• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSISTENSI ASAS LEGALITAS DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Hukum Tidak Tertulis Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Setiap negara mempunyai sistem hukumnya sendiri, sebab setiap hukum membentuk suatu sistem.140

Each law in fact, constitutes a system: it has a vocabulary used to express concepts, its rules are arranged into categories, its has techniques for expressing ruling and interpreting them, it is limited to a view of the social order itself which determines the way in which the law applied and shapes the very function of law in that society.

Sehubungan dengan itu, Rene Devid menyatakan, bahwa:

141

Jika pernyataan Rene Devid tersebut diterjemahkan, maka maksudnya adalah memang setiap hukum membentuk suatu sistem: ia mempunyai perbendaharaan

140

Menurut Prof. Dr. Sunarjati Hartono, pada saat ini ada beberapa sistem hukum dunia yang berpengaruh terhadap sistem hukum lainnya, seperti: a. Sistem-sistem hukum kebiasaan yang tradisional (a.l. Hukum Adat); b. Sistem-sistem Anglo Saxon; c. Sistem-sistem Hukum Eropah Daratan (Kontinental); d. Sistem-sistem Hukum Skandinavia; e. Sistem-sistem Hukum Islam; f. Sistem-sistem Hukum Komunis/Sosialis. Lihat Sunarjati Hartono, Kapita Selekta

Perbandinagn Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hal. 31.

141

Rene David, John E.C. Brierly, Major Legal Systems in the World Today, Stevens & Sons, 2nd ed., 1978, hal. 18.

(2)

istilah untuk mengungkapkan konsep-konsep, peraturan-peraturannya disusun ke dalam pengelompokan-pengelompokan, ia mempunyai teknik-teknik untuk

mengungkapkan kaidah dan menafsirkannya, ia dibatasi oleh pandangan dari tertib sosial itu sendiri yang menentukan bagaimana hukum diterapkan dan membentuk fungsi yang sesungguhnya dari hukum dalam masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, kaidah-kaidah hukum adat sebagai sistem hukum yang tidak tertulis dikenal sebagai norma umum atau berupa asas-asas umum. Asas-asas tersebut tidak sulit untuk dirumuskan secara eksplisit dalam bentuk yang baku. Walaupun demikian asas-asas tersebut tetap eksis sebagai asas-asas umum. Kaidah-kaidah itu umumnya hanya diterima sebagai petunjuk pembeda mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, dan hanya bisa disimpan dalam ingatan sementara pemuka masyarakat untuk kemudian ditafsirkan menurut kebutuhan yang sering bervariasi dari kasus ke kasus. Sementara itu, seiring dengan ciri dan coraknya yang tidak tertulis, hukum dalam kehidupan masyarakat adat itu mempunyai bentuknya yang tidak terstruktur.142

Dikatakan demikian tidak lain karena struktur atau organisasi kekuasaan yang menunjang eksistensi dan kapasitas operasional hukum dalam masyarakat tersebut terbilang masih sangat sederhana. Struktur pemerintahan dalam masyarakat

142

Sistem Hukum Adat dianut juga oleh beberapa negara di antaranya oleh Monggolia dan Srilangka, selain itu ada juga yang mengkategorikan Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum adat. Sedangkan sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama tertentu yang umumnya terdapat dalam Kitab Suci, seperti yang diterapkan di Arab Saudi, Iran, Sudan, Suriah, dan Vatikan yang dikategorikan sebagai negara dengan sistem hukum agama. Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Lihat Sunarjati Hartono, Op. Cit., hal. 118.

(3)

yang demikian sederhana, sehingga boleh dikatakan bahwa tertib kehidupan di masyarakat lebih tampak di kontrol oleh pribadi-pribadi yang diakui sebagai pemuka-pemuka yang karismatik daripada memberikan kesan telah dikontrol oleh suatu sistem organisasi yang impersonal.

Dalam masyarakat adat tidak ada kaidah hukum yang tertulis secara pasti, selain itu tidak ada pula struktur pemerintahan yang secara konkrit melembaga, hal ini membawa konsekuensi, bahwa kebijakan-kebijakan dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pemerintahan di dalam masyarakat akan lebih terlihat sebagai refleksi kepribadian dari para tokoh pemukanya, ketimbang dari pada cermin tata

perkaidahan yang baku dan berkepastian. 143

143

Adegium hukum yang menyatakan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan, bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine

quanon bagi keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas. Namun demikian,

apakah itu berarti hukum yang ada di suatu masyarakat telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum yang ada pada masyarakat tersebut telah terbangun menjadi sistem hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat pada suatu masyarakat adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan. Oleh karena itu, Hakim Agung O.W. Holmes menyatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience). Lihat Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. kedua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hal. 4.

Selanjutnya dapat dimengerti mengapa dengan tidak adanya atau lemahnya organisasi pembentukan hukum dalam

masyarakat adat, yang berstruktur sederhana itu akan ikut serta, sehingga

menyebabkan peran individu dan keluarga tampak lebih menonjol, mengatasi peran lembaga-lembaga kekuasaan yang berposisi mengatasi keluarga-keluarga. Peran keluarga ini tampak sekali dalam berbagai upaya mensosialisasikan kaidah-kaidah

(4)

sosial ke dalam sanubari generasi keturunan, dan kemudian dalam hal melaksanakan kontrol dan penjatuhan sanksi atas dasar kaidah-kaidah adat yang berlaku.

Penyelesaian sengketa melalui cara ajudikasi, yaitu pemeriksaan perkara dan penjatuhan keputusan peradilan, oleh pihak ketiga atas dasar legitimasi kekuasaan pemerintahan yang disebut badan yudisial, tidaklah ditemukan dalam masyarakat adat. Di tengah kenyataan dan kehidupan yang belum terlalu kompleks dan belum pula mengenal pranata-pranta hukum, boleh dikatakan bahwa setiap orang di dalam kehidupan komunitas itu adalah ahli hukum. Maksudnya bahwa setiap orang dalam komunitas itu selalu mengetahui sebagai bagian dari pengetahuan tradisionalnya yang di dalam kepustakaan disebut the local knowledge. Apa yang harus

dihukumkan dan apa pula yang tidak pernah dipandang oleh khalayak di tempat itu sebagai sesuatu yang selayaknya dihukumkan, baik mengenai ihwal materinya maupun mengenai ihwal prosedur pendayagunaannya.144

144

Ada pendapat bahwa hukum Indonesia, dengan segala keterbatasannya, telah terbangun menjadi suatu sistem. Norma hukum Indonesia, ada yang telah lebih teruji oleh waktu lebih dari seabad, melewati berbagai dinamika masyarakat dan sampai saat ini masih berlaku. Sejak pendidikan hukum dilakukan secara formal di Indonesia, sistem hukum Indonesia telah menjadi bahan kajian. Hampir tidak ada yang

menyerukan agar dilakukan ‘revolusi’ dalam hukum, akan tetapi yang banyak diserukan adalah reformasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Dengan demikian krisis hukum yang sering disebut-sebut, boleh jadi bukan krisis dalam sistem hukum secara

keseluruhan, tetapi krisis dalam penegakan hukum.Lihat Sunarjati Hartono, Op. Cit., hal. 137-139.

Dari kenyataan inilah datangnya istilah hukum asli yang tidak tertulis untuk menyebut hukum yang berkembang sebagai bagian dari adat masyarakat setempat. Akan tetapi, karena dunia terus berputar dan alam terus beredar, perubahan-perubahan menuju

(5)

kehidupan baru yang lebih berskala nasional telah menjadikan hukum adat itu mempengaruhi hukum nasional.

Dalam berbagai diskusi dan dalam pertemuan-pertemuan para ahli hukum, selalu dibicarakan secara rinci tentang dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia.145

Hukum adat berbeda dengan hukum positif tertulis yang bersumber pada hukum Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme realisme. Artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional

Dalam banyak kesempatan dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Pemikiran-pemikiran seperti ini, seyogyanya dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat, mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan, baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim pidana sebagai produk dari sistem peradilan pidana.

145

Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropah Kontionental dan Anglo Saxon), maka Sistem Hukum Adat Indonesia cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum, jika masyarakat

menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak. Ibid., hal.140.

(6)

religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau keadilan sosial. Oleh karena itu, ciri utama hukum adat adalah komunal atau kekeluargaan yang lebih mementingkan masyarakat daripada individu, di samping itu hukum adat mempunyai ciri atau identitas yang bersifat statis, dinamis dan fleksibel. Statis mengandung pengertian, bahwa hukum adat selalu ada dalam masyarakat, kemudian dikatakan bersifat dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, dan fleksibel diarikan sebagai kelenturan karena hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat. Semua ciri tersebut dengan mudah dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adat. Soepomo mengatakan:

Corak atau pola-pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu, oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat. Mempunyai corak magis religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.146

146

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1966, hal. 63.

Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

(7)

Dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh, hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok. Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk

melaksanakan hukum adat. Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu, pola fikir dan paradigma berfikir adat, sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun mereka sudah memasuki kehidupan dan aktivitas yang disebut modern.

Dalam hubungannya dengan pembahasan ini harus dihubungkan dengan hukum pidana adat sebagai hukum yang tidak tertulis, dimana hukum pidana adat ditemukan dalam beberapa pandangan doktrinal. Oleh karena itu, Ter Haar berasumsi:

Bahwa yang dianggap suatu pelanggaran ialah setiap gangguan segi satu terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan immateriil orang seorang atau dari orang-orang

banyak yang merupakan suatu kesatuan. Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat (adat reactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).147

147

Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hal. 255.

(8)

Dari pandangan Ter Haar tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa untuk dapat disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.

Selanjutnya Van Vollenhoven148 menyebutkan: “delik adat sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan”. Hilman Hadikusuma149 menyebutkan: “hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan”. Andaikata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga. Malahan, hukum pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada perundang-undangan. I Made Widnyana150

148

Van Vollen Hoven dalam Soerojo Wignodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1979, hal. 226.

149

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Jakarta: Rajawali, 1961, hal. 307.

150

I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Adat, Bandung: Eresco, 1993, hal. 3.

menyebutkan: “hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu keseimbangan masyarakat, oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya.

(9)

Pada dasarnya, secara substansial sistem hukum tidak tertulis berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat dengan bercirikan asas kekeluargaan, religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam suatu masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih mengedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, menurut Soepomo:

Dalam sistem hukum pidana adat tujuan dijatuhkannya sanksi adat

sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib.151

Sehubungan dengan itu, penjatuhan pidana yang dijatuhkan hakim adalah sebuah proses mengadili dengan bertitik tolak pada alat bukti, proses pembuktian, hukum pembuktian dan ketentuan hukum acara pidana. Pada proses ini hakim memegang peranan penting untuk mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku melalui putusan. Penjatuhan pidana oleh hakim dengan mempertimbangkan segala aspek baik perbuatannya, pelakunya, tujuan pemidanaan serta mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara pelaku dan korban demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

151

(10)

Pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada praktik

penegakan hukum harus ditentukan pula adanya eksistensi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Asasnya, hakim menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

Konsepsi pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Tegasnya hakim bebas dalam menentukan pidana tambahan baik bersama dengan pidana pokok atau sebagai pidana berdiri sendiri atau juga dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain, meskipun tidak dicantumkan sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Dasar kewenangan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat, mengandung konsekuensi logis dimana dalam konteks ini dapat disebutkan bahwa apabila hakim mengadili tindak pidana adat, agar pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat diterima dan dipahami

(11)

dengan baik oleh masyarakat maupun pelaku, hakim harus mempertimbangkan pedoman pemidanaan dan tujuan pemidanaan.

Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah dimensi yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan. Apabila anasir ini diperhatikan maka putusan hakim juga secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.

Konsekuensi logis diakui dan adanya dasar hukum yang tegas eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat seperti hukum pidana adat, akan

memberikan tugas, tanggung jawab dan beban relatif lebih berat kepada hakim untuk lebih dapat memahami dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.152 Hakim harus benar-benar memahami perasaan masyarakat, keadaan masyarakat, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk dengan pelbagai macam adat istiadat, tradisi dan budaya yang berbeda-beda yang tetap dipertahankan sebagai hukum yang hidup. Soedarto153

152

Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan

common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard (dalam

Suherman, 2004: 21) membedakan sistem hukum yang utama di dunia (The World’s Major

Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa;

dan Far East. Munir Fuady (2007: 32-dst.) menyatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum. Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropah Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan.

153

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: PT Alumni, 1983, hal. 81.

(12)

perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya keputusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran putusannya baik secara formal maupun materiil”.

Mengacu kepada hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis, dalam arti sebagaimana diikuti oleh Snouck Hurgronye yang menyatakan bahwa hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum, kemudian pendapat dari van

Vollenhoven yang menegaskan lebih lanjut dengan menyatakan bahwa adat yang mempunyai sanksi, dan kemudian Ter Haar lebih mempertegas untuk kepentingan penggarapan secara yuridis. Menurut Ter Haar, apabila seseorang ingin mengetahui hukum adat, maka perlu ditunjukkan pada keputusan para penguasa adat, terhadap masalah yang terjadi di dalam atau di luar persengketaan yang terikat secara strukturil dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu. Pemahaman yang demikian menunjukan, bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertlis

mempunyai peran terhadap sistem peradilan pidana.

Berdasarkan hal tersebut, apabila kita berbicara tentang hukum, maka aspek yang terkait menjadi sangat luas, sehingga tidak hanya terbatas pada undang-undang, perundang-undangan atau peraturan tertulis lainnya, namun lebih luas dari itu, bahwa hukum mempunyai banyak aspek, seperti filsafat hukum, sumber hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan sebagai hukum yang tidak tertulis, penegakan hukum, pelayanan hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata

(13)

hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum acara, perilaku hukum

masyarakat, kesadaran hukum, dan sebagainya. Semua itulah yang membangun sistem hukum, yaitu hubungan dan kaitan satu sama lain antara berbagai komponen atau unsur yang disebut di atas yang membuat hukum tidak tertulis itu berperan dalam sistem peradilan pidana.

Selain itu, pada asasnya, hukum pidana adat adalah perbuatan yang

melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat

bersangkutan. Oleh karena itu, untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk wujud mengembalikan

ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk meniadakan atau menetralisir suatu keadaan akibat suatu pelanggaran adat.154

Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun

154Praktek peradilan mengenal asas legalitas materiil dengan menerapkan dan memutus

kasus pidana adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Darurat 1/1951 Tentang

Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan dan Acara Pengadilan Sipil. Misalnya, delik adat lokika Sanggraha di Bali merupakan tindak pidana adat

yang melanggar norma kesusilaan dan terhadap pelanggarnya dikenai reaksi adat dan serta dijatuhkan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 359 Kitab Adigama jo Pasal 5 ayat 3 sub b UU Darurat 1/1951. Terhadap aspek ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 374 K/Pid/1990 tanggal 13 Maret 1993, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 948/K/Pid/1996 tanggal 15 November 1996. Lihat Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi

Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2005, hal. 221-253. Kemudian asas legalitas materiil ini dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2005 diformulasikan dengan redaksional, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

(14)

temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Selanjutnya jika dikaji dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan eksistensi

keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pendapat atau doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Pada praktik peradilan, hukum pidana adat terdapat dalam beberapa putusan dengan adanya sanksi adat sekaligus pemulihan keseimbangan kehidupan masyarakat di dalamnya. Terhadap prospek dan dimensi delik adat dalam konteks pembentukan hukum, sangat tergantung pada aspek apakah unsur-unsur delik yang terdapat dalam putusan hakim juga ada dan dikenal pada masyarakat adat.

Pedoman pemidanaan khususnya yang berupa pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan tujuan pemidanaan khususnya berupa menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat sehingga putusan hakim secara menyeluruh mempertimbangkan dimensi legal justice, moral justice dan social justice.155

Sehubungan dengan itu, untuk memahami fungsi hukum tidak tertulis dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, maka terlebih dahulu perlu dipahami makna dari Sistem Peradilan Pidana tersebut. Dari segi istilah Sistem Peradilan Pidana berasal dari dua kata yaitu: Sistem dan Peradilan Pidana. Pemahaman mengenai

155

Bandingkan dengan KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum

(15)

sistem dapat diartikan sebagai suatu rangkaian di antara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam arti harfiah, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling mempunyai ketergantungan. Oleh karena itu ciri suatu sistem adalah:

a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses);

b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts);

c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts);

d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts);

e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole);

f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu. 156

Selanjutnya apabila dikaji dari sudut pandang etimologis, sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen sebagai subsistem yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan Peradilan Pidana merupakan suatu mekanisme

pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu dakwaan dan tuntutan pidana. Dalam kaitannya dengan

156

Lili Rasjidi, I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 43-44.

(16)

peradilan pidana, dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.

Pengertian Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System menurut para ahli hukum antara lain: Menurut Remington dan Ohlin, “Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial”.157 Sebaliknya Hagan158 membedakan pengertian “Criminal justice system” dan “Criminal Justice Process”. “Criminal Justice System” “adalah interkoneksi antara keputusan tiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana sedangkan “Criminal Justice Process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

menghadapkan tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya”. Sementara itu Chamelin Whisenand,159

157

Remington dan Ohlin dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, hal. 3-5.

158

Ibid., hal. 4.

159

Chamelin Whisenand dalam H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hal. 5-6.

mengartikan Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana sebagai “suatu sistem dalam proses menentukan konsep sistem yaitu berupa aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara sub sistem kepolisian, pengadilan, dan lembaga penjara”.

(17)

Menurut Romli Atmasasmita,160

1) Kekuasaan penyidikan oleh badan atau lembaga penyidik;

Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif yang memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata, pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi, pendekatan sosial yang

memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut Barda Nawawi Arief: Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem yaitu:

2) Kekusaan penuntutan oleh badan atau lembaga penuntut umum;

3) Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan pidana oleh pengadilan;

160

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1996, hal. 16-18.

(18)

4) Kekuasaan pelaksanaan putusan oleh badan atau aparat pelaksana eksekusi.161

Keempat tahap atau subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu.Dengan demikian, Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang diterapkan.

Dilihat dari perspektif keilmuan sistem peradilan pidana itu dapat dikaji melalui pendekatan dari dimensi hukum, sosiologi, ekonomi dan menajemen. Dikatakan demikian oleh karena pada sistem peradilan pidana termaktub anasir yang mendukung eksistensi dari proses tersebut. Satjipto Rahardjo mengatakan:

Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu dengan pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas, seperti sosiologi, ekonomi dan manajemen. Dari segi profesional, Sistem Peradilan Pidana lazim dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Di sini kita memberikan perhatian terhadap asas, doktrin dan perundang-undangan yang mengatur

161

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem

Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, hal. 19-20.

(19)

sistem peradilan pidana tersebut. Dalam ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis.162

Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau pun tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatas-annya.

Dilihat dari segi peristilahan sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Remington dan Ohlin sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita dengan tegas mengemukakan sebagai berikut:

163

162

Satjipto Rahadjo, Sistem Peradilan Pidana Dalam Wacana Kontrol Sosial, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1998, hal. 97.

163

Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Op. Cit, hal. 14.

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari keberadaannya untuk

memproduksi segala sesuatu yang bersifat pembatasan terhadap hak-hak seseorang seperti perampasan kemerdekaan, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya pengendalian dan penekanan tindak pidana.

(20)

Sehubungan dengan itu, Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801 yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa

(Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa “Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.164 Bambang Poernomo menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali”.165

Dalam prakteknya, tindakan untuk membatasi kebebasan atau kemerdekaan seseorang melalui hukuman penjara dan bahkan untuk merampas nyawanya dengan menerapkan hukuman mati, maupun tindakan untuk merampas harta bendanya dalam bentuk hukuman denda, sebagai bagian dari produk sistem peradilan pidana, sebenarnya mendapat pengaruh yang cukup luas dari praktek peradilan pidana adat dengan sistem hukumnya yang tidak tertulis.

164

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982, hal. 220.

165

Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun

Model Penegakan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas

(21)

B. Implikasi Konsepsi Barat Terhadap Hukum Adat Indonesia

Pada saat ini, konsep Hukum Adat yang dipakai oleh sebahagian besar ahli hukum di Indonesia masih mengacu dan berpedoman kepada ilmu pengetahuan Barat tentang Hukum Adat. Sehingga yang muncul adalah paham tentang Hukum Adat dalam konsepsi Barat. Meskipun hasilnya telah mampu menyajikan Hukum Adat secara sistematis, akan tetapi belum menyentuh aspek esoteris dari Hukum Adat tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya introdusir tentang pengkajian Hukum Adat menuju konsepsi Hukum Nasional. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka Hukum Adat akan semakin suram dan berkemungkinan besar akan terasing (teraliensi) dari kalangan masyarakat akademis di masa mendatang.166

166

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia, 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press Press, 2004, hal.

142.

Permasalahan yang muncul dalam berbagai kajian Hukum Adat diduga disebabkan karena kurangnya atau membekunya bahan-bahan yang ada atau belum adanya kesatuan tema dan orientasinya. Sehingga dengan demikian, peninjauan kembali terhadap paradigma dan teori-teori Hukum Adat adalah merupakan keharusan bagi ahli-ahli hukum Indonesia, sebab pengertian tentang apa itu Hukum Adat dari para ahli hukum di Indonesia masih banyak berpedoman kepada Ilmu Pengetahuan Barat mengenai Hukum Adat yang dimulai pada tahun 1894 M oleh salah seorang kebangsaan Belanda dan ahli sastera Timur yang bernama Snouck Hurgronje.

(22)

Usaha ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sarjana Sastera dan sekaligus Sarjana Huku m bernama van Vollenhoven, seorang Guru Besar dari Universitas Leiden di Belanda.167

Jauh sebelumnya sebenarnya juga sudah ada hasil dari pemikiran pujangga-pujangga Indonesia asli atau ahli-ahli Hukum Adat setempat, tetapi dengan adanya usaha dari kalangan ilmiah Barat untuk mempelajari secara ilmiah dengan memakai dasar-dasar dan ukuran Ilmu Sosial Barat, maka Hukum Adat yang telah dirintis sebelumnya menjadi tersisih. Lambat-laun hasil-hasil itu tidak diperhatikan oleh kalangan ahli dan peminat Ilmu Pengetahuan Hukum di Indonesia. Pada hal pada tahun 1920-an Van Vollenhoven sendiri pernah memperingatkan bahwa

pengetahuan Hukum Adat yang sebenarnya ialah pengetahuan yang dihasilkan oleh putera-putera bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, maka itulah yang harus ditunggu-tunggu.

Sebagai puncaknya adalah studi hukum adat yang dilakukan oleh Ter Haar yang memberikan warna positif terhadap Hukum Adat.

168

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Modern tentang Hukum Adat dibangun di atas reruntuhan Ilmu Hukum Indonesia, yang sebelum orang Barat datang sudah ada dan berkembang.169

Konsep hukum adat yang dikembangkan dan disajikan oleh Barat dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial ini dirasakan sebagai suatu hal yang kurang memadai kebutuhan hukum rakyat Indonesia yang dalam cita rasanya adalah

167

M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian 1 Bandung, Mandar Maju, 1992, hal. 35.

168

Lihat C. Van Vollenhoven, de Ontdekking van het Adatrecht, Leiden 1928, hal. 173-174, yang dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Dewasa ini, FH-UII, Yogyakarta, 1983, hal. 4.

169

Lihat C. Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid III, Leiden, 1993, hal. 791, dikutip oleh M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal 35.

(23)

berdasar dan bersumber pada cita rasa nilai-nilai budaya Indonesia. Keadaan ini kemudian timbul suatu kelompok ahli hukum dari kalangan putra Indonesia yang berusaha mengawinkan kedua konsep tersebut sesuai dengan pandangan hidup yang diyakininya yang kemudian menghasilkan konsep hukum adat yang bercorak nasional.

Sehubungan dengan itu, pengertian atau konsep apa itu adat (Hukum Adat) sebenarnya sudah mulai dirumuskan jauh sebelum kedatangan orang-orang Barat di Indonesia. Karena konsep Adat mula-mula diperkenalkan dari istilah Arab yaitu ketika bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan orang-orang Arab dalam hubungan dengan pengembangan agama Islam di Indonesia.170

Adat adalah istilah Arab dari perkataan “adah”

171

yaitu untuk menunjukkan apa yang hidup dalam kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan dalam pergaulan sehari-hari yang merupakan keseluruhan kaidah tingkah laku yang diterima dan dihormati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Istilah adat yang berasal dari bahasa Arab itu bersifat abstrak, tetapi di masyarakat lebih dikenal daripada istilah “urf” yang juga berasal dari bahasa Arab yang sering diartikan kebiasaan atau adat juga.172

170

M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 37. 171

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 8.

172

Koesnoe memberi catatan mengapa istilah adat itu lebih dikenal di masyarakat dari pada istilah urf, karena diduga bahwa istilah adat itu bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari Bahasa Sansekerta “adhi” yang artinya “dari masa yang tak dapat diingat lagi”. Istilah adhi itu masih dikenal di masyarakat Bali yang menganut agama Hindu yaitu menyebut kitab Adhigama.

(24)

Di dalam mempergunakan istilah adat yang berasal dari bahasa Arab itu membawa pengertian yang masih kabur di kalangan masyarakat awam, sehingga ada usaha dari kalangan ahli dan tokoh pemikir yang bertanggung jawab di masyarakat untuk memberikan pandangan yang lebih bersih dan konsisten.173

Usaha yang dilakukan oleh ahli fiqh antara lain dilakukan oleh Jalaludin bin Syeh Muhammad Kamaluddin anak Kadhi Baginda Khatib dari Negeri Trusan di Aceh atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah (1781-1795). Tulisannya berjudul “Safinatul Hukaam Fi Tahlisil Khasam” (Bahtera bagi semua hakim dalam menyelesaikan semua orang yang berkesumat).

Konsep adat kemudian menjadi bahan pemikiran para ahli adat untuk menyusun konsep yang lebih jelas dan mantap. Usaha-usaha ini nampak dilakukan oleh kalangan para terpelajar dalam fiqh dan dari kalangan ahli adat yang muslim yang dinyatakan dalam forum-forum yang membahas penyelesaian sesuatu soal yang timbul di dalam masyarakat yang bersangkutan.

174

173

Koesnoe, Op. Cit., hal. 39. 174

Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 9, dijelaskan bahwa dalam muqadimah kitab hukum acara tersebut dikemukakan bahwa dalam memeriksa perkara maka hakim harus memperhatikan hukum syara’, hukum adat, adat dan resam.

Disitu dikemukakan bahwa “Hukum Adat itu persambungan antara yang dahulu dan yang kemudian pada pihak adanya atau tiadanya dengan ditilik kepada berulang-ulangnya pada halnya. Tiada boleh di dalamnya penglihatan, seperti:api menunukan bagi yang menyentuhnya, dan yang tajam melukai bagi yang kenanya, dan makanan mengenyang bagi yang

(25)

memakannya, dan cahaya menerangkan bagi yang kelam, dengan sebab ada pertambatan pertemuan di dalamnya”. 175

Pada akhir abad ke-19, studi hukum adat memasuki tahap baru yang kajiannya lain sama sekali dari sebelumnya. Usaha untuk memberikan definisi hukum adat adalah baru sama sekali. Usaha ini dirintis oleh Snouck Hurgronje, yang kemudian dilanjutkan oleh van Vollenhoven. Usaha ini sebetulnya merupakan reaksi terhadap golongan yang ingin mengesampingkan bahkan mengganti hukum rakyat Indonesia (hukum adat) dengan hukum barat. Karena hukum adat

dianggapnya seolah-olah hanyalah peraturan-peraturan ajaib yang sebagian besar bersimpang siur dan oleh penguasa dianggap rendah.

176

Dalam menyusun pandangannya tentang hukum adat, penulis ini berpangkal pada pikiran ilmiah barat dengan mempergunakan bahan-bahan empiris yang cara

175

Koesnoe memberikan penjelasan lebih lanjut tentang rumusan Jalaludin di atas yaitu bahwa apa yang dimaksud Hukum adat adalah pertama-tama adanya unsur “persambungan” antara yang dahulu dengan yang kemudian. Artinya bahwa hukum adat bukan terletak pada peristiwanya, tetapi kepada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa itu. Dan yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntut terpautnya sesuatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Unsur yang kedua adalah ada tidaknya sambungan itu ditilik dari “berulang-ulangnya hal” yang bersangkutan. Maksudnya bahwa hukum adat yang dapat diketahui sebagai “sambungan” dari dua peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu yang berlainan, tetapi peristiwa itu ternyata memiliki perwujudan yang bersamaan, seolah-olah itu pengulangan dari yang silam. Jadi hukum adat bagi Jalaluddin tidak terletak pada hal yang terlihat, yang dibedakannya dari pengertian urf, adat dan resam. Urf adalah segala pekerjaan yang telah ditetapkan oleh para ulama; Adat dijelaskan sebagai “dan adat itu mengulang hukum seperti tabiat yang dahulu kala, tiada berkekalan di dalamnya”, artinya adat tidak terletak pada bidang pengalaman yang nyata, akan tetapi sebagaimana tabiat terletak pada dunia yang lain dari kenyataan yang dapat dilihat. Sedangkan resam dijelaskan “dan makna resam yaitu bekas yang berlaku hukumnya pada sekalian negeri, tiada berkehendak kepada bicara lagi sebab karena lahirnya yang masyur”. Jadi resam itu adalah bekas, yaitu apa yang sudah terjadi, berada dalam alam kenyataan empiris dan dapat dilihat. Bekas yang dimaksud adalah bekas dari ketetapan yang telah dijalankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kosnoe,

Loc. Cit.

176

R.H. Soedarso, Studi Hukum Adat, Makalah Seminar Masa Depan Hukum Adat, FH- UII Yogyakarta, 1988.

(26)

dan ukuran pengumpulannya dipergunakan cara dan ukuran ilmiah barat yaitu Ilmu Sosial. Dari kacamata ilmu sosial itu dicoba menetapkan isi istilah hukum adat, yang pada waktu Snouck Hurgronje berada di Aceh sudah ada dan hidup serta dipergunakana secara luas oleh masyarakat umum maupun oleh kalangan ilmu pengetahuan di Aceh.

Snouck Hurgronje terkenal karena penelitian-penelitiannya di Aceh dan Gayo dan pengetahuannya tentang Islama secara teori dan praktek, juga caranya ia belajar Islam di Mekkah. Hasil penelitiannya membedakan antara hukum adat dan hukum agama, hukum rakyat dan hukum raja-raja, hukum hidup dan hukum tertulis.

Snouck mengkritik teori “receptio in complexu” yang dipertahankan oleh Van Den Berg. Dengan kritik ini maka gugurlah anggapan bahwa sumber pokok hukum adat adalah hukum fiqh.177

177

Ibid.

Definisi hukum adat oleh Snouck Hurgronje

diterjemahkan menjadi “Adatrecht”, merupakan introduksi dan permulaan tentang pengakuan eksistensi hukum adat sebagai hukum orang Indonesia pribumi di dalam lingkungan perhatian Ilmu Pengetahuan Hukum Barat. Adatrecht diartikan sebagai adat yang mempunyai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang menjadi ukuran sentral definisi Snouck. Dari definisi ini dapat ditarik pengertian bahwa kebiasaan dan tingkah laku yang ada di dalam masyarakat Aceh yang dilihat mempunyai

(27)

akibat, maka dikualifikasi sebagai hukum. Olehnya kemudian diberi nama hukum adat yaitu adat yang mempunyai akibat hukum.178

Dalam memberikan penjelasan kepada kalangan ilmu pengetahuan barat, penulis ini antara lain menyatakan: barang siapa sebagai seorang yuris memasuki alam hukum Indonesia, maka ia akan dihadapkan kepada suatu alam hukum yang sangat berlainan dengan apa yang dijumpainya dinegeri Belanda. Dalam

masyarakat Indonesia hukum tidak tertulis yang dinamakan hukum adat dan apa yang merupakan hukum tersebut adatrecht (hukum adat) yaitu adat (tidak tertulis) yang mempunyai sanksi (karena itu hukum).

Pemikiran Snouck Hurgronje di atas menimbulkan rangsangan bagi kalangan ilmu hukum barat untuk mengkaji lebih lanjut, terutama bagian adat yang

mempunyai akibat hukum. Tampilah seorang sarjana hukum sekaligus sarjana sastera timur yaitu van Vollenhoven.

179

Dengan pandangan van Vollenhoven ini, maka dimulailah tahap yang

sebenarnya dari pemikiran dan penggarapan Hukum Adat secara Ilmu Pengetahuan yang modern. Dia berpangkal dari kenyataan-kenyataan dengan bukti yang sangat

178

Terhadap definisi ini M. Koesnoe, mengajukan pertanyaan; pertama tentang pengertian apa itu adat. Bahwa yang dinamakan adat menurut Snouck adalah apa yang dilihatnya dalam alam empiris mengenai apa yang terjadi secara berulang-ulang dalam tata waktu yang berurutan. Ringkasnya mengenai kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat. Yang kedua tentang akibat hukum. Hukum yang dimaksud itu hukum apa? Hukum Barat atau Hukum Syariat, sebab lokasi penelitiannya Aceh yang menerapkan hukum Syariat (al-Quran dan Hadits). Bilamana yang dimaksud hukum adalah “recht” sebagai konsep Barat, maka maksudnya adalah seperangkat kaidah-kaidah yang memaksa atau yang dapat dipisahkan yang dibuat oleh masyarakat. Apabila itu yang dimaksudkan oleh Snouck, maka definisinya masih sulit dipahami dan tidak jelas. M. Koesnoe. Loc. Cit.

179

Van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlands Indie, Jilid I, Leiden, 1925 hal 3; dikutip M. Koesnoe, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1992, hal. 49.

(28)

kuat. Kemudian dilanjutkan dengan usaha menemukan kesimpulan dalam pelbagai bidang hukum beserta soal-soal baik pokok maupun detail.

Hasil penelitiannya tentang hukum adat ini diberi judul “Het Adatrech van Nederlandsch-Indie”, terdiri dari tiga jilid tebal, yang dikumpulkan sejak tahun 1919-1931. Jilid pertama merupakan studi oreintasi tentang dunia hukum adat di Indonesia, yang menunjukkan masalah dasar dan pengenalan tentang hukum adat. Jilid kedua merupakan pendasar tentang Ilmu hukum adat, yang menunjukkan persoalannya di masing-masing tempat. Jilid ketiga mengenai pengembangan ilmu hukum adat dimana ditunjukkan studi-studi yang perlu tentang hukum adat. Pendirian van Vollenhoven ini kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya antara lain: Ter Haar. Ilmu Hukum sebagaimana dikembangkan oleh Ter Haar dasar-dasarnya tidak terlepas dari pendasaran yang diberikan oleh Van

Vollenhoven. Tetapi yang diberikannya merupakan suatu pengembangan dan peningkatan lebih lanjut dan mengarah kepada studi Ilmu Hukum positif.

Menurut ter Haar untuk dapat mengetahui hukum adat, maka hanya dapat diketemukan dalam keputusan-keputusan para petugas hukum terhadap persoalan yang diselesaikan di dalam maupun di luar persengketaan yang berpegangan pertama-tama pada ikatan-ikatan strukturil yang dianut oleh masyarakat, kedua berpegangan pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat itu.180

180

Terhadap pandangan ter Haar tersebut, Iman Sudiyat mengatakan bahwa ter Haar mempunyai pandangan yang sangat mendalam terhadap hukum adat, terbukti dari kata-katanya bahwa setiap hakim harus mengambil keputusan menurut Adat, harus menginsyafi sedalam-dalamnya tentang sistem atau stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik. Ini berarti ter Haar tidak melupakan

(29)

Bagi ter Haar dalam mempelajari hukum adat yang ilmiah, maka keputusan para petugas hukum adat menjadi sangat penting. Sehingga persoalan lama apakah hukum adat itu kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum atau adat yang ada sanksinya, atau sesuatu yang berada di alam normatif, mendapat suatu

penegasan yang lain.

Keputusan sebagai dasar untuk mengetahui hukum adat sebagaimana diajarkan ter Haar membawa konsekuensi dalam usaha mengetahui hukum adat. Konsekuensi itu adalah bahwa untuk menemukan hukum adat, perlu dikumpulkan keputusan-keputusan petugas hukum yang sudah tetap. Hal ini guna mendapatkan kesimpulan umum yang terdapat dalam keputusan yang bersangkutan agar dapat mengetahui bagaimana bunyi garis hukum adat tentang persoalan hukum yang tersirat dalam keputusan-keputusan itu. Hal ini nampaknya ter Haar terpengaruh oleh ajaran ilmu hukum barat tentang “yurisprudensi yang tetap” untuk menangkap bunyi suatu garis aturan hukum adat yang subtantif.

Dengan ajaran Ter Haar ini studi hukum adat memperoleh bentuknya sebagai ilmu hukum positif mengenai adat. Dengan berpedoman pada disiplin Ilmu Barat tentang studi hukum tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat, hukum adat oleh Ter Haar dibawa kepada pandangan bahwa itu ada pada studi kepustakaan para petugas hukum adat.

Berkat Ter Haar inilah hukum adat mendapatkan perkembangan

konseptualisasi ilmu hukum positif yang digarap secara ilmu hukum positif model

kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia dan alam pikiran yang khas yang harus dipakai oleh seorang hakim yang bijaksana sebagai pangkal haluan.

(30)

barat. Ter Haar adalah “systeembouwer van het adatrecht”, artinya ter Haar telah membangun “afsluitsel van het verleden en een bouwsteen voor de teokomst” atau “penutup bagi masa yang silam dan batu bangun untuk masa yang akan datang”, kata Djokosutono dalam kuliah-kuliahnya pada tahun 1953-1954.181

Sehubungan dengan itu, perkawinan konsepsi hukum adat menurut para ahli adat dan Ilmu Pengetahuan Barat pada perkembangan berikutnya melahirkan konsepsi baru tentang hukum adat yaitu konsepsi nasional. Konsepsi ini muncul dan dilatarbelakangi oleh gerakan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, sehingga kesan pertama yang muncul adalah konsepsi yang bersifat ideologis.

Pada tahun 1924 didirikanlah Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Jakarta. Hukum adat, yang telah mendapatkan dasar-dasar teori yang disusun oleh van Vollenhoven diajarkan sebagai mata kuliah. Ilmu Hukum ini dibawah asuhan ter Haar sebagai guru besarnya. Melalui ter Haar inilah para mahasiswa kaum

terpelajar Indonesia terlihat ada suatu babak pemikiran baru tentang konsep hukum adat yang membawa lahirnya konsep hukum adat yang baru yaitu sebagai ideologi nasional pada tahun 1928.

182

181

M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 55. 182

Namun Adat pada zaman Hindia Belanda memainkan peranannya yang patriotik dan oleh karena itu sangat dapat dimengerti para pejuang kemerdekaan yang waktu itu merasa perlu mencantumkan dalam Sumpah Pemuda 1928. Dengan adanya ketentuan yang mengatur pluralisme hukum dapat dikatakan bahwa justru dengan pengaturan itu para pejuang memperoleh senjata untuk mengkonsolidasikan dari melalui hukum adat sebagai lambang pengintegras. Lihat Satjipto Rahardjo, Pendekatan Baru Terhadap Hukum Adat, dalam Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1977, hal. 143.

Artinya pendefinisian hukum adat dilakukan dalam kerangka ideologi kebangsaan, yaitu

(31)

sebagai suatu keyakinan kebenaran bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang benar-benar hukum dari rakyat Indonesia.

Pandangan ideologis tentang hukum adat ini diperkenalkan sebagai ide mulai tahun 1926 dalam Kongres Pemuda Indonesia pertama. Walaupun pada waktu Kongres I belum dapat dirumuskan keputusan yang pasti, kemudian dilanjutkan pada Kongres kedua pada tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Kongres tersebut ditegaskan dalam bentuk keputusan kongres tentang keyakinan kongres mengenai faham persatuan Indonesia. Keputusan kongres itu antara lain dijelaskan sebagai berikut: Mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuan yaitu: kemaoean, sejarah, bahasa, hoekoem adat, pendidikan dan kepandoean.183

Isi keputusan ini dijelaskan oleh Koesnoe tentang apa fungsi dan peranan hukum adat dalam konsep ideologi tersebut yaitu bahwa hukum adat berperan sebagai salah satu dasar persatuan Indonesia. Dalam pernyataan itu hukum adat diterima sebagai hukum yang merupakan nilai hukum bersama dari seluruh rakyat dan mengikat seluruh bangsa Indonesia menjadi satu bangsa. Pikiran demikian adalah sesuai dengan pandangna yang hidup pada masa itu di kalangan ilmu politik yaitu bahwa bangsa hanya dapat disebut bangsa apabila mempunyai hukumnya sendiri yang lain dari hukum bangsa lain. Sebagai pengikat persatuan seluruh

183

M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 56, Juga lihat teks lengkap Keputusan Kongres Pemuda 1928.

(32)

bangsa Indonesia, maka hukum adat tidak dilihat pada pernyataannya yang beraneka ragam pada suatu daerah yang berlainan dengan daerah lainnya.184

Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1945 sekitar bulan Juni-Agustus 1945, pandangan Hukum Adat secara ideologis memperoleh perumusannya dalam bentuk pandangan yang lebih pasti yang meliputi: filsafat hukum adat kenegaraan, teori kenegaraan adat, dan hukum dasar negara.

Kelahiran pendirian dan keyakinan mengenai soal hukum Indonesia tersebut jelas ada kaitannya dengan pendidikan yang pernah dijalani oleh sementara

anggota-anggota peserta kongres yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Tinggi Hukum yang berdiri pada tahun 1924 di Jakarta yang sudah memberikan mata kuliah hukum adat. Diantara tokoh yang merumuskan keputusan itu adalah Mohammad Yamin.

185

Ketiga perumusan tersebut dapat diperiksa dalam laporan persidangan-persidangan BPUPKI di bawah pimpinan dr. Rajiman Widyodiningrat. Soekarno mengucapkan apa filsafat negara Indonesia yang berdasar kepada filsafat adat tentang kenegaraan yang diberi nama “Pancasila”. Intinya dijelaskan bahwa tidak

184

Konsep Hukum Adat yang ideologis, yang menekankan pandangannya mengenai hukum kepada segi “semangat”, yang menjelma Filsafat dan Hukum Dasar Indonesia, secara teori dijelaskan oleh Koesnoe sebagai berikut: Hukum terdiri dari dua faktor yaitu faktor idiil, dan kedua faktor riil. Faktor idiil teridir dari bahan yang termasuk dalam alam susila, jadi irasional dan bahan yang termasuk bahan rasional. Sedangkan faktor riilnya terdiri dari bahan manusia, alam dan tradisi. Bahan susila diantaranya ialah hal-hal yang berhubungan dengan pandangan baik-buruk, tujuan-tujuan ynag ingin dicapai. Bagian yang termasuk bahan rasionil terdiri atas hal-hal yang berhubungan dengan pengertian, tehnik, dan sistem yang terdapat dalam setiap hukum. Soal faktor riil yang terdiri dari tiga bahan merupakan hal-hal yang memberikan wujud nyata kepada hukum. Sebagai bahan nyata, bahan-bahan riil ini memberikan wujud yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya di Indonesia. Dalam keputusan Kongres Pemuda 1928 pandangan mengenai hukum adat secara ideologi merupakan kesadaran dan cita-cita hukum yang bersumber kepada semangat bangsa Indonesia.

185

(33)

lain adalah negara gotong-royong. Demikian juga M. Yamin mengemukakan filsafat ini yang dalam intinya mengandung unsur-unsur yang sama sebagaimana dikemukakan Soekarno.

Soepomo (pakar hukum adat) dalam membahas mengenai teori kenegaraan mengemukakan pendapatnya bahwa negara dan rakyat adalah tunggal. Atas dasar pikiran ini maka kedaulatan rakyat, menurut teori hukum adat, melahirkan negara yang integralistik, yaitu negara dan rakyat adalah satu dimana kedaulatan ada ditangan rakyat.

Konsepsi hukum adat yang dilukiskan sampai dengan bulan Juli 1945, merupakan pematangan idiologi tentang pandangan hukum adat sebagaimana dicetuskan pada tahun 1928. Kesemuanya itu masih merupakan usaha merumuskan secara lebih jelas tentang isi idiologi yang diyakini dan harus dihayati serta

diperjuangkan menjadi kenyataan politik di Indonesia. Pematangan perumusan hukum adat secara ideologis ini pula pada waktu itu juga telah melahirkan

rancangan dasar rumusan yuridis yaitu dalam bentuk dokumen sejarah negara yang terkenal dengan Piagam Jakarta.

Di dalam Piagam Jakarta itu dirumuskan pula hal-hal yang berhubungan dengan soal dasar filsafat hukum yang harus dianut oleh rakyat Indonesia tentang teori negara dan tujuan-tujuannya. Hukum adat dalam konsepsinya yang ideologis ini sebagaimana yang terdapat dalam keputusan kongres pemuda 1928 sampai tahun 1945 untuk pertama kalinya dikaitkan dengan filsafat hukum dan hukum dasar kebangsaan Indonesia. Hukum adat dilihat sebagai suatu nilai hukum dari

(34)

budaya rakyat Indonesia, hukum yang mengatur tata hukum bangsa Indonesia seluruhnya, sebagai kaidah hukum yang menjadi dasar persatuan Indonesia. Dari konsepsi ideologis tentang hukum adat pada perkembangan berikutnya yaitu tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 hukum adat benar-benar merupakan konsep nasional yang mewujud dalam negara Indonesia yang merdeka menurut hukum adat.186

186

Namun setelah Indonesia merdeka kenyataannya jadi lain, yaitu bahwa peranan hukum adat telah diambil alih Hukum Nasional yang dasarnya terdapat dalam UUD 1945. Konfigurasi yang bersifat pluralistik menjadi berakhir. Apa yang dahulu disebut sebagai Hukum Adat, Sekarang berubah menjadi kompleks nilai-nilai yang berpengaruh terhadap bekerjanya Hukum Nasional. Lihat Satjipto Rahardjo, Op. Cit., hal. 143.

Perbedaan antara pandangan hukum adat sejak 17 Agustus 1945 dengan sebelumnya adalah bahwa sebelumnya pandangan itu belum merupakan pandangan resmi dari negara Indonesia, hanya merupakan pandangan sekelompok tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin rakyat Indonesia yang duduk dalam PPKI yang dibentuk oleh pemerintah tentang pendudukan Jepang. Sedangkan sejak 17 Agustus 1945 sekalipun dari kebanyakan orang-orangnya sama, kelompok tokoh-tokoh tersebut mempunyai kedudukan dan kualitas yang lain yaitu sebagai pembentuk UUD 1945 dari negara yang merdeka.

Dalam kedudukan dan kualitas yang demikian, maka pandangan yang dijiwai dan dibimbing oleh hukum adat, merupakan pandangan resmi para pembentuk negara Indonesia dan tidak lagi hanya sekedar sebagai suatu semangat atau ideologi golongan atau perorangan. Pendapat mereka menjadi pendapat badan resmi negara dan merupakan pandangan dan pendirian negara mengenai apa hukum positif dalam negara Indonesia.

(35)

Dalam konsepsi nasional tentang hukum adat ini dijabarkan bidang-bidang antara lain: filsafat hukum adat nasional, teori negara hukum menurut adat yang diangkat secara nasional dan Dasar-Dasar Tata Hukum Nasional sesuai dengan filsafat dan teori tersebut.187 Menurut Koesnoe, 188

Hukum adat sebagaimana dinyatakan oleh pelbagai kalangan barat maupun kalangan adat, adalah merupakan suatu hal yang mengatur dan menertibkan ini dalam kehidupan sehari-hari jika dibandingkan dengan praktek hukum barat sangat berlainan keadaan dan bekerjanya. Selain itu, karena hukum selalu lahir dari cita

pandangan Hukum Adat

Nasional itu tercermin dalam tiga dokumen yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan Penjelasannya. Yang pertama mengenai Hukum dan wujudnya, yang kedua sistemnya, dan ketiga merupakan dasar-dasarnya.

Koesnoe, lebih lanjut mengajukan beberapa catatan tentang apa yang dinamakan Hukum Adat dalam kerangka paham nasional yaitu: tentang kriterium hukum yang perlu untuk menentukan apakah dari adat yang dapat tergolong hukum. Di sini perlu diperhatikan bahwa definisi hukum sebagaimana lazim dipergunakan dalam alam pikiran hukum adat, tidak dapat dipergunakan. Untuk hukum adat tidak dapat dipergunakan sanksi sebagai kriterium pokoknya. Demikian pula kepentingan pribadi yang harus didahulukan.

187

M. Koesnoe, Op. Cit., hal. 65. 188

Lihat M. Koesnoe, Ibid., hal. 81, dijelaskan bahwa ketiga dokumen itu merupakan penyempurnaan konsep hukum adat dalam tahap keempat (Ia membagi lima tahap konseptualisasi Hukum Adat). Hal ini dapat diperiksa dalam rumusan penjelasan UUD 1945 dimana dapat diketemukan bagaimana “rechtidee” nasional yang mengikat bangsa dan negara Indonesia. Rechtidee tersebut merupakan pengangkatan secara modern ide hukum rakyat Indonesia yang bersumber kepada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yaitu Hukum Adat.

(36)

rasa hukum masyarakat yang bersangkutan, definisi hukum adat, segi cita rasa hukum masyarakat perlu mendapat perhatian. Cita rasa hukum adalah cita rasa hukum yang merupakan pancaran nilai budaya rakyat Indonesia. Hal selanjutnya yang perlu mendapatkan perhatian ialah tanda pengenal secara lahir bagi hukum adat umumnya tidak tertuang dalam bentuk hukum tertulis.

Dalam hal ini pengisian huku m adat dalam rangka nasional di atas

menunjukkan suatu perkembangan yang bertahap. Tahapan-tahapan itu dijelaskan oleh Koesnoe sebagai berikut:

Pertama, unsur dasar konsep hukum adat dalam kerangka nasional adalah yang menyangkut Jiwa Nasional. Unsur tersebut diletakkan sebagai pernyataan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia yang mengenai bidang yang dinamakan hukum.

Kedua, bahwa hukum adat selalu dihubungkan dengan rakyat Indonesia seluruhnya, terutama golongan aslinya. Dalam hal ini, hukum adat tidak merupakan hasil pemikiran dari suatu kelompok elite dari masyarakat bangsa Indonesia,

misalnya kalangan Juris, oleh karenanya sumbernya bukan hukum tertulis akan tetapi pernyataan langsung cita rasa hukum rakyat Indonesia yang berkebudayaan Indonesia.

Ketiga, bahwa cita rasa hukum adat diantaranya ada yang mempunyai sifat universal kemanusiaan. Hal ini berarti bahwa hukum adat dilihat sebagai suatu asas yang bersifat normatif, karenanya bersifat abstrak dan tidak dalam wujudnya yang nyata dan empiris.

(37)

Keempat, bahwa hukum adat dilihat sebagai perwujudan tingkah laku yang nyata dalam masyarakat baik dalam perbuatanyang berlangsung sekali saja

(einmalig) maupun dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, atau dalam bentuk keputusan-keputusan dengan tidak menutup kemungkinan berbentuk tertulis. Kelima, bahwa dalam memberikan definisi hukum adat perlu adanya definisi ganda. Yaitu definisi formil dan definisi materiil atau substansiil. Perkembangan konsep Hukum Adat dalam hal ini dikaitkan dengan UUD 1945. Dari sini Hukum Adat dapat dilihat sebagai apa yang disebut oleh UUD 1945 sebagai hukum yang tidak tertulis, yaitu meliputi hukum dasar sampai kepada pelaksanaan atau

perinciannya. Pandangan ini memberikan suatu konsekuensi dan kelanjutan pandangan yaitu:189

Dalam hubungannya dengan UUD 1945 pandangan ini akan melihat UUD 1945 sebagai penjelmaan dalam bentuk tertulis dari hukum rakyat yang tidak

tertulis. Pandangan seperti ini tidak menyimpang dari pandangan yang berkembang. Dan, secara terang-terangan UUD 1945 tidak metutup kemungkinan penjelmaan “semangat” menjadi dan menguasai hukum tertulis. Selain itu, di dalam UUD 1945 hal ini juga telah dijelaskan dengan tegas, bahwa gejala peraturan tertulis

ditentukan oleh “semangat” yang menjiwai para pelaksananya. Semangat yang bahwa Hukum Adat dapat berwujud sebagai hukum tertulis, asal saja itu merupakan cita rasa hukum rakyat yang tidak tertulis.

189

Pandangan Hukum Adat dapat melahirkan hukum yang tertulis bukan merupakan hal yang baru. Di masa silam sudah ada bibit-bibit itu. Hukum Adat diberi bentuk tertulis pada masa dahulu dinyatakan dalam bentuk: Angger-angger (Jawa), awig-awig (Bali). Belum jelas apakah dalam soal ini dapat pula disebut “Undang-Undang” sebagaimana terkenal dalam masyarakat Minangkabau dan Melayu. Angger-angger, Awig-awig bentuknya tertulis dan berujud dalam bentuk susunan yang mirip pasal-pasal dari undang-undang yang modern. Lihat Koesnoe, Op. Cit., hal. 76.

(38)

dimaksud dalam sistem UUD 1945 ialah cita rasa hukum rakyat (Hukum Adat). Pokok-pokok asasnya digambarkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang dasar-dasar asasinya yaitu nilai-nilai yang ada dalam budaya bangsa. Dari hukum tertulis dalam bentuk undang-undang ini sumbernya yang disebut hukum dasar yang tidak tertulis atau “semangat” menurut M.Koesnoe, tidak lain adalah Hukum Adat.

C. Implikasi Hukum Tidak Tertulis Terhadap Konsistensi Asas Legalitas Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Untuk memahami bagaimana implikasi hukum tidak tertulis terhadap asas legalitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, maka pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu posisi hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Pemahaman tersebut berawal dari posisi hukum adat sebagai hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah, hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya mengikat yang kuat dalam masyarakat, ada sanksi tersendiri dari masyarakat, jika melanggar aturan hukum adat. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat, bahkan seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara dan apabila hakim tersebut tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat, itu artinya hakim juga harus mengerti dan

(39)

menguasai hukum adat dan hal ini membuktikan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis mempunyai pengaruh terhadap asas legalitas.

Dalam suatu komunitas masyarakat di wilayah manapun masyarakat itu berada, mereka pasti memiliki aturan yang menggariskan perilaku anggota masyarakat tersebut. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang disertai dengan sanksi, sebab aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia, karena fungsi sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap aturan tersebut. Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum mencerminkan kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Artinya semakin tinggi kesadaran masyarakat maka semakin rendah tingkat pelanggaran hukumnya. Aturan hukum akan ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat apabila aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka akan hak dan kewajiban secara proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu aturan yang melingkupinya memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan tunduk dan patuh pada aturan hukum tersebut, dengan tanpa mempersoalkan apakah aturan itu tertulis atau tidak, sebab dalam kenyataan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat hidup aturan yang tidak tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum adat, walaupun aturan tersebut tidak tertulis tetapi masyarakat mematuhinya.

Berbicara mengenai hukum yang tidak tertulis sangat erat kaitannya dengan sejarah kehidupan dan keberadaan suatu masyarakat, karena hukum yang tidak tertulis lahir dan terbentuk dalam masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang terdiri dari berbagai macam individu yang menempati suatu wilayah tertentu di

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu terlihat jelas dalam suatu Badan Perencanaan dan Pembagunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini BAPPEDA Provinsi Jawa Barat memiliki tugas penting

Sometimes, a root word needs to add an affix so that can be used. This affixes can change the meaning, kind, and function of words becomes other words that different function

Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini akan membuat sebuah sistem absensi berbasis pengenalan wajah dan hasil dapat langsung diketahui oleh orang tua/wali siswa

 Siswa diminta menuliskan kesimpulan tentang hasil kegiatannya dalam menyelesaikan permasalahan kontekstual menggunakan ide model-model matematika sistem persamaan

Terhadap obyek sengketa perdata yang dalam perjanjian pokoknya telah dilekati perjanjian asseson berupa pactum de compromittendo maka pihak pengadilan negeri setempat

1) Meyakinkan individu tentang hal-hal sesuai kebutuhan. Untuk menjelaskan dan meyakinkan tahap ini pembimbing menyampaikan sesuai dengan materi yang ada, karena semua

Dokumen Penjajaran Kurikulum 2.0 - KSSM Sejarah dan Pengurusan Seni SSeM Tingkatan 5(Sisipan Tingkatan

multimedia berbasis Microsoft Power Point dengan VBA dengan kelas yang hanya menggunakan metode konvensional. Hasil belajar mahasiswa di kelas Matematika Ekonomi