• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandecta. Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pandecta. Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pandecta

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

Dilema Penerapan Asas Retroaktif di Indonesia

Anis Widyawati

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Abstrak

Penelitian ini dimaksudkan untuk menelaah pemberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan nasional di Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa peratura perundang-undangan. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pemberlakuan surut suatu peraturan perundang-undangan nasional menjadi dilema, karena hukum atau suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penu-tup. Umumnya peraturan-peraturan yang berlaku surut tersebut merupakan produk perundang-undangan sebelum tahun 1970.

Abstract

This research attempts to analyze the implementation of the retroactive acts in Indo-nesia. The data used in this research was secondary, it was the acts. The result of this research reveals, that the application of retroactive has rised the dilemma. Because, it will contradict with the non-retroactive principle which state that this principle will also valid for the previous case. Generally, the retroactive is stated in the closhing article, and also found in the acts before 1970s.

Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima April 2011 Disetujui Mei 2011 Dipublikasikan Juli 2011 Keywords: Regulation; Retroactive; Norm; Law Principle; Law. Alamat korespondensi:

Gd C-4, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229 E-mail: ah_111106@yahoo.co.id

© 2011 Universitas Negeri Semarang ISSN 1907-8919

(2)

1. Pendahuluan

Dalam Black’s Law Dictionary dikata-kan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di indonesia istilah yang dekat dan sering di-pergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang ber-bunyi nullum delictum noela poena sine pra-evia sine lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatandilakukan). Di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan den-gan asas non-retroactive atau laranden-gan mem-berlakukan surut suatu peraturan perundan-gan, yaitu dalam Pasal 28 i UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecu-alian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang di-kategorikan sebagai extra ordinary crimes. Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hu-kum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsir-kan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut me-mang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil. Selain persoalan keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, hukum pi-dana kita juga kurang bersikap adaptif dalam merespon perkembangan yang terjadi di ma-syarakat, baik masyarakat nasional maupun internasional.

Penerapan secara surut juga per-nah terjadi pada tahun 2000, yaitu PP No. 72/2000 tentang Penyesuaian Pensiun Po-kok Mantan Pimpinan Dan Hakim Anggota Mahkamah Agung Serta Janda/Dudanya yang berlaku surut hingga 8 bulan kebelakang. Pe-langgaran terhadap asas non-retroaktif juga dapat terjadi dalam penerapan suatu pera-turan, walaupun peraturan itu sendiri tidak tidak melanggar asas non-retroaktif. Misalnya

A didakwa melakukan tindak pidana korup-si yang tempus delictinya terjadi pada tahun 1997 dengan menggunakan UU No. 31 Ta-hun 1999. Dalam hal yang demikian maka yang salah adalah penerapan atas aturannya, bukan aturan itu sendiri. Jika dalam perkara demikian terdakwa menuntut agar UU No. 31 Tahun 1999 tersebut melanggar asas non-retroaktif maka permohonan tersebut tentu-nya tidak tepat.

Permasalahannya adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah suatu tinda-kan melanggar asas non-retroaktif atau tidak. Seperti telah disebutkan diatas Prof. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengar-tikan Pasal 2 AB bahwa arti dari asas ini ada-lah bahwa undang-undang hanya boleh di-pergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berla-ku. Secara a contrario berarti bahwa undang-undang tidak boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-un-dang yang terjadi sebelum unundang-un-dang-unundang-un-dang tersebut dinyatakan berlaku.

Pengertian di atas menunjukkan, bah-wa ukuran suatu penerapan hukum adalah retroaktif atau tidak adalah peraturan itu sen-diri. Seperti dalam ilustrasi-ilustrasi A-F di atas terlihat bahwa tindakan yang dinilai dihadap-kan dengan aturan yang mengatur tindadihadap-kan tersebut. Misalnya dalam ilustrasi E terlihat bahwa penilaian apakah sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik dilihat dari bagaimana aturan penangkapan itu sendiri ketika penangkapan dilakukan. Di sini kita tidak mempertanyakan kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terja-di atau tempus delictinya. Ketika yang ingin diuji adalah apakah perbuatan tersangka da-pat dipidana atau tidak baru kita akan berbi-cara apakah pada saat perbuatan dilakukan oleh terdakwa perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

Romli Atmasasmita menyebut sikap hukum pidana yang demikian, termasuk asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukung-nya masih bersifat konservatif. Sikap konser-vatif ini terlihat dari masih dipertahankannya

(3)

tanpa kecuali asas legalitas, asas ne bis in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. Sikap ini menyebabkan kajian tentang hu-kum pidana tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Pertanyaan kedua berkaitan dengan nasib dari pelaku dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan sebelum undang-undang yang berkaitan hadir. Perta-nyaan kedua ini berkaitan dengan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas. Jika kita berpegang seca-ra teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP maka pertanyaan kedua ini tak akan mun-cul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadi-lan bagi para korban kejahatan, apakah hu-kum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku keja-hatan.

Pada tulisan ini akan diuraikan men-genai perkembangan salah satu konsekuensi dari asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pi-dana berdasarkan waktu (lex temporis delicti) atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas, khususnya yang berkaitan dengan asas ret-roaktif (berlaku surut). Pembicaraan asas ini menjadi penting oleh karena adanya tuntu-tan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu yang menuntut keadilan dan tuntutan dunia internasional mengenai kejahatan terorisme, serta perbuatan lain yang tiada bandingannya dalam perundang-undangan pidana padahal perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela. Apalagi dengan adanya Putusan Mahkamah Konsti-tusi yang membatalkan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 yang banyak menimbulkan kontroversi.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normative. Jenis data yang digunakan adalah bahan hukum primer yang bersumber pada berbagai hukum positif yang berlaku di

Indonesia khususnya yang terkait dengan ek-sistensi asas retroaktif. Penelusuran data dila-kukan dengan acara studi pustaka. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pende-katan perundang-undangan, pendepende-katan konsep dan pendekatan kasus. Data dioleh secara deskriptif-kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menekankan analisis menggunakan ketiga pendekatan ter-sebut di atas.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Formulasi Asas Retroaktif

Sebelum masuk pada pembahasan ba-gaimana pemberlakuan asas non retroaktif di Indonesia. Terlebih dahulu akan ditinjau formulasi dan perkembangan asas tersebut dalam perkembangan RUU KUHP. Walau-pun Pasal 1 Ayat (2) KUHP mengandung di dalamnya ketentuan tentang retro-aktif, namun sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa pasal itu mengatur tentang “aturan peralihan” (ATPER), yaitu aturan dalam masa transisi karena adanya perubahan UU. Pasal 1 Ayat (2) ini mengandung asas/prinsip, ba-hwa “ketentuan hukum yang diberlakukan dalam hal ada perubahan UU (dalam masa transisi) adalah ketentuan hukum yang men-guntungkan/meringankan terdakwa”. Jadi Pasal 1 Ayat (2) mengandung asas, bahwa dalam menghadapi 2 (dua) pilihan perun-dang-undangan karena adanya perubahan, harus “dipilih (diterapkan/didahulukan) hu-kum yang menguntungkan/meringankan terdakwa”. Oleh karena itu dapat dikatakan mengandung “asas subsidiaritas”. Apabila Pa-Apabila Pa-sal 1 Ayat (2) dilihat sebagai maPa-salah ”retro-aktif”, maka asasnya ialah “hukum yang da-pat diberlakukan surut adalah hukum yang menguntungkan/ meringankan terdakwa”.

Pada mulanya Konsep tetap memper-tahankan perumusan seperti dalam Pasal 1 (2) KUHP itu. Namun dalam perkembangan-Namun dalam perkembangan-nya muncul permasalahan, seperti: Apakah model formulasi ATPER (“aturan peralihan”) atau retro-aktif seperti termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP merupakan satu-satunya al-ternatif perumusan yang harus dipilih?; dan apakah formulasi ATPER atau retro-aktif se-perti termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP

(4)

itu sesuai dengan ide ”keseimbangan” yang melatarbelakangi penyusunan Konsep?.

Setelah dilakukan kajian teoritik dan komparatif, dijumpai hal-hal sebagai berikut: (1). Ada beberapa model alternatif perumu-Ada beberapa model alternatif perumu-san ATPER dalam mengambil atau memilih sikap/ide-dasar/prinsip untuk menentukan perundang-undangan mana yang berlaku dalam masa transisi (dalam hal terjadi peru-bahan UU), yaitu: a. formulasi ATPER (atu- a. formulasi ATPER (atu-formulasi ATPER (atu-ran peralihan) yang berorientasi pada ide/ nilai “kepastian hukum” (yaitu ”yang berlaku adalah UU lama” atau ”yang berlaku adalah UU Baru”); formulasi ini dipengaruhi “aliran klasik” yang berorientasi pada “perbuatan”; b. formulasi ATPER yang berorientasi pada ide/nilai “keadilan” (yaitu ”yang berlaku ada-lah UU yang menguntungkan/meringankan” ter-dakwa); formulasi ini dipengaruhi “aliran modern” yang berorientasi pada “orang”; dan c. formulasi ATPER yang berorientasi pada ide/nilai “keseimbangan antara ke-pastian hukum dan keadilan” (yaitu ”yang berlaku adalah UU lama (UU baru) dengan ketentuan, UU baru (UU lama) dapat dite-rapkan apabila menguntungkan”); formulasi ini berorientasi pada gabungan aliran klasik dan modern. (2). formulasi ATPER yang be-(2). formulasi ATPER yang be-formulasi ATPER yang be-rorientasi pada ide/nilai “keseimbangan an-tara kepentingan/keuntungan individu dan kepentingan/keuntung-an masyarakat”. Ada beberapa model dalam merumuskan asas ”mendahulukan UU yang menguntungkan” (asas keadilan), yaitu: a. orientasi ”keadilan/ keuntungan individual” (offender oriented), yang terbagi lagi dalam dua model yakni: berorientasi pada keuntungan terdakwa; be- be-rorientasi pada keuntungkan terdakwa atau terpidana; b. orientasi “keadilan/keuntungan monodualistik” (offender and victim/ social oriented), yaitu berorientasi pada keuntun-gan/kepentingan “terdakwa/terpidana” dan/ atau “korban/masyarakat umum” (“perlin-dungan kepentingan umum dan rasa keadi-lan masyarakat/korban”).

Bertolak dari kajian teoritik dan kom-paratif di atas, maka dalam perkembangan Konsep 2004 (edisi Maret) dan Konsep 2005 (s/d edisi Oktober), perumusan Pasal 1 (2) KUHP yang dimasukkan dalam Pasal 2 Kon-sep mengalami perubahan dan perluasan

se-perti telah dikemukakan di atas. Perubahan/ perluasan itu pada intinya sebagai berikut: Pasal 2 Ayat (1) Konsep intinya menyatakan, bahwa dalam hal ada perubahan UU setelah perbuatan dilakukan: a. diberlakukan pera-diberlakukan pera-turan perun dang-undangan yang baru; b. pe-raturan perundang-undangan yang lama ber-laku apabila meng-untungkan bagi pembuat.

Jadi formulasinya mengacu pada mo-del gabungan/keseimbangan antara kepas-tian hukum dan keadilan. Pasal 2 Ayat (2) dan (3) intinya menyatakan, bahwa apabila ada peru-bahan UU setelah ada keputusan hakim yang berkekuatan tetap, maka asas “menerapkan aturan yang menguntungkan/ meringankan”, berlaku juga (diperluas) untuk terpidana. Ketentuan yang diatur di dalam ayat 2 dan 3 itu sebagai berikut: a. Apabila perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perun-dang-undangan yang baru, maka pelaksana-an putuspelaksana-an pemidpelaksana-anapelaksana-an dihapuskpelaksana-an; b. Apa-bila perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peratu-ran perundang-undangan yang baru, maka pelak-sanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana men-urut peraturan perundang-undangan yang baru. Jadi dapat dilakukan ”redetermining of punishment.”

Tidak ada perbuatan yang dapat dipi-dana kecuali berdasarkan ketentuan pidipi-dana yang dirumuskan terdahulu, atau menurut bunyi Pasal 1 RUU KUHP baru: Tiada seo-rang pun dapat dipidana atau dikenakan tin-dakan, kecuali perbuatan yang dilakukan te-lah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Atau da-Atau da-lam perumusan lain lagi, yaitu pasal 1 KUHP (1) ayat (1) yang berlaku sekarang di Indo-nesia: Suatu perbuatan tidak dapat dipida-na, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

Demikian juga bunyi ketentuan Pasal 1 Wetboek van Strafrecht (Sr) dan Pasal 16 Undang-undang Dasar Belanda. Ketentuan di atas merupakan penjelmaan asas legalitas sebagaimana juga terdapat dalam perjanjian internasional. Di dalam perjanjian

(5)

internasio-nal asas tersebut dapat ditemukan di dalam, antara lain, ketentuan Pasal 7 EVRM (Perjan-jian Eropa untuk melindungi Hak-hak Asasi Manusia (Perjanjian Roma, 1950)) dan Pasal 15 IVBPR (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Keperdataan dan Hak-hak Politik (1979) atau International Convention on Ci-vil and Political Rights (IVBPR atau ICCPR)). Asas legalitas juga termuat di dalam keten-tuan Pasal 11 ayat (2) Pernyataan Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Asas legalitas dirumuskan secara lebih tegas di dalam defi-nisi Von Feuerbach: Nulllum delictum, nul-la poena sine praevia lege poenali. Apa yang pertama terpikirkan bilamana kita menden-gar asas legalitas ialah gagasan bahwa setiap perbuatan pidana harus dirumuskan terlebih dahulu di dalam perundang-undangan, dan kedua bahwa suatu ketentuan pidana yang baru tidak akan memiliki daya berlaku surut. Suatu perbuatan hanya dapat dipidana kalau perbuatan tersebut sebelumnya sudah dian-camkan dengan pidana di dalam suatu ke-tentuan hukum. Baik ancaman sanksi dengan pidana maupun rumusan perbuatan pidana itu sendiri sebelumnya harus termuat di da-lam suata ketentuan pidana.

Asas legalitas mempunyai setidak-tidaknya empat aspek. Pertama: ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah di-rumuskan terlebih dahulu (lex scripta) selain dapat memberikan kepastian hukum kepada para warga negara, akan juga memberikan kepastian serupa bagi pejabat pemerintah yang harus menegakkan hukum pidana - se-perti polisi dan jaksa. Apa yang diperlukan demi pencapaian kepastian hukum tersebut ialah dirumuskannya ketentuan perundang-undangan pidana secara jelas dan terang (lex certa) dan di samping itu, cara merumus-kannya juga harus cukup ketat dan terbatas jangkauannya (lex stricta). Kedua: yang disy-aratkan pula ialah bahwa ketentuan hukum pidana tersebut telah dilegitimasi secara de-mokratis, artinya – di Belanda – bahwa DPR telah menyetujui dimaktubkannya ketentu-an (-ketentuketentu-an) pidketentu-ana ke dalam undketentu-ang- undang-undang dalam arti formal. Hal yang disebut terakhir akan juga berlaku berkenaan den-gan tindakan-tindakan paksa penguasa/pe-merintah yang dilandaskan pada ketentuan

(-ketentuan) pidana tersebut. Misalnya ber-kenaan dengan pelaksanaan upaya paksa terhadap para tersangka atau terdakwa tin-dak pidana dan pemidanaan para pelaku. Aspek ketiga, berkenaan dengan hubungan antara asas legalitas dan rule of law atau ne-gara hukum: ketentuan pidana yang tertu-lis, jelas dan dibuat atau bersifat demokratis akan membatasi kewenangan para penegak hukum dan pejabat-pejabat negara. Dengan kata lain, asas legalitas berfungsi untuk mem-berikan perlindungan kepada warga negara dari perilaku sewenang-wenang penguasa.

Di samping itu (aspek keempat), asas legalitas melalui larangan atas kekuatan yang berlaku surut, juga berkaitan dengan schuld-beginsel, yakni asas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Alhasil adalah tidak tepat untuk menjatuhkan pidana pada seseorang, apabila yang bersangkutan tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan yang direnca-nakannya itu ternyata diancam dengan pida-na. Maka itu, pengertian accessibility (dike-tahui dan dipahaminya ketentuan-ketentuan perundang-undangan) dan foreseeability (si-fat dapat diduga sebelumnya) menjadi sangat penting. Kedua hal ini juga berkaitan dengan daya preventif ketentuan pidana.

b. Daya Berlaku Surut

Larangan memberlakukan suatu ke-tentuan pidana secara surut secara langsung muncul dari landasan klasik asas legalitas. Kepastian hukum, asas bahwa harus ada ke-salahan pada terdakwa (schuldbeginsel) dan tujuan prevensi yang tersebut di atas bersa-ma-sama mengimplikasikan bahwa ketentu-an-ketentuan di dalam perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut. Namun hal ini harus dimengerti dalam batasan bahwa daya berlaku surut boleh diberlakukan apa-bila dilakukan demi keuntungan terdakwa (bandingkan Pasal 1 KUHP, ayat (2)). Bilama-na ada perundang-undangan baru atau peru-bahan dalam perundang-undangan yang ada yang ternyata memberikan keuntungan bagi terdakwa, maka ketentuan demikian dapat dan harus diterapkan bagi terdakwa tersebut.

Di samping itu, alasan penghapus pi-dana baru, yakni misalnya perbuatan

(6)

dilaku-kan dengan afwezigheid van alle schuld (tidak ada kesalahan sama sekali) juga dapat diper-gunakan oleh terdakwa. Hal serupa berlaku untuk interpretasi restriktif (yang dahulu kala diartikan secara lebih luas oleh hakim pida-na). Berkenaan dengan hal ini patut dicerma-ti bahwa hak terdakwa dicerma-tidak akan dilanggar oleh pembatasan pertanggungjawaban terse-but di atas.

Sebaliknya perubahan yang terjadi da-lam ajaran atau dogmatika hukum pidana yang kemudian berpengaruh terhadap cara bagaimana ketentuan perundang-undangan dibaca atau dirumuskan tidak boleh mempu-nyai daya berlaku surut. Misalnya perubahan yang belum lama ini terjadi di dalam KUHP Belanda tentang persiapan dan percobaan (voorbereiding dan poging). Ketentuan ten-tang perbuatan persiapan baru saja dimasuk-kan ke dalam KUHP, dengan akibat pertang-gungjawaban pidana dalam hal persiapan menjadi sangat luas. Berhadapan dengan kondisi demikian, maka pemberlakuan atu-ran peralihan oleh hakim (rechterlijk over-gangsrecht) kadang-kadang dapat memecah-kan persoalan yang timbul.

Asas Non Retroaktif dan Asas Retro-aktif Dalam Instrumen Hukum Internasional Pembicaraan asas retroaktif akan berhenti jika kita hanya berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP, karena pasal tersebut membatasi pen-gertian retroaktif hanya pada keadaan tran-sitoir atau menjadi hukum trantran-sitoir (hukum dalam masa peralihan). Ini mengandung arti bahwa jika sebelumnya tidak ada peraturan pidana, kemudian dibuat peraturan pidana yang baru dan berlaku untuk kejahatan yang telah lalu, berarti bukan persoalan retroaktif, dan ini oleh Barda Nawawi Arief termasuk dalam persoalan sumber hukum. Akan te-tapi jika kita mengartikan secara lebih luas, retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan ada (yang berar-ti hukum transitoir) atau berar-tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan.

Persoalan retroaktif sendiri muncul se-bagai konsekuensi diterapkannya asas legali-tas. Asas legalitas sendiri dapat dikaji berdas-arkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek sosio kriminologis, aspek

pembaha-ruan hukum dalam kaitannya dengan pan-dangan secara iteratif dan linier, aspek yang terkait dengan politik kriminal serta kajian dari perspektif weltanschaung kita yaitu Pan-casila. Kajian dari masing-masing aspek ini memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri.

Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada se-belum Anselm von Feurebach menggunakan-nya dalam pandanganmenggunakan-nya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas lega-litas, akan tetapi pandangan ini tak bisa disa-lahkan begitu saja karena buku-buku yang dibaca oleh sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah be-nar bahwa Anselm von Feurerbah merupa-kan orang yang merumusmerupa-kan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh berdasarkan pendapat Oppenheimer, Samuel von Pufendorf per-nah mengemukakan gagasan serupa. Kedua orang tersebut, Anselm von Feurebah dan Samuel von Pufendorf bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum me-reka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi (Talmudic Jurispruden-ce).

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ke-tentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).

Menurut Sudarto, pasal ini berisi 2 (dua) hal, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peratu-ran perundang-undangan; kedua, peratuperatu-ran

(7)

perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.

Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan member-lakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Larangan pemberlaku-an asas retroaktif ini didasarkpemberlaku-an pada pemiki-ran: a. Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa; b. Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Fe-urebach). Dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pida-na, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat.

Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pida-na sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Or-ganizations). Selain itu dapat pula dilihat da-lam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) Interna-tional Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fun-damental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap memperta-hankan prinsip-prinsip asas legalitas, teruta-ma dalam Pasal 22-24.

Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada perkecualian, artinya kesem-patan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas mem-beri kemungkinan untuk melakukan penyim-pangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan da-lam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya

sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungki-nan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).

Dari praktek hukum pidana interna-sional, dapat kita lihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristi-wa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan pe-nyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasio-nal. Mahkamah pidana internasional Nurem-berg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, In-ternational Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan con-toh penerapan asas retroaktif.

c. Eksistensi Asas Retroaktif di

Indonesia

Dalam sejarah dan praktek perkem-bangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terba-tas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pela-rangan pemberlakuan asas retroaktif seba-gaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.

Barda Nawawi Arief melihat pelema-han atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pen-gakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 Ayat (2) ICCPR dan KUHP Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan penge-cualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. Pertanyaan yang mun-cul adalah apakah asas legalitas materiil sama dengan asas retroaktif. Asas legalitas mate-riil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 Ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan

(8)

kemudian direspon dalam Pasal 1 Ayat 3 dan 4 RUU KUHP 2008 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perun-dang-undangan pidana yang tertulis sebenar-nya telah ada hukumsebenar-nya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, se-dangkan dalam asas retroaktif lebih menekan-kan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu mun-cul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hu-kum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.

Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat da-lam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wet-geving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Kemudian larangan itu muncul da-lam Konstitusi, yaitu UUDS 1950 Pasal 14 ayat (2). Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikelu-arkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retro-aktif diberlakukan, kecuali pada saat peme-rintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pe-merintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keama-nan negara terhadap pihak yang kalah perang

yaitu Jepang. Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politis secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan serta untuk menunjukkan eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan).

Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjela-san Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Ta-hun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hu-kum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000. Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu: Penempatan dan pemberlakuan asas retroak-tif dalam Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat diku-rangi dalam keadaan apapun dan oleh sia-papun.” Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief merupakan Hak Absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak ab-solut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap sua-tu ketensua-tuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”. Hal yang kontradiktif dari ke-tentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut. Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menja-di hak relatif. Kemumenja-dian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masya-rakat tidak dapat melakukannya.

Dalam sistem peradilan pidana (crimi-nal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu. Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat

(9)

keten-tuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Apakah ini merupakan suatu kemunduran. Jika dilihat dari aspek keba-ruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya ka-sus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ke-tentuan ICC. Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC. Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di In-donesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.

Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Ini terbukti dari beberapa kasus pe-langgaran HAM berat di masa lalu yang di-lakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM be-rat di luar pengadilan. Ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Pera-turan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pembe-rantasan Tindak Pidana Terorisme yang men-jadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberanta-san Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003. Ketentuan dalam Pasal 46 UU No. 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperla-kukan surut untuk tindakan hukum bagi ka-sus tertentu sebelum mulai berlakunya Pera-turan Pemerintah Pengganti Undang-undang

ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri”.

Ketentuan ini merupakan dasar dike-luarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung indi-kasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002. Akan-kah demikian, tentunya kita lihat perkem-bangan dari kedua perpu tersebut. Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuh-kan pidana mati bagi pelaku peledamenjatuh-kan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Sa-mudera. Dalam perkembangannya, eksisten-si Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masy-kur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.

Salah satu dasar hukum dan yang pa-ling relevan dengan persoalan yang dibica-rakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945. Argumen yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk ti-dak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai priba-di priba-di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No.

(10)

1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Per-tama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya di-batasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan: (1). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pemba-tasan yang ditetapkan undang-undang den-gan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimban-gan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pembatasan dari Pasal 28 J ini me-mungkinkan untuk dirumuskannya sua-tu perasua-turan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk ex-tra ordinary crime, sehingga diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana. Berbagai argumen dikemukakan untuk men-guatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesam-pingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hu-kum domestik dan sebagainya. Di samping itu, dikemukakan pula bahaya dari penera-pan asas retroaktif, misalnya bahaya penge-sampingan asas non-retroaktif akan mem-buka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.

Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mah-kamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 ber-pendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/ UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan den-gan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahka-mah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagai-mana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut: 1. Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bah-wa asas non retroaktif bersifat mutlak karena

ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pen-gakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non-retroaktif hanya dikecualikan untuk ka-sus pelanggaran HAM berat; 2. Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nu-remberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tri-bunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal; 3. Penerapan teori Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif UU No. 15 Tahun 2003 atas peris-tiwa bom Bali dan mengabaikan sama seka-li teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmu-an dalam pendidikkeilmu-an ilmu hukum di Indo-nesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum; 4. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimban-gan perlindunkeseimban-gan atas kepentinkeseimban-gan tersang-ka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali; 5. Pertimbangan dan pen-dapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifi-kasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketata-negaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut. Pen-dapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini.

Terhadap kritikan pemerintah yang te-rakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentu-kan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan bia-sa (ordinary crime) atau luar biabia-sa (extra ordi-nary crime).

(11)

Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran, yaitu: a. jumlah korban yang besar atau relatif besar; b. cara melakukan kejahatan yang sangat kejam; c. dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas; 3. penetapan oleh lembaga interna-sional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penaf-siran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang lain. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003. Mes-ki yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini memba-wa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang ber-kaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.

Menarik untuk mencermati putus-an Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 ter-hadap UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi di bawah apa yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan ter-hadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 ber-tentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah asas hu-kum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non dero-gable rights dalam ketentuan hukum huma-niter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya

pertanya-an ini membutuhkpertanya-an jawabpertanya-an ypertanya-ang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat diper-tanggungjawabkan.

4. Simpulan

Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercan-tum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengesampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Pro- Pro-blematika ini menimbulkan persoalan da-lam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya.

Daftar Pustaka

Arief, B.N. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan

Pen-egakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,

Citra Aditya Bakti, Bandung

Arief, B.N. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana, Cetakan Kedua Edisi Revisi, PT

Ci-tra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Atmasasmita, R. 1989, Asas-asas Perbandingan

Hukum Pidana, YLBHI, Jakarta

Atmasasmita, R. 2000, Pengantar Hukum Pidana

Internasional, Refika Aditama

Mauna, B. 2000. Hukum Internasional Pengertian

Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung

Parthiana, I.W. 1987. Beberapa Masalah Dalam

Hukum Internasional dan Hukum Nasional,

Binacipta, Bandung

Parthiana, I.W. 2003, Hukum Pidana Internasional

dan Ekstradisi, Yama Widya

Parthiana, I.W.1990, Ekstradisi Dalam Hukum

In-ternasional dan Hukum Nasional Indone-sia, Mandar Maju, Bandung

Sudarto, 2009, Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto

Referensi

Dokumen terkait

Yahya

Sometimes, a root word needs to add an affix so that can be used. This affixes can change the meaning, kind, and function of words becomes other words that different function

harus dilakukan oleh pemimpin kelompok bersama anggota kelompok yaitu memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk megungkapkan pesan dan kesan setelah

 Siswa diminta menuliskan kesimpulan tentang hasil kegiatannya dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual menggunakan ide model-model matematika sistem persamaan

Terhadap obyek sengketa perdata yang dalam perjanjian pokoknya telah dilekati perjanjian asseson berupa pactum de compromittendo maka pihak pengadilan negeri setempat

Kegiatan perekaman data ke dalam sofware microsoft access telah direkam sebanyak 3.035 data (table 2), yang diperoleh dari data yang terekam di buku induk

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan berbeda nyata (P<0,05), sedangkan untuk pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan harian dan

Kondisi otot punggung yang kokoh dan kuat ini membantu Badak sumatra dalam aktifitas menggerakkan tubuh pada saat berkubang dalam lumpur dan juga menyokong rigiditas