• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH ACEH DAN PERUBAHAN POLITIK PASCA MoU HELSINKI. juga menjadi adat yang melekat dalam diri masyarakat Aceh.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II SEJARAH ACEH DAN PERUBAHAN POLITIK PASCA MoU HELSINKI. juga menjadi adat yang melekat dalam diri masyarakat Aceh."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SEJARAH ACEH DAN PERUBAHAN POLITIK PASCA MoU HELSINKI

2.1 Dinamika Sejarah Aceh

Aceh merupakan salah satu daerah yang telah mengalami perjalanan

sejarah cukup panjang. Sebagaimana yang diketahui, masyarakat Aceh dulu pernah berjaya sebagai sebuah kerajaan yang makmur serta memiliki hubungan perdagangan dan diplomatik yang luas dengan dunia luar. Bahkan pada masa jayanya tersebut, Aceh merupakan pusat penyebaran agama Islam ke beberapa

tempat di Indonesia dan Asia Tenggara.28 Dalam sejarahnya, masyarakat Aceh

telah mengamalkan nilai-nilai keislaman yang begitu kuat sejak zaman kesultanan, sehingga Islam tidak hanya berperan sebagai sebuah agama melainkan juga menjadi adat yang melekat dalam diri masyarakat Aceh.

Semangat mempertahankan keislaman yang dimiliki oleh masyarakat

Aceh telah membawa Aceh kepada kemenangan melawan penjajahan Belanda dimana Aceh merupakan satu-satunya daerah yang tidak pernah ditaklukan oleh Belanda. Semangat ini juga yang memberi suatu kekuatan pada masyarakat Aceh sehingga mereka tidak takut mati dalam memperjuangkan negara dan agama. Masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya dimana Islam telah menjadi bagian dari mereka baik dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka

28

Alfian dalam Jurnal Ilmu Politik 5. 1989. Arus Nilai Baru Masyarakat Aceh Dalam Konsep Pembangunan Berwawasan Nusantara. Jakarta: PT Gramedia. hal. 34.

(2)

taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris

Nabi. Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah dikarenakan dari wilayah paling

barat inilah kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah

suci Mekkah untuk menunaikan rukun islam yang kelima (ibadah haji).29

Syariat Islam di Aceh bukanlah merupakan suatu hal yang baru, dimana

usaha penerapannya telah dikenal sejak zaman kesultanan terdahulu. Syariat atau hukum Islam merupakan seperangkat peraturan Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Hal tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia secara reguler, dan ketentuan tersebut yang menyebabkan syariat tidak dapat dipisahkan dengan etika

maupun akhlak.30 Akan tetapi, keinginan untuk membangun pemerintahan Aceh

yang berlandaskan kepada syariat Islam sering sekali mendapat hambatan, terutama dari pemerintahan pusat. Setelah zaman kesultanan berakhir, semangat dalam upaya memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Aceh semakin menurun.

Pada masa perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia, suasana

revolusioner juga begitu terasa di Aceh. Perang selama puluhan tahun yang amat dahsyat melawan Belanda sejak April 1873, telah melahirkan sentimen anti kolonial yang mengakar di hati rakyat Aceh, sehingga menjadi dorongan yang kuat untuk ikut serta membangun suatu negara baru yang bebas dari kolonial, yakni Indonesia. Namun dukungan yang utamanya berasal dari para ulama

29

Lihat Rusjdi Ali Muhammad. 2003. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. hal. 259.

30

(3)

tersebut terjadi bukan tanpa syarat. Soekarno, presiden pertama sekaligus proklamator Indonesia, melakukan kunjungan ke Banda Aceh pada tahun 1947 dalam rangka untuk mendapatkan dukungan mempertahankan kemerdekaan.

Selanjutnya, tokoh-tokoh Aceh meminta Soekarno untuk menandatangani

perjanjian agar dapat tegaknya syariat Islam sebagai syarat dukungan yang akan diberikan oleh rakyat Aceh. Kemudian Soekarno bersumpah akan memenuhi

syarat yang diminta walaupun tetap menolak memberikan janji tertulis.31 Melalui

permintaan Soekarno dan didasari pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang berasaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka kesempatan tersebut

dipergunakan dengan baik oleh Daud Breueh32 yang pada waktu itu merupakan

pemimpin Aceh.

Setelah Aceh bergabung dengan Indonesia dan Indonesia telah memperoleh kemerdekannya, janji tersebut tidak ditepati sehingga menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dalam pidato Soekarno pada tanggal 27 Januari 1953 di Amuntai, Kalimantan Selatan, dimana Soekarno menyatakan menolak Islam sebagai dasar

negara.33 Kekecewaan terhadap janji presiden Soekarno tersebut akhirnya

menyebabkan Breueh menyatakan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam

31

Ahmad Taufan Damanik. 2010. Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Jakarta: FES Indonesia. hal. 18.

32

Tgk Muhammad Daud Bereueh adalah seorang pahlawan Aceh dan ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Selain itu, pada masa revolusi beliau juga pernah menjabat sebagai Gubernur militer Aceh. 33

(4)

Indonesia (DI/TII) dibawah pimpinan Imam Kartosuwiryo di Jawa Barat untuk

memproklamirkan Negara Islam Indonesia dan memisahkan diri dari Indonesia.34

Namun setelah dilakukan perundingan damai, gerakan DI/TII berhasil

dihentikan. Pemberontakan yang dilakukan oleh Bereueh tentu memiliki alasan. Selain pertentangan politik dan ideologi baik di internal pusat kekuasaan maupun di antara Aceh dan pusat serta masalah ekonomi dan pendidikan di Aceh yang kacau, penggabungan provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara

merupakan puncaknya.35 Tertanggal pada 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan

sebagai satu provinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari provinsi Sumatera Utara.

Akan tetapi, setelah Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan,

melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu keresidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini kemudian menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, dimana akhirnya menimbulkan gejolak perlawanan pada tahun 1953 yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh. Kemudian agar gejolak tersebut mereda, pemerintah pusat menetapkan kembali status Keresidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh yang kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang “Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan

34

Al Chaidar. 2000. Gerakan Aceh Merdeka Jiahd Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jakarta: Madani Press. hal. 116.

35

Ahmad Taufan Damanik. 2010. Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Jakarta: FES Indonesia. hal. 30.

(5)

Pembentukan Propinsi Sumatera Utara”.36

Pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Daud Bereueh dimana Hasan Tiro juga ikut terlibat di dalamnya merupakan awal dari pertentangan ideologi-politik antara Aceh dan Indonesia.

Salah satu puncak permasalahannya yakni pada masa pemerintahan Orde

Baru dimana Aceh merasakan ketidakadilan pembagian keuangan ataupun hasil pendapatan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Jakarta) terhadap daerahnya. Selain itu juga terjadi pengeksploitasian sumber daya alam Aceh secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat Aceh. Pertikaian bernuansa ekonomi tersebut kemudian berkembang menjadi ketidakpuasan dalam bidang pemerintahan dan politik, dimana aspirasi lokal tidak pernah diperhatikan.

Walaupun pemberontakan DI/TII telah berhasil dihentikan, tokoh-tokoh

DI/TII yang masih merasa kecewa dan tidak puas hati kemudian mendukung untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hasan Tiro. Beliau merupakan salah seorang keluarga DiTiro yang merasa memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Aceh seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Pada 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dengan organisasi Acheh-Sumatera National Liberation Front (ASNLF) atau Acheh Freedom

Movement, selanjutnya lebih dikenal dengan Gerakan Acheh Merdeka (GAM)

36

Lihat Rusjdi Ali Muhammad. 2003. Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. hal. 260.

(6)

yang bermarkas di Stockholm, Swedia. Berbeda dengan Darul Islam pimpinan Daud Bereueh, Deklarasi Kemerdekaan Aceh disebut-sebut sama sekali tidak

menyinggung isu agama dan cenderung sekuler (secular in nature).

Meskipun dalam berbagai dokumen tertulis maupun pernyataan lainnya,

dimana Qur‟an disebutkan sebagai konstitusi negara, akan tetapi penyebutan ini lebih bersifat insidental. Bahkan di masa 1980-an dimana GAM kembali muncul dan isu mendirikan negara Islam sudah lebih eksplisit dinyatakan, tetap saja isu utama organisasi perlawanan ini adalah melawan kolonialisme Jawa yang mereka

anggap telah menduduki wilayah tanah air dan kekayaan alam Aceh.37

Pemerintahan Orde Baru mengekspoitasi gas alam dan minyak bumi di Aceh yang melimpah dimana hal tersebut bermula pada tahun 1970-an. Sumber-sumber ekonomi milik rakyat Aceh sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah pusat, yang kemudian menyebabkan terjadinya kesenjangan pembagian hasil pendapatan antara pemerintah pusat dan Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemudian dianggap menjadi ancaman

besar bagi Indonesia dan juga dianggap sebagai gerakan terorisme. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia di bawah presiden Soeharto menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Hal tersebut bertujuan untuk menghancurkan perjuangan GAM. Akan tetapi, justru ribuan orang menjadi korban pelanggaran HAM, dimana terjadi kasus seperti pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, penculikan dan tindakan kekerasan lainnya. Tercatat sekitar 1.000 warga sipil

37

(7)

Aceh dibunuh dalam tiga tahun pertama DOM. Perhitungan korban yang paling konservatif terjadi pada akhir 1998 dimana tercatat 871 orang dibunuh seketika oleh tentara dan 387 orang hilang yang kemudian pada akhirnya ditemukan wafat. Lebih dari 500 orang lainnya terdaftar sebagai orang hilang dan tidak pernah ditemukan. Penyiksaan terus berlangsung sampai DOM dicabut pada 7 Agustus 1998.38

Sejak kejatuhan presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, kebebasan akan

berpendapat dan berpolitik semakin terbuka lebar. Pada 8 November 1999 sekitar satu juta rakyat Aceh dari berbagai daerah berorasi secara besar-besaran menuntut referendum menuju kemerdekaan Aceh, yang dimobilisir oleh kalangan intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Dalam tuntutan tersebut, Aceh mengangkat isu pembantaian selama DOM. Pemerintah pusat (Jakarta) berjanji akan menindaklanjuti pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Akan tetapi hal itu tidak pernah terealisasikan dan bahkan pada masa Presiden Habibie, pengawasan militer terhadap Aceh semakin

ditingkatkan yang bertujuan mengucilkan GAM dari masyarakat sipil.39

Pada masa pemerintahan Habibie, keadaan politik di Aceh belum pulih

hingga pada tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, dan BJ. Habibie digantikan oleh Gus Dur. Untuk menyelesaikan konflik Aceh, Gus Dur menawarkan otonomi sepenuhnya bagi Aceh, menerapkan syariat Islam dan pembagian hasil dari

38

Harry Kawilarang. 2010. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing. hal. 160.

39

(8)

pendapatan eksploitasi gas dan minyak bumi di Aceh. Akan tetapi di sisi lain, sebagian besar kesepakatan Gus Dur ditentang oleh Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta dan juga wakil presiden Megawati yang menilai bahwa hal tersebut akan memberikan peluang munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.

Melihat keadaan tersebut, kemudian Hasan Tiro dan Gus Dur mulai

menunjukkan keinginan untuk berdamai. Kemudian pada tanggal 27 Januari 2000

terjadi perundingan yang difasilitasi oleh Hendry Dunant Centre40 di Geneva.

GAM dan pemerintah Gus Dur memasuki proses negosiasi pada bulan Januari tahun 2000 untuk mencari jalan keluar penyelesaian konflik di Aceh. Walaupun perundingan telah dilakukan, akan tetapi tetap saja terjadi kekerasan di Aceh yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan GAM. Selanjutnya pada tahun 2002, HDC kembali memfasilitasi penandatanganan kesepakatan penghentian permusuhan. Bahkan hal tersebut tetap saja gagal dan kontak senjata masih terus berlanjut.

Dalam perkembangan selanjutnya, tentara Indonesia menolak untuk

menarik diri dan GAM juga menolak untuk meletakkan senjata. Kemudian Presiden Indonesia selanjutnya yakni Megawati Soekarni Putri, kembali melaksanakan status darurat militer di Aceh. Dampaknya hal tersebut justru semakin memperparah keadaan politik di Aceh. Selanjutnya pada September 2004, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan

40

Hendry Dunant Centre (HDC) merupakan lembaga non pemerintah yang berpusat di Genewa Swiss dan menjadi mediator konflik antara Indonesia dan GAM.

(9)

wakil presiden berikutnya. Pada 26 Desember 2004, Aceh dilanda bencana tsunami yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa rakyatnya menjadi korban dan memporak-porandakan Aceh.

Eksistensi ataupun keberadaan Aceh di dunia Internasional sebelum

bencana tsunami tidaklah begitu diperhatikan. Akan tetapi saat tsunami melanda Aceh, banyak negara yang datang memberikan bantuan kepada Aceh sehingga membuat Aceh semakin dikenal di dunia Internasional dan juga mulai terbukanya berbagai permasalahan konflik kekerasan yang telah terjadi di Aceh selama berpuluh tahun lamanya. Namun bencana tsunami juga tidak mengurangi ketegangan yang terjadi antara pihak tentara Indonesia dengan GAM.

Kemudian pada 15 Agustus 2005 tercapailah kesepakatan damai antara

pemerintah Republik Indonesia dengan GAM di Helsinki, Finlandia, yang di mediasi oleh mantan Presiden Finlandia yaitu Martti Ahtisaari dan Ketua Dewan

Direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator proses negosiasi. Hal

tersebut dapat terwujud setelah sebelumnya telah terjadi lima kali perundingan dalam rangka mencapai perdamaian bagi kedua belah pihak. Perjanjian

perdamaian ini kemudian dikenal dengan MoU Helsinki.41 MoU (Memorandum of

Understanding) atau Nota Kesepahaman ini nantinya bahwa kedua belah pihak akan melakukan sesuatu untuk tujuan tertentu sesuai dengan isi yang telah disepakati di dalam nota kesepahaman tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut yang

41

Isi mengenai MoU Helnsinki secara lengkap dapat dilihat di http://www.acehkita.com/naskah-perjanjian-damai-ri-dan-gam/ Di Akses pada tanggal 12 Desember 2015 Pukul 21.28 WIB

(10)

kemudian menjadi landasan perdamaian antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Wakil Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu juga terlibat dalam upaya perdamaian di Aceh, yakni Jusuf Kalla, pada 17 April 2007 dalam buku berjudul Aceh Baru : Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi, mengatakan:

Perdamaian itu mahal. Tapi jauh lebih murah daripada perang.

Perdamaian di Aceh dicapai dengan jalan panjang, berbelit dan penuh

kesabaran.”

Begitulah dinamika sejarah yang terjadi dalam upaya menciptakan perdamaian di bumi Aceh (Serambi Mekkah) tersebut.

Selanjutnya roda pemerintahan Republik Indonesia tetap bergulir dari satu

presiden ke presiden lainnya. Runtuhnya kekuasaan presiden Soeharto telah mewujudkan pemerintahan yang lebih demokratik bagi bangsa Indonesia. Salah satunya yakni ditandai dengan pemberian otonomi khusus kepada beberapa daerah yang ada di seluruh Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Undang-undang inilah yang kemudian menjadi dasar penerapan syariat

Islam di Aceh, dimana isi daripada Keistimewaan untuk Aceh berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama

dalam penetapan kebijakan daerah.42 Selain itu, dalam undang-undang tersebut

42

(11)

juga ditegaskan bahwa Aceh diberikan keistimewaan yaitu pelaksanaan Syariat

Islam dalam aspek kehidupan sosial masyarakat secara menyeluruh (kaffah).43

Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh akan diatur oleh hukum syariat yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad, baik yang diambil dari pendapat dan penafsiran para ulama Islam terdahulu ataupun berdasarkan hasil musyawarah ulama Aceh yang ada saat ini dengan berlandaskan pada konteks budaya dalam masyarakat Aceh.

Perkembangan selanjutnya yang dialami Aceh, yakni pada tahun 2001

pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam undang-undang ini, hal-hal yang bersifat umum yang terdapat pada undang-undang sebelumnya dibuat menjadi lebih khusus, yaitu dengan menetapkan peraturan daerah Aceh yang disebut dengan qanun, dan diakuinya Mahkamah Syariah sebagai bagian dari sistem peradilan di Indonesia.44

Undang-undang ini kemudian menjadi dasar dari lahirnya beberapa qanun

pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Undang-Undang Nomor 11

43

Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa Syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang meliputi empat hal yakni dalam menyelenggarakan kehidupan beragama, pendidikan, kehidupan adat, dan menempatkan ulama dalam penetapan kebijakan.

44

(12)

Tahun 2006 yang kemudian menegaskan lahirnya undang-undang yang mengatur syariat Islam di Aceh yang disebut dengan qanun. Qanun lahir melalui proses perundingan di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), dimana qanun inilah yang kemudian menjadi hukum resmi syariat Islam di Aceh.

Qanun adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah

yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Berikut ini adalah Qanun Aceh yang diterbitkan pada tahun 2014 :45

 Qanun Aceh no 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum

 Qanun Aceh no 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan Tertentu

 Qanun Aceh no 4 Tahun 2014 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2013

 Qanun Aceh no 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

 Qanun Aceh no 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan

 Qanun Aceh no 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam

 Qanun Aceh no 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah

 Qanun no 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1

Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh

 Qanun no 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

45

http://www.acehprov.go.id/hukum/read/59/qanun-2014.html Di Akses pada tanggal 12 Desember 2015 Pukul 11.56 WIB.

(13)

2.2 Latar Belakang Pembangunan Banda Aceh Pasca MoU Helsinki

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi yang

ada di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sebelumnya bernama Daerah Istimewa Aceh, sejak tahun 1999

memiliki delapan belas kabupaten dan lima pemerintahan kota.46 Ibukota dari

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah Banda Aceh. Kota Banda

Aceh terletak antara 05○ 16‟ 15” - 05○ 36‟ 16” Lintang Utara dan 95○ 16‟ 15” - 95○

22‟ 35” Bujur Timur dengan tinggi rata-rata diatas permukaan laut 0.80 meter. Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan dan 90 gampong (desa). Kecamatan yang berada di kota Banda Aceh adalah Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Leung Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Batas-batas wilayah kota Banda Aceh sebelah utara adalah Selat Malaka, sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Banda Aceh memiliki luas wilayah

yaitu 61,36 Km2.47

Dahulunya sebelum menjadi kota Banda Aceh, kota ini memiliki

sejarahnya tersendiri. Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puing-puing kerajaan hindu dan budha. Dari penemuan batu-batu nisan di Gampong Pande, salah satu dari batu

46

http://www.negeripesona.com/2013/05/nama-kabupaten-kota-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam.html. Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.18 WIB.

47

BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”. BPS Kota Banda Aceh. hal.1. Isi selengkapnya dapat di unduh pada http://bappeda.bandaacehkota.go.id/galeri/banda-aceh-dalam-angka/ Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.52 WIB.

(14)

nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Maka terungkaplah bahwa Kutaraja adalah Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Keterangan lain mengenai Kerajaan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali Mughayat Syah. Kendati masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Pada masa ini, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perompakan yang dilakukan armada Portugis.

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan

Aceh dibangun ulang diseberang Krueng Aceh. Selain itu, beliau juga mendirikan Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 691 H dan Bandar Aceh Darussalam dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa Agresi Belanda yang kedua, Gubernur Van Swieten memproklamirkan jatuhnya Kesultanan Aceh dan mengubah nama Banda Aceh Darussalam menjadi Kuta Raja. Pergantian nama ini menimbulkan banyak pertentangan. Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia, sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemeirntahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43.

(15)

Berdasarkan sejarah diatas, maka diketahui bahwa Banda Aceh sudah berusia

lebih dari 800 tahun dengan penetapan hari jadi pada tanggal 22 April.48

Selanjutnya mengenai profil kota Banda Aceh, yakni bahwasanya kota

Banda Aceh dibelah oleh Krueng Aceh yang merupakan sungai terpanjang di kawasan kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. Kota Banda Aceh diapit oleh dua patahan, yaitu patahan darul imarah dan darussalam, dan kedua patahan yang merupakan sesar aktif tersebut diperkirakan bertemu pada pegunungan di sebelah tenggara, sehingga dataran Banda Aceh merupakan batuan sedimen yang

berpengaruh kuat apabila terjadi gempa di sekitarnya.49 Kemudian, tentunya

sebagai sebuah kota maka Banda Aceh juga memiliki lambangnya tersendiri.

Lambang Kota Banda Aceh mengandung tujuh unsur perlambangan, yaitu :50

1. Pancasila yang dilambangkan dengan :

a. Lima warna yang terdapat dalam lukisan lambang daerah yaitu

kuning, hijau, hitam, merah, dan putih

b. Puncak masjid dengan latar belakang gunongan yang semuanya

berjumlah lima puncak

c. Lima buah sudut di bagian atas perisai

48

Keterangan mengenai sejarah kota Banda Aceh terdapat pada pajangan yang ada di Kantor Walikota Banda Aceh dan dapat dilihat di lampiran.

49

Keterangan mengenai profil kota Banda Aceh terdapat pada pajangan yang ada di Kantor Walikota Banda Aceh dan dapat dilihat di lampiran.

50

Banda Aceh Dalam Angka tahun 2011. http://bappeda.bandaacehkota.go.id/galeri/banda-aceh-dalam-angka/ Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.52 WIB.

(16)

2. Kebudayaan/keagamaan, yang dilambangkan dengan Gunongan dan Kubah Masjid

3. Kemakmuran yang dilambangkan dengan Lada dan Padi

4. Kepahlawanan yang dilambangkan dengan Rencong Terhunus

5. Pendidikan/semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, yang dilambangkan

dengan Tugu Kota Pelajar/Mahasiswa Darussalam

6. Pelindung/pembela rakyat yang dilambangkan dengan Perisai

7. Keagungan yang dilambangkan dengan warna kuning

Banda Aceh dengan statusnya sebagai sebuah Wilayah Administrasi Kota

dipimpin oleh seorang Walikota. Walikota membawahi Pemerintahan Daerah yaitu Camat sebagai pemimpin Kecamatan. Camat membawahi Kepala Gampong yang berada di dalam wilayahnya. Kota Banda Aceh yang memiliki 9 kecamatan dan 90 gampong, dengan demikian terdapat 9 orang camat dan 90 kepala desa (geuchik). Setiap kepala pemerintahan tersebut memiliki wewenang untuk mengatur roda administrasi wilayahnya masing-masing.

Selanjutnya dalam perkembangannya yang dinamis, kota Banda Aceh

telah mengalami Pemekaran Wilayah Administrasi. Pada tahun 2000, Kecamatan Meuraxa mengalami pemekaran dengan dua tambahan kecamatan baru, yaitu Kecamatan Banda Raya dan Kecamatan Jaya Baru. Selain itu, Kecamatan Baiturrahman mekar dengan satu kecamatan tambahan yaitu Kecamatan Leung

(17)

Bata.51 Menurut data dari Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, jumlah penduduk kota Banda Aceh pada pertengahan tahun 2014 dari sembilan kecamatan yang ada yakni 249 499.00 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk

per desa sekitar 2 772.00 jiwa.52

Mayoritas penduduk kota Banda Aceh merupakan penganut agama Islam.

Sekitar 98 persen penduduk kota Banda Aceh memeluk agama Islam dan 2 persen agama lainnya. Penduduk non muslim paling banyak bertempat tinggal di Kecamatan Kuta Alam. Dari segi pertanian, sektor ini di kota Banda Aceh bukan merupakan sektor unggulan dari kegiatan perekonomian masyarakatnya. Hal ini disebabkan kondisi geografis kota Banda Aceh yang kurang mendukung untuk kegiatan di sektor pertanian. Tetapi sub sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sub sektor yang paling banyak memberikan kontribusi bagi perekonomian kota Banda Aceh dibandingkan sub sektor lainnya.

Sub sektor ini menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, hal ini

disebabkan letak kota Banda Aceh yang dikelilingi laut. Di sekitar pesisir pantai mayoritas penduduknya merupakan nelayan atau berusaha di sektor perikanan dan

kelautan.53 Selanjutnya dalam sektor perindustrian, di kota Banda Aceh sektor ini

lebih didominasi oleh industri berskala kecil atau disebut industri rumah tangga. Setelah perekonomian Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998, sektor

51

BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”. BPS Kota Banda Aceh. hal. 9. 52

http://bandaacehkota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/3. Di Akses pada tanggal 19 Februari 2016 Pukul 23.40 WIB.

53

(18)

industri rumah tangga merupakan salah satu sektor yang bertahan dari lesunya perekonomian saat itu. Tidak berbeda dari wilayah lainnya, kota Banda Aceh juga ditopang oleh industri rumah tangga ini. Pada tahun 2010, jumlah unit usaha industri kecil formal di kota Banda Aceh sebanyak 1.171 unit dan industri kecil

non formal sebanyak 2.280 unit.54

Berbagai peristiwa telah terjadi di Aceh, dimulai dari konflik

berkepanjangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, kemudian tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang membawa duka bagi Aceh, hingga tiba pada tahap pencapaian perdamaian yang terwujud dalam MoU Helsinki. Bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004, telah meluluhlantakkan kota Banda Aceh. Bencana ini menghancurkan sebanyak 2/3 infrastruktur, 21.751 unit rumah, 169 unit fasilitas pendidikan, 25 unit fasilitas kesehatan, 302 km jalan, 63 unit gedung pemerintahan dan bangunan pasar rusak parah, hancurnya 46 fasilitas sosial serta hilang dan tewasnya 61.065 jiwa.

Namun berbekal mental masyarakat Aceh yang teguh, sabar dan tidak

berputus asa serta didukung oleh berbagai jenis bantuan baik dari nasional

maupun internasional, kota Banda Aceh pun kembali bangkit.55 Dalam menangani

masalah tsunami di Aceh maka pada awal Maret 2005, pemerintah mengadakan proses perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Banda Aceh yang melibatkan berbagai pihak, termasuk donor internasional, Non Government Organization

54

BPS Kota Banda Aceh. 2011. “Banda Aceh dalam Angka 2011”. BPS Kota Banda Aceh. Op.Cit. hal. 151.

55

Keterangan mengenai profil kota Banda Aceh terdapat pada pajangan yang ada di Kantor Walikota Banda Aceh dan dapat dilihat di lampiran.

(19)

(NGO) baik dari dalam maupun luar negeri, serta dari pihak masyarakat umumnya.

Pasca MoU Helsinki, telah terjadi babak kehidupan baru yakni tercapainya perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandai dengan berakhirnya konflik antar keduanya. Hal tersebut kemudian menimbulkan dampak yang cukup signifikan bagi Aceh. Tentunya sebagai ibukota dari Provinsi Aceh (Nanggore Aceh Darussalam), maka Banda Aceh juga tidak terkecuali dalam hal ini. Beberapa dampaknya dapat dilihat melalui tiga ruang lingkup, yaitu ruang lingkup sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam ruang lingkup sosial, dapat dilihat melalui diterapkannya syariat

Islam secara menyeluruh di Aceh melalui dibentuknya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tahun 2006. Sebagai upaya dalam mendukung penerapan syariat Islam tersebut, maka dibentuklah qanun (peraturan daerah Aceh), salah satu contohnya saat ini yakni qanun jinayat nomor 6 tahun 2014 mengenai aturan tentang hukuman atas perilaku jarimah yang luas termasuk di dalamnya meliputi maisir (judi), khamar (minum-minuman keras), dan khalwat (mesum).

Selanjutnya dalam ruang lingkup ekonomi, yakni sebelum tsunami dan

Mou Helsinki disepakati, kondisi perekonomian Aceh sangatlah miris terutama akibat dari konflik yang terjadi berkepanjangan. Namun setelah tsunami dan Mou Helsinki telah disepakati, kondisi perekonomian Aceh mulai membaik dimana

(20)

infrastruktur seperti gedung pemerintahan, pasar-pasar, sekolah-sekolah sudah mulai dibangun. Jika dilihat dari segi pendidikan juga terjadi dampak yang cukup signifikan. Sebelum bencana gempa dan tsunami terjadi, gambaran umum pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang memprihatinkan. Konflik politik dan kekerasan bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan GAM semakin memperbesar masalah pendidikan disana. Hal tersebut dapat dilihat seperti terjadinya peristiwa pembakaran gedung sekolah, penculikan dan pembunuhan guru, kegiatan sekolah yang sering diliburkan, sehingga menyebabkan banyaknya anak yang menjadi traumatis dan menjadi korban, dimana keadaan tersebut yang semakin mempersulit dalam membangun dunia

pendidikan di NAD selama ini.56

Pasca bencana gempa dan tsunami, keadaan proses belajar mengajar di

NAD mulai membaik. Adanya keseriusan dari pemerintah, badan-badan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (NGO/LSM) serta relawan-relawan lainnya telah membuat keadaan pendidikan di NAD mengalami kemajuan. Walaupun awalnya pemerintah mengalami kendala yang cukup kompleks, salah satunya yakni mengenai perlunya biaya yang besar dalam membangun kembali

pendidikan di NAD.57 Namun beberapa tahun pasca kejadian tersebut, kemajuan

pembangunan infrastruktur di Aceh meningkat bahkan bangunan seperti pusat

56

digilib.upi.edu/administrator/fulltext/d_adpen_039737_khairuddin_chapter1.pdf pdf tentang pendidikan di NAD. hal. 3-4.

57

(21)

perbelanjaan (mall), tempat rekreasi, hotel, sudah mulai terdapat di Aceh, terutama Banda Aceh.

Kemudian dari segi politik, terbentuknya MoU Helsinki merupakan

sebuah awal yang penting, dikarenakan dalam mengimplementasikan perjanjian tersebut terdapat peran GAM yang cukup signifikan. Peran GAM dalam proses reintegrasi menjadi penting untuk diperhatikan, terutama dengan masuknya kalangan GAM ke dalam pemerintahan lokal pasca pilkada langsung pada Desember 2006. Kemenangan tersebut telah membuka jalan bagi kalangan GAM, yang sebelumnya bukan hanya berada di luar melainkan juga berhadapan dengan pemerintah, untuk terlibat langsung dalam proses kebijakan publik di Aceh. Seperti yang telah diketahui bahwa dalam pilkada langsung sebelumnya, calon kepala daerah dari kalangan GAM berhasil meraih kemenangan di beberapa daerah. Salah satunya yakni mantan GAM yang berhasil menjabat sebagai Gubernur Aceh, yang diraih oleh pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar.58

Sekalipun pada akhirnya yang dicapai adalah Nota Kesepahaman dengan

Republik Indonesia, pihak GAM telah mampu menjadikan kekhususan dan identitas yang diperjuangkannya sebagai bagian yang harus diterima oleh pemerintah Republik Indonesia. Masuknya sifat-sifat khusus pemerintahan Aceh yang dilakukan oleh para perunding GAM menunjukan tingkat keberhasilan akan

58

M. Hamdan Basyar, dkk. 2008. Aceh Baru : Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. xvi.

(22)

hal itu. Sekalipun GAM tidak memiliki jumlah pasukan dan anggota yang banyak, namun mereka dapat memasuki lapangan politik praktis. Dalam pemilihan langsung kepala daerah di Aceh, GAM dan SIRA (organisasi yang didirikan oleh kalangan kampus) memperoleh kemenangan. Dalam hal tersebut, masyarakat Aceh yang terluka akibat konflik berkepanjangan lebih memberikan tempat kepada kelompok yang pernah dengan gigih berjuang melepaskan Aceh dari Indonesia. Maka dalam perkembangan selanjutnya, GAM juga mendirikan partai politik lokal.59

Seperti yang dikatakan oleh pasangan walikota dan wakil walikota Banda

Aceh yakni Mawardy Nurdin dan Illiza Sa‟aduddin Djamal dalam dokumen pencalonan mereka sebelumnya yaitu pada Oktober 2011, mereka mengatakan bahwa :60

Banda Aceh paska tsunami secara pasti bergerak lebih maju dan

memberi warna tersendiri di antara sejumlah ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Terbukti dengan berbagai penghargaan yang diraih kota kita tercinta ini. Untuk tingkat nasional, misalnya, kota Banda Aceh mendapatkan penghargaan Adipura yang membuktikan kita berada di kota yang bersih. Sedangkan di level provinsi, Banda Aceh adalah juara umum pendidikan se-Aceh, penghargaan ini menunjukkan kita melaksanakan pemerataan akses dan perluasan pendidikan di Banda Aceh.

Hal tersebut membuktikan bahwa Banda Aceh mampu bangkit dari keterpurukan yang melanda dan akhirnya kemudian semakin berkembang menjadi kota yang lebih baik setelahnya. Berikut akan dipaparkan gambar visual yang

59

Indra Jaya Piliang. 2010. Bouraq-Singa Komtra Garuda : Pengaruh Sistem Lambang Dalam Separatisme GAM Terhadap RI. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hal. 153.

60

(23)

menggambarkan keadaan kota Banda Aceh yang telah bangkit melawan keterpurukan akibat bencana gempa dan tsunami yang pernah melanda pada tahun 2004. Banda Aceh dulunya bernama Kutaraja, yang saat ini telah berusia 810 tahun. Pada gambar dibawah ini, juga terdapat sebuah masjid yang terletak di tengah kota dan menjadi kebanggaan masyarakat Banda Aceh-Masjid Raya Baiturrahman, yang juga dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang telah kembali berdiri kokoh.

Gambar: 1 Visual digital jejak Banda Aceh 2004 dan jejak cahaya dalam 2015.61

Referensi

Dokumen terkait

Proses konstruksi mahasiswa yang berkemampuan spatial visualization (SV) dalam menyelesaikan masalah geometri bidang berdasarkan indikator proses konstruksi

Model peer teaching yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah pola pembelajaran antar sesama siswa, dimana memanfaatkan anak yang dianggap mempunyai tingkat

Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat rencana produksi menggunakan Newsboy Problem karena produk susu termasuk Perishable Product

Pada pelaksanaan shalat Dhuha ini yang menjadi imam adalah dari salah satu peserta didik laki-laki yang mendapat tugas dari guru pendidikan agama Islam PAI untuk menjadi imam di

PENGARUH PROFITABILITAS, KUALITAS AUDIT, INDEPENDENSI AUDITOR, UKURAN PERUSAHAAN, DAN LEVERAGE TERHADAP MANAJEMEN LABA Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

1) Dra. Endang Sri Rahayu, M.Pd., selaku dosen pembimbing materi yang telah membimbing peneliti sejak awal penyusunan proposal hingga skripsi ini selesai serta

Sehingga dilakukan tugas akhir dengan judul "Perancangan Aplikasi Chat Translator Berbasis Desktop Untuk Komunikasi Dua Bahasa Dalam Jaringan Komputer"yang

Dengan pengembangan nested timidine kinase untuk deteksi cepat, spesifik, dan sensitif pada KHV dapat digunakan secara luas untuk aplikasi metode deteksi KHV dan pencegahan awal