• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera

Jufrida

Balai Arkeologi Medan

Banyak penipuan yang terjadi untuk menarik simpati para buruh agar mau dibawa ke Sumatera. Banyak dari para buruh yang merupakan pelarian dari Penang maupun Singapura yang ingin bekerja di perkebunan di Sumatera Timur, karena dijanjikan dengan

upah dan masa depan yang jauh lebih baik.

I. Pendahuluan

Masuknya pengaruh dari luar bisa hanya berupa masuknya suatu gagasan. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kepentingan masyarakat. Kebutuhan untuk kepentingan pribadi dapat digambarkan dalam kegiatan belajar maupun mengajar, mengajar pada suatu bidang, seperti agama, bahasa, dan lain-lain. Sedangkan untuk kepentingan masyarakat luas dapat digambarkan dalam kegiatan berdagang ataupun bekerja.

Faktor yang melandasi terjadinya hubungan saling membutuhkan di antara masyarakat, untuk selanjutnya melakukan aktivitas keluar, antara lain; faktor perbedaan lingkungan, penyediaaan bahan baku, tingkat teknologi, dan mata pencaharian. Faktor ini juga yang mengakibatkan terjadinya bentuk hubungan dagang, baik yang dilakukan secara eksternal maupun perdagangan internal (Hastiti, 1988: 2).

Berdagang atau bekerja adalah salah satu penyebab munculnya kegiatan lalu lalang orang-orang dari suatu daerah ke daerah lain. Orang-orang dari daerah lain inilah yang kemudian disebut oleh masyarakat setempat sebagai “orang asing”. Kehadiran orang asing dalam suatu masyarakat, tentu akan memberi pengaruh pada masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu pengamatan atas kehadiran orang asing pada masyarakat masa lalu menjadi suatu hal yang tidak kalah pentingnya selain pengamatan atas masyarakat masa lalu itu sendiri.

Begitu juga masuknya bangsa Cina ke Pesisir Pantai Timur Sumatera yang pada umumnya melakukan kegiatan berdagang ataupun bekerja. Masuknya

bangsa Cina ini memberikan peranan penting kepada berbagai pihak yang saling membutuhkan, baik bagi pihak pendatang maupun dari pihak yang dikunjungi. Kondisi seperti inilah yang terjadi di era pembukaan perkebunan tembakau deli di sekitar timur Sumatera. Bangsa Cina merupakan solusi terbaik untuk dijadikan seorang pekerja, karena pekerja Cina dikenal sangat ulet dan pekerja keras.

II. Bukti Masuknya Bangsa Cina

ke Indonesia

Masuknya bangsa Cina ke Indonesia sudah dilakukan sejak lama dengan berbagai macam tujuan, di antaranya berlayar, berdagang maupun melakukan kegiatan belajar. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa catatan, tulisan maupun prasasti, antara lain:

1. Prasasti Gandasuli II atau Pukawang Glis (827 M). Yang menyebutkan seorang dang puhawang (bisa diartikan seorang nakhoda).

2. Prasasti Kamalagyan (821 M). Di sana menyebutkan “...prupuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara...”, artinya kira-kira “…Kapten kapal dan pedagang dari pulau-pulau lain…”).

3. Catatan perjalanan I-Tsing tahun 671 M. I-Tsing adalah seorang pendeta Budha bangsa Cina melakukan perjalanan ke India dari Kanton dan singgah di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) selama 6 bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta (Ayatrohaedi, 1979: 86).

4. Catatan Perjalanan I-Tsing tahun 664 M. I-Tsing menyatakan bahwa tahun 664 M telah datang seorang pendeta bernama Hwi-ning ke Holing, dan tinggal di sana selama 3 tahun. Beliau

(2)

menterjemahkan berbagai kitab suci agama Budha dengan bantuan pendeta Holing (Soekmono, 1973: 37)

5. Kubilai Khan telah mengirim utusannya ke Singasari 1280 untuk meminta pengakuan tunduk terhadap raja namun Kertanegara menolak dan melukai Meng Chi sebagai utusan (Hadimulyono, 1982: 7) 6. Prasasti Taji (901 M). Prasasti ini

menyebutkan bahwa orang asing (Cina)/ (warga Kilalan) bekerja sebagai saudagar atau jurangan. Hal ini menunjukkan bahwa selain bekerja pada pemerintahan (raja), ada juga orang asing yang berkerja sebagai pedagang suatu jenis barang dan bahkan menjadi saudagar.

Sejarah Cina menyebutkan bahwa orang Cina sudah merantau ke Indonesia sejak masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah yang pertama kali didatangi ialah Palembang, yang pada saat itu merupakan pusat perdagangan dari kerajaan Sriwijaya. Selanjutnya mereka merantau ke Pulau Jawa yang dikenal sebagai pusat komoditi rempah-rempah. Kebanyakan dari mereka menetap di daerah sekitar pelabuhan pantai utara Pulau Jawa, dan selanjutnya meneruskan kegiatan perdagangannya ke Pantai Timur Sumatera.

Menurut Atmodjo migrasinya bangsa Cina ke wilayah Indonesia dapat terbagi dalam 3 tahap.

Tahap Pertama

Masyarakat Indonesia masih diperintah oleh kerajaan setempat. Migrasi bangsa Cina semata-mata didorong oleh hubungan perdagangan sehingga jumlah mereka cenderung sedikit dan belum membentuk satuan komunitas. Mereka datang dan pergi sesuai dengan jadwal musim angin/cuaca. Hal ini berlangsung lambat dan memakan waktu berabad-abad. Tahap ini disebut dengan Chinese Follow the trade atau kedatangan bangsa Cina untuk berdagang.

Tahap Kedua

Pada tahap ini bangsa Cina hampir bersamaan datangnya dengan kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Asia Tenggara di abad ke-16. Walaupun masih didorong oleh

keinginan untuk berdagang namun jumlah mereka semakin meningkat, sesuai dengan meningkatnya aktivitas perdagangan. Sedangkan kehadiran bangsa-bangsa Eropa seperti: Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda membuat wilayah Asia khususnya Indonesia semakin ramai. Bangsa Eropa membuka pelabuhan-pelabuhan baru sebagai pusat kegiatan perekonomian yang membuka peluang besar bagi bangsa Cina.

Tahap Ketiga

Pada tahap ketiga ini, menunjukkan bahwa Indonesia di bawah kekuasaan pemerintahan Kolonial Belanda. Pada saat itu pemukiman Cina sudah banyak ditemukan di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, sepanjang pesisir utara Pulau Jawa dan Pantai Timur Sumatera.

Pada tahap ketiga ini juga menunjukkan bahwa bangsa Cina sudah bermukim dan bertempat tinggal di wilayah-wilayah Indonesia, khususnya, dan Sumatera. Namun bangsa Cina yang pada saat itu berada di sekitar pesisir pantai (pelabuhan) hanya melakukan kegiatan perdagangan secara barteran dengan masyarakat setempat maupun dengan pedagang luar lainnya. Saling membutuhkan itulah yang mendominasi keberhasilan perdagangan mereka. Komoditi yang dibawa oleh pedagang setempat seperti beras, gula, tebu, emas, rempah-rempah, dan lain-lain, selanjutnya ditukarkan dengan keramik, sutra, besi, perak, minyak wangi, maupun candu yang berasal dari pedagang asing (Cina, India, Tibet, dll.). Hal ini juga membuktikan bahwa di Pesisir Pantai Timur Sumatera pernah menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai daerah dan negara. Di tempat tersebut diprediksikan pernah menjadi sarana perniagaan dan pelabuhan kuno, yaitu ditemukannya beberapa fragmen keramik, mata uang, fragmen gelas, alat-alat pertukangan logam. Bukti arkeologi lain yang sangat menarik ialah ditemukannya gundukan batu bata yang diperkirakan merupakan sisa bangunan keagamaan. Selain daripada itu ditemukan juga arca Budhis-Hindu. Dari bukti arkeologis yang ditemukan tersebut tak heran lagi jika masyarakat menyebutkan daerah Paya Pasir dengan sebutan Kota Cina.

(3)

III. Masuknya Bangsa Cina ke

Pantai Timur Sumatera

Masuknya bangsa Cina di daerah ini tidak terlepas dari peranan para pengusaha-pengusaha bangsa Eropa yang ingin membuka perkebunan baru di Sumatera. Karena kerugian yang dialami para pengusaha kolonial di tanah Jawa secara terus-menerus membuat para pengusaha tersebut mencari solusi lain untuk mengembangkan kembali perdagangan mereka yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Pembukaan perkebunan tembakau di daerah Deli merupakan ide yang dikemukan oleh Said Abdullah ketika menemani J. Nienhuys dan J. F. Van Leeuwen Co melakukan perjalanan ke tanah Deli.

Melakukan perjalanan ke daerah Labuhan Deli untuk pertama kalinya membuat Nienhuys sangat terkesan. Di saat itu beliau memperkirakan penduduk kampung berjumlah lebih kurang 1000 jiwa, 20 orang Cina, 100 orang India, dan selebihnya penduduk setempat (Pelzer, 1985: 51). Untuk menyambut kedatangan Nienhuys dan Said Abdullah, Sultan Deli memberikan rumah beratap rumbia dari orang Melayu untuk disewakan, yang terletak tidak jauh dari istana Kesultanan Deli.

Untuk tahap pertama, perkebunan dibuka dengan masa kontrak 20 tahun. Masalah buruh kemudian muncul ketika pelabuhan yang sangat luas itu mulai dikerjakan. Untuk menarik para buruh dari Pulau Jawa sangatlah tidak efesien, melihat jarak tempuh yang sangat jauh. Untuk mengatasi itu T. J. Cremer yang pada saat itu menjabat sebagai Manajer Maskapai Deli (1871-1873) memprakarsai pengimporan buruh dari Penang. Para buruh yang berasal dari Penang merupakan orang-orang Cina yang sudah lama menetap dan tinggal di sana yang disebut “Laukeh”. Untuk tahap pertama pemasukan buruh Cina sebanyak 88 orang, selanjutnya 200 orang dan kian bertambah seterusnya. Ide Cremer yang sangat cemerlang menyebabkan mudahnya para buruh dari Penang ke perkebunan di timur Sumatera Timur.

Dalam mengusahakan tenaga kerja menggunakan jasa perantara (brole, makelar, werek), werven (Bhs. Belanda).

Banyak penipuan yang terjadi untuk menarik simpati para buruh agar mau dibawa ke Sumatera. Banyak dari para buruh yang merupakan pelarian dari Penang maupun Singapura yang ingin bekerja di perkebunan di Sumatera Timur, karena dijanjikan dengan upah dan masa depan yang jauh lebih baik. Pemasukan tenaga buruh dari negeri seberang yang tidak terkontrol mengakibatkan kualitas para buruh tersebut tidak diperhatikan, sehingga kualitas para buruh yang masuk semakin memburuk. Dengan kualitas kerja yang kurang baik ini membuat pihak perkebunan merasa kurang puas hasil kinerja mereka. Tekanan, kekerasan, pemukulan hingga hukuman cambuk, bukan suatu hal yang aneh bagi para buruh perkebunan jika tindakan maupun hasil kerja mereka tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga kekerasan dan kekejaman terus berlangsung. Dalam birokrasi perkebunan seorang residen tidak berarti apa-apa bagi buruh dibandingkan dengan seorang tuan kebun yang sangat berwibawa dan ditakuti. Dalam kondisi seperti ini tak heran para tuan kebun lebih sering menghukum sendiri kuli yang melanggar aturan dengan sewenang-wenang. (Jan Bremen, 1997: 35). Kondisi seperti ini membuat sebagian buruh juga sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan, sehingga terkadang mereka terpaksa melakukan suatu tindakan kriminal.

Di pihak lain Inggris di Semenanjung Malaya semakin kekurangan buruh yang handal. Inggris melakukan kemudian suatu tindakan revolusioner terhadap pemerintahan kolonial, agar membuat UU untuk perlindungan orang-orang Cina yang bekerja di Singapura dan Penang dipegang oleh seorang yang diberi pangkat “Protectors of Chinese”. Di Sumatera

“Protectors of Chinese” diserahkan kepada orang Cina yang berada di Labuhan Deli sebagai pelabuhan tempat masuknya para buruh. Kepada mereka diberi wewenang untuk menyeleksi para buruh yang pantas untuk bekerja di perkebunan. Ide Cremer memang sangat cemerlang dan membuahkan hasil. Agar tidak terjadi lagi sesuatu yang sangat menjelekkan nama kolonial di mata pengusaha asing, terutama Inggris yang di

(4)

saat itu masih di Semenanjung Malaya, maka pada tahun 1880 dibuat aturan bagi buruh yang dikenal dengan “Peonale Sanctie” dan “Koelie Ordonantie”.

Masalah pengusaha perkebunan kolonial semakin hari semakin mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh kerugian akibat merosotnya produktivitas perkebunan tembakau dan pemberontakan buruh yang terjadi di sana-sini. Solusi terbaik pengusaha perkebunan ialah mengalihkan pengusahaan perkebunan kolonial kepada pengusaha swasta. Para buruh yang sudah lama menetap dan bekerja di perkebunan, justru lebih memilih bekerja pada pihak perkebunan swasta daripada harus dipulangkan ke negaranya. Di antara mereka bahkan membawa serta keluarganya untuk menetap di Sumatera dengan mengusahakan aktivitas lain. Sehingga pada tahun 1930 para buruh yang sudah masuk ke Sumatera dan mengusahakan mencapai 192.822 jiwa, hampir 35% dari penduduk lainnya (Judistira, 1988: 28).

III.1 Bangsa Cina dengan Perjuangannya

Pada akhir abad ke-20 dengan bantuan kolonial dengan kaum pengusaha, orang Cina memonopoli seluruh sektor pengangkutan. Para pengusaha perkebunan juga memberi kesempatan pada orang Cina sebagai penyalur bahan makanan dan menjadi kontraktor di perkebunan. Pekerjaan yang banyak mereka geluti ialah sebagai kuli atau buruh bangunan. Hanya sebagian kecil dari mereka menjadi pedagang sayuran, yang populer dengan sebutan “Cina Pedagang Sayur” untuk menunjukkan betapa kecil dan tidak kuatnya modal mereka bila berhadapan dengan pedagang pribumi lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan politik di Indonesia. Peristiwa yang silih berganti di Indonesia mempengaruhi masyarakat Cina sehingga banyak di antara mereka berpaling dari agama leluhurnya, terutama pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Namun orang-orang Cina justru mendapat perlindungan dari pihak Belanda.

Pada tahun 1965 situasi semakin tidak menentu setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan guna memutuskan pertalian masyarakat Cina dengan tanah leluhur mereka. Sekolah-sekolah Cina ditutup, penerbitan bahasa Cina dan pemakaian aksara Cina di tempat umum dilarang serta semua nama yang berbau Cina harus diganti dengan nama yang berbau Indonesia. Selain daripada itu status agama juga harus disesuaikan dengan agama yang ada di Indonesia. Sehingga banyak orang-orang Cina pindah ke agama Kristen, namun banyak pula yang tetap setia kepada agama tradisionalnya. Situasi ini juga berdampak pula pada perubahan kelenteng yang beraksara Cina dengan sebutan “vihara”. Dari itu kebanyakan kelenteng-kelenteng pada saat itu lebih menampilkan aspek Budhistis dengan altar Budha di letakkan paling depan.

III.2 Etnis Cina yang Berada di Sumatera Timur

Ternyata tidak semua orang-orang Cina itu dilahirkan dengan kepandaian dan ahli dalam berdagang. Banyak di antara mereka justru mempunyai keahlian di bidang lain. Etnis atau garis keturunan sangat mempengaruhi keahlian mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Ada 3 wilayah besar seperti di Propinsi Fukian, Kwangtung, dan Kwangsi yang masyarakatnya senang merantau dengan mengandalkan keahliannya masing-masing. Adapun etnis Cina yang menetap di pantai Timur Sumatera di antaranya:

1. Kelompok Pantis atau Kanton

Berasal dari Propinsi Kwantung yang sebagian besar mereka ahli sebagai tukang besi, perabot, tukang jahit/tekstil, pelacur dan sedikit buruh di perkebunan. 2. Kelompok Hakka dan Kheks

Mereka dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan mengecilkan kaki dengan cara mengikat (membungkus) sebagai lambang status yang tidak dimiliki Cina lainnya. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang rotan, tukang kaleng, pengusaha toko.

(5)

3. Kelompok Hoekloes

Sebagian besar mereka ini bekerja sebagai buruh perkebunan.

4. Kelompok Hailans

Mereka merupakan penduduk asli pulau Hainan, sebagian besar mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, tukang masak, dan kerani hotel. 5. Kelompok Amoy atau Hokkian

Kelompok ini berasal dari Propinsi Shiang Shou Fu. Mereka dikenal dengan di Pulau Jawa maupun di Sumatera sebagai kaum pedagang. 6. Kelompok Luchius dan Caochaw, Hock

Mereka berasal dari Propinsi Luitsiu dan Koatsiu (Semenanjung) sebagian besar dari mereka hidup miskin dan banyak menetap di Belawan dan Bagan Siapi-api.

IV. Penutup

Daerah Sumatera Timur yang sekarang menjadi salah satu kota terbesar di Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Medan” sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara. Medan yang dijuluki sebagai kota kondusif, memiliki beraneka suku bangsa dan budaya yang majemuk. Perbedaan suku, agama, maupun budaya bukanlah suatu halangan dalam meningkatkan pembangunan Kota Medan dan sekitarnya. Hal tersebut justru menjadikan Medan dan sekitarnya menjadi suatu kota yang mampu memadukan berbagai suku bangsa sebagai sarana untuk kemajuan pembangunan Medan selanjutnya. Dengan keahlian yang beragam yang dimiliki tiap suku bangsa menambah kuatnya persatuan dan kesatuan masyarakat di Kota Medan.

Bagi etnis Cina khususnya, tidak perlu ada lagi pemikiran bahwa mereka merupakan keturunan dari buruh-buruh kontrak yang dipekerjakan pada perkebunan di masa lalu. Mereka sudah merasakan dan menjadi bagian dari masyarakat setempat dengan kehidupan yang nyaman, aman, dan tenang serta berada pada lingkungan

masyarakat yang dapat menerima mereka dari dulu hingga sekarang. Khususnya bagi masyarakat Melayu, sebagai tuan rumah di negeri Deli di masa lalu, selalu membuka pintu yang lebar bagi para pendatang. Ternyata keanekaragaman suku bangsa di Medan membuat kota ini semakin makmur. Tindakan anarkis yang sering diterima para pendatang ke daerah lain tidak pernah dirasakan mereka. Semoga Medan tetap menjadi kota yang kondusif dengan keberagaman etnis dan suku bangsa.

Kepustakaan

Amelia, “Sriwijaya sebagai Pelabuhan-antara Sekitar Abad 7-13 M” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1989.

Atmodjo, Junus Satrio , Kelenteng Kuna di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional, 2000.

Bremen, Jan., Menjinakkan Sang Kuli Politik Kolonial pada Awal Abad ke -20. Jakarta: Grafiti, 1997.

Judistira K. Gama, Cina Perantauan. Bandung: Univ. Padjajaran, 1988. Lubis, M. Rajab, Pribumi di Mata Orang Cina.

Medan, PT Pustaka Widyasarana: 1995 Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja

Perkebunan Kajian Sosial ekonomi.

Yogjakarta, Adtya Media: 1992. Pelly, Usman, Sejarah Sosial Daerah

Sumatera Utara Kotamadya Medan.

Jakarta, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan: 1984.

Said, Muhammad, Suatu Zaman Gelap di Deli “Koeli Kontrak Tempo Doeloe” dengan Derita dan Kemarahannya. Medan, PT Prakarsa Abadi Press: 1990.

Sinar, T. Lukman, Sumatera Utara di Bawah Kekuasaan Hindia Belanda Sampai Abad ke XX. Medan: tanpa tahun dan penerbit.

Referensi

Dokumen terkait

2. Guru menjelaskan kepada seluruh siswa tentang akan diterapkan model pembelajaran TAI. Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan di selesaikan oleh kelompok

Pada hari ini Jumat tanggal 3 bulan Agustus tahun Dua ribu dua belas , Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pembangunan Gedung Balai Nikah Pada Kementerian Agama

[r]

Dalam penetapan biaya pendidikan yang dibebankan ke mahasiswa, Politeknik Indonusa Surakarta belum dapat menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT), sehingga mahasiswa

Sesak napas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta penurunan suara napas vesikuler pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi pleura..

menekankan kekuatan sertipikat sebagai alat bukti pemilikan yang kuat kasus ganti kerugian untuk pembangunan jalan tol JORR karena terjadi permasalahan gugatan dipengadilan,

Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk memberikan arahan, kebijakan, kepastian dan perlindungan hukum atas pelaksanaan Program TJSL dalam menciptakan hubungan

Kami harapkan kehadiran Saudara pada waktu yang telah ditentukan, apabila berhalangan dapat diwakilkan dengan membawa surat kuasa dan apabila tidak hadir maka perusahaan