• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KERBAU RAWA KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK KERBAU RAWA KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KERBAU RAWA KALIMANTAN

SELATAN

AKHMAD HAMDAN,ENI SITI ROHAENI danMUHAMAD SABRAN

Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4. Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Telpon (0511) 4772345 dan Fax (0511) 4781810 Email:bptpkalsel@yahoo.com

ABSTRAK

Kegiatan ini dilaksanakan di empat kabupaten sebagai daerah sentra pengembangan ternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan pada tahun 2005, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala (Batola). Karakterisasi kerbau rawa di lakukan secara on

farm research dengan metode survei dan pengamatan langsung di lapang. Data yang dikumpulkan meliputi

gambaran umum wilayah, sejarah, dinamika populasi dan karakteristik kualitatif kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Hasil menunjukkan bahwa wilayah pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan adalah daerah berawa-rawa yang tergenang air hampir 6 bulan/tahun. Budidaya kerbau rawa di Kalimantan Selatan telah dilakukan sejak lima generasi yang lalu atau kurang lebih pada abad ke-18, walaupun sebelumnya kerbau itu telah ada, namun masih liar. Kerbau rawa memiliki bentuk tubuh persegi panjang (agak persegi), warna bulu krem atau coklat kelabu kehitaman, semakin tua maka warna semakin kelam, kepala besar, muka segitiga panjang dan cembung, mata bulat dan berwarna coklat kehitaman dengan bagian pinggir ditumbuhi bulu, tanduk berbentuk agak pipih pada pangkalnya serta bulat dan runcing pada ujungnya, tumbuh mengarah ke samping kemudian lurus ke belakang mengarah ke atas, kaki depan lurus sampai lutut sedang kaki belakang agak miring ke belakang dengan warna putih menyerupai kaos kaki dari lutut sampai teracak, teracak melebar keluar, perut besar menunjukkan kemampuan kerbau dalam mengkonsumsi pakan lebih banyak, ambing terletak di belakang (dekat kaki belakang) dan simetris. Kerbau jantan pertama kali kawin berumur 1 – 1,5 tahun dan betina berumur 2,5 – 3,5 tahun. Berat badan kerbau dewasa berkisar antara 337 – 512 kg, lingkar dada berkisar 157 – 206 cm, panjang badan 94 – 132,5 cm, dan tinggi badan 113 – 126 cm. Persentase karkas kerbau rawa di Kalimantan Selatan adalah berkisar 43,03 – 50,26%. Berdasarkan karakeristik di atas diketahui bahwa kerbau rawa yang terdapat di Kalimantan Selatan merupakan jenis kerbau yang sama yaitu kerbau lumpur. Lahan rawa mempunyai potensi yang besar untuk mempertahankan dan mengembangkan ternak kerbau di Kalimantan Selatan sebagai plasmanutfah ternak dan penghasil daging. Perlu perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pusat melalui program pembinaan secara terpadu dan berkelanjutan.

Kata kunci: Kerbau rawa, karakteristik, Kalimantan Selatan

PENDAHULUAN

Ternak kerbau disampaing berpotensi sebagai penghasil daging dan sumber pendapatan bagi peternak yang mengusahakannya (DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 2004) juga sebagai salah satu obyek wisata alam yang unik (DINAS PARIWISATA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 1996).

Populasi ternak kerbau di Kalimantan Selatan tahun 2004 tercatat 38.488 ekor dengan kontribusi produksi berupa daging mencapai lebih dari 819 ton, yaitu sekitar 12,2% dari total produksi daging ternak besar, dan menempati peringkat keempat setelah produksi daging ayam potong (DINAS PETERNAKAN

PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 2004). Menurut SADERI et al. (2004) fungsi ekonomi dari pemeliharaan ternak kerbau rawa masih terbatas sebagai tabungan untuk memupuk modal dan sebagai obyek pariwisata.

Kerbau rawa merupakan salah satu aset nasional dibidang peternakan yang dimiliki Propinsi Kalimantan Selatan dan mempunyai potensi untuk dikembangkan. Budidaya ternak ini terutama dilakukan di daerah berawa-rawa yang relatif terpencil dari daerah lain secara turun temurun. Ternak ini tersebar terutama di 6 wilayah Kabupaten di Kalimantan Selatan dengan potensi lahan rawa yang cukup luas yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala (Batola).

(2)

Pada tahu 2005 populasi ternak kerbau di Kalimantan Selatan mengalami kenaikan sebesar 4,35%. Namun demikian kenaikan tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan tingkat pemotongan yang mencapai 10,14%. Besarnya tingkat pemotongan ini antara lain disamping meningkatnya kebutuhan daging juga karena perlu lebih banyak kerbau yang dipotong akibat eksterior kerbau rawa cenderung menurun dibandingkan dengan keadaan sebelumnya (semakin kecil). Hal ini antara lain disebabkan pemanfaatan ternak kerbau sebagai penghasil daging belum diikuti dengan pengelolaan yang tepat sehingga produktivitas semakin menurun.

Terbatasnya informasi dan data mengenai karateristik serta potensi kerbau rawa juga turut memicu penurunan produktivitas. Menurut SETIADI (2004), inventarisasi dan eksplorasi kekayaan plasma nutfah alamiah yang terdapat pada habitat aslinya dan lahan pertanian tradisonal (lekat lahan) sangat diperlukan untuk menjawab berbagai pertanyaan seperti, apa yang telah kita miliki dan seberapa banyak kekayaan plasma nutfah, dimana saja dapat ditemukan dan bagaimana habitatnya, bagaimana status keberadaannya, siapa yang memelihara dan memiliki haknya, seberapa besar ragam genetiknya, adakah kerabat liarnya, land races, varietas primitif, dan apa saja kegunaannya, serta lain-lain pertanyaan yang relevan.

Tulisan ini bertujuan memberikan informasi tentang karakteristik kualitatif kerbau rawa, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menjaga dan meningkatkan produktivitas kerbau rawa. Peningkatan produktivitas ini tentunya akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan bagi peternak dan pemerintah (PAD).

MATERI DAN METODE

Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan Danau Panggang Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kecamatan Labuan Amas Utara Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kecamatan Kuripan Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kecamatan Daha Utara dan Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan dilakukan melalui

inventarisasi dan karakterisasi kerbau rawa di peternak (on farm) dengan cara survei dan pengamatan.

Data yang dikumpulkan meliputi gambaran umum wilayah, sejarah, klasifikasi dan ciri umum kerbau, dinamika populasi serta karakteristik kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum wilayah

Wilayah pemeliharaan kerbau rawa merupakan daerah rawa yang tergenang air hampir enam bulan/tahun, kondisi ini menyebabkan kerbau rawa yang ada menjadi pandai berenang. Kerbau rawa tersebar di 4 (empat) Kabupaten (HSU, HST, HSS, dan Batola) di Kalimantan Selatan seperti tertera pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 tampak bahwa penyebaran kerbau rawa di setiap kabupaten hanya terpusat pada satu kecamatan saja kecuali Kabupaten HSS yang tersebar di dua kecamatan. Pada Tabel 1 tersebut juga diketahui bahwa Kabupaten HSU merupakan kabupaten dengan penyebaran ternak kerbau rawa terbanyak, yaitu meliputi 7 (tujuh) desa, demikian juga halnya dengan Kabupaten HSS, sedangkan penyebaran terendah terdapat di Kabupaten Barito Kuala yang hanya meliputi 2 (dua) desa.

Sejarah kerbau di Kalimantan Selatan Usaha ternak kerbau di Kalimantan Selatan telah berlangsung sejak beratus-ratus tahun yang lalu, yaitu sejak zaman Kerajaan Banjar sampai sekarang (DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN, 1993). Namun tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usul kerbau, menurut legenda atau hikayat kerbau ini berasal dari dataran Tiongkok yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Kalimantan untuk mengerjakan pahatan candi. Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa kerbau ini berasal dari Sulawesi Selatan. Berdasarkan informasi yang

(3)

dihimpun dari peternak kerbau, kerbau mulai dipelihara atau diternakkan (budidaya) sejak lima generasi yang lalu atau kurang lebih pada abad ke-18, walaupun sebelumnya kerbau itu telah ada, namun masih liar.

Menurut MURTI (2002) melaporkan bahwa kerbau termasuk jenis ternak asli daerah panas dan lembab dengan sifatnya yang sangat menyukai air. Selanjutnya disebutkan ada dua jenis kerbau yaitu kerbau rawa atau kerbau

lumpur (swamp type) dan kerbau sungai (river type). Kerbau lumpur Asia Tenggara banyak ditemui di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Kerbau lumpur dapat dibedakan dengan kerbau sungai selain dari penampilannya, juga dari tingkah laku. Kerbau lumpur hidup di daerah tanah kotor berlumpur atau berawa-rawa, sedangkan kerbau sungai hidup di lembah-lembah bersungai.

Tabel 1. Daerah penyebaran kerbau rawa di lokasi pengamatan

Kabupaten Kecamatan Desa

Hulu Sungai Utara Danau Panggang 1. Bararawa

2. Sapala 3. Pal Batu 4. Ambahai 5. Tampakang 6. Paminggir 7. Paminggir Seberang

Hulu Sungai Tengah Labuan Amas Utara 1. Sungai Buluh

2. Mantaas

3. Rantau Bujur

Hulu Sungai Selatan Daha Utara 1. Teluk Haur

2. Hamayung

3. Pandak Daun

4. Paharangan

5. Hamayung

Daha Selatan 1. Bajayau Baru

2. Bajayau Lama

Barito Kuala Kuripan 1. Tabatan

2. Tabatan Baru Dinamika populasi kerbau

Dinamika populasi kerbau rawa di Kalimantan Selatan pada setiap kabupaten lokasi pengamatan bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa dinamika populasi kerbau rawa di lokasi survei umumnya meningkat, dimana tingkat pertumbuhan tertinggi terdapat di Kabupaten Batola. Hal ini disebabkan kabupaten tersebut memiliki potensi padang penggembalaan yang cukup luas dengan populasi kerbau rawa terendah dibandingkan kabupaten lainnya, sehingga penyediaan hijauan tidak mengalami masalah. Sedangkan perkembangan populasi terendah terjadi di Kabupaten HST. Tidak seperti di kabupaten lainnya, di daerah ini usaha ternak kerbau semakin terdesak sebagai akibat dari perubahan fungsi lahan padang penggembalaan menjadi lahan pemukiman dan

pertanian seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Namun demikian pada tahun 2005 populasi kerbau rawa di Kabupaten HSS tidak mengalami pertumbuhan (0,00%). Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak hal itu terjadi kemungkinan disebabkan di daerah ini telah terjadi pergeseran fungsi lahan padang penggembalaan menjadi lahan pemukiman dan pertanian seiring dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga usaha ternak kerbau menjadi terdesak dan sulit untuk dikembang-kan. Sebaliknya dengan kabupaten yang memiliki potensi padang penggembalaan yang cukup luas dan penyediaan hijauan tidak mengalami masalah, sedangkan populasi kerbau rawa terendah, memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak kerbau rawa.

(4)

Tabel 2. Perkembangan populasi kerbau rawa di Kabupaten HSU, HST, HSS, dan Batola Provinsi Kalimantan Selatan

2000 (ekor) 2004 (ekor) Trend 5 tahun terakhir No Kabupaten

ekor ekor (%)

1 Hulu Sungai Utara (HSU) 6.509 7.771 19,39

2 Hulu Sungai Tengah (HST) 1.801 1.895 5,22

3 Hulu Sungai Selatan (HSS) 2.812 3.136 11,52

4 Barito Kuala (Batola) 493 857 73,83

Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (2004) Melihat kondisi ini, seharusnya pemerintah daerah memberikan kontrol penuh terhadap peruntukan penggunaan lahan, sehingga tersedia kecukupan lahan untuk penggembalaan ternak. Demikian pula dengan alih fungsi lahan penggembalaan untuk keperluan lain yang harus diminimalkan.

Karakteristik kerbau rawa

Karakteristik kerbau rawa di Kalimantan Selatan di 4 (empat) kabupaten lokasi pengamatan (HSU, HST, HSS dan Batola) yang lokasinya hanya dibatasi oleh sungai atau rawa, ternyata tidak berbeda antar daerah, jadi masih satu jenis, yaitu termasuk jenis kerbau lumpur atau kerbau rawa. Pada saat tertentu misalnya banjir (air dalam), kerbau ini dapat berpindah untuk sementara waktu, kerbau yang ada di HSU terkadang pindah ke luar kabupaten misalnya ke Batola, HSS, atau HST demikian pula sebaliknya. Hal ini didukung oleh informasi yang diperoleh dari peternak dan tetua masyarakat bahwa asal kepemilikan kerbau yang ada di HST, HSS dan Batola berasal dari Kabupaten HSU. Sehingga penomoran yang sudah biasa dilakukan oleh pemilik kerbau akan memberikan manfaat yang optimal. Kepemilikan kerbau rawa antara satu peternak dengan peternak lainnya dapat diketahui dari tanda/ciri pada telinga yang diberikan oleh si pemilik pada anak saat kerbau berumur ± 7 hari.

Bentuk umum, impressi yang langsung kita lihat dari kerbau rawa adalah hewan dengan badan bulat besar persegi panjang, rongga badan agak panjang dengan leher pendek. Keragaan berat badan kerbau rawa berdasarkan beberapa kelompok umur

ditampilkan pada Tabel 3. Pada kegiatan ini, kesulitan untuk mendapat ternak jantan dalam jumlah banyak pada berbagai kelompok umur. Jumlah ternak jantan yang dijumpai sangat sedikit, hal ini disebabkan karena kerbau jantan selalu dijual sebagai salah satu sumber pendapatan. Pemeliharaan kerbau jantan pada umumnya antara 1-2 tahun, jarang sekali yang dipelihara sampai umur lebih dari 2 tahun.

Pada Tabel 3 diketahui bahwa berat lahir anak kerbau rawa jantan lebih tinggi yaitu sekitar 28,33 kg sedangkan untuk anak kerbau betina 27,09 kg. PUTU et al. (1994) melaporkan bahwa rataan berat lahir kerbau jantan dan betina masing-masing adalah 33 dan 31 kg. Data ini menunjukkan adanya penurunan berat lahir selama kurang lebih 11 tahun (PUTU et al., 1993). Perbedaan berat lahir dimungkinkan karena telah terjadinya penurunan mutu genetis akibat inbreeding, atau dikarenakan perbedaan alat ukur yang digunakan. Pemeliharaan kerbau jantan pada umumnya antara 1 – 2 tahun yang tentu saja belum mempunyai ukuran badan optimal, jarang sekali yang dipelihara sampai umur lebih dari 2 tahun, hal ini disebabkan kerbau jantan selalu dijual sebagai sumber pendapatan keluarga.

Tabel 3. Keragaan berat badan (kg) kerbau rawa pada beberapa kelompok umur

Jenis kelamain Uraian Jantan Betina Berat lahir (kg) 28,33 27,09 Berat bakalan/dara (kg) 214 230 Berat dewasa (kg) 485 413 Karkas (%) 47,64 48,49 Keterangan: Bakalan: umur 1,5 – 3 tahun; umur dewasa:

(5)

Diduga pula dalam jangka panjang ini keterbatasan ternak jantan sebagai pemacek turut berperan menurunkan bobot lahir anak, karena mungkin pemacek tersedia bukanlah pejantan dengan tubuh paling bagus. Mengingat bahwa praktek penjualan pejantan (dengan nilai ekonomis tinggi) mempunyai

frekuensi tinggi sehingga menguras cadangan pejantan yang ada di lapangan.

Berat badan kerbau rawa dewasa berkisar antara 337 – 512 kg, yang tidak jauh berbeda dengan berat badan kerbau rawa betina dan pejantan yang berkisar antara 300 - 485 dan 325 – 600 kg (TULLOH dan HOLMES, 1992).

Tabel 4. Keragaan kerbau rawa berdasar ukuran tubuh

Umur Jenis kelamin Jumlah (n) LD (cm) PB (cm) TB (cm)

20 bln ♂ 146 - 101 8 bln ♀ 125 81 94 3,5 thn ♀ 180 119 113 4-5 thn ♀ 2 166,59 109 121 6 thn ♀ 173 107 120 9-10 thn ♀ 186 119 120 12 thn ♀ 193 125 121,5 15 thn ♀ 206 123,5 123,5 16 thn ♀ 194 132,5 126

Keterangan: LD: lingkar dada; PB: panjang badan ; TB: tinggi badan

Tada Tabel 3 diketahui bahwa kisaran persentase karkas kerbau rawa di Kalimantan Selatan berkisar 43,03–50,26%. MURTI,(2002) menyebutkan bahwa umumnya persentase berat karkas ternak kerbau berkisar 46–54,7%. Lingkar dada kerbau betina dewasa berkisar

antara 157–206 cm, panjang badan antara 94– 132,5 cm, dan tinggi badan antara 113–126 cm, beberapa ukuran tubuh dan berat badan ini masih termasuk dalam kisaran tampilan umum kerbau lumpur (FAHIMUDIN, 1975 disitasi MURTI , 2002).

Tabel 4. Informasi reproduksi kerbau rawa menurut peternak di lokasi survei

No Uraian Jantan Betina

1. Umur pertama kali kawin (tahun) 1 – 1,5 2,5 – 3,5

2. Umur pertama beranak (tahun) 3,5 – 4,5

3. Jarak beranak (bulan) 13 – 24

4. Ukuran tubuh: Lingkar dada Panjang badan Tinggi badan 147 – 176 cm 111 – 130 cm 108 – 125 cm 157 – 206 cm 107 – 132,5 cm 113 – 126 cm Temperamen dan sifat, kerbau rawa adalah

hewan yang primitif sekali, yang sangat takut kalau bertemu dengan siapa saja yang masih asing baginya. Kerbau yang begitu jinak dengan si penggembala (peternak), akan segera memperlihatkan kecurigaannya kalau ada orang asing yang mendekat. Betina yang baru saja melahirkan, sangat agresif terhadap orang-orang yang hendak mendekati anaknya. Walaupun demikan sifat kerbau rawa pada

umumnya baik, kalau kita lihat betapa dekatnya hubungan antara peternak dengan kerbau peliharaannya. Apabila peternak ingin mengumpulkan ternaknya cukup dengan memanggil dengan panggilan tertentu maka kerbaupun akan berkumpul, terutama pada saat peternak ingin memasukkan kerbaunya keatas kalang pada saat sore hari.

Suara, kerbau rawa mempunyai

(6)

Ini berbeda sekali dengan lenguhan ternak ruminansia lain. Suara itu halus dan sedikit banyak memperdengarkan suara seperti merintih.

Warna kulit, mayoritas warna kulit kerbau rawa adalah gelap, atau dengan kata lain sebagian besar kerbau rawa mempunyai warna utama berpigmen hitam, dengan variasi hitam keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan. Pada bagian leher bawah kebanyakan berwarna merah muda dengan bentuk menyerupai kalung yang melingkar dileher. Perut bagian bawah umumnya berwarna kemerah-merahan. Dari sekian banyak populasi kerbau rawa, terdapat kerbau yang tidak mempuyai pigmen (sangat jarang), kerbau ini sering disebut peternak dengan sebutan kerbau rawa bule.

Warna bulu, warna bulu sangat tergantung pada umur kerbau rawa. Untuk kerbau berumur di bawah 2,5 tahun mempunyai warna bulu krem atau coklat muda, sedangkan kerbau yang umurnya di atas > 2,5 tahun, mempunyai warna bulu lebih coklat kelabu kehitaman, sehingga semakin tua kerbau maka warna kulit akan semakin kelam. Pada kerbau yang masih muda memiliki bulu yang lebih panjang dibandingkan yang tua yaitu berkisar 4-5 cm.

Bulu pada bagian badan yang gelap umumnya berwarna hitam. Warna bulu pada tempat yang tidak berpigmen seperti di bagian leher dan bawah perut juga tidak berpigmen, boleh dikata putih.

Kepala, kerbau rawa memiliki bentuk kepala yang besar, muka segitiga panjang dan agak cembung dan memiliki ruang jidad yang lebar yang ditumbuhi oleh bulu-bulu lebat dan rapi seperti habis disisir. Mulut lebar dan tumpul, mata kerbau rawa kecil berbentuk bulat dan berwarna coklat kehitaman dengan bagian pinggir ditumbuhi bulu, bagian dalam berwarna hitam dan bagian luar berwarna coklat, terdapat bulu mata tapi jarang dan panjang, alis mata beragam ada yang tebal dan tipis dengan sorot mata sayu sehingga membuat binatang ini terlihat bodoh.

Tanduk, kerbau rawa mempunyai tanduk yang berbeda sekali dengan tanduk sapi, baik dalam cara menancapnya, bentuk, arah maupun ukuran, yaitu berbentuk agak persegi pada pangkalnya serta bulat dan runcing pada ujung, tumbuh mengarah ke samping kemudian lurus ke belakang berjumlah 2 buah. Dari pengamatan di lapang terdapat empat macam

bentuk tanduk yaitu (1) ke samping, naik ke atas; (2) ke samping, naik ke atas dan melengkung; (3) ke samping, melengkung ke belakang; (4) ke samping, yang 1 naik ke atas dan 1 turun ke bawah (tidak simetris). Panjang tanduk tergantung umur, pada umumnya semakin tua maka makin panjang ukuran tanduknya.

Punggung, punggung adalah bagian badan yang terletak antara pundak dan pinggang, pendek dan hanya terdiri atas dua ruas. Bagian ini adalah tempat terendah dari seluruh garis punggung, karena ke depan pundak mempunyai arah menanjak dan ke belakang pinggang juga menanjak (MERKENS disitasi UTOJO, 1982). Pada kerbau rawa, bagian punggung ditumbuhi bulu yang lebat dan tumbuh mengarah ke depan. Kriteria punggung kerbau rawa terbagi 3 berdasarkan kondisi ternak, yaitu (1) punggung yang lurus terdapat pada ternak kerbau kondisi gemuk, (2) punggung lurus tapi melengkung di bagian depan (kondisi sedang), (3) lurus tetapi di bagian belakang dan depan melengkung (kondisi ternak kurus).

Perut, kerbau rawa memiliki bentuk perut yang besar, menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi lebih banyak pakan. Cekungan perut di belakang lebar dengan alat kelamin terbungkus oleh kantong yang kuat melekat pada dinding perut. Testes (buah zakar) terdapat jauh di belakang dalam skrotum.

Ambing susu, ambing susu kerbau rawa kurang berkembang dengan baik, kecil dan terlalu jauh dekat kaki belakang. Sementara air susu yang dihasilkan tidak mampu mencukupi kebutuhan anak pada masa laktasi sehingga pertumbuhan anak terganggu dan kejadian kematian terhadap anak kerbau rawa cukup tinggi terutama pada umur <3 bulan. Sehingga perlu dilakukan pemberian pakan tambahan pada saat induk laktasi, guna mencukupi kebutuhan air susu anak.

Ekor, umumnya ekor kerbau berbentuk seperti cambuk dengan ukuran sedang. Bagian ujung bawah ekor terdapat rambut yang cukup banyak (lebat). Pangkal ekor dalam keadaan normal cembung, dan dalam keadan bunting tua berubah menjadi sangat cekung seperti patah.

Kaki dan teracak, kaki depan pendek lurus berotot, sedangkan kaki belakang agak miring ke belakang dengan warna putih dari lutut

(7)

sampai teracak. Teracak besar melebar keluar, sehingga memudahkan kerbau untuk mengayuh berenang mencari makan.

Karakteristik reproduksi

Petani pada umumnya mengenal tanda-tanda birahi berdasarkan tingkah laku kerbau seperti kerbau betina selalu diikuti oleh beberapa pejantan kemanapun dia berjalan dan diam apabila dinaiki oleh jantan. Cara perkawinan kerbau rawa terjadi secara alami, kecuali di sentra pembibitan kerbau (Kabupaten HST) sudah mulai dilakukan perkawinan secara IB (Inseminasi Buatan). Umur pertama kali kawin kerbau jantan adalah saat berumur 1–1,5 tahun dan kerbau betina berumur 2,5–3,5 tahun, sehingga umur induk beranak pertama umur sekitar 3,5–4,5 tahun. Pengamatan ini tidak berbeda dari laporan SARIUBANG et al. (2003) yang melaporkan bahwa 34% responden menyatakan umur dewasa kelamin kerbau berkisar antara 1,5–2,0 tahun. Lebih lanjut dinyatakan oleh 49% peternak bahwa kerbau lumpur di Tana Toraja mempunyai anak pertama pada umur sekitar 4– 5 tahun. Lebih lanjut MURTI (2002) menyatakan bahwa kerbau dara umumnya mengalami estrus (oestrus) pertama kali pada kisaran umur 2–2,5 tahun.

Menurut pengamatan peternak, induk betina akan kawin lagi setelah beranak sekitar 1 bulan, sehingga jarak beranaknya 1,2–1,5 tahun. Sementara SARIUBANG et al. (2003) melaporkan bahwa 32% responden menyatakan rataan birahi setelah beranak adalah tiga bulan. Birahi kembali setelah beranak pada kerbau akan menentukan panjangnya interval beranak yang secara keseluruhan menentukan produktivitas kerbau. Adapun tanda/ciri kerbau betina birahi menurut peternak adalah; suka bermanja-manja/ menanduk-nanduk, selalu diikuti pejantan kemanapun betina pergi, suka menaiki lawan jenis, diam kalau dinaiki dan keluar cairan bening pada vulva. Tanda/ciri kerbau betina yang baik menurut peternak seperti yang ditampilkan pada Tabel 5 adalah: sehat, tidak cacat, gemuk, paha bulat, tanduk halus/mulus runcing persegi, muka cembung dan panjang, perut menggantung, kaki pendek, badan persegi empat tegap dan kokoh, sorot mata tajam, lincah, bagian belakang/punggung

besar, ekor panjang, ambing dan puting besar simetris. Sedangkan tanda/ciri pejantan yang baik menurut peternak adalah: sehat, gemuk, tidak cacat, sorot mata tajam gagah, lincah, leher besar dan pendek, bulu panjang dan kaki tinggi kokoh.

Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa selama ini peternak sudah melakukan seleksi terhadap induk dan pejantan di dalam kelompok ternaknya. Kriteria betina dan pejantan yang baik ini berdasarkan pengalaman disamping informasi dari orang tua dan peternak lain yang menjadi panutan (dituakan). DIWYANTO et al. (2006) menyebutkan bahwa kendala dalam seleksi ternak kerbau adalah masih lemahnya identifikasi dan rekording yang dilakukan. Seleksi akan dapat berjalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data yang akurat.

Pelestarian kerbau rawa dekat lahan

Sebagai salah satu sumber daya genetik kerbau rawa, keragaman ternak perlu tetap diperluas walaupun ternak bisa dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah: 1. Menjaga keseimbangan antara jumlah

populasi efektif dan laju pemotongan ternak. Perlu diketahui bahwa status kerentaan ternak (SCHERF, 1995) menjadi acuan untuk menjaga keseimbangan dalam populasi. Yang cukup sulit adalah mengatur laju pemotongan karena terkait erat dengan keinginan pasar.

2. Memperluas keragaman genetik kerbau rawa. Hal tersebut dapat dilakukan antara lain dengan mengatur perkawinan, dimana pejantan yang digunakan sebagai pemacek hendaknya pejantan yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan sudah memasuki umur dewasa. Hal ini tentu akan menjadi dilema tersendiri mengingat bahwa kebanyakan kerbau kawin pada saat digembalakan. Kecuali apabila pejantan digembala secara terpisah atau tinggal dikandang dan mendapat pakan sesuai dengan kebutuhan.

3. Menciptakan suatu kegiatan untuk menstimulir masyarakat di lokasi pemeliharaan yang masih antusias untuk melestarikan budaya, misalnya dengan kontes ternak atau lomba renang kerbau.

(8)

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan karakeristik diketahui bahwa kerbau rawa yang terdapat di Kalimantan Selatan merupakan jenis kerbau yang sama yaitu kerbau lumpur atau rawa. Ternak ini berkembang dan dibudidayakan di lahan rawa dengan cara digembalakan sepanjang hari untuk mencari makan. Berat badan kerbau dewasa berkisar antara 300–600 kg dan ukuran tubuh, lingkar dada berkisar 157–206 cm, panjang badan 94–132,5 cm, dan tinggi badan 113–126 cm. Persentase berat karkas kerbau rawa berkisar 43,03–50,26%. Umur pertama kali kawin kerbau jantan adalah 1–1,5 tahun dan betina berumur 2,5–3,5 tahun, sehingga umur induk beranak pertama kali adalah sekitar 3,5–4,5 tahun. Induk betina akan kawin lagi setelah beranak ± 1 bulan, sehingga jarak beranak sekitar 1,2–1,5 tahun. Lahan rawa mempunyai potensi yang besar untuk mempertahankan dan mengembangkan ternak kerbau di Kalimantan Selatan sebagai plasma nutfah ternak dan penghasil daging. Untuk itu perlu perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pusat melalui program pembinaan secara terpadu dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

DINAS PARIWISATA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN.

1996. Upaya Pengembangan Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan dalam rangka: Diskusi Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro. Banjarbaru, 25 Maret 1996.

DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN

SELATAN. 1993. Laporan Tahunan. Banjarbaru.

DIWYANTO, K. dan HANDIWIRAWAN, E. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006.

KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.S. GAIL

SIANTURI dan E. TRIWULANNINGSIH. 2005.

Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Propinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm:316-322.

MURTI,T.W. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

UTOJO, R.P. dan ADISOEMARTO, S. 1982. Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia. Terjemahan Karangan Mengenai Kemungkinan Mendirikan Perusahaan Peternakan Sapi dan Pengetahuan tentang Kerbau dan Peternakan Kerbau. LIPI.

PUTU, I. G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, A. THALIB, SANTOSO, dan

TARMUDJI. 1993. Model Pengembangan Kerbau Kalang pada Agroekosistem yang Berbeda di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bogor Bekerjasama dengan P4N.

PUTU, I. G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T.

CHANIAGO, SANTOSO, TARMUDJI, A.A.

SUPRIYADI dan P. OKTAPIANA. 1994. Peningkatan Produksi dan Reproduksi Kerbau Kalang pada Agroekosistem Rawa di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bogor Bekerjasama dengan P4N.

SADERI, D. I.,E. S. ROHAENI, A. DARMAWAN, A. SUBHAN dan A. RAFIEQ. 2004. Profil

Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. (Studi Kasus di Desa Bararawa dan Desa Tampakang, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara). Laporan. BPTP Kalimantan Selatan.

SARIUBANG, M.D. PASAMBE dan A.ELLA. 2003.

Kajian Reproduksi dan Produksi Kerbau Lumpur di Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm:60-63.

SETIADI, B. 2004. Sistem Pengelolaan Plasma

Nutfah pada Taraf Nasional. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Strategi Pengelolaan Plasma Nutfah Daerah, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Bogor 6 Agustus 2004.

TULLOH,N.M,. and J.H.G.HOLMES. 1992. Buffalo

Production. School of Agriculture and Forestry; The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052. Australia.

Referensi

Dokumen terkait

ASUHAN KEPERAW KEPERAWA AT TAN KLIEN AN KLIEN DENGAN DENGAN LEUKEMIA LEUKEMIA. Disusun Oleh Kelompok 18 Disusun Oleh

[r]

Untuk dapat mengoptimalkan polisi tidur otomatis dapat dipasang di kota- kota besar dengan pengguna kendaraan bermotor terbanyak dan sering mengalami kemacetan terutama

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan variabel yang dominan dari PDRB, Inflasi, Investasi Industri dan Jumlah Tenaga Kerja Terhadap Pendapatan Asli

Untuk pelabuhan Ketapang peningkatan jumlah penumpang terjadi waktu malam hari hal ini berbeda dengan pelabuhan Gilimanuk dimana peningkatan jumlah penumpang di waktu pagi

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Income Smoothing (perataan laba) memiliki hubungan yang

Skripsi berjudul “Gambaran Respon Kebal Terhadap Infectious Bursal Disease (IBD) pada Ayam Pedaging yang Divaksin IBD Killed Setengah Dosis dan Ditantang Dengan Virus IBD”

dengan bentuk tanduk yang dimiliki oleh sapi Bos bibos taurus (Gambar 4.1) kemiripan silak tanduk.Silak tanduk pada sapi bali ada bermacam-macam jenis yaitu