• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBEBASAN DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBEBASAN DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011 Hal. 267-282

KEBEBASAN DALAM FILSAFAT EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE

Firdaus M. Yunus

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh (fadhal_01@yahoo.com)

Abstrak

Eksistensialisme merupakan paham yang menempatkan manusia pada titik sentrum dari segala relasi kemanusiaan. Eksistensialisme berakar dari upaya untuk bangkit dari segala hegemoni untuk menemukan eksistensi dan esensi diri. Untuk menemukan eksistensi diri tersebut manusia harus sadar karena tidak ada makhluk lain yang bereksistensi selain manusia. Sartre dalam hal ini menempatkan eksistensi manusia mendahului esensi. Eksistensi pada esensialnya menunjukkan kepada kesadaran manusia (l’յetre-pour-soi), karena manusia berhadapan dengan dunia dimana dia berada sekaligus memikul tanggung jawab untuk diri dan masa depan dunianya. Kebebasan adalah esensi manusia, biasanya manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya. Manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan dapat memberi makna pada realitas.

Existentialism puts humans at the center point of all human relationships. It is rooted in an effort to keep a distance with all hegemony to discover the existence and the essence of self. Human must be conscious of his humane to find out the existence of himself (l'être-en-soi). Since, it is believed that no other creatures besides humans that exists. Freedom is the essence of human beings; usually humans are always free to create him-self. Humans are free to organize, select and can give meaning to reality.

(2)

A. Pendahuluan

Eksistensialisme yang berkembang pada abad ke 20 di Perancis dan Jerman, bukan sebagai akibat langsung dari suatu keadaan tertentu, tetapi lebih disebabkan oleh respon yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai tatanan di dunia Barat yang sebelumnya dianggap stabil. Meletusnya perang dunia pertama telah menghancurkan keyakinan atas keberlanjutan kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan. Kemudian dengan melemahnya banyak struktur eksternal kekuasaan, seperti struktur ekonomi, politik serta kekuasaan pada saat itu yang sudah kehilangan legetimasinya, dan kuasa atas individu jadi terasa sudah tidak lagi ditolerir karena ditentang dan dianggap tidak memiliki peran yang berarti, dan pada saat itu manusia perorangan hanya bisa tunduk pada kekuasaan internal atas dirinya sendiri. Kondisi seperti itu telah mengantarkan para eksistensialis kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang sejati dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.1

Dalam sejarah perkembangannya, eksistensialisme jelas mengacu pada fenomena kemanusiaan kongkret yang tengah terjadi. Sebagaimana diketahui, filsafat eksistensialisme berkembang pesat pasca perang dunia kedua, yang seolah membenarkan permenungan filosofis pada kenyataan (kemanusiaan) yang kongkret tersebut. Oleh karena itu, permenungan rasionalitas Descartes yang menegaskan

Cogito Ergo Sum ”Saya berpikir maka saya ada”, dibalik secara

ekstrem oleh eksistensialis dengan pernyataan: “Saya ada, maka saya berpikir”.2 Aliran ini lebih menekankan perhatiannya pada subyek, bukan pada obyek, hal ini tentu saja berbeda dengan fenomenologi yang lebih menekankan hubungan subyek dan obyek pengetahuan dengan intensionalitasnya, maupun dengan filsafat bahasa yang lebih menyoroti obyek.

Eksistensialisme tidaklah sekedar menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus, karena setelah melalui berbagai perkembangan,

1

T.Z Lavine, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama (Yogyakarta: Jendela, 2002), h. 314-315.

2

FX. Mudji Sutrisno, dan Budi Hardiman (ed)., Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 100.

(3)

istilah ini telah meresapi banyak bidang di luar filsafat, seperti psikologi, seni, sastra, drama, dan sebagainya. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa diklasifikasikan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun demikian terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis, antara lain misalnya. Pertama, eksistensialis merupakan suatu tantangan yang kuat terhadap filsafat tradisional dengan segala bentuknya, sebab filsafat tradisional mengarahkan perhatiannya pada wujud dan pengenalannya kepada sebab-sebab yang jauh bagi wujud tersebut serta dasar-dasar prinsip pertama,3 kedua, eksistensialisme adalah suatu protes atas nama

individualis terhadap konsep-konsep ‘akal’ dan ‘alam’ yang ditekankan pada periode pencerahan abad ke 18. “Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan sesuatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, semua itu adalah pokok dari eksistensialisme”.4

Ketiga, Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap

alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan massa pada zaman sekarang. Dan keempat, eksistensialisme juga merupakan suatu protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, dan lain-lain yang cenderung menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.5

Pengakuan atas ‘keberadaan’ manusia sebagai subyek yang bereksistensi terletak pada kesadaran yang langsung dan subyektif, yang tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam suatu abstraksi. Tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Itulah sebabnya, kaum eksistensialis sangat percaya bahwa kebenaran adalah pengalaman subyektif tentang hidup, yang konsekuensi

3

A. Hanafi, Ihktisar Sejarah Filsafat Barat (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), h. 88.

4

Kaufmann (ed), Existentialism from Dostoevsky to Sartre (New York: World Publishing, 1956), h. 12.

5

Harold. H Titus, (dkk), Persoalan-persoalan Filsafat, Penerj, Rasjidi (Bandung: Bulan Bintang, 1984), h. 382.

(4)

logisnya menentang segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas mengenai manusia.

Tidak berlebihan bila kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi, sesuatu yang selalu menjadi perbincangan menarik para filsuf. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.6 Sedangkan

esensi merupakan sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan

corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam benda. Yang pertama adalah esensi baru kemudian muncul eksistensi. Asumsi ini ditolak oleh kaum eksistensialis, utamanya Sartre yang justru mengatakan bahwa ‘eksistensi sebelum esensi’ atau eksistensi mendahului esensi.

Kaum eksistensial berusaha menemukan kebebasan dengan menunjukkan suatu fakta, betapa benda-benda (obyek) tidak mempunyai makna tanpa keterlibatan pengalaman manusia. Manusia merupakan suatu titik sentrum dari segala relasi, sebagai subyek dengan pengalamannya. Justru dengan kesadaran ‘keberadaannya’, eksistensi manusia diakui, yang oleh Sartre, cara berada manusia melalui dua cara yaitu l’ҭetre-en-soi (berada pada dirinya ) dan l’ҭ etre-pour-soi (berada untuk dirinya).

B. Makna Kebebasan Manusia

Sartre mengatakan ”aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas”.7 Melihat pernyataan di atas bahwa kebebasan menjadi tema sangat penting dalam bangunan filsafat Sartre.

Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre banyak menganalisis kebebasan dan cara berada manusia untuk menemukan

6

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 187.

7

(5)

kebebasan.8 Menurut Sartre ada dua “’ҭetre” (berada) yaitu l’ҭ etre-en-soi (berada pada dirinya ) dan l’ҭetre-pour-soi (berada untuk dirinya).

Dalam bahasa Inggris en-soi dapat diterjemahkan thingness sementara

pour-soi yaitu no-thingness.9

Maksud l’ҭetre-en-soi atau ‘berada pada dirinya’ adalah

semacam berada an sich. Ada banyak yang berada, pohon, binatang, manusia, benda-benda, dan sebagainya, semuanya itu berbeda-beda “berada” mewujudkan ciri segala benda jasmani. Semua benda ada dalam dirinya-sendiri, tidak ada alasan mengapa benda-benda berada begitu. Segala yang berada dalam diri ini tidak aktif, akan tetapi juga tidak pasif, tidak meng-ia-kan dan tidak menyangkal. ’ҭEtre-en-soi

mentaati prinsip identitas, jika di dalam sesuatu yang ada itu terdapat perkembangan, maka perkembangan itu terjadi karena sebab-sebab yang telah ditentukan. Oleh karenanya perubahan-perubahan itu adalah perubahan yang kaku. Menurut Sartre segala yang “berada dalam dirinya” (l’ҭetre-en-soi) memuakkan,10 yang ada begitu saja, tanpa kesadaran, tanpa makna. Adanya pour-soi membuat manusia begitu istimewa, karena seakan-akan meninggalkan suatu ‘lubang’ dalam dunia benda, dunia objek-objek. Lubang tersebut merupakan kebebasan manusia. Hal inilah yang dapat melepaskan diri dari adanya

en-soi.

Sementara yang dimaksud dengan l’ҭetre-pour-soi (berada

untuk dirinya) yaitu berada dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. l’ҭetre-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas seperti

halnya ’ҭetre-en-soi. Manusia mempunyai hubungan dengan

keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta, berbeda dengan benda-benda. Sebab benda hanyalah benda, tetapi tidak demikian dengan manusia, karena manusia memiliki kesadaran, yaitu kesadaran yang reflektif dan kesadaran yang pra reflektif.

8

JP. Sartre, Being and Nothingness, Penerj, Hazel E. Barnes (New York: The Philosophical, 1956), h. 37.

9

Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 109.

10

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 158.

(6)

Sartre melihat bahwa, kesadaran kita bukanlah kesadaran ‘akan’ dirinya (conscience de soi) melainkan kesadaran diri

(conscience (de) (soi). Di dalam kesadaran diri selalu ada jarak antara

kesadaran (conscience) dan diri (soi), jarak yang senantiasa ada ini oleh Sartre di sebut ‘ketiadaan’ yang membuat kita dari en-soi (dalam diri sendiri) ke Pour-soi (untuk diri sendiri). Kesadaran tidak boleh dipandang sebagai hal berdiri sendiri, sebab kesadaran hanya ditemukan pada orang yang berbuat, mencari tempat dimana ia dapat berdiri. Ia berusaha untuk dapat “berada–dalam–diri”, akan tetapi hal itu tidak mungkin, karena tidak mungkin makhluk yang “berada-untuk-diri” berubah menjadi “berada-dalam-diri”. Oleh karena itu manusia merasa terhukum kepada kebebasan. Ia terpaksa terus-menerus berbuat.

Dalam keadaan yang demikian manusia berusaha untuk membebaskan diri dari kecemasan dengan mencoba menghindari kebebasannya.11 Kebebasan adalah esensi manusia, biasanya manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya. Manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan dapat memberi makna pada realitas. Bagi manusia, eksistensi memiliki makna keterbukaan, berbeda dengan benda lain yang keberadaannya sekaligus esensinya. Bagi manusia, eksistensi mendahului esensi. Dalam kata-kata Sartre “man is nothing

else but what he makes of himself.12 Inilah asas paling esensial dalam filsafat eksistensialisme, yang disebut oleh Sartre sebagai ‘sub-jektivitas’.

Eksistensi manusia selalu memiliki kebebasan sejauh tindakannya mendatangkan manfaat bagi eksistensi hidupnya. Manusia harus selalu siap bereskistensi dan mengisi nilai sendiri bagi eksistensi hidupnya. Dengan demikian manusia harus sadar, bahwa kematian setiap saat siap merenggut eksistensi hidupnya. Hal

11

Ibid.,,h. 160-163. 12

Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h. 134.

(7)

semacam ini cukup dijadikan bukti bahwa manusia tidak memiliki kemampuan apa-apa.13

Bagi Sartre kecemasan disebabkan karena manusia terhanyut oleh urusan sehari-hari. Kemungkinan seperti itu tidak menjadi obyek refleksi, tetapi manusia merealisasikan secara pra-refleksi, meskipun ia sadar bahwa segala tingkah laku seluruhnya bergantung pada dirinya sendiri. Bahwa ia sendiri satu-satunya sumber segala nilai dan makna. Oleh karena itu kemerdekaan manusia untuk membentuk dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar akan berimplikasi pada ‘penolakan’ dirinya terhadap adanya Tuhan.14 Maka kecemasan lalu timbul dalam hidupnya. Tetapi manusia bisa menutup matanya bagi kebebasan dan melarikan diri dari kecemasan.15 Dengan demikian menurut Sartre eksistensialisme adalah suatu doktrin yang menga-jarkan bahwa tiap-tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subjektivitas manusia.16

C. Konflik Dan Relasi Kebebasan Antar Manusia

Menurut Sartre manusia secara individual mempunyai kebebasan untuk mencipta dan memeberi makna kepada kebera-daannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dengan merancang dirinya sendiri. Namun, ia tidak bisa sendirian, atau tidak bisa dilakukan perseorangan saja, tetapi harus berlangsung dalam konteks intersubyektivitas, yaitu bersama dengan yang lain.

Dalam salah satu dramanya Pintu Tertutup, Sartre pernah mengungkapkan bahwa ‘neraka adalah orang lain’, atau “Dosa asal saya adalah adanya orang lain’, dalam bukunya Being and

Nothingness juga disinggung oleh Sartre, tetapi kemudian ia sadar

bahwa ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh sekedar

13

K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 320.

14

Martin, O.P., Vincent., Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, Penerj, Taufiqurrohman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 34.

15

K. Bertens, Op.Cit, h. 320.

16

JP. Sartre, Existentialism and Humanism, Penerj, Philip Mairet (London: Methuen, 1948), h. 48.

(8)

kebenaran tentang dirinya sendiri, setiap orang pasti memerlukan orang lain. Dengan bertolak pada situasi umum ini, maka manusia berusaha memungkinkan serta merencanakan suatu kehidupan manusiawi.

Dalam konteks ini, Sartre berusaha membuat suatu aturan moral baru. Karena setiap orang terikat dengan orang lain, maka kebebasannya sebagai manusia harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain. Manusia tidak dapat membuat kebebasan, tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain.

Namun demikian, hakikat setiap relasi antar manusia ternyata adalah konflik; sebab orang lain membuat saya –kata Sartre- menjadi obyek atau ‘saya’ membuat hal yang sama terhadap orang lain.17 Yang terjadi kemudian adalah keterasingan. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain kalau bergabung melawan orang ketiga karena dengan demikian akan muncul terminologi ‘kita’ yang obyektif. Peperangan, kelaparan, dan penindasan kelas biasanya membentuk ‘kita’ itu. Hanya selama penindasan berlangsung, orang-orang yang menindas dan juga tertindas membentuk kesatuan ‘kita’ sesudahnya, kesatuan akan hilang lagi.18 Barangkali konsep yang sangat radikal ‘aku’ dan ‘engkau’ sesungguhnya merupakan satu konflik, karena ‘aku’ akan selalu menjadi subyek yang meng’engkau’kan (meng-obyekkan) orang lain.

Sebagai orang yang terlahir oleh suatu pengalaman pahit, yaitu tatkala menyaksikan kekejaman Perang Duni II, yang cukup meluluh lantakan nilai-nilai kemanusiaan, jika itu diyakini keberadaannya. Pengalaman pahit tersebut membentuk sebuah keyakinan, bahwa tidak pernah ada cinta obyektif dalam setiap relasi, yang ada adalah pamrih. Aku sebagai subyek akan selalu berusaha menguasai engkau sebagai obyek.

Itulah sebabnya, setiap relasi antar manusia pada dasarnya dapat diasalkan dari konflik. Konflik adalah makna asli dari wujud

17

Van der, P.A Weij, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Penerj, K.Bertens. (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 147.

18

(9)

untuk wujud lain.19 Konflik adalah inti setiap relasi intersubyektif. Pendapat ini berkaitan dengan anggapannya tentang kesadaran, yaitu aktivitas kesadaran untuk ‘menidak’, yang selalu berlangsung dalam setiap perjumpaan antara kesadaran-kesadaran. Dimana setiap kesadaran akan selalu berusaha untuk mempertahankan subyek-tivitasnya sendiri, mau menjadi pusat suatu ‘dunia’. Kesadaran lain harus dimasukkan dalam ‘dunia’ itu, orang lain harus menjadi obyek bagi kesadaranku, sebab ‘aku’ adalah pusat duniaku.20 Untuk itu Sartre memberikan rasa hormat kepada dirinya dan menyela-matkannya dari sekedar menjadi objek. Lebih lanjut Sartre menje-laskan:

Karena manusia dihukum untuk menjadi bebas, maka ia membawa beban seluruh dunia di atas pundaknya, ia bertanggung jawab untuk dunia dan untuk dirinya sendiri sebagai jalan ke “ada”. Pertanggungjawaban yang absolut ini bukan sikap ‘menyerah’ tetapi persyaratan yang logis dari akibat kebebasan.21

Maksud uraian di atas, bahwa manusia selalu berusaha untuk berada dalam keadaan bebas, upaya untuk meng’aku’kan dan meng’engkau’kan, terus-menerus dalam setiap relasi antar manusia. Setiap relasi dengan demikian tidak lebih dari sekedar sebuah dialektika subyek-obyek yang satu akan mengalahkan yang lain.

Bagi Sartre, relasi dengan sesama merupakan ‘neraka’ bagiku. Setiap subyek tidak akan memberikan kesempatan untuk menjadi subyek yang sama. Setiap relasi antar subyek senantiasa teralihkan karena sesama di bawah tatapan mata sesungguhnya adalah obyek, bukan subyek. Tindakan mengobyekkan justeru mematikan subyektivitas orang lain. Kematian adalah saat orang lain sungguh-sungguh menang terhadap aku, atau sebaliknya yaitu saat aku menjadi benda atau dibendakan22

19

T.Z Lavine, Op.Cit, h. 371.

20

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX jilid II Prancis (Jakarta: Gramedia, 1996), 100-101.

21

Harold. H Titus, (dkk), Op.Cit, h. 397.

22

(10)

Tatkala subyek mengobyekkan sesama melalui tatapan mata, maka ‘subyek’ yang lain sesungguhnya adalah obyek (ҭҭen-soi) belaka.

Proses pour-soi (kesadaran) yang ada pada setiap ‘subyek’ yang kemudian berusaha untuk selalu mempertahankan diri menjadi ‘subyek’, yang tidak mau dimatikan karena kepentingan pour-soi tadi. Keadaan ini berlangsung terus-menerus, sehingga ‘ruang’ hidup menjadi ajang untuk tatap menatap, saling membenci, mengobjekkan dan memusuhi satu sama lain. Setiap pengalaman tentang orang lain merupakan obyek bagi ‘dia’ sebagai ‘subyek’ atau bahwa orang lain menjadi ‘obyek’ bagi saya sebagai ‘subyek’.

Implikasi logis dari semua itu adalah, bahwa setiap relasi intersubyektif tidak ada kemungkinan lain, kecuali beralaskan suatu konflik, atau dalam bentuk kompromi. Contoh tentang kemungkinan yang kedua ini ialah kebersamaan dalam satu kelompok (nous-obyek). Dalam relasi tersebut, setiap ‘subyek’ akan bersekutu dengan orang lain melawan ‘orang ketiga’ atau bersama-sama ‘kita’ menjadi obyek bagi orang ketiga. ‘Kita’ berkembang menjadi solider. Orang yang ketiga adalah musuh bersama yang memaksa kita untuk melupakan saling persaingan antar ‘subyek’ dan bersama-sama mengobyetivisi orang itu.23

Relasi-relasi antar manusia dengan demikian telah menye-babkan munculnya perasaan saling memusuhi. Perang adaka-lanya merupakan implikasi logis dari sikap untuk saling menunjukkan kekuasaan ‘otonominya’ sebagai subyek yang mengobyekkan dan atau menguasai orang lain. Itulah sebabnya, dalam setiap relasi tidak mungkin muncul cinta, dan kebersamaan kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, sesudah hal tersebut terjadi, maka semuanya akan kembali menjadi suatu ‘permusuhan’ dan ‘pertentangan’ dalam dialektika subyek-obyek; ‘aku’-‘engkau’.

D. Tanggungjawab Sebagai Manusia

Sartre sudah membangun filsafat secara serius yang akan menghasilkan pedoman hidup untuk kehidupan di dunia modern

23

(11)

dengan menjelaskan sifat-sifat alami dunia dan dengan menggambarkan keadaan manusia. Dalam menggambarkan dunia dan memandang eksistensi manusia ternyata Sartre berpaling dari deduksi rasionalistik yang dibuat oleh Descartes melalui Cogito Ergo Sum (saya berpikir maka saya ada). Sartre dan filsuf lainnya melihat

Cogito yang dibangun oleh Descartes adalah Cogito yang tertutup.

Sehingga dengan demikian Sartre menyangkal Descartes dengan alasan bahwa kesadaranku akan berpikir dan tidak bisa membuktikan bahwa aku ada sebagai zat yang esensinya adalah berpikir. Sangkalan lain terhadap Descartes yaitu suatu kesadaran sebagai suatu niatan. Kesadaran selalu mengenai obyek, kesadaran menekankan pada apa yang lain dari kesadaran itu sendiri. Dalam wujudnya kesadaran itu kosong, hampa. Kesadaran itu jernih, yang mengada sebagai kesadaran atas suatu obyek. Sartre mengakui bahwa kesadaran selalu kesadaran itu sendiri, hal ini sama sebagaimana pendapat yang dikemukanan oleh Descartes.24

Menurut Sartre, manusia yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan, inilah inti ajaran utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan berarti ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia. Pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan situasi keberadaan manusia di tengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu Sartre hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh semua manusia sebagai manusia. Sebab eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia, yang semakin hari semakin menampakkan eksistensi modern. Dari konsep ini muncullah ciri hakikat keberadaan manusia. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia. Dalam menentukan, memutuskan, manusia bertindak sendirian tanpa orang

24

(12)

lain yang menolong. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.

Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah kiranya yang menjadi inti sari filsafat yang kelak dikembangkan oleh Sartre yang kemudian mendapat sambutan hangat hampir ke seluruh dunia. Sartre menempatkan wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya, cara itu hanya khusus ada pada manusia.25

Meski demikian, manusia dalam menentukan pilihan selalu dihantui oleh rasa takut, akan tetapi juga diikuti rasa berani dan gembira karena ia boleh bertanggung jawab. Dalam memutuskan itu orang harus berdiri sendiri. Bagi Sartre, manusia adalah pengada yang sadar (pour-soi) persoalannya menjadi rumit. Pertama ia ‘sadar’, dari sini muncul tanggung jawab, karena tanggung jawab manusia harus menentukan, dari sini timbul kesendirian, lalu rasa takut, setelah itu baru muncul penyangkalan. Hakikat penyangkalan itu dapat dirumuskan “yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”. Jadi manusia laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre, itulah esensi manusia.

Dari fenomena di atas tergambar suatu filsafat keputusasaan, sebab apa yang hendak dikejar pada dasarnya sudah diketahui hasilnya, tetapi manusia harus tetap berbuat. Menurut Sartre itulah hukuman bagi manusia, manusia harus demikian. Ia dihukum oleh kesadarannya, dia harus meluncur sampai ia terengah-engah oleh kepayahan. Untuk membebaskan diri dari hukuman itu hanya ada dua kemungkinan, menjadi tak berkesadaran (en-soi,hewan,tumbuh-tumbuhan) atau bunuh diri.

Manusia dalam kesehariannya hidup dalam suatu konstruksi buatannya sendiri, manusia membuat aturan, hukuman, konvensi, dan lain-lain. Dengan ini sesuatu diberi nama, diberi tujuan. Dalam keadaan seperti itu semestinya manusia dapat menjalankan eksis-tensinya serta bertanggung jawab atas dirinya dan realitas disekitar-nya.26

25

Driyarkara, Percikan Filsafat (Djakarta: Pembangunan, 1966), h. 57.

26

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Rosdakarya, 2000), h. 230.

(13)

Bangunan filsafat eksistensialisme Sartre, meskipun sinis namun Sartre telah memberikan kontribusi sangat berarti bagi kebangkitan semangat baru masyarakat Eropa. Sebab hampir seluruh Eropa dilanda peperangan yang menyisakan ketakutan-ketakutan yang luar biasa, manusia dalam kesehariannya hidup tidak menentu, banyak dari mereka hidup dalam kepalsuan. Sartre dalam situasi demikian menjadi salah seorang filsuf yang mampu menginspirasikan masyarakat Eropa dengan harapan baru, bahkan filsafat eksistensia-lismenya menjadi suatu gaya hidup di Eropa.

Ide-ide yang diwariskan oleh Sartre tadi telah merangsang para pemikir besar hampir di seluruh dunia dalam memperjuangkan kebebasan manusia. Salah satu dari tokoh pejuang kebebasan tersebut adalah Paulo Freire. Dalam banyak tulisan Freire sering mengutip pendapat-pendapat dari buku-buku yang ditulis oleh Sartre dalam membangun otentisitas pedagogisnya.27

E. Kesimpulan

Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada manusia di dunia ini (l’ҭetre-en-soi), cara tersebut hanya ada pada manusia, karena

hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuh-tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat bereksistensi. Fil-safat eksistensialisme mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri.28

Dalam filsafat eksistensialisme, eksistensi manusia mendahu-lui esensinya, hal ini berbeda dari hewan, tumbuh-tumbuhan yang esensinya mendahului eksistensinya. Menurut Sartre makna dari eksistensi mendahului esensi manusia adalah bahwa manusia yang hidup di dunia ini harus memikul tanggung jawab yang besar untuk dirinya dan masa depannya. Sebab eksistensi manusia pada esensial-nya menunjukkan kesadaran manusia (l’ҭetre-pour-soi), karena

manusia berhadapan dengan dunia dimana dia berada.

Menurut Sartre manusia merupakan makhluk bebas, oleh karena makhuk bebas maka ia harus menentukan untuk dirinya secara sadar, untuk itu manusia harus berbuat dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, serta menjalankan eksistensinya dalam

27

Denis E., S.J. Collins, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikiran. Penerj, Henry Heyneardhi dan Anastasia P (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 58.

28

(14)

ksi itu. Manusia membuat hukuman, aturan, konvensi, memberi nama, serta menentukan tujuan. Dalam dimensi demikian, semestinya manusia dapat menjalankan eksistensinya secara terbuka. Bila konstruksi itu diubah, maka yang terjadi adalah konflik, manusia dalam keadaan seperti itu harus menghadapi kenyataan. Manusia menjadi mual menghadapi kenyataan seperti itu, karena sifat eksistensi manusia selalu ingin berubah.

Kebebasan harus selalu menjadi perhatian bersama. Dalam dimensi seperti itu biasanya muncul pandangan determinisme dan

free will. Sartre termasuk filsuf yang selalu membongkar setiap

bentuk determinisme, manusia menjalani eksistensinya dalam perbuatan, perbuatan merupakan tindakan, salah satu syarat utama dapat bertindak adanya kemerdekaan. Selanjutnya Sartre menjelaskan bahwa kemerdekaan itu harus diartikan merdeka dalam keterbata-sannya, seperti orang lumpuh merdeka dalam kelumpuhannya, atau orang yang sakit merdeka dalam kesakitannya.

Dalam banyak tulisannya, Sartre memberikan uraian yang kritis dan sinis tentang relasi antar manusia, yaitu relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Menurut Sartre

(en-soi) “berada” bersama berupa konflik. Untuk itu dalam hubungan

antar manusia hanya ada dua kemungkinan, menjadi subyek atau menjadi obyek. Dalam uraian yang lain Sartre mengatakan bahwa relasi antar manusia bisa terjadi karena ikatan cinta kasih, ‘eksis-tensiku diakui’ badanku diinginkan, aku dihargai. Sekalipun demikian dalam hubungan dengan cinta kasih konflik tetap saja ada. Kendatipun demikian manusia yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan, inilah inti ajaran utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan berarti ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens., 1996, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, K., 1987, Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia. Bertens, K., 1996, Filsafat Barat Abad XX jilid II Prancis. Jakarta:

Gramedia.

Collins, Denis E., 2002, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan

Pemikiran. Penjemah, Henry Heyneardhi dan Anastasia P.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Driyarkara., 1966, Percikan Filsafat. Djakarta: Pembangunan.

Hadiwijono, Harun., 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Hamersma, Harry., 1992, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Hanafi, A., 1981, Ihktisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Alhusna.

Hassan, Fuad., 1992, Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kaufmann (ed)., 1956, Existentialism from Dostoevsky to Sartre. New York: World Publishing.

Lavine, T.Z., 2002, Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih Bahasa, Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta: Jendela.

Martin, Vincent O.P., 2001, Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard,

Sartre, Camus, Penerj, Taufiqurrohman. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Sartre, J.P., 1948, Existentialism and Humanism, Penerj, Philip Mairet. London: Methuen.

Sartre, J.P., 1956, Being and Nothingness, Penerj, Hazel E. Barnes. New York: The Philosophical.

(16)

Sutrisno, FX. Mudji., dan Budi Hardiman (ed)., 1992, Para Filsuf

Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius.

Tafsir, Ahmad., 2000, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales

Sampai Capra. Bandung: Rosdakarya.

Titus, Harold. H. (dkk)., 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Penerj, Rasjidi. Bandung: Bulan Bintang.

Weij, P.A. Van der., 2000, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Penerj, K.Bertens. Yogyakarta: Kanisius.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum dari parameter evaluasi ketelitian tahap simulasi, pemodelan hidrologi hujan-aliran IFAS yang menggunakan data hujan curah satelit lebih baik dengan

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kata kerukunan hanya digunakan atau berlaku hanya dalam kehidupan pergaulan kerukunan antar umat beragama bukan berarti

Volume 36 Edisi No.. Berkala Arkeologi kali ini total menampilkan enam tulisan, dengan komposisi tiga tulisan hasil penelitian Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, satu

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan perusahaan automotive yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia melakukan praktik perataan laba dan untuk membuktikan secara

Dari tabel 5 dan gambar 7 diatas , terlihat bahwa semakin kecil laju alir umpan ,maka kadar sulfur yang terambil pada batubara akan semakin besar hal ini

Berikut penelitian sejenis yang digunakan pada penelitian ini, antara lain Soni, dkk,(2014) yang mengatakan Aspek penting dari pit lake antara lain hidrologi,

Perencanaan desain yang dilakukan oleh redaksional lebih dititik beratkan kepada materi pemberitaan dengan nilai berita serta nilai jual yang baik, walaupun ada

Sementara itu, berkenaan dengan cara pemecahan kendala-kendala di atas, sebagian responden menyatakan bahwa (1) kualifikasi guru yang belum memadai alternatif pemecahan masalahnya