• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.1

Namun dalam pergaulan antara suami isteri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah

(2)

pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian.

Setiap tahun kasus perceraian mengalami peningkatan di Kota Medan. Untuk tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai 1.900 kasus. Sedangkan sampai pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang tengah ditangani Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama Medan mencapai 321 kasus. Menariknya lagi, kaum istri saat ini lebih banyak menuntut perceraian dibandingkan suami yakni 196 orang dari 321 kasus.2

Sedangkan angka perceraian di kalangan Warga Negara Indonesia khususnya yang beragama Hindu yang tercatat di Pengadilan Negeri Medan untuk tahun 2011 ada sebanyak 41 kasus, dan tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 46 kasus.3

Angka tersebut lebih kecil dari perceraian yang dilakukan di bawah tangan dengan cara pisah ranjang di kalangan Warga Negara Indonesia yang beragama Hindu. Menurut Parisada Hindu Dharma Medan ada sebanyak 76 kasus perceraian yang dilaporkan ke Parisada Hindu Dharma Medan untuk tahun 2012 dan didahului dengan pisah ranjang.4

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu

1 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003), hal. 86-87.

2Data Perceraian Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Medan. 3Data Perceraian Pada Pengadilan Negeri Medan.

(3)

keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.5

Salah satu persoalan hukum yang muncul sehubungan dengan perceraian adalah mengenai pemeliharaan dan nafkah anak. Pemeliharaan dan nafkah anak menjadi penting karena anak biasanya tidak mengetahui apa yang dihadapinya setelah perceraian kedua orang tuanya.

Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Pada beberapa peristiwa setelah terjadinya perceraian antara orang tuanya ada kalanya terjadi perebutan antara suami dan isteri terhadap anak-anaknya. Ada pula pihak yang tidak bersedia mengasuh dan memelihara anak. Kondisi ini tentunya

(4)

sangat merugikan kelangsungan hidup anak.

Anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat.

Untuk mencapai kondisi ideal seperti di atas tentunya bukan tugas negara dan masyarakat semata tetapi terutama merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua. Dalam ajaran Islam, anak justru yang sangat berguna bagi orang tua setelah ia meninggal dunia yaitu adanya amal yang tidak terputus dari anak yang soleh (human

ment).6

Secara kemasyarakatan, anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa sebagaimana telah disinggung terdahulu, anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator utama (leading indicator) ekonomi suatu bangsa.

5Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 5.

(5)

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur dengan tegas kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan demikian, suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang kekal dan bahagia.

Hak maupun kewajiban orang tua terhadap anak dalam hukum dikenal dengan istilah hukum sebagai “kekuasaan orang tua” (ouderlijkemacht). Kekuasaan orang tua ini penting artinya bagi kehidupan seorang anak terutama yang belum dewasa karena melalui lembaga hukum ini hak-hak dasar anak akan dipenuhi.7 Dalam keluarga dengan kondisi yang bercerai, pertumbuhan anak dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna.

Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan ada perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya.

Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati

anak-7 Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi

Desa Cukil, Sruwen dan Sugihan Kecamatan Tengaran, Dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas

(6)

anaknya. Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut. Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.8

Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai dewasa tidak ada kejelasannya.

Dalam simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda yang diselenggarakan BPHN telah dicatat beberapa

8Bah Warnadi, “Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis Anak”,

(7)

http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan-psikologis-kesepakatan antara lain bahwa konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial, melainkan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda.9

Secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :10

a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi : - Bidang hukum publik.

- Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi : - Bidang sosial.

- Bidang kesehatan. - Bidang pendidikan.

Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu, masyarakat, bangsa dan negara maka beberapa undang-undang telah mengatur hak-hak anak misalnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

anak.html, Diakses tanggal 28 Maret 2013.

9Aminah Azis, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hal. 26. 10 Irma Setyowati Soemitro, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hal.13.

(8)

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah putusan pengadilan.

Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-undangan nasional, maupun secara internasional. Hal tersebut terlihat dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap persoalan anak seperti misalnya Convention on The Rights of

Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Amediate Action for The Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain

sebagainya.

Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan adanya kecenderungan internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged

children) dalam mencukupi kehidupannya.

Sebagai salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya baik dilihat dari aspek rohani maupun aspek jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak bagi anak adalah akibat adanya perceraian kedua orang tuanya.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal-pasalnya dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang pada hakikatnya membebankan kewajiban itu

(9)

kepada orang tua laki-laki (ayah).

Suatu hal yang patut dipahami dalam menyikapi perihal pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai adalah keberadaan hukum agama dari pasangan yang bercerai. Hukum Agama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menyikapi permasalahan hukum dan sosial di tengah masyarakat, termasuk perihal pemeliharaan anak.

Dalam ajaran agama Hindu lapangan kehidupan dibagi menjadi empat yang di sebut dengan catur asrama, yakni brahmacari adalah masa menuntut ilmu, grahasta adalah masa berumah tangga, wana prasta adalah masa memperdalam, menerapkan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan bhisuka adalah masa melakukan tapa

brata yoga samadi. Empat tahap kehidupan dalam agama Hindu harus dilalui dalam

kehidupan untuk mencapai tujuan hidup yang di sebut kebahagiaan lahir dan batin atau “ moksatham jagadhita ya ca iti dharma”11

Dalam masa grahasta seseorang akan dapat melaksanakan kewajibannya baik secara vertikal yaitu melaksanakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wase melalui pelaksanaan upacara panca yadnya, maupun secara horizontal yakni melakukan hubungan antara sesama yang diatur dalam ikatan suka duka suatu banjar/desa. Semua hak dan kewajiban yang dilakukan dalam masa grahasta adalah untuk mendukung proses pencapaian keharmonisan dalam hidup yang dapat dicapai

11Swastyastu, “Makna Mengangkat Anak Menurut Ajaran Moral Agama Hindu”,

http://suryawanhindudharma.wordpress.com/dukuments/makna-mengangkat-anak-menurut-ajaran-moral-agama-hindu/, Diakses tanggal 27 Januari 2012.

(10)

dalam berbagai aspek kehidupan. Terwujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtera dalam keluarga salah satunya karena hadirnya seorang anak dalam keluarga tersebut. Namun sebagaimana diketahui tidak semua keluarga bisa mencapai tujuan perkawinan dilangsungkan, sehingga putus di tengah jalan.

Perkawinan disebut sebagai Dharma. Dharma itu perbuatan baik yang mendatangkan karma baik seperti perkawinan. Maka sesuai hukum alam: rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma yaitu perbuatan buruk yang mendatangkan karma buruk. Contoh Adharma seperti perceraian. Maka dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

Persoalan pemeliharaan anak akibat perceraian dalam masyarakat Hindu dilakukan secara bersama-sama antara orang tuanya. Seorang ibu yang bercerai dalam agama Hindu memiliki kewajiban memelihara anak khususnya anak yang masih berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai.12

Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri

(11)

tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya.

Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Dengan sebab perceraian dilarang dalam Agama Hindu maka sebahagian besar masyarakat yang beragama Hindu melakukan pisah ranjang sebagai suatu implementasi telah terjadinya perceraian, artinya pisah ranjang menunjukkan telah terjadi perceraian. Berbeda halnya dengan masyarakat Hindu di kalangan profesional dan memiliki pendidikan tinggi, maka perceraian dianggap oleh mereka sebagai akibat perkawinan sehingga dalam keadaan ini mereka melakukan praktek sebagaimana hukum di negara mereka tinggal, yaitu mendaftarkan kasus perceraian tersebut di Pengadilan.

Bagi kaum awam pisah ranjang merupakan bentuk telah terjadinya perceraian sementara dalam kalangan profesional atau kalangan yang berpendidikan tinggi putusan pengadilan yang sah dan berkuatan hukum tetap merupakan bentuk perceraian.

Memperhatikan fenomena di atas, maka dilakukan penelitian tentang “Tanggung Jawab Pemeliharaan dan nafkah Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu”.

(12)

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu?

3. Apakah hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis pemeliharaan anak akibat perceraian yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Untuk menganalisis pelaksanaan pemiliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

3. Untuk menganalisis hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

13Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal.10.

(13)

pemecahan atas isu hukum yang timbul.14 Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam kerangka know-how didalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.15Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya.

2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui tentang hak-hak anak akibat perceraian orang tuanya khususnya bagi masyarakat yang beragama Hindu dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang

14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal.41

(14)

membicarakan masalah Tanggung Jawab Pemeliharaan Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.16

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya”.17 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud

16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal . 6. 17J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta: UI Press, 1996), hal 203.

(15)

konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan”.18

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).”19 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.20 Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the

end of justice is to secure from injury).21

Menurut Satjipto Raharjo:

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.22

Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang pemeliharaan dan nafkah anak dalam

18Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1993), hal. 79

19

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85

20Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada

Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari

Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

21Ibid., hal 244.

(16)

hal kedua orang tuanya pisah ranjang khususnya bagi warga negara Indonesia yang beragama Hindu. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan,23 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.24

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.

Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.

Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum

23Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160,

24 A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Medan: USU, 2007), hal. 9.

(17)

melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi. Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.25

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu segi subyektif dan dari segi obyektif. Dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi

(18)

obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelektual tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang dinamakan konsep.26

Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.27

2. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

3. Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami.29

4. Anak adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk laki-laki dan 16 (enam belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.30

5. Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari

1993), hal. 245.

26Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 122.

27Pemuda Indonesia, “Manusia dan Tanggung Jawab”,

http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manusia-dan-tanggung-jawab/, Diakses tanggal 1 November 2013.

28Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan Pasal 1.

29Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005). hal. 443.

(19)

keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya

6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

7. Pisah ranjang adalah perpisahan suami isteri secara sementara, tahapan sebelum terjadinya perceraian.

8. Agama Hindu adalah (Sanskerta: Sanātana Dharma Kebenaran Abadi), dan

Vaidika-Dharma (Pengetahuan Kebenaran) adalah sebuah agama yang berasal

dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.31

9. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah adalah undang-undang yang secara nasional mengatur perihal perkawinan dan akibat hukumnya. Diundangkan di Jakarta tangga pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

(20)

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan bahwa “metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.32

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang didapatkan melalui penelitian lapangan yang dilakukan di Parisada Hindu Dharma Medan.

2. Data sekunder, yaitu data berupa:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; 1) Norma atau kaidah dasar

2) Peraturan dasar

3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

32Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal.1.

(21)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian tesis ini adalah:

a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.

b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai responden beberapa pasang yg melakukan pisah ranjang dan bercerai dan nara sumber yaitu pandita di Parisada Hindu Dharma Medan.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan pengelompokan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang sejenis untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif,

(22)

yaitu data yang sudah ada dikumpulkan, dipilah-pilah dan kemudian dilakukan pengolahannya.

Setelah dipilah-pilah dan diolah lalu dianalisis secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan demikian diharapkan penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari studi menunjukkan bahwa kolaborasi perancangan interior dan visual grafis pada Museum “Rumah Air” PDAM Surya Sembada Surabaya dapat menghadirkan “cerita” dalam 4 bagian,

Dengan mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan segala nikmat kemudahan serta petunjukNya yang telah diberikan sehingga dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan dan potensi senyawa utama dalam minyak atsiri buah kemukus (Piper cubeba L.f.) yang diukur dengan besar afinitas terhadap

Sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah diketahui memiliki pengaruh terhadap citra Bank Indonesia, namun untuk indikator dalam variabel sosialisasi ciri-ciri

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran Pendidikan

Pengaruh metode latihan wall shooting dan mata tertutup terhadap hasil shooting free throw.. Tesis Magister, tidak di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan yang signifikan antara motivasi belajar bahasa Arab siswa pada kelas eksperimen dengan kelas

Untuk mencegah terjadinya pertentangan kepentingan tsb diatas, setiap Penanggung Jawab Kegiatan di instansi pelaksana dengan dibantu PO memastikan bahwa rekanan