elisha as Polemic against Baal Worship, Leiden, E.J. Brill, 1968, hal.113-114.

14

(11)

sebagai istri dari seorang nabi. Meskipun sesungguhnya cerita ini dimulai dari pengaduan ibu janda tersebut terkait persoalan anaknya yang akan dijadikan budak karena ketidakmampuan ekonominya. Berbeda dari beberapa pendapat sebelumnya, interpretasi dari perspektif tokoh perempuan ini dilakukan oleh Wesley J. Bergen dan Jan Fokkelman. Bergen berpendapat bahwa meskipun cerita ini dimulai dengan pengaduan kesulitan kepada Elisa, sebagai tokoh yang digambarkan signifikan dalam teks, namun seruan tokoh perempuan itu juga memaparkan pada pembaca, kekuatan perempuan itu dalam narasi. Dimana statusnya sebagai janda memberinya hak untuk meminta bantuan dari Elisa. 15 Sementara Fokkelman mempertanyakan lebih lanjut mengenai siapakah yang dapat disebut pahlawan dari teks ini ? Ketika kita mendapati dua tokoh utama dalam teks ini yaitu seorang perempuan dan Elisa, seorang nabi, maka kita tergoda untuk melihat Elisha sebagai pahlawan dari keseluruhan bagian cerita ini. Oleh karena Elisa adalah nabi yang menampilkan sebuah mujizat. Tetapi menurut Fokkelman, perempuan inilah yang bisa dikatakan pahlawan dalam teks tersebut. Dia adalah seorang perempuan yang mendapatkan kesulitan dan mencari sesuatu yang berharga yang dalam hal ini secara spesifik adalah jalan atau cara untuk membebaskannya dari lilitan hutang. Cara itu terwujud dalam bentuk bejana-bejana yang berisi minyak yang dapat dijualnya untuk membayar hutang. Menurutnya, perempuan inilah yang dua kali menemui Elisa sementara Elisa tidak bergerak sedikitpun dan bahkan tidak hadir dalam melaksanakan pekerjaan

15

Wesley J. Bergen, Elisha and The End of Prophetism, England, Sheffield Academic Press, 1999, hal. 85-86.

(12)

yang dilakukan perempuan tersebut dan kedua anaknya.16 Kedua pendapat di atas tampaknya lebih menekankan gambaran aktif dari seorang perempuan yang keluarganya terlilit hutang daripada melihat perempuan tersebut hanya sebagai penerima bantuan dari Elisa.

Pendapat-pendapat yang diuraikan di atas memperlihatkan bagaimana di satu sisi II Raja-raja 4 : 1-7 dilihat sebagai teks yang menekankan kuasa profetis seorang nabi melalui mujizatnya sementara di sisi lain teks ini dilihat sebagai sebuah narasi yang menggambarkan kekuatan perempuan dalam memperjuangkan kehidupannya beserta dengan anaknya. Dalam pergumulan tersebut, menarik untuk mengkaji lebih lanjut apakah makna teks II Raja-raja 4 : 1-7 dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil ?

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji oleh penulis dalam penelitian ini adalah : Mengapa tafsiran yang ada tentang II Raja-raja 4 : 1-7 ini umumnya hanya menekankan pada mujizat seorang nabi sementara perspektif dari tokoh perempuan yang diminta untuk berdagang agar dapat menyelamatkan anaknya dari perbudakan tidak mendapat perhatian ? Masalah ini kemudian dijabarkan dalam sub-sub masalah sebagai berikut:

• Mengapa perempuan pelaku usaha kecil di Sungapan, Bantul mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya ?

16

Jan Fokkelman, Reading Biblical Narrative : An Introductory Guide, Louisville, John Knox Press & Deo Publishing, 1999, hal.11 & 18.

(13)

• Apa makna teks II Raja-raja 4 :1-7 dibaca dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya ?

• Bagaimana makna teks ini memberi inspirasi pembelajaran bagi kita dan perempuan pelaku usaha kecil ?

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk mengerti konteks yang digumuli oleh perempuan pelaku usaha kecil yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga

world view mereka dapat juga dipahami. Dalam pergumulan akan situasi tersebut,

penelitian ini ingin mengkaji makna II Raja-raja 4:1-7 dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil dengan tujuan untuk membangun perspektif teologi alternatif yang lebih memadai dari perspektif yang sudah ada bagi sehingga dapat menjadi inspirasi pembelajaran bagi kita dan bagi perempuan pelaku usaha kecil.

I.4. Hipotesis

• Tafsiran II Raja-raja 4 : 1-7 tidak bermakna untuk menegaskan eksistensi seorang nabi yaitu Elisa. Perempuan dalam teks ini tidak berada dalam posisi pasif yang hanya menerima mujizat dari sang Nabi. Tetapi perempuan tersebut bergiat untuk bangkit dari keterpurukan hidupnya dengan berusaha mengumpulkan bejana-bejana kosong yang kemudian diisi dengan minyak untuk dijual. Usaha yang dilakukan oleh perempuan

(14)

ini merupakan suatu bentuk kritik yang hendak menegaskan bahwa perempuan ini memiliki akses dan kemampuan dalam mengembangkan kehidupan ekonominya.

• Meskipun teks II Raja-raja 4 : 1-7 memiliki alur cerita yang serupa dengan I Raja-raja 17 :7-24 namun masing-masing teks memiliki makna yang berbeda. Selain itu teks II Raja-raja 4 : 1-7 bukanlah teks yang muncul begitu saja dan menginterupsi teks sebelum dan sesudahnya. Teks ini memiliki keterkaitan erat dengan bagian sebelumnya dan sesudahnya.

• Dalam perspektif perempuan pelaku usaha kecil, mujizat tidak hanya terletak pada minyak yang tidak berhenti mengalir hingga bejana - bejana kosong itu penuh. Mujizat juga terlihat bila bejana-bejana tersebut berhasil dijual sehingga janda itu dapat membayar hutang dan hidup dari sisa hasil penjualan minyak yang ada.

I.5. Metodologi Penelitian

Dalam upaya memahami permasalahan yang dihadapi para perempuan pelaku usaha kecil serta upaya yang dilakukan selama ini untuk mengatasi permasalahan mereka, maka penulis akan menggunakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini akan dilaksanakan dengan melakukan wawancara kepada beberapa perempuan pelaku usaha kecil di desa Sungapan, Argodadi, Bantul serta

(15)

dengan mengamati tindakan usaha mereka. Penelitian dilakukan dengan pengamatan yaitu mengikuti beberapa kegiatan kelompok sebagai pengamat yang melihat proses kerja, kegiatan, pertemuan kelompok. Kemudian dilakukan wawancara terbuka dalam kelompok usaha pada pertemuan kelompok. Selain itu, wawancara terbuka juga dilakukan kepada perorangan yaitu kepada anggota-anggota kelompok ataupun kepada pengurus.17 Selain kepada perempuan pelaku usaha kecil yang tergabung dalam kelompok usaha produktif Sekar, wawancara juga dilakukan kepada pengurus kelompok usaha yang mendampingi perempuan usaha kecil ini. Penelitian ini berguna untuk memahami dengan baik situasi hidup, permasalahan yang mereka hadapi dan world view mereka.

Pemahaman yang baik akan konteks hidup dan permasalahan yang mereka alami akan sangat bermanfaat dalam memahami sudut pandang para perempuan pelaku usaha kecil. Dari sudut pandang dan world view merekalah pembacaan teks II Raja-raja 4 : 1-7 ini akan dilakukan. Ada beberapa pertanyaan dan saran yang muncul terkait dengan pendekatan ini, seperti mempertanyakan perlunya penelitian lapangan dalam mengkaji teks ini, atau bukankah kajian teks sebaiknya hanya berfokus pada kajian teks semata ataupun saran untuk mengkaji teks ini lebih dulu dan kemudian memberi relevansinya bagi perempuan pelaku usaha kecil. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengkajian mengenai teks ini didasarkan dari perspektif perempuan pelaku usaha kecil sehingga penelitian lapangan diperlukan dalam rangka memahami konteks hidup,

17

Lih. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat : Pedoman Riset Partisipatoris, Jakarta, Gramedia,1997, hal. 93-126.

(16)

permasalahan yang dihadapi dan world view perempuan pelaku usaha kecil untuk membaca teks II Raja-raja 4 : 1-7.

Pendekatan seperti ini biasanya disebut dengan reader’s response yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan pembaca dalam konteks komunitasnya ketika membaca teks dan membangun makna. Pendekatan ini muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan literer yang hanya berpusat pada teks semata dan menggali makna dari teks saja. Berbeda dengan pendekatan literer, pendekatan ini menekankan bahwa bukan hanya teks saja yang penting melainkan juga pembaca. 18 Di luar teks, hal-hal lain seperti perspektif dan pengalaman pembaca juga ikut menentukan dalam membangun makna. Dengan menggunakan pendekatan reader’s response ini, makna tidak dipahami berdasarkan individualitas pembaca tetapi berdasarkan pemahaman dan pengalaman pembaca dalam konteks suatu komunitas.

Dalam pendekatan reader’s response ini, perspektif feminis akan digunakan untuk membaca teks II Raja-raja 4 : 1-7. Perspektif feminis ini akan melahirkan fokus yang berbeda dalam penafsiran teks yang umumnya didominasi oleh laki-laki sebagai pusat subyektivitas dan wacana. Perspektif feminis dalam penafsiran dipahami membawa fokus yang berbeda yang menuntut suatu perubahan dari struktur pengkajian untuk menempatkan perempuan sebagai pusat dalam pengkajian tersebut. Penelitian ini, akan lebih menggunakan hermeneutik survival daripada hermeneutik suspicion. Dimana dalam hermeneutik survival penelitian

18

“Reader response criticism,” dalam George Aichele, Fred Burnett dan Elizabeth Castelli, The

(17)

dimulai dari point pergumulan yang dihadapi dan kemudian dapat menggunakan teks untuk orientasi keadilannya. Strategi ini berbeda dari perdebatan mengenai makna yang terkandung dalam teks. Pendekatan ini lebih menekankan pada pembacaan yang membebaskan dari perspektif orang-orang yang terlibat dalam perjuangan melawan ketidakadilan. 19

I.6 Sistematika Penulisan

Thesis ini akan disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab ini akan menjelaskan latar belakang penulisan, permasalahan, tujuan, hipotesis, metodologi dan sistematika penulisan.

Bab II Tantangan Hidup dan World View Perempuan Pelaku Usaha Kecil

Bab ini akan memetakan konteks hidup perempuan pelaku usaha kecil, termasuk kesulitan ekonomi dan kesulitan usaha yang dihadapinya. II.1 Kelompok Usaha Produktif Sekar

II.2 Potret Usaha Kecil Perempuan II.2.1 Pelaku Usaha

II.2.2 Jejaring Kerjasama

II.2.3 Perencanaan Usaha dan Pengaturan Keuangan II.2.4 Pemasaran

19

“Feminist and Womanist Criticism”, dalam George Aichele, Fred Burnett dan Elizabeth Castelli,

(18)

II.3 Pergumulan Perempuan Pelaku Usaha Kecil

II.4 Upaya Kelompok Usaha Produktif dalam Mendampingi Anggota

Bab III Membaca II Raja-raja 4: 1-7 dari Perspektif Perempuan Pelaku Usaha Kecil

III.1 Terjemahan II Raja-raja 4: 1-7 dari bahasa Ibrani III.2 Tafsiran II Raja-raja 4: 1-7

Bagian ini akan menganalisis II Raja-raja 4: 1-7 berdasarkan world

view perempuan pelaku usaha kecil dengan menggunakan metode reader’s response dan perspektif feminis untuk melihat perspektif

alternatif dalam memahami II Raja-raja 4: 1-7.

Bab IV Penutup & Kesimpulan

Bagian ini merupakan penutup yang akan memaparkan kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Scott A.Bernard (2005, p73), Teknologi adalah jenis sumber daya yang memungkinkan informasi dan sumberdaya lainya mengalor untuk mendukung penciptaan dan

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

Dari ketiga elemen metode utama tersebut, dijabarkan oleh Rasulullah ke dalam beberapa cara yang lebih aplikatif, di ataranya adalah sebagai berikut: Pertama;

Daerah hulu dari kelima DAS yang ada di kota Ambon telah ditetapkan sebagai kawasan Lindung yaitu kawasan Hutan Lindung Gunung Sirimau sehingga di harapkan kawasan ini

Karena anak menghabiskan banyak waktu dengan bermain dan berolah raga dengan teman-teman sebaya, maka anak yang keterampilannya dalam bidang tersebut melebihi anggota kelompok yang

Bidang Data pelaporan dan Pengaduan melakukan penelaahan dengan menganalisa data form serta melaporkan hasil analisa kepada Kepala Dinas, kemudian melakukan

10.000.000,00 yang diberikan oleh pihak developer Nuansa Alam Setiabudi Clove, dengan ketentuan apabila pelunasan jual beli rumah tinggal di Nuansa Alam Setiabudi

Orang tua adalah pembinaan pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak