• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberlakuan Asas Retroaktif Dan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberlakuan Asas Retroaktif Dan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Di Indonesia"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1.Buku-buku.

Agustina, Shinta, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek, Andalas University Press, Padang 2006.

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.

Atmasasmita, Romli, Mengkritisi Putusan Mahkamah Konstitusi, Hecca Mitra Utama, Jakarta 2007.

---, Penerapan Hukum Pidana dan Asas Non Retroaktif Dalam Pemberantasan Korupsi, NTI Press, Jakarta 2007.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Formil Dan Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Hamzah, Jur Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo, 2006.

Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hiariej, Eddy, O.S, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2008.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya 2007.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

(2)

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebagai sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Moeljatno, Asas,Asas Hukum Pidan, PT Bina Aksara, Jakarta 1987

Parthiana Wayan, Hukum Pidana Internasiona dan Ekstradisi, Yarma Widya, Bandung, 2003.

Poernomo, Bambang, Asas- Asas Hukum Pidana Indonesia, Ghalia, Indonesia, 1982.

Salam M. Faisal, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Jakarta, 2005. Serikat, Nyoman, Putra, Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan

Hukum Pidana, PT Citra Aditya, Bandung, 2008.

Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan 2001.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Bandung, 1990.

---, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bina Cipta ,Jakarta, 1986.

2. Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

(3)

3. Media Internet.

pada 6 agustus 2010

:http://www.pemantauperadailan.com.// di balik putusan mahkamah konstitusi, diakses pada 6 agusstus 2010.

2010.

(4)

E. Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi kejahatan yang ditetapkan sebelumnya oleh PBB.

F. Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan terhadap asas retroaktif ini smata-mata hanya dilihat melalui pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek pidana (nasional dan internasional).35

BAB III

KEDUDUKAN ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Landasan Pemberlakuan Asas Legalitas.

Asas Legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach (1775-1883), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo apa yang

dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine,nullum crimen sine poena legali. Ketiga frasa tersebut kemudian di kembangkan oleh

35

(5)

Feurbach menjadi adagium nullum delictum,nulla poena sine praevia legi poenali.36

Jauh sebelum lahirnya asas legalitas prinsipal hukum romawi memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam bidang politik kebebasan warga negara semakin di belenggu. Menurut Moeljatno, dalam Tijdschrift v Strafrecht 45, halaman 337, diutarakan bahwa pada zaman Romawi dikenal adanya crimine extra ordinaria, yaitu kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini terdapat crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan para raja itu cenderung menggunakan hukum pidana sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya.37

Dalam memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) daripada raja-raja, yang dinamakan zaman ancien Regime maka disitulah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam wet terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar supaya penduduk lebih bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut penulis karangan itu, maka dalam bukunya Montesquieu “L ‘Esprit Des Lois” (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contract Sosial” (1762) pertama-tama dapat diketemukan pikiran tentang asas legalitas tadi. Asas ini pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang-undang ialah dalam pasal 8 “ Declaration Des Droits de L’ Homme et du Citoyen”

36

(6)

(1789), semacam undang-undang dasar yang pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya revolusi Perancis. Bunyinya: tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari declaration des droits de L homme et du citoyen, asas ini dimasukkan ke dalam pasal 4 Code Penal Perancis di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sini asas itu dikenal oleh Nederland karena karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek v Strafrecht Nederland 1881, pasal 1, dan kemudian karena adanya asas konkordansi antara Ned. Indie dan Nederland masuklah ke dalam pasal 1 W. v. S. Ned. Indie 1918.38

Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, sulitlah dinafikan bahwa asas tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan individu, sebagai tujuan utama dari aliran hukum klasik. Secara tegas, seorang juris pidana terkenal dari Jerman, Franz von Liszt menulis, “The nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege principles are the bulwark of the citizen agains the state’s

omnipotence; they protect the individual againsst the brutal force of the majority,

against the Leviathan. Aliran klasik ini lahir sebagai reaksi terhadap ancient

regime yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis, yang banyak menimbulkan

ketidak pastianhukum, ketidaksamaan dalam hukum dan ketidakadilan. Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun ssecara sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum. Tujuan hukum pidana pada saat itu hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Dalam

38

(7)

sistem pemidanaan, aliran klasik pada umumnya hanya menganut single track system, yakni sistem sanksi tunggal, berupa jenis sanksi pidana.39

Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penentuan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir, adalah asas pembalasan yang sekuler Sistem pemidanaan pada aliran klasik melahirkan teori absolut. Menurut teori ini, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Mengenai hal ini Vos berkomentar, “The absolute theorieen, die voral tegen het ein det 18e eeuw opkomen, zoeken the rechtsgrond van the straf in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is

voldoende grond om de dader te bestrafen…(Teori absolut, terutama bermunculan

pada akhir abad ke 18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan: kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku…). Sedangkan menurut Sudarto, aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya. (daad-strafrecht).

39

(8)

yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai swsuatu nhasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan.40

Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugin kepada masyrakat. Beranjak dari pemikiran Bentham inilah kita memaklumi bahwa pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini melibatkan korban dan pelaku dalam pengambilan putusan, sehingga sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku juga memperhatikan kehidupannya di masa mendatang.

Terkait dengan dasar pijakan yang ketiga, perihal asas pembalasan yang sekuler, Jeremy Bentham sebagai salah seorang tokoh aliran klasik menggemukakan bahwa selain pembalasan, sifat-sifat penting dari pemidanaan harus bermanfaat. Ada tiga kemanfaatan dari pemidanaan. Pertama, pemidanaan akan sangat bermanfaat jika hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan sipelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

41

Selanjutnya teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasaar pijakan aliran klasik terdiri dari pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Vos menyatakan, “Subjectieve vergilding is vergelding van de schuld van de dader, vergelding naar mate van het verwijt,…;objectieve vergelding is

40

Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 11 41

(9)

vergelding naar mate van dat wat de dader door zijn toedoen…42

Kant berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktisnya adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu, kejahatan harus dipidana (De straf als eis van ethiek ; de practische rede eist on voor wardelijk, dat op het misdrijf de straf

volgt). Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran terhadap hukum, dan keberadaan kejahatan tidak nyata, artinya, dengan penjatuhan pidana, kejahatan seseorang bisa di hapuskan (de misdaad is een negatie van het recht, dat wejenlijk is; de misdaad heft dus slecht een schiejnbestaan, dat dan weer door de straaf

wordt opgeheven). Srdangkan Herbart menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas

tidak disenangi. Ada tuntutan yng umum bahwa pelaku harus kurang lebih mengalami beratnya nestapa sebagaimana a mengakibatkan korbannya menderita (de overgolden misdaad mishaagt.Het is dus een eis van aestetichenoodwedigheid, dat de dadereen gelijk quantum leed ondervindt als hij

heeft doen lijden). Di sisi lain, Stahl mengemukakan pendapatnya bahwa pidana

adalah keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus memberlakukan keadilan Tuhan di dunia. (de straf als eis van Goddelijke gerechtigheid. De overheid als vertegenwoordigster van God op arde heeft die

Goddelijke gerechtijheid tot gelding te brengen).

( Pembalasan

subjektif adalah pembalasan kesalahan pelaku pembalasan terhadap pelaku yang tercela, …;Pembalasan objektif adalah pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah dilakukan oleh pelaku….). Penganut teori absolut ini adalah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, dan Julius Stahl.

42

(10)

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Kant, Hegel, Herbart dan Stahl, menurut Remmelink sebenarnya pemikiran-pemikiran mereka yang digolongkan ke dalam teori absolut ini berbeda satu sama lain. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa syarat dan pembenaran penjatuhan pidana sudah tercakup di dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari pandangan absolut terhadap pidana. Dan menurut nya, sebenarnya teori absolut yang menjadi ciri aliran klasik sudah dikembangkan pada zaman kuno. Seneca, dengan merujuk ajaran filsuf yunani, Plato menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur ( seorang bujak tidak menghukum karena telah terjadi

dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa). Upaya mencegah kejahatan dilakukan dengan membuat calon pelaku kejahatan takut. Itulah sebabnya hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaanya dilakukan di depan umum. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada masyarakat luas.43

Terkait asas legalitas yang diajarkan oleh Feurbach sebenarnya dikehendaki penjeraan yang tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan, sehingga kejahatan dan pidananya harus dicantumkan.dengan jelas. Teori asas legalitas Feurbach ini kemudian dikenal dengan psycologische dwang.44

43

Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 13 44

Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit hal 28

(11)

diancamkan. Dengan demikian diharapkan ada perasaan takut dalam batin orang tersebut untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Oleh Vander Donk dikatakan bahwa maksud ajaran Feurbach ini adalah membatasi hasrat manusia berbuat jahat.

Jika memang demikian, ajaran Feurbach dengan psycologische dwang-nya, menurut Sahetapy dalam penelitian disertasinya, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengutamakan teori tersebut, melainkan Samul von Pufendorf bahwa ancaman. Secara tegas dinyatakan oleh Samuel von Pufendorf bahwa ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan karena itu mencegah orang untuk berbuat dosa. Dengan demikian, mereka akan patuh hukum. Demikian pula perihal asas legalitas, masih menurut Sahetapy yang mengutip Oppenheimer, bukanlah Feurbach yang pertama kali mengemukakan asas tersebut melainkan Talmudic Jurisprudence.45

Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada sebelum Anselm von Feurbach menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira dialah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas, akan tetapi pandangan ini tidak boleh disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibacaa oleh sarjana hukum kita kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Adalah benar bahwa Anselm von Feeurbach merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuru

lebih jauh berdasarkan Oppenheimer, Samuel von Pufendorf pernah

45

(12)

mengemukakan gagasan serupa. Kedua orang tersebut –Anselm von Feurbach dan Samuel von Pufendorf bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut. Jauh sebelum mereka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi. (Talmudic Yurispridence). 46

Menurut M. Shokry El Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terapat dalam Al-Quran, surat Al Israa’ ayat 15. dalam surat tersebut

Talmudic berasal dari kata Talmud yang berarti studi. Talmud berisikan Mysna dan Gemara yang pertama kali ada di Yerusalem dengan basis di Gemara

Palestina dan kemudian di Babilonia dengan basis Gemara Babilonia. Talmud Babilonia inilah yang kemudian dimasukkan dalam periode kodifikasi Romawi yang diakui secara umum oleh umat Yahudi dan merupakan kompilasi yang serba luas dari naskah-naskah keagamaan, ajaran-ajaran hukum, naskah-naskah sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Bahkan apabila kita mengkaji lebih jauh, roh dari asas legalitas ini sebenarnya terdapat dalam Perjanjian Baru yang berisi Injil, yakni surat-surat Rasul Paulus, dan surat-surat lainnya. Surat Paulus pada jemaat di Roma, tepatnya Roma Pasal 5 ayat (13) berbunyi, “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum

Taurat. Berdasarkan Roma pasal 5 ayat (13) tersebut, jika kita menganalogikan

dosa sebagai perbuatan pidana, tidak ada perbuatan pidana sebelum ada aturan hukumnya.

(13)

dikatakan, “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan

menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami

tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang Rasul. Berdasrkan ayat tersebut hukum Islam tidak hanya mengakui asas legalitas, tetapi juga memberi dasar bagi suatu pertanggungjawaban pribadi dalam hukum pidana.47

Demikian pula menurut Irmanputra Sidin (dalam penelitian disertasinya), asas legalitas dalam Al-Qur’an terdapat pada beberapa ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan menghukum hambanya, kecuali apabila telah sampai risalah kepadanya melalui para Rasulnya yang memberikan peringatan tentang adanya siksa apabila peraturannya tidak ditaati dan akan mendatangkan nikmat apabila aturannya dipatuhi. Bila ditelusuri lebih lanjut beberapa ayat tersebut antara lain adalah Surat Al-Qashas ayat (59) yang menyatakan, “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada

mereka”.48

Kembali kepada asas legalitas, dalam perkembangan selanjutnya asas ini diadaptasikan di beberapa negara. Perihal adaptasi ini dikemukakan oleh

Demikian pula dalam Surat An-Nissa ‘ ayat (165) dikatakan, “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah

diutusnya rasul-rasul itu.

47

Eddy O.S Hiariej,Op.Cit, hal 15 48

(14)

Hazewingkel Suringa sebagai berikut: ”Prinsip dari pasal 1 dibuat daari konstitusi pada abad ke 19, dalam abad ke 20 di beberapa negara asas tersebut dilepas. Di Rusia pada tahun 1926, di jerman pada tahun 1935, asas kepastian dan persamaan individu dihapus, selama hakim pidana menilai perbuatan-perbuatan tidak saja dari rumusan delik, tetapi juga dari pandangan masyarakat (apakah perbuatan tersebut membahayakan masyarakat dengan akibat yang ditimbulkan). Penerapan undang-undang dengan analogi dalam hal tertentu, diperbolehkan”.

B. Kedudukan Asas Non Retroaktif (Legalitas) Dalam Penegakan Hak Asasi Manusia (di Tinjau dari Berbagai Peraturan HAM Di Indonesia).

Sebenarnya, asas non retroaktif di dalam pasal 1 ayat (1) KUHPidana Indonesia, meskipun merupakan warisan dari KUHPidana Belanda, akan tetapi ternyata asas non retroaktif ini pun dapat dikesampingkan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) KUHPidana yang menyatakan; “apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”.49

49

Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi.,Yarma Widya, Bandung 2003, Cet 1, hal. 113

(15)

Hal ini merupakan perlindungan hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan dasar keberlakuan asas retroaktif, tanpa asas tersebut maka banyak penjahat kemanusiaan tidak dapat diadili dan banyak pihak korban pelanggaran HAM berat tidak memperoleh keadilan.

Bahwa pandangan yang menyatakan ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) Amandemen kedua Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ialah tidak berdasar.

Berdasarkan ketentuan pasal 28 huruf i ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan; “Hak unruk hidup,hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasarhukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun”. Hal ini tidaklah bersifat absolut. Pemberlakuan pasal tersebut dibatasi dengan ketentuan pasal 28 huruf j ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

(16)

“Dalam menjalankan hak dan kewajibannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Ketentuan pasal 28 huruf j ayat (2) merupakan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jadi tetap dapat diberlakukan asas retroaktif walaupun kejahatan tersebut dilakukan pada masa yang lalu, sebelum diberlakukannya undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.

Ketentuan pasal 28 i ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia adalah norma yang bersifat umum, sedangkan ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai ketentuan pembatasan oleh Undang-undang, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 huruf j ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan keputuan presiden.

(17)

pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun1999 tidak dikenal adanya asas retroaktif, sedangkan pasal 43 Undang-undang No.26 Tahun 2000 mengenal adanya asas retroaktif. Oleh karena itu, dari perspektif dan optik undang-undang alam konteks ajar Huku Tata Negara Positif, maka secara eksplisit timbul asas lex specialist derogat lex generalis, dan asas lex posteriore derogat lex priori. Konkritnya, tidak

ditemukan nuansa kontradiktif, hanya ada nuansa pembatasan dan spesifikasi dalam kebijakan formulatif pada pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua.50

Doktrin membedakan terorisme kedalam 2 (dua) macam defenisi,yaitu defenisi tindakan teroris (trrosism act) dan pelaku terorisme ( trrosim actor). C. Pengertian Terorisme dan Asas Retroaktif

51

Sedangkan pelaku terorisme dikategorikan menjadi 6 (enam) macam, yaitu:

Disepakati oleh para ahli bahwa tindakan yang tergolong ke dalam tindakan terorisme adalah tindakan yang memiliki elemen, yaitu:

a. kekerasan

b. tujuan politik

c. teror(itended)

52

50

51

Muhammad Mova AL,kampanye melawan terorime telah merusak tatana hukum,diakses dari situs :http://www.pemantauperadailan.com/indeks.php?=com content&task=view&=139&item=12.

52

(18)

1. Terrorist acts by actual state official.

2. State employment by unofficial agents for terrorist act. 3. State supply of financial aid or weapons.

4. State supply of or logistical support.

5. State Acquiescense of terrorst base within its territory and 6. State provision of neither active nor passive help.

Walaupun telah diusulkan oleh beberapa pihak agar terorisme bisa dikategorikan menjadi kejahatan yang berada dalam yurisdiksi ICC (International Criminal Court), namun sampai keseluruhan teks statuta Roma diadopsi,

terorisme tidak dimasukkan dalam salah satu kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC karena kesulitan definisional. Amerika serikat menentang rencana memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC dengan alasan sebagai berikut:53

a. Tindakan terorisme tidak dapat terdefenisikan dengan baik.

b. Memasukkannya ke dalam kategori yurisdiksi akan mempolitisir ICC.

c. Ada beberapa tindakan terorisme yang belum cukup untuk dapat dilakukan penuntutan di depan pengadilan Internasional.

d. Pengadilan nasional secara umum dinilai lebih efisien dalam melakukan penuntutan atas terorisme. Akhirnya usulan untuk memasukkan terorisme ke dalam yurisdiksi ICC yang dilakukan oleh India, Turki dan Sri Lanka secara resmi ditolak.

Defenisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak karena disamping banyak elemen yang terkait juga dikarenakan semua pihak yang berkepentingan melihat atau menterjemahkan permasalahan (term of terrorism) dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Selain itu defenisi baku hukum internasional mengenai terorisme belum dapat ditemui

53

(19)

dengan jelas. Sebenarnya defenisi baku yang dibatasi lintas negara sangatlah sangatlah penting karena terorisme bukan lagi sekedar kejahatan Internssional tetapi sudah menjadi internationally organized crime (kejahatan internasional yang sudah terorganisir). Oleh karenanya pemberantasan tindak pidana terorisme sering sering dilakukan dengan sistem kerja sama dan pemahaman yang sama antar negara.

Defenisi terorisme di dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 adalah sebagai berikut :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut teerhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strateis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Selanjutnya dalam UU No.15 Tahun 2003 tersebut terdapat ajektif yang harus diberikan penjelasan lebih lanjut demi kepasian hukum, yaitu: 54

1. Menimbulkan suasana teror atau takut terhadap orang secara meluas. Perlu dijelaskan defenisi teror, rasa takut dan seluas apakah dampak dari teror atau rasa takut tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Menurut doktrin, teror merupakan elemen psikologis dari defenisi terorisme, karena tindakan terorisme selalu ditujukan untuk meraih intended audience. Namun, masyarakat Internasional tidak

54

(20)

menginkorporasi defenisi doktrin ini karena kesulitan kesulitan untuk mendapat kepastian sejauh mana hal itu diperlukan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu hasil dari aksi teror.

2. Menimbulkan korban yang bersifat massal.

Perlu dirinci sebanyak apa korban yang diperlukan untuk bisa menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan terorisme.

3 Obyek vital yang strategis.

Perlu didaftarkan obyek vital yang dianggap strategis tersebut.

Selanjutnya asas yang dianut di dalam UU No. 16 Tahun 2003 ada dikenal dengan asas retroaktif. Asas retroaktif adalah kebalikan dari asas non retroaktif atau asas legalitas,yaitu bahwa asas retroaktif justru memberlakukan secara surut suatu undang-undang. Sifatnya yang bertentangan dengan konstitusi negara dalam UUD 1945 dan asas-asas pemberlakuan undang-undang, mengakibatkan bahwa berlakunya asas retroaktif sampai saat ini masih dalam perdebatan. Bukti konkrit dalam hal ini salah satunya adalah dikabulkannya permohonan uji materil agar dicabutnya asas retroaktif dalam UU No. 16 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

(21)

Dengan terjadinya peristiwa 11 september 2001, upaya pemberantasan terorisme telah diangkat menjadi prioritas utama dalam kebijakan politik dan keamanan global. Dua tahun masa war of terrorism yang di motori amerika serikat masih belum menyentuh akar permasalahan. Yang tersisa kini kedudukan keluarga para korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kata kunci dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika serikat hanya mengejar pelaku teeror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris (Osama bin Laden dan kawwan-kawan). Mengurai, mengidentifikasi dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internasional, Play ground- nya berskala Internasional. Terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tetapi menjadi masalah seluruh umat manusia.55

55

Gugun El-Guyanie, Terorisme dan Perdamaian Global. Harian Kompas, edisi Tanggal 11 september 2007.

(22)

1. INPRES No. 4 Tahun 2002 tentang INPRES Perumusan Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Bali 12 Oktober 2002

Dalam INPRES ini Presiden RI Menyatakan :

a. bahwa sesuai dengan sifat, bentuk, dan metoda operasi kegiatan terorisme pada umumnya, langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme termasuk pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, harus dilakukan pula dengan sfat, bentuk, dan metoda yang cepat dan efektif;

b. bahwa untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah operasional yang tepat, sehingga pelaksanaan dan pemberantasannya baik yang berupa tindakan penangkalan atau pelaksanaannya dapat berlangsung dengan cepat dan efektif;

c. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, presiden memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional serta pengendaliannya.

Kemudian dalam INPRES No. 4 Tahun 2002 ini juga, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan kepada menteri negara koordintor bidang politik dan keamanan untuk :

(23)

Tanggal 12 Oktober 2002, secara terkoorinasi dengan dan di antara seluruh instansi yang secara fungsional memiliki tugas dan kewenangan di bidang tersebut, serta menyusun-langkah-langkah operasional yang meliputi aspek penyangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian, penyelesaian dan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi pemberantasannya oleh instansi-instansi termaksud secara, terpadu dan efektif.

2. Mengajukan kepada dan untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari presiden, seluruh rancangan kebijakan dan langkah-langkah operasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, dalam rangka pengungkapan secara jelas dan tuntas latar belakang dan rencana setiap kegiatan, terorisme, jaringan perencanaan, persiapan dan pelaksanaannya, ataupun bagi penangkapan pelaku dan pihak lain yang tersangkut di dalamnya, serta pengambilan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi penyelesainnya.

3. Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan selalu berupaya mewujudkan, memelihara kesatuan, keterpaduan dan keharmonisan pelaksanaan kegiatan operasi pemberantasan tindak pidana terorisme yang secara fungsional dilakukan oleh berbagai instansi terkait, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.

(24)

5. Membentuk sebuah satuan kerja yang berbenuk non struktural dan berada di lingkungan Sekretariat Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas ini, yang susunan dan tata kerjanya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan.

6. Melaksanakan Instruksi presiden ini secar cermat dan menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Presiden.

2. UU No. 15 Tahun 2003 jo UU No.16 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk upaya antisipasi terhadap terorisme pada Tahun 2002, antara lain PERPU No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, PERPU No. 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan PEPRPU No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.

Di dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 dinyatakan bahwa pengertian tindak pidana yaitu :

(25)

strateis atau lingkungan hidup atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Termasuk juga perbuatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 yaitu :

a. Menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalulintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.

b. Menyebabkan Hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusak bangunan untuk pengaman lalulintas udara atau gagalnya untuk pengamanan bangunan tersebut.

c. Dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil atau memindahkan tanda atau alat pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat tersebut.

d. Karena kealpalaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru.

e. Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.

f. Dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara.

g. Karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak.

(26)

untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan.

i. Dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan.

j. Dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan ancaman dalam bentuk lainnnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawt udara dalam penerbangan.

k. Melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.

l. Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara.

m. Dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan.

n. Dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan.

o. Melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n. p. Memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena

perbutan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan.

(27)

r. Di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di pesawat udara dalam penerbangan.

Bagi orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat,menerima, mencoba memperoleh menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia suatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledakdan melakukan tundak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Bagi mereka/orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperdagangkan bahan-bahan utama yang potensial untuk digunakan sebagai bahan peledak. Ternyata bahan-bahan tersebut digunakan dalam tindak pidana terorisme, maka bagi pelaku diancam dengan hukum pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Bagi orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :

1. Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan kepada pelaku tindak pidana terorisme;

(28)

3. Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Adapun yang dimaksud dengan memberi bantuan adalah tindakan memberi bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan kemudahan adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.56

56

M. Faisal Salam. Motivasi Tindakan Terorisme,Mandar Maju, Jakarta, 2005hal 219.

(29)

Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme didefenisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban secara massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional. Dari defenisi mengenai terorisme itu, dapat disimpulkan terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime against humanity).

Ada hal menarik pada pengambilan keputusan oleh majelis hakim MK, yaitu ada empat hakim anggota yang mengajukan dissenting opinion mengenai pembatalan UU No. 16 Tahun 2003, yang intinya, tidak sependapat dengan kelima hakim anggota lainnya bahwa peristiwa bom bali adalah merupakan ordinary crime. Keempat hakim anggota itu berpendapat, peristiwa bom bali

merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan extra ordinry crime sehingga harus ditindak dengan pengkhususan tertentu yang dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif. Terorisme sendiri saat ini merupakan masalah ang menghantui dunia sehingga diperlukan kerjasama multilateral untuk menanggulanginya. Jika ditarik ke belakang, yaitu pada tanggal 17 Juli 1998, ketika itu 60 negara meratifikasi Statuta Romayang membentuk International Criminal Court (ICC) untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap

(30)

Bagi extra ordinary Crimes dapat diterapkan pengecualian-pengecualian yang dapat dibenarkan berdasarkan asas lex specialist derogat lex generalis (ketentuan khusus harus diutamakan daripada ketentuan umum).

Penerapan seperti ini dianut pula bagi pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada pengadilan untuk penjahat perang Nuremberg, untuk mengadili anggota Nazi Jerman yang membantai lima juta orang Yahudi semasa perang dunia II. Pembantaian lima juta kaum Yahudi itu, korban teror Twin Tower 3000 orang tewas, dan bom Bali 200 orang tidak bisa dibandingkan secara kuantitatis, tetapi sama kejamnya dan termasuk gross violation of human rights.

Kini, Indonesia tidak dapat menghindar dari tantangan dan ancaman bahaya terorisme global, bahkan Indonesia berkali-kali menjadi sasaran teror. Menghadapi hal ini Indonesia harus lebih membuka diri terhadap globalisme hukum transnasional yang memerangi terorisme. Indonesia tidak boleh terjebak konservativisme hukum nasional yang akhirnya akan membahayakan negara sendiri. Saat ini masalah terorisme sudah menjadi masalah dunia bahkan pada tahun 1998 sudah diadakan International Convention for the Suprression of thr Financing of Terrorism.

(31)

kewarganegaraannya. Sebanyak 200 manusia yang menjadi korban bom Bali bukan lagi menjadi kesedihan bagi Australian dan Indonesia saja, tetapi menjadi paranoid dunia.

BAB IV

PERKEMBANGAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A.Tinjauan Umum Tentang Korupsi

1.Pengertian Korupsi Dan Ruang Lingkupnya

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin : corruptio atau corruptus, corruptio berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata

latin yang lebih tua yang berarti ialah kebusukan, keburukan, kebjatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, Prancis yaitu : corruption, dan Belanda yaitu : corruptie dan dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia yaitu : korupsi.

(32)

dalam kamus besar bahasa indonesia. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Menurut TranspArency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.57

Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pegawai Negara yang berjiwa korup menganggap kantor atau instansinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendpatnya akan diusahakan semaksimal mungkin. Sedangkan L.Bayley mengatakan bahwa perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahw hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman. Bagaimana cara penaggulangannya demikian pula berkembang pengertian korupsi. Makna korupsi selalu berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan masyarakat dari sisi negatf. Semua istilah korupsi merupakan istilah yang banyak dipakai dalam ilmu politik, kemudian menjadi sorotan berbagai disiplin ilmu.

57

(33)

adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.58

Carl J. Friedrich mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.

M.Mc Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia biasa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Dapat juga berarti menjalankan kebijaksanaanya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.

Sedangkan menurut J.S.Nye, korupsi merupakan sebuah perilaku yang menyimpang dari kewjiban-kewjiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti penyuapan, nepotisme maupun penyalahgunaan secara tidak sah sumber penghasilan Negara.

59

58

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001. hal 7-9

59

(34)

Arrigo dan Claussen misalnya mendefenisikan korupsi sebagai mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungakan diri sendiri adalah perbuatan korupsi. Termasuk juga dalam pengertian ini ketika anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya, Anda dahulukan (kepentingan publik diabaikanda), jadi otomatis Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah orang yang menyalahgunakan kekuasaan publik.60

Definisi korupsi dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untukk kepetingan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.61

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan

2010.

61

(35)

kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilwywh hukumnya, ada perbadaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Istlah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru dikenal pertama kali dalam Pengaturan Penguasa Perang kepala Staf Angkatan darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958. Peraturan ini memuat peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang pertama kali di Indonesia. Peraturan perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda termasuk Wvs Hindia Belanda (KUHP) juga tidak dijumpai istilah korupsi (corruptie). Dalam pengaturan penguasa perang tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian istilah korupsi, tetapi hanya dapat dibedakan menjadi korupsi pidana dan korupsi lainnya. Di dalam pasal 1 Peraturan Penguasa Perang kepala Staf Angkatan darat. Tersebut perbuatan korupsi dibedakan menjadi dua yaitu perbuatan korupsi pidana dan korupsi lainnya.62

Istilah tindak pidana korupsi yang pertama kalli digunakan dalam peraturan perundan-undangan Indonesia adalah Peperpu (Peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yakni Peperpu No.24 tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Peperpu tersebut dulu sering

62

(36)

disebut dengan Peraturan Pemberantasan Korupsi 1960 dan berfungsi sebagai perangkat hukum pidana tentang korupsi untuk menggantikan kedudukan Peraturan Penguasa Perang kepala Staf Angakatan darat. Selanjunya Peperpu No.24 tahun 1960 dengan undang-undang No. 1 tahun 1960 ditetapkan menjadi UU No.24/Prp/1960. Undang-undang itu berupa undang-undang hukum pidana khusus pertama tentang tindak pidana korupsi yang bersifat definitif di Indonesia, yang pada saat itu populer dengan sebutan undang-undang anti korupsi.

Pengertian Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sedangkan menurut UU No.31 tahun 1999 Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.63

1. Perbuatan melawan hukum. 2.Bentuk-Bentuk Korupsi

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garus besar mencakup unsur-unsur sbb:

2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana. 3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. 4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

63

(37)

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal UU No.31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No.20 tahun 2001.Rumusan tersebut yang mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Uraian mengenai bentuk-bentuk tidak pidana korupsi terdapat dalam UU No.31 tahun 1999, sebagai berikut :64

1. Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang atau korporasi. (Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999).

2. Tindak Pidana Korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan. (Pasal 3).

3. Tindak Pidana Korupsi dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (Pasal 5).

4. Tindak Pidana Korupsi suap pada hakim dan advokat (Pasal 6).

5. Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI (Pasal 7).

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8)

7. Tindak Pidana Korupsi pegaawai negeri dalam hal memalsu buku-buku dan daftar-daftar. (Pasal)

64

(38)

8. Tindak pegawai negeri merusak barang, akta, surat atau daftar (Pasal 10)

9. Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenaangan jabatan (Pasal 11)

10.Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau haki dan advokat menerima hadiah atau janji, pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara dan turut serta dalam pemborongan (Pasal 12)

11.Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi (Pasal 12 B)

12.Tindak Pidana korupsi suap pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (Pasal 13)

13.Tindak Pidana yang berhubungan dengan huku acara pemberantasan korupsi (Pasal 21, 22 dan pasal 24)65

3. Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 66

1. Lemahnya pendidikan agama dan etika.

65

Ibid, hal.34 66

(39)

2. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidak meenggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi,

4. Kemiskinan, pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sehingga mereka bukanlah dari kalangan yang kurang mampu melainkan orang yang sangat mampu.

5. Tidak adanya sanksi yang keras.

6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.

7. Struktur Pemerintahan

8. Perubahan radikal, pada saat sistem mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.

9. Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

10.Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.67

67

(40)

B. Asas Retroaktif Dalam Tindak Pidana Korupsi

Baru-baru ini publik dikacaukan dengan pendapat para pengamat tentang persoalan penggunaan asas retroaktif dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang dilakukan KPK. Hal ini dipicu putusan judicial review terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagian pengamat menyatakan, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya berwewenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara sebelum Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dibentuk, seyogianya diikuti KPK karena UU KPK No 30/2002 sama sekali tidak mengatur asas retroaktif. 68

Di pihak lain, para ahli hukum berpendapat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam setiap putusannya tidak mengikat secara umum sehingga tidak perlu diikuti KPK. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sendiri berpendapat, penerapan asas retroaktif dalam UU No 30/2002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang laiknya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Penerapan asas retroaktif Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya, artinya apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) dengan prinsip-prinsip

68

(41)

hukum darurat (abnormaal recht), karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang amat limit, dengan tetap memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur yang dapat dikategorikan abuse of power. Semangat untuk memberlakukan eksistensi asas retroaktif kini bisa dianggap sebagai kemunduran jika dikaitkan dengan asas lex tallionis sebagai sumber primaritas, tetapi semangat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi bagi pelaku yang telah menikmati hasil korupsi di masa lalu bukan sebagai semangat tallionis, tetapi merupakan tindakan pemulihan dan penyelamatan harta kekayaan negara yang telah diselewengkan pelaku korupsi yang tidak bertanggung jawab.

(42)

dijadikan isu-isu untuk merongrong kewibawaan pemerintah dan alat penegak hukum. 69

Selain itu, aneka perbuatan korupsi masa lalu sering baru dapat diketahui dan ditemukan indikasinya di masa sekarang sehingga pembatasan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi masa lalu sulit diterima. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi jelas bukan amar putusan (diktum) yang mengikat umum sehingga tidak mempunyai konsekuensi hukum apa pun jika diikuti atau tidak diikuti. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi hanya dapat dijadikan referensi bagi praktisi dan penegak hukum, termasuk para hakim untuk membuat putusan, tetapi bukan sebuah diktum yang mengikat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi sesuai asas-asas peradilan yang berlaku umum hanya akan memutus apa yang diminta para pemohon untuk diputus sesuai dengan ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Persoalan penggunaan asas retroaktif ini akan menjadi semakin sulit apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menurut para pemohonnya bertentangan dengan Pasal 28i Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 karena memberlakukan asas retroaktif. Apabila ini terjadi berarti Mahkamah Konstitusi telah berpendirian, asas legalitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHPidana Noellun Delictum, Noella Poena Sine Praevia Lega Poenali sama sekali tidak dapat disimpangi tuntutan keadilan masyarakat. UU KPK perlu

69

(43)

direvisi? Sebagaimana dinyatakan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, pengaturan asas retroaktif seharusnya diatur dalam UU No 30/2002 tentang KPK, khususnya yang menyangkut asas retroaktif, sehingga KPK memiliki kewenangan jelas dan nyata untuk menangani kasus-kasus korupsi masa lalu. Jika kita memakai konstruksi berpikir ilmu hukum, Pengadilan Khusus Korupsi yang diwadahi UU KPK tentu tidak dapat memeriksa kejahatan korupsi yang terjadi sebelum pengadilan terbentuk. Namun, konstruksi berpikir itu tidak dapat dipakai dalam persoalan ini karena persoalan korupsi tak mengenal ruang dan waktu seperti layaknya persoalan HAM yang diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. 70

Perbuatan atau kejahatan korupsi masa lalu memiliki akibat yang dirasakan hingga kini sehingga menurut hemat kami KPK sebagai komisi satu-satunya pemberantasan korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi masa lalu. Sementara itu, Pengadilan Korupsi meski baru terbentuk merupakan perpanjangan atau sarana untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK. Meski demikian, argumen kami tidak baku, karena itu sudah selayaknya UU KPK direvisi. Apabila Pengadilan Khusus Korupsi sudah berjalan, eksistensi pengadilan ini tentu akan dipersoalkan masyarakat karena dianggap tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara korupsi masa lalu. Sejak KPKPN melakukan uji materiil terhadap UU KPK dulu, kami merasakan adanya ketimpangan dalam kebijakan instrumental pembuat undang- undang KPK yang kesannya tergesa-gesa dan tidak fokus pada

70

(44)

penegakan hukum korupsi secara jernih dan terpadu. Akibatnya, banyak hal yang dilupakan, termasuk mengenai pengaturan asas retroaktif sebagaimana yang dipersoalkan sekarang ini. Dalam UU No 30/2002 tentang KPK, Pasal 9 dan Pasal 68 UU KPK hanya menyatakan KPK berwenang melanjutkan atau mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi yang belum selesai dilakukan lembaga penegak hukum lain, tetapi tidak ada ketentuan yang menyatakan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara korupsi masa lalu. Karena itu, menjadi wajar bila Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa seyogianya KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi masa lalu mengingat keberadaan Pasal 28i Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, UU KPK perlu direvisi dengan memasukkan asas retroaktif di dalamnya sehingga tidak ada keraguan bagi KPK untuk bertugas mencegah dan memberantas korupsi tanpa harus dibatasi ruang dan waktu. Semangat pemberantasan korupsi merupakan semangat yang dikembangkan berdasar pikiran bahwa kondisi bangsa kita sedang dalam keadaan darurat korupsi sehingga penggunaan asas retroaktif dimungkinkan selain tuntutan keadilan juga merupakan tuntutan negara yang sudah berusaha menyelamatkan keuangan negara yang hilang. Karena itu, setiap prasarana dan sarana pemberantasan korupsi harus diberi dukungan sepenuhnya, termasuk kewenangan KPK untuk terus bekerja menangani kasus-kasus korupsi tanpa dibatasi ruang dan waktu.71

71

(45)

Pandangan modern juga mengacu kepada pendapat Jan Remmelink yang menegaskan bahwa daya kerja surut (retroaktif) dari ketentuan hukum pidana terjadi dalam situasi hukum transisional. Diuraikan pendapatnya sebagai berikut: “Suatu fungsi penting diperankan ayat kedua Pasal 1, yang merupakan pengecualian, bila tidak hendak dikatakan penyimpangan terhadap larangan pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang termaktub dalam ayat pertama.” Dalam kaitan bunyi pasal 1 ayat (2) dan pendapat Jan Remmelink tersebut, telah dipersoalkan undang-undang mana yang diberlakuan dalam situasi hukum transisional, dan dalam uraiannya Jan Remmelink menegaskan bahwa dalam keadaan seperti itu, undang-undang yang berlaku setelah terjadi tindak pidana adalah undang-undang yang menguntungkan, maka pemberlakuan surut diperkenankan.72

Secara tegas Remmelink (halaman 365-366) mengatakan bahwa ada dua alternatif penafsiran terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana, yaitu ajaran formil dan ajaran materiel. Sejauh menurut ajaran formil maka istilah “wetgeving (pembuat perundang-undangan) dalam ketentuan (KUHP Belanda) sebagai strafwetgeving, jadi dalam konteks menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana (strafbaarstelling). Dengan cara ini, yang akan hanya turut diperhitungkan hanya perubahan-perubahan yang langsung menyentuh ketentuan pidana sendiri, sedangkan yang berkaitan dengan atau terletak dalam hukum administrasi dapat diabaikan”. Sedangkan alternatif kedua, adalah ajaran materiil terbatas yang turut memperhitungkan perubahan-perubahan materiil yakni bahwa

72

(46)

dari atau melalui perubahan ini (undang-undang,pen.) harus ternyata ada perubahan cara pandang atau pemahaman pembuat undang-undang tentang kepantasan (kepatutan) tindakan tersebut untuk diancam pidana. Syarat ini digunakan oleh Hooge Raad Belanda yang menyebutnya, penafsiran kreatif-restriktif, bukan demi keuntungan , namun justru untuk kerugian terdakwa.73

Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia telah banyak tulisan dan angka-angka yang secara matematis menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Perkembangan penegakan hukum pidana saat ini di Indonesia terkait tindak pidana termasuk para koruptor, kelas kakap alias pejabat atau penyelenggara negara, dan berpegang teguh kepada adresat hukum pidana sejak awal kelahirannya, maka posisi yang bersangkutan tidak boleh dijadikan alas hukum untuk memberikan keistimewaan perlakuan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana, kecuali hak-hak asasi yang bersangkutan yang ditetapkan di dalam Undang-undang hukum acara pidana. Dalam perkembangan praktik penerapan rezim hukum pidana di Indonesia saat ini masih ada guru besar hukum pidana, hukum administrasi negara atau para penasehat hukum dan pengamat yang masih mengutamakan posisi dan status sosial atau status hukum pelaku tindak pidana tidak terbatas pada koruptor saja, maka mereka adalah yang melupakan sejarah pembentukan dan misi yang diemban oleh hukum pidana sejak awal dan tidak dapat membedakan secara intelektual perbedaan besar antara hukum pidana disatu sisi (asas-asas hukum, tujuan, lingkup dan objeknya) dan huku m administrasi negara di sisi lain (tidak memahami arti dan makna).

73

(47)

negara terkorup se-Asia, dan melihat angka-angka penyimpangan APBN setiap tahun yang sudah mencapai 50%, kiranya sudah dapat ditolerir lagi pendapat yang menyatakan bahwa korupsi hanya merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) bukan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Apalagi sudah terbukti bahwa sumber kemiskinan 200 juta rakyat Indonesia adalah juga dari perkembangan korupsi yang sudah bersifat sitematik dan meluas sehingga sudah sepantasnya di dalam bagian menimbang huruf a Undang-undang N0. 20 Tahun 2001 menegaskan antara lain; “bahwa tindak pidana korupsi…tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas…”. Bertitik tolak kepda fakta korupsi di Indonesia secara sah telah diakui sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia masyarakat luas, pengakuan formil inilah yang memberikan ciri bahwa korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extra ordinary crimes sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, antara lain dengan penggunaan sistem pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, diperkuat dengan pembentukan dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih besar dari kepolisian dan kejaksaan sesuai dengan undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).74

Bertolak dari uraian perkembangan fakta dan perundang-undangan yang secara khusus ditujukan untuk pemberantasan korupsi di Indoneisa sampai saat

74

(48)

ini, maka sudah jelas dan gamblang bahwa bangsa Indonesia melalui perwakilannya di DPR bersama pemerintah sudah berketetapan hati dan memiliki komitmen politik untuk membebaskan kemiskinan bangsa ini antara lain melalui pemberantasan korupsi. Bangsa Indonesia juga sudah menetapkan bahwa korupsi “extra ordinary crimes” sebagai pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat luas sehingga pemberantasan korupsi sudah memiliki landasan filosofis, yuridis dan konstitusional serta sosiologis yang kuat teruji dan terukur untuk menegasikan pemberlakuan asas non retroaktif terhadap tindak pidana korupsi yang berlaku sebelum diberlakukannya UU nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas dasar uraian diatas maka tidak ada lagi dalih untuk pertimbangan apapun untuk menyatakan bahwa keberadaan dan keberlauan Undang-undang tersebut tidak berlaku surut.

(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan dari analisa dan

pembahasan materi yang dilakukan. Adapun kesimpulan dari pembahasan di atas adalah:

(50)

Retroaktif boleh digunakan apabila telah memenuhi empat syarat akumulatif :

a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

b. Peradilannya bersifat Internasional, bukan peradilan nasional. c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen.

d. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan tingkat destruksinya setara dengannya.

2. Indonesia menganut Asas Legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:” Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang undangan yang telah ada. Ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga buah asas yang sangat penting yaitu :

a. Bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis

b. Bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut dan

(51)

Kedudukan asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia telah banyak mengalami penyimpangan, kareana secara umum para ahli menilai asas legalitas lebih mengutamakan perlindungan hukum individu daripada masyarakat luas. Namun dalam sistem hukum di Indonesia tetap menggunakan asas legalitas sebagai kontrol atau patokan hukum. Maka dengan demikian Indonesia tetap menganut asas legalitas sesuai dengan penganut sistem hukum tertulis lainnya, dimana di Indonesia yang dapat dianggap menjadi asas legalitas tertulis pada pasal 28 I dan J UUD 1945. 3. Korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau extra ordinary

crimes sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa, sehingga salah satunya hal yang dapat di terapkan adalah pemberlakuan asas retroaktif bagi para koruptor. Penerapan asas Retroaktif daalam UU No. 30/2002 tentang KPK dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang laiknya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Penerapan asas retroaktif Dari sisi pengetahuan hukum, pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami sepanjang diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif sifatnya.

B. SARAN

(52)

berbagai permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun saran-saran yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah:

1. Sebaiknya dalam menerapkan asas retroaktif, Hakim dapat melihat lebih jernih mengenai adanya pelanggaran HAM berat atau yang tingkat destruktifnya setara dengan peanggaran Ham berat. Kareana ada kemungkinan penyalahgunaan dalam penerapan asas retroaktif yaitu balas dendam (lex Taliaonis). Penerapan asas retroaktif dalam UU No. 30 Tahun 2002 dimungkinkan demi keadilan, namun penerapan asas itu harus dicantumkan dalam undang-undang seperti halnya dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

2. Demikian juga dalam hal penerapan Asas Legalitas, Hakim sebagai perpanjangan Tangan Tuhan dalam sebuah proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan bagi orang yang mencari keadilan khususnya. Hakim dapat menerapkan penemuan hukum yang bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap hal-hal yang baru.

(53)

BAB II

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pemberlakuan Hukum Pidana.

Apabila membahas pemberlakuan hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dua jenis pemberlakuan hukum pidana ialah pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu dan pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat.

Pertama, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan waktu, mensyaratkan dapat tidaknya suatu perbuatan pidana, harus ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketentuan ini dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbutan dilakukan”. Ini menunjukkan tidak ada pidana tanpa landasan perundang-undangan.

Ilmu hukum pidana menyebut ketentuan ini sebagai asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang mempunyai makna tidak ada

tindak pidana, tidak ada pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan.

(54)

pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya bila ancaman pidana yang tercantum terlebih dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegah, maka menghukum dapat dibenarkan.18

B. Landasan Pemberlakuan Asas Retroaktif.

Kedua, pemberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan tempat, bahwa pemberlakuan hukum pidana selalu terikat pada masalah kewilayahan ialah terbatas pada wilayah negara tertentu.

Pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif merupakan pengecualian dari asas legalitas atau Principle of legality atas dasar extra ordinary crimes, seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Dengan demikian pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif yang dilandasi oleh prinsip keadilan untuk semuanya dalam arti, baik keadilan bagi pelaku tindak pidana maupun keadilan bagi korban tindak pidana merupakan penyeimbang asas legalitas yang semata-mata berpatokan pada kepastian hukum dan asas keadilan untuk semuanya. Sehingga pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dengan kondisi-kondisi tertentu, sseperti kepentingan kolektif baik kepentingan masyarakat, bangsa, maupun negara yang selama ini kurang mendapat perlindungan dari asas legaltas dapat diterima guna memenuhi tuntutan moral pembalasan masyarakat.19

Pemberlakuan asas retro aktif sebagai pengecualian dari asas Legalitas merupakan suatu pergeseran paradigma bagi pemberlakuan hukum di Indonesia.

18

Ibid, hal 12 19

(55)

Dimana pemberlakuan asas retroaktif ini menjadi penting setelah terjadinya peristiwa bom bali pada Tahun 2002. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa asas legalitas itu dibuat intuk melindungi Hak Asasi Manusia, jadi akan menjadi suatu hal yang diharuskan pula apabila Asas Legalitas itu sendiri disimpangi untuk kepentingan Hak asasi manusia juga.

Sebagaimana dimaklumi, dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, bahwa “Pelanggaran HAM yang berat” akan diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (pasal 104) .

Kemudian, keluar undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang di dalamnya juga mengatur tentang hukum pidana materilnya dan membagi atau merinci pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat menjadi dua tindak pidana yaitu: 20

1. Kejahatan Genosida

2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.

Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilkukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara :

a. Membunuh anggota kelompok

b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian

20

(56)

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa :

a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum Internasional

f. Penyiksaan

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

(57)

j. Kejahatan Apartheid.21

Masalah retroaktif yang ramai dibicarakan adalah, apakah undang-undang No. 39 tahun 1999 dan undang-undang-undang-undang no 26 tahun 2000 dapat juga diberlakukan terhadap kejahatan hak asasi manusia yang terjadi sebelum keluarnya undang-undang itu.

Di Indonesia sendiri

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya permasalahan tersebut maka penulis ingin membahas lebih lanjut tentang bagaimana praktek pemberlakuan hukum secara surut dalam hukum Pidana Indonesia.. dan

Sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu apabila perbuatan yang dilakukan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi oleh nilai-nilai

(Hukum Tata Negara dan Perundang-undangan) merupakan kajian hukum yang berkaitan dengan masalah politik, seperti pengatran dasar dan sistem negara, perundang-undangan

Karena isi Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak

perundang-undangan maupun dalam putusan pengadilan. Atas dasar itu hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian- bagian antara hukum adat

Yang cukup menarik adalah bahwa keberlakuan secara retroaktif dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 4, yang menyatakan bahwa: “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku

pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang undangan, dan juga mencangkup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.9 Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana penal

Oleh sebab itu, wajarlah dalam hukum pidana suatu negara asas ini disebutkan pertama kali dalam aturan hukum pidananya.1 Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu