• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGALI MAKNA ASAS LEGALITAS DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGGALI MAKNA ASAS LEGALITAS DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

The principle of legality is a fundamental principle in the Criminal Code and the Islamic Criminal Law. The Bill of Criminal Code of Indonesia recognizes the principle of material legality (not absolutely applicable). Then, the consequences, in spite of not regulated in legislation, are that the person‘s acts are worth to be convicted. The person can be convicted as based on living law in the community. The principle of legality in the positive law could be abandoned on condition that the crime threatens public order and security. In Islamic Criminal Law, the principle of legality could also be abandoned on condition that the crime threatens public order and security.

Abstrak

Asas Legalitas merupakan asas yang sangat fundamental di dalam Hukum Pidana Positif dan Pidana Islam. RUU KUHP Indonesia mengakui asas legalitas materiil (tidak berlaku absolut), maka konsekuensinya, walaupun tidak diatur di dalam perundang-undangan, bahwa perbuatan seseorang patut dipidana. Seseorang dapat dipidana dengan mengacu pada hukum yang hidup di dalam masyarakat. Asas Legalitas dalam hukum positif sebenarnya bisa disimpangi, dengan catatan tindak pidana itu mengancam ketertiban dan keamanan umum. Di dalam Hukum Pidana Islam asas legalitas juga dapat disimpangi dengan catatan mengancam ketertiban dan keamanan umum.

Kata Kunci: Asas Legalitas, Hukum Pidana Positif, Hukum Pidana Islam

MENGGALI MAKNA ASAS LEGALITAS

DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Ach. Tahir

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta, Email: ach_tahir@yahoo.com

(2)

A. Pendahuluan

Salah satu asas pokok di dalam hukum pidana yang sering mendapatkan perhatian adalah asas legalitas. Hal ini disebabkan karena asas legalitas sebagaimana sejarah kelahirannya, bertumpu pada keadilan individu. Dengan asas legalitas (formil) ini, keadilan individu dilindungi oleh hukum pidana dari kesewenang-wenangan penguasa. Ketika asas legalitas (formil) berhadapan dengan hukum adat sebagaimana di Indonesia, asas legalitas (formil) diuji keperpihakannya kepada dua sasaran keadilan, yakni masyarakat dan individu. Muncullah kemudian apa yang disebut dengan asas legalitas materiil.1

Aturan mengenai kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu dalam kajian ilmu hukum pidana merupakan aturan yang sangat fundamental. Dikatakan fundamental karena aturan ini menentukan berlaku tidaknya suatu aturan pidana terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan pada waktu tertentu. Oleh sebab itu, sangat wajar dalam hukum pidana suatu negara asas ini disebutkan pertama kali dalam aturan hukum pidananya. Seperti dalam Pasal 1 KUHP Indonesia, Pasal 1 KUHP Korea, Pasal 2 KUHP Thailand, Pasal 1 dan 2 KUHP Polandia serta Pasal 3 KUHP Norwegia.2

Dalam kajian ilmu hukum pidana, kekuatan berlakunya hukum pidana menurut waktu memuat beberapa asas, yaitu asas legalitas dan asas temporis delicti yang masing-masing mempunyai konsekuensi logis atas pengaturannya. Konsekuensi yang muncul pada asas legalitas adalah sering kali perbuatan yang jahat, namun ternyata tidak tercantum dalam hukum pidana. Dengan tidak dicantumkannya dalam hukum pidana, maka perbuatan tersebut lepas dari jerat hukum berdasarkan asas legalitas.3

Adapun istilah asas legalitas dalam hukum pidana Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Undang-Undang Pidana positif.4 Kendati demikian bukan berarti syari’at Islam 1 Ahmad Bahiej, “Asas Legalitas Materiil: Mewujudkan Keseimbangan

Keadilan Individu dan Masyakarakat”, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 43, Edisi Khusus, 2009, hlm.129.

2 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1990), hlm.79-88.

3 Ahmad Bahiej, Asas Legalitas..., hlm.130.

4 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Bidang

(3)

(hukum pidana Islam) tidak mengenal asas legalitas, akan tetapi secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.5 Secara substansial, asas

legalitas terdapat di dalam ayat al-Qur’an dan kaidah yang mengisyaratkan adanya asas legalitas dalam hukum pidana Islam. Tulisan ini menelusuri sejarah dan makna asas legalitas dalam perspektif hukum pidana positif serta konteksnya dengan Hukum Pidana Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga akan menelusuri asas legalitas dalam perspektif hukum pidana Islam.

B. Sejarah Asas Legalitas

Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 180. Menurut Bambang Poernomo, apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang)6.

Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, principal hukum Romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu.7

Menurut Moeljatno, bahwa pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria, yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini terdapat crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya.8

5 Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri>’ al-Jina>i al-Isla>mi (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.

I), hlm.118.

6 Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam

Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 Juli 1989, hlm.8.

7 John Gillisen dan Frist Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar (Bandung:

Refika Aditama,2005), hlm.177.

(4)

Pada zaman itu, sebagian besar hukum pidana tidak tertulis, sehingga dengan kekuasaannya yang sangat absolute, raja dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang. Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana perbuatan yang tidak dilarang. Proses pengadilan berjalan tidak adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum dari hakim yang mengadili.9 Pada saat yang

bersamaan muncul ahli fikir seperti Montesquieu dan JJ. Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis. Demikianlah yang terjadi, pasca-revolusi Perancis, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.10

Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, maka sangatlah mungkin ada yang beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi kuno.11 Sesungguhnya menurut Moeljatno, baik adagium ini

maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi kuno.12

Demikian pula menurut Sahetapy, yang menyatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa ’dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu.13

Ada pula pihak yang berpendapat bahwa asas legalitas seolah berasal dari ajaran Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya L’ Esprit des Lois, 1748. Menurut Montesquieu, dalam pemerintahan yang moderat, hakim harus berkedudukan terpisah dari penguasa dan harus memberikan hukuman setepat mungkin sesuai ketentuan harfiah hukum. Hakim harus bertindak hati-hati untuk menghendari tuduhan tidak adil terhadap orang-orang yang tidak bersalah.14 Ajaran Montesquieu bertujuan untuk 9 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1994), hlm.24.

10 Rene David & John E.C Brierley, Major Legal Systems In The World Today,

Third Edition (London: Stevens & Sons, 1985), hlm.63.

11 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama,2003), hlm. 356.

12 Moeljatno, Asas-Asas..., hlm.23.

13 J.E. Sahetapy, “Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang”, KHN Newsletter,

Edisi Mei 2003, hlm. 21.

14 Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik,

(5)

melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pihak peradilan arbitrer, yang pada zaman sebelum revolusi Perancis menjadi suatu kenyataan yang umum di Eropa Barat.

Menurut van der Donk dan Hazewinkel Suringa, baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.15 Sementara

komentar Hans Kelsen terhadap prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana.16

Terkait dengan asas legalitas yang diajarkan oleh Feuerbach, sebenarnya dikehendaki penjeraan yang tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan, sehingga kejahatan dan pidananya harus dicantumkan dengan jelas. Teori asas legalitas Feuerbach ini dikenal dengan psycologische dwang.17 Artinya, untuk

menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, bukan hanya perbuatan-perbuatan itu saja yang harus dituliskan dengan jelas dalam undang-undang pidana, tetapi juga macam-macam pidana yang diancamkan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang ingin melakukan perbuatan pidana dapat mengetahui terlebih dahulu tentang pidana apa yang diancamkan. Dengan demikian ada perasaan takut dalam batin orang tersebut untuk melakukan perbuatan yang dilarang.18 Oleh van der Donk dikatakan bahwa maksud ajaran Feuerbach

ini adalah membatasi hasrat manusia berbuat jahat.19

Jika memang demikian, ajaran Feuerbach dengan psycologische dwang-nya, menurut Sahetapy dalam penelitian disertasidwang-nya, bukankah Feuerbach yang pertama kali mengemukakan teori tersebut, melainkan

15 E. Utrecht, Hukum Pidana I (Bandung: Penerbitan Universitas,1960),

hlm. 194.

16 Hans Kelsen,General Theory Of Law And State (New York: Russell &

Russell,1944), hlm. 52.

17 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum

Pidana (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm.13.

18 Moeljatno, Asas-Asas..., hlm. 25. 19 E. Utrecht, Hukum.., hlm. 195.

(6)

Samuel von Pufendorf. Secara tegas dinyatakan oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan karenanya mencegah orang untuk tidak berbuat dosa. Dengan demikian, mereka akan patuh pada hukum20. Demikian pula perihal asas

legalitas, masih menurut Sahetapy yang mengutip Oppenheimer, bukanlah Feuerbach yang pertama kali mengemukakan asas tersebut melainkan Talmudic Jurisprudence.21

Talmudic berasal dari kata Talmud yang berarti studi. Talmud berisikan Mysna dan Gemara22yang pertama kali ada di Yerusalem dengan basis di

Gemara Palestina dan kemudian di Babilonia dengan basis Gemara Babilonia. Talmud Babilonia inilah yang kemudian dimasukkan dalam pereode kodifikasi Romawi yang diakui secara umum oleh umat Yahudi dan merupakan kompilasi yang serba luas dan naskah-naskah keagamaan, ajaran-ajaran hukum, naskah-naskah sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya.23

C. Definisi dan Makna Asas Legalitas

Jonkers menyatakan bahwa menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan. Pasal ini adalah suatu pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukanlah peraturan hukum yang konkret.24 Ditegaskan oleh Sudikno, bahwa asas hukum bukanlah

kaedah hukum konkret, melainkan latar belakang peraturan yang konkret dan bersifat umum atau abstrak.25

20 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana

(Desertasi,1978), hlm. 244.

21 Ibid., hlm. 251.

22Mysna artinya ‘pengajaran’ yang berisi himpunan pendapat para rabi tentang

berbagai permasalahan yang tadinya merupakan ‘hukum lisan’. Mysna ini lebih menonjolkan pendapat minoritas versus pendapat mayoritas mengenai berbagai permasalahan. Mysna tersebut ditulis oleh seorang Nabi Palestina yang bernama Yehuda Hanassi. Sedangkan Gemara adalah glossen atau catatan-catatan dari ulasan-ulasan Mysna yang ditulis pada abad II, IV dan V di Palestina dan Babilonia. Lihat lebih lanjut John Gilissen & Frits Gorle, Sejarah Hukum..., hlm. 144.

23 Ibid., hlm.145.

(7)

Masalah definisi asas legalitas, terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana26 bahwa pengertian asas legalitas adalah:

“Tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”.27

Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah definisi baku dari asas legalitas.

Perihal makna yang terkandung dalam asas legalitas terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli hukum pidana. Pemikiran yang sederhana mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas dikemukakan oleh Enschede. Menurut Enschede, hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu:

Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...).28 Makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Enschede ini

sama dengan makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, yaitu bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.29

Pendapat Sudarto mirip dengan Enschede dan Wirjono. Sudarto mengemukakan adanya dua hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sudarto kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai

25 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyakarta:

Liberty, 2003), hlm.34-35.

26 Lihat definisi asas legalitas, dalam Jan Remmelink, Hukum Pidana...,

hlm. 356. D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E Sahetapy,Hukum Pidana..., hlm. 5. Moeljatno, Asas-Asas..., hlm. 23. Sudarto,

Hukum Pidana I (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,1990),

hlm. 22. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Refina Aditama, 2003), hlm. 42.

27 Eddy O.S Hiariej, “Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas”,

Jentera Jurnal Hukum, Edisi 16-tahun IV, April-Juni 2007, hlm. 124.

28 Ch.J., Enschede, Beginselen Van Strafrecht (Deventer: Kluwer, 2002), hlm. 26. 29 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas....,hlm. 42.

(8)

suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan konsekuensi dari makna yang kedua adalah tidak boleh berlaku surutnya hukum pidana.30

Menurut Groenhuijsen seperti yang dikutip Komariah Emong Sapardjaja, ada empat makna yang terkandung dalam asas ini. Dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat di dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang menerapkan analogi.31

Menurut Moeljatno, ada tiga pengertian yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, dalam menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.32

Selanjutnya, bila kita merujuk ketiga frasa yang dikemukakan oleh Feuerbach yang melahirkan asas legalitas sebagaimana yang telah diutarakan di atas, yakni nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang), asas legalitas ini berlaku baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil. Frasa nulla poena sine lege dan nulla poena sine crimine lebih mengarah pada hukum pidana materiil yang berisi perbuatan yang dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan frasa terakhir, nullum crimen sine poena legali lebih mengarah pada hukum pidana formil.

30 Sudarto, Hukum..., hlm. 22-24.

31 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam

Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam

Yurisprudensi) (Bandung: Penerbit Alumni, 2002), hlm. 5-6.

(9)

D. Asas Legalitas Dalam Konteks Hukum Pidana Indonesia

Asas Legalitas ini pertama-tama berwujud sebagai undang-undang dalam Konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de I’homme et du citoyen 1789: “ nul ne peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulguee anterieurement au delit et legalement appliquee33(Tidak

ada seorang pun yang dapat dipidana berdasarkan hukum yang disusun dan diundangkan sebelum delik tersebut diterapkan secara legal). Asas ini selanjutnya dimasukkan ke dalam Pasal 4 Code Penal Perancis yang disusun oleh Napolen Bonaparte, “Nulle contravention, nul delit, nul crime, ne peuvent etre punis de peines qui n’ etaient pas prononcees par la loi avant qu’ils fussent commis”34 (Tidak ada pelanggaran, tidak ada delik, tidak ada

kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum aturan itu diadakan terlebih dulu). Dari Code Penal Perancis inilah asas tersebut kemudian dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht di Negeri Belanda. Selanjutnya, asas tersebut dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia.35

Di Indonesia sendiri, asas legalitas dalam konstitusi baru dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945. Pasal 28 I ayat (1) menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Sedangkan Pasal 28J ayat (2) menyatakan:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”36

33 Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas..., hlm. 28. 34 E. Utrecht, Hukum...., hlm. 193.

35 “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana

dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

36 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal, hlm.35-36.

(10)

Kembali pada asas legalitas dalam konteks hukum nasional, khususnya di Indonesia, berikut ini penulis ingin mengulas asas legalitas berkaitan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sampai saat ini masih menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Apabila kita merujuk pada Rancangan KUHP (RUU KUHP), di Indonesia tampaknya asas legalitas tidak berlaku secara absolut. Lebih jelasnya, lihat Pasal 1 RUU KUHP Indonesia.

BAB I

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

Bagian Kesatu Menurut Waktu

Pasal 1

1. Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telap ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

RUU KUHP tersebut di atas, maka perlu adanya beberapa catatan: Pertama, di masa depan, asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak bersifat absolut karena adanya ketentuan ayat (3) yang secara implisit mengakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat. Kedua, ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang

(11)

tidak diatur dalam perundang-undangan, mau tidak mau, hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi ekstensif. Padahal, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan prinsip antara interpretasi ekstensif dengan analogi.

Ketiga, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) di atas, hukum yang tidak tertulis tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta kearifan lokal semata, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Artinya, asas legalitas ini juga dapat disesuaikan (diadaptasikan) dengan praktik hukum kebiasaan yang telah berlangsung dan diakui oleh masyarakat internasional.

Keempat, pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam pasal di atas, kiranya telah sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”37. Menurut Mahfud MD, perumusan Pasal 1 ayat (3) tanpa

embel-embel ’rechtsstaat’ seperti dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dimaksudkan agar konsep negara hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah negara hukum prismatik. Artinya, menggabungkan segi-segi positif antara rechtsstaat dan the rule of law. Perumusan tanpa embel-embel sebenarnya dilakukan secara sengaja, dengan maksud memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law). Artinya, demi tegaknya keadilan, seyogyanya perbuatan yang tidak wajar, tercela, atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana meskipun secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya38

Kelima, pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub dalam RUU KUHP Pasal 1 di atas menunjukkan bahwa secara implisit

37 Ibid., hlm.59.

38 Moh. Mahfud MD, Beberapa Catatan Tentang Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tentang Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil, Disampaikan dalam diskusi public Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor: 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, Badan Penerbit Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, 24 Agustus 2006, hlm.5.

(12)

hukum pidana Indonesia telah mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif. Artinya, meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang tertulis, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.

E. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa Latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang”39

Asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum pidana Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman bagi umat manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan melalui rasul-rasulNya. Dengan demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yakni taklif atau beban yang sanggup dikerjakan. Berikut ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya asas legalitas: 1. Al-Qur’an dalam Surat al-Isra ayat 15

“….dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”. 2. Al-Qur’an dalam Surat al-Qasas ayat 59

“Dan Allah tidak akan menghancurkan penduduk statu negeri sebelum diutusnya Rasul di tengah-tengah mereka untuk membacakan ayat-ayat kami…”

3. Al-Qur’an dalam Surat al-An’am ayat 19

“…..dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadamu supaya dengannya Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…”

4. Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah ayat 286

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”

39 Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,

(13)

Berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas kemudian para fuqaha merumuskan kaidah-kaidah hukum Islam yang diambil dari substansi ayat-ayat tersebut di atas, sebagai berikut:40

Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang berakal sebelum adanya ketentuan nas.41

Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.42

Pada asalnya semua perkara dan perbuatan adalah diperbolehkan kecuali adanya dalil yang mengharamkan atau melarang perbuatan tersebut.43

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan kaidah-kaidah pokok dalam hukum pidana Islam tersebut di atas, maka ada dua syarat yang harus terpenuhi bagi seseorang maupun perbuatan sehingga dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Kedua syarat tersebut adalah:

1. Syarat yang berkaitan dengan sifat mukalaf, yaitu:

a. Sanggup memahami nas syara’ yang berisi taklif baik yang berbentuk tuntutan maupun larangan. Dengan demikian tidak termasuk kategori mukalaf orang yang gila (tidak berakal). b. Pantas dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dijatuhi

hukuman. Oleh karena itu orang yang dipaksakan atau berbuat karena memuela diri tidak termasuk dalam kategori orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.44

2. Syarat yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf. Dalam hal ini ada unsur yang harus terpenuhi, yaitu:

a. Perbuatan ini mungkin sanggup untuk dikerjakan atau ditinggalkan;

40 Abd al-Qadir Awdah, At-Tasyri>’..., hlm.115.

41 Ibid., hlm. 116. “La> h}ukma li afaa>li al-aqala>’i Qabla uru>di al-Nas}

42 As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naz}a>’ir (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t., hlm.59.

“La> Jari>mata wa la> Uqu>bata Illa> bi an-Nas}”.

43 Al-Amidi, Al-Ih}ka>m fi>-Us}u>l al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. I), hlm.

130. Lihat juga Al-Ghazali, Al-Mustas}fa> min Ilm al-Us}u>l (Mesir: Da>r al-Ba>b al-Mus}t}afa al-H}alabi), hlm.63. “Al-As}lu fi> al-Asyya>’i al-Iba>h}ah h}atta yadullu

al-dali>lu ‘ala> at-Tah}ri>mihi”.

44 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

(14)

b. Perbuatan itu dapat diketahui dengan sempurna oleh orang yang berakal atau mukalaf, artinya beban yang berisi larangan atau perintah itu sudah disiarkan dan jelas ada ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut.45

Dengan demikian lahirnya asas legalitas dalam hukum Islam ada sejak diturunkannya al-Qur’an. Karena asas legalitas dalam hukum Islam jauh lebih awal bila dibandingkan dengan asas legalitas dalam hukum positif yang baru muncul pada abad XVII (sejak Revolusi Perancis tahun 1789). Asas legalitas ini selanjutnya dimasukkan ke dalam “pernyataan hak-hak asasi manusia”, yang dikeluarkan pada tahun 1879 dan kemudian diakomodir oleh negara-negara di dunia.

Hukum pidana Islam (jinayah) pada prinsipnya tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah la raj’iyyah fi at tasyri’ al-jina’i tidak berlaku surut pada hukum pidana Islam, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan mukalaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut, artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya. Alasan diterapkannya pengecualian berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan di kalangan masyarakat seperti menuduh zina (jarimah Qazf).46

G. Penutup

Dari berbagai paparan di atas tentang asas legalitas dalam perspektif hukum pidana positif dan hukum pidana Islam dapat disimpulkan bahwa asas legalitas merupakan asas yang sangat fundamental di dalam hukum pidana positif. Asas legalitas dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu asas legalitas formil (perlindungan individu) dan asas legalitas materiil (perlindungan masyakarat). Dengan adanya asas legalitas materiil, maka konsekuensinya bahwa walaupun tidak diatur di dalam perundang-undangan, akan tetapi perbuatan seseorang itu patut dipidana, maka seseorang itu dapat dipidana dengan mengacu pada hukum yang hidup

45 Ibid.

(15)

di dalam masyarakat. Asas Legalitas di Indonesia tidak berlaku absolut, karena di dalam RUU KUHP mengakui asas legalitas materiil. Dalam hukum positif asas legalitas sebenarnya bisa disimpangi, dengan catatan tindak pidana itu mengancam ketertiban dan keamanan umum.

Hukum Pidana Islam juga mengenal masalah asas legalitas dengan adanya ayat-ayat al-Qur’an, bahkan asas legalitas di dalam Islam telah diakui sebelum adanya revolusi perancis (cikal bakal adanya asas legalitas). Hukum Pidana Islam juga mengenal pengeculian dari asas legalitas, artinya asas legalitas dapat disimpangi atau bisa berlaku surut dengan catatan tindak pidana itu mengancam ketertiban dan keamanan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi, Al-Ih}ka>m fi>-Us}u>l al-Ah}ka>m, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Al-Ghazali, Al-Mustasyfa> min Ilm al-Us}u>l, Mesir: Da>r al-Ba>b al-Must}afa>

al-H}alabi, t.t.

Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1990.

As-Suyuti, Al-Asybah wa an-Naz}a>’ir, Beirut: Da>r al-Fikr,t.t.

Awdah, Abd al-Qadir, At-Tasyri>’ al-Jina>i al-Isla>mi, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.

Bahiej, Ahmad, “Asas Legalitas Materiil: Mewujudkan Keseimbangan Keadilan Individu dan Masyakarakat”, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43, Tahun 2009 Edisi Khusus.

David, Rene & E.C Brierley, John, Major Legal Systems In The World Today, Third Edition, London: Stevens & Sons, 1985.

(16)

Gillisen, John dan Gorle, Frist, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Hanafi, Ahmad, 1976, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1976.

Kelsen,Hans, General Theory Of Law And State, New York: Russell & Russell, 1944.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal.

MD, Moh. Mahfud, “Beberapa Catatan Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tentang Perbuatan Melawan Hukum Secara Materiil”, disampaikan dalam Diskusi Publik Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor: 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum UGM, Badan Penerbit Pers Mahasiswa MAHKAMAH dan Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, 24 Agustus 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta, 2003.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Montesquieu, The Spirit of Laws: Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik,

Penerjemah: M. Khoiril Anam, Yogyakarta: Nusamedia, 2007. Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Bidang

Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.

O.S Hiariej, Hedí, “Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas”, Jentera Jurnal Hukum, Edisi 16-tahun IV, April-Juni 2007.

(17)

__________, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.

Poernomo, Bambang, “Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan Hukum Di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989.

__________, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia

Indonesia,1994.

Prodjodikoro,Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refina Aditama, 2003.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Sahetapy, J.E, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Desertasi, 1978.

__________, Asas Retroaktif: Suatu Kajian Ulang, KHN Newsletter, Edisi Mei 2003.

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Bandung: Penerbit Alumni, 2002.

Schaffmeister, D, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Diterjemahkan oleh J.E Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Leberty, 1995.

Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969.

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan pemberlakuan secara retroaktif suatu pemberlakuan perundang-undangan pidana akan menjadi permasalahan manakala pernyataan “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas sebagai mana tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya makna asas legalitas: pertama, tidak ada perbuatan

Jika diamati rumusan pengertian tentang asas hukum yang dikemukakan oleh ke empat orang ahli tersebut diatas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya apa yang

Hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) merupakan asas legalitas materiel, yang menghendaki bahwa meskipun suatu perbuatan tidak diatur dalam peraturan

Di sini, ada pengecualian terhadap penerapan asas legalitas sebagai pengakuan legislative mengingat eksistensi hukum adat yang berlaku bertujuan untuk memenuhi rasa

Secara lebih tegas prismatika hukum asas legalitas akan memberikan legal policy atau garis kebijakan yang diberlakukan oleh negara mengenai sistem hukum pidana yang bersumber dari

Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perun- dang-undangan pidana yang tertulis sebenar- nya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang

Asas legalitas menegaskan bahwa dapat dilaksanakannya penjatuhan hukuman kepada seseorang harus ada aturan hukum yang berlaku sebelumnya dan mengatur tentang