• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Biografi Muhaddisin I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Biografi Muhaddisin I"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepeninggal Rasulullah SAW, para umat muslim yang belum lama lahir sangat perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detail – detail fenomena sejarah nabi itu. Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi tidaknya tergantung dari taraf kesungguhan dan ketulusan dalam mencari informasi tersebut. Suatu fakta yang menunjukkan ke arah pemikiran itu adalah proses transmisi periwayatan naskah al–Qur’an hingga tahap kodifikasinya. Al-Qur’an telah diperiksa dan disatukan oleh nabi sendiri, dan Hafshah (isteri beliau) kemudian menyerahkan kepada Abu Bakar, dan seterusnya. Ini bukti yang tidak terbantahkan bahwa naskah al-Qur’an telah dikumpulkan ekstra hati – hati, dan kehebatannya tak akan pernah tertandingi.

Wacana yang sama juga terlihat dalam metodologi penulisan hadits. Sejarah penulisan dan pembukuan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang; semenjak Nabi SAW., sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ketiga hijriyah. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya para ulama hadits yang telah melakukan penelitian terhadap suatu hadits. Perjuangan para ulama (hadits) yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadits, mana yang shahih dan mana yang dha’if telah menghasilkan metode – metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya, hingga kaidah-kaidah penelusuran hadits. Untuk itu,pada bagian ini akan diuraikan biografi para tokoh atau ulama hadits yang sangat berperan dalam upaya penulisan dan pengembangan hadits dan ilmu hadits sampai saat ini atau paling tidak hingga abad ke lima.

(2)

BAB II PEMBAHASAN

BIOGRAFI SINGKAT PARA ULAMA HADITS

1. As-Habussunan (4 orang): a. Ibnu Majah

Nama sebenarnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhadditsin ulung, mufassir dan seorang alim. Sebagaimana halnya para muhadditsin dalam mencari hadits – hadits memerlukan perantauan ilmiah, beliau pun juga berkeliling di beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadits kepada para ulama hadits, antara lain : Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir dan Hijaz. Ali ibn Muhammad Al-Tanafasi (wafat 233H) adalah gurunya yang paling pertama.

Dari tempat perantauannya itu, beliau bertemu dengan murid – murid Imam Malik dan Al-Laits, dan dari beliau – beliau inilah beliau banyak memperoleh hadits – hadits. Hadits – hadits beliau banyak diriwayatkan oleh orang banyak.

Karya – karyanya :

 Tafsir

 Al-Tarikh

 Sunan1

Kitab Sunan ini yang kemudian terkenal dengan Sunan Ibnu Majah. Sunan ini merupakan salah satu Sunan yang empat. Kitab Ibnu Majah ini berisikan 4.341 hadits, dan sebanyak 3.002 telah dibukukan oleh pengarang kitab Al-Ushul Al-Sittah lainnya, baik seluruhnya, ataupun sebagiannya. Jadi 1.339 hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri, dengan rincian sebagai berikut:

1 Munzier Suparta,Ilmu Hadits,PT Raja Grafnnd Persana,Jakarta,2008,lm 2置0.

(3)

1) 428 buah adalah hadits shahih 2) 199 buah adalah hadits Hasan 3) 613 buah adalah hadits Isnad

4) 99 buah adalah hadits Munkar dan makdzub.

Sunan Ibnu Majah ini mempunyai sisi kelebihan yaitu tidak banyak mengalami pengulangan dan ia adalah terbaik dari sisi penyusunan judul per judul dan sub judul. Hal ini banyak diakui ulama.

Hanya sedikit Kitab yang memberikan syarah Sunan Ibnu Majah ini. Salah satu yang paling baik adalah karya Mughlata’I Al-Suyuthi juga mensyarahinya dalam Mishbah Al-Zujajah ‘Ala Sunan Ibnu Majah.

b. Al-Tirmidzi

Nama lengkapnya adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Tsurah ibn musa ibn Dhahak Al-Sulami Al-Bughi Al-Tirmidzi adalah seorang muhadditsinyang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran. Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan Dzulhijjah 200 H (atau tepatnya 824 M).

Beliau banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah/negeri Islam, antara lain : khurazan, Iraq dan Hijjaz untuk belajar hadits kepada ulama hadits yang kenamaan atau besar, seperti Qutaibah ibn Sa’id, Ishaq ibn Musa, Al-Bukhari dan lainnya.2 Orang-orang banyak belajar hadits pada beliau dan diantara banyak muridnya antara lain Muhammad ibn Ahmad ibn Mahbub.

Di antara karya-karya yang telah ditulis oleh Imam At-Tirmidzi adalah:

1) Al-jami’ Al-Mukhtashar min Al-Sunan ‘an Rasulillah 2) Tawarikh

3) Al-Ilal

4) Al-Ilal Al-Kabir 5) Syama’il

6) Asma Al-Shahabah

2 Masjfuk Zulni. Pengantar : ILMU HADITS, Pustaka Prdgressif , Surabaya,lm

1置置.

(4)

7) Al-Asma’ wal Kuna 8) Al-Atsar Al-Mawqufah.3

Karya beliau yang terkenal adalah Jami’ atau Sunan Al-Tirmidzi. Penulisan kitab ini diselesaikan pada tanggal 10 Dzulhijjah 270 H. salah satu buku syarah yang mengomentari Kitab Sunan Al-Tirmidzi ini adalah karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat Al-Ahwadzi.

Beliau menyusun satu kitab Sunan dan kitab ‘Ilal Al-Hadits. Setelah selesai menulis kitab ini, menurut pengakuannya, Hijjaz, Iraq dan khurasan meridhainya serta menerimanya dengan baik. “Barang siapa yang menyimpan kitab saya ini dirumahnya” kata beliau,”seolah-olah di rumahnya ada seorang nabi yang selalu bicara”. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mul (dapat diamalkan). Beliau wafat di Turmudz pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H(829 M).

c. Nasa’i

Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H.

Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.

Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk

3 Munzier Suparta,Ilmu Hadits,PT Raja Grafnnd Persana,Jakarta,2008,lm 2置7.

(5)

guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.

Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.

Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi.

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin Khadir Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.

Karya – karyanya : 1) Al-Sunan Al-Kubra 2) Al-Sunan Al-Mujtaba’ 3) Kitab Tamyiz

(6)

4) Kitab Al-Dhu’afa’ 5) Khasha’ish ‘Ali 6) Musnad ‘Ali 7) Musnad Malik 8) Manasik Al-Hajj 9) Tafsir

Dari sekian banyak karyanya tersebut, yang utama ialah Sunan Al-Kubra yang akhirnya terkenal dengan Sunan Al-Nasa’i. Pada mulanya penyusunan kitab ini dimaksudkan sebagai hadiah buat Gubernur Ramlah. Kitab Sunan ini adalah Kitab sunan yang muncul setelah Shahihain yang paling sedikit hadits dhaifnya, tetapi paling banyak perulangannya. Bahkan hadits tentang niat diulangnya sampai 16 kali. Setelah Imam Al-Nasa’i selesai menyusun Sunan Kubra, beliau lalu menyerahkannya kepada Amir Al-Ramlah. Setelah beberapa dekade, sunan Al-Nasa’i ini mendapat komentar pendek dari Al-Suyuti yang tertuang dalam kitab Zahrur Raba’ ala Al-Mujtaba.

Beliau wafat pada hari Senin 13 Shafar 303 H (915 M) di Al-Ramlah. Menurut satu pendapat, meninggal di Mekkah yakni saat beliau mendapat percobaan di Damsyik meminta supaya dibawa ke Mekkah, sampai beliau meninggal dan kemudian di kebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwa.

d. Abu Daud

Beliau bernama Imam Al Hafidz Al Faqih Sulaiman bin Imron bin Al Asy`ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron atau disebut dengan Amir- Al Azdy As Sajistaany, dan dilahirkan pada tahun 202 H/817M di kota Sajistaan, menurut kesepakatan referensi yang memuat biografi beliau,demikian juga didasarkan keterangan murid beliau yang bernama Abu Ubaid Al Ajury ketika beliau wafat,ketika berkata: aku telah mendengar dari Abi Daud ,beliau berkata : Aku dilahirkan pada tahun 202 H / 817 M (Siyar A`lam An Nubala` 13/204) . Bapak beliau yaitu Al Asy`ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits

(7)

yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadits dari para ulama ahlil hadits. Maka berkembanglah Abu Daud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits, sehingga beliau mengadakan perjalanan (Rihlah) dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun. Beliau memulai perjalanannya ke Baghdad (Iraq) pada tahun 220 H/835M dan menemui kematian Imam Affan bin Muslim, sebagaimana yang beliau katakan : “Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya” (Tarikh Al Baghdady 9/56). Walaupun sebelumnya beliau telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistaan, seperti Khurasan, Baghlan, Harron, Roi dan Naisabur.

Riwayat Perjalanan

1) Tahun 221H/836M beliau datang ke Kufah dan mengambil hadits dari Al Hafidz Al Hasan bin Robi` Al Bajaly dan Al Hafidz Ahmad bin Abdillah bin Yunus Al Yarbu`iy (mereka berdua termasuk dalam guru-gurunya Imam Muslim).

2) Sebelumnya beliau berkelana ke makkah dan meriwayatkan hadits dari Abdulloh bin Maslamah Al Qo`naby (Wafat tahun 221 H/836M).

3) Di Damaskus mengambil hadits dari Ishaq bin Ibrohim Al Faradisy dan Hisyam bin Ammaar.

4) Tahun 224 H/839M pergi ke Himshi dan mengambil hadits dari Imam Hayawah bin Syuraih Al Himshy.

5) Mengambil hadits dari Ibnu Ja`far An Nafiry di Harron

6) Di Halab mengambil hadits dari Abu Taubah Robi` bin Nafi` Al Halab 7) Di Mesir mengambil hadits dari Ahmad bin Sholeh Ath Thobary,

kemudian beliau tidak berhenti mencari ilmu di negeri-negeri tersebut

(8)

bahkan sering sekali bepergian ke Baghdad untuk menemui Imam Ahmad bin Hambal disana dan menerima serta menimba ilmu darinya.Walaupun demikian beliaupun mendengar dan menerima ilmu dari ulama-ulama Bashroh, seperti: Abu Salamah At Tabudzaky, Abul Walid Ath Thoyalisy dan yang lain-lainnya. Karena itulah beliau menjadi seorang imam ahlil hadits yang terkenal banyak berkelana dalam mencari ilmu.

Karya – karyanya : 1) Al-Marasil

2) Masa’il Al-Imam Ahmad 3) Al-Nasikh wa Al-Mansukh 4) Risalah fi Washf Kitab Al-Sunan 5) Al-Zuhd

6) Ijabat ‘an Sawalat Al-‘Ajuri 7) As’ilah’an Ahmad ibn Hanbal 8) Tasmiyat Al-Akhwan

9) Qaul Qadr

10)Al-Ba’ts wa Al-Nusyur

11)Al-Masa’il allati Halafa Al-Anshar 12)Dala’il Al-Nubuwwat

13)Fadha’il Al-Anshar 14)Musnad Malik 15)Al-Du’a

16)Ibtida’Al-Wahyi

17)Al-Tafarrud fi Al- Sunan 18)Akhbar Al-Khawarij 19)A’lam Al-Nubuwwat 20)Sunan Abu Daud4

2. Muhammad Al-Thabrani

Munzier Suparta,Ilmu Hadits,PT Raja Grafnnd Persana,Jakarta,2008,lm

2置3-2置置

(9)

Ia adalah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani, lahir pada tahun 260 H. At-Thabbrani diambil dari kata Thabariyah nama sebuah kota di Palestina. Ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah dan negara untuk mendapatkan hadits.

Karangannya yang terkenal ialah Kitab Al-Mu’jam.

Nama lengkapnya adalah Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Muthoir Al Lakhmi Asy Syami At Thabrani rahimahullah ta’ala. Dia adalah seorang Imam yang Hafidz dan Tsiqoh yang suka bepergian dan melancong, seorang Muhaditsul Islam dan jembatan para penyeberang ilmu.

Beliau dilahirkan pada bulan Safar tahun 260 H di kota ‘Uka tempat asal ibunya.

a. Sifat-sifatnya

Ibnu Mandah mengatakan; Telah sampai berita kepadaku bahwa At Thabrani adalah orang yang baik penampilannya.

Ad Dzahabi mengatakan: Kedua matanya menjadi buta pada akhir hayatnya. At Thabrani mengatakan,”Orang-orang zindiq telah menyihirku.” Suatu saat muridnya yang bernama Hasan Al Aththar bermaksud menguji penglihatan At Thabrani dengan mengajukan pertanyaan,”Berapakah jumlah pasak yang berada di atas atap itu?”Ia menjawab,”Aku tidak tahu, namun cincinku telah diukir oleh Sulaiman bin Ahmad yang indah.”

b. Perjalanannya dalam menuntut ilmu.

Beliau pertama kali mendengar hadits ketika berusia 13 tahun di daerah Tibriyah. Kemudian beliau pergi ke Al Quds tahun 74 H, lalu menuju Qoisariyah pada tahun 75 H. dan beliau mendengar dari para sahabat Muhammad bin Yusuf Al Firyabi. Kemudian beliau bersafar ke Hims, Jabalah, kota-kota di Syam dan Hajj dan Ke Yaman kemudian kembali ke Mesir, Barqoh kemudian ke Irak dan Asfahan dan sampai di sana tahun 290 H. lalu beliau keluar darinya. Dia juga pergi ke Al

(10)

Jazirah, Persi, dan terakhir kembali ke Asbahan dan menetap. Kemudian menjadi muhaddits di sana sampai beliau wafat.

Dia mendengar hadits dari negeri Haramain, Yaman, Madain Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Bashroh, Ashbahan, Khuzistan, dan yang lain-lainnya. Kemudian tinggal di Ashbahan selama 60 tahun menyebarkan ilmu dan mengarang kitab. Kemudian sampai ke Irak setelah kosong dari Mesir, Syam, Hijaz dan Yaman. Seandainya ia menuju Irak lebih dahulu, maka ia akan menemukan sanad yang banyak.

Adz Dzahabi mengatakan: Pertama kali ia mencari ilmu pada tahun 273 H. Ia diajak oleh ayahnya, seorang ahli hadits dari kawasan Duhaim. Perjalanan pertama kalinya ia lakukan pada tahun 275 H.

Ia terus menerus melakukan perjalanan mencari ilmu dan menemui para ahli hadits selama 16 tahun.

Ia menulis para ahli hadits salaf (yang terdahulu) maupun muta’akhirin (yang belakangan) sampai ia menemukan kecakapan dalam bidang ini.

Ia mengumpulkan ilmu dan mengarang karya ilmiah, diberikan umur yang panjang dan didatangi para ahli hadits dan para pencari ilmu dari berbagai negeri.

Ia telah menemui teman-teman Yazid bin Harun, Ruh bin Ubadah, Abu Ashim, Hajjaj bin Muhammad dan Abdurrozaq. Ia terus menulis para tokoh hadits sampai menulis teman-temannya sendiri.

c. Cerita-cerita lucu tentangnya

Abu Bakar bin Mardawih dalam buku tarikhnya mengatakan : Tatkala At Thabrani datang yang kedua kalinya ke Asfahan pada tahun 310 H, ia disambut oleh gubernur Abu Ali Ahmad bin Rustum dengan menciuminya, memeluknya, memberikan pertolongan yang baik kepadanya, dan memberikan bagian tertentu yang diambilkan dari Darr Al Kharaj. Pemberian tersebut ia terima sampai ia meninggal dunia.

Ia memberikan nama kunyah kepada anaknya,Muhammad, dengan Abu Dzar, nama kunyah anaknya, Ahmad.

(11)

Al Hafidz Abu Nu’aim mengatakan : Aku mendengar Ahmad bin Bandar mengatakan,”Aku masuk ke Al Askar pada tahun 280 H. Di sana aku menghadiri majelis Abdan. Suatu saat ia keluar menuju majlis untuk keperluan membacakan hadits kepada murid-muridnya. Salah seorang murid mengatakan,”Kami sudah siap jika kamu ingin membacakan hadits.” Abdan mengatakan,”Kita menunggu hadirnya At Thabrani.” Beberapa saat setelahnya datanglah Abul Qosim Ath Thabrani dengan mengenakan kain sarung dan membawa beberapa juz kitab. Kedatangannya tersebut diikuti oleh sekitar dua puluh orang asing dari berbagai negeri. Dengan datangnya At Thabrani , maka beliaulah yang membacakan hadit pada majelis tersebut.

Ibnu Mandah mengatakan : Aku menemukan tulisan Abu Ja’far Al Faqih sebagai berikut :

“Abu Umar bin Abdil Wahab As Sulami menceritakan kepadaku,”Aku mendengar At Thabrani mengatakan,”Ketika Abu Ali bin Rustum bin Faris datang, maka aku masuk ke tempatnya. Dalam tempat tersebut aku melihat ada salah satu sekretaris yang masuk dan mengalirkan uang lima ratus dirham ke kakinya. Setelah sekretaris tersebut keluar dari ruangan, uang tersebut diberikan kepadaku. Sesaat kemudian datang ibunya, Ummu Adnan yang juga mengalirkan uang lima ratus dirham ke kakinya. Lalu aku bangkit dari tempat dudukku. Tingkahku ini menyebabkan ia berkata kepadaku,”Kemana kamu akan pergi?” Aku menerangkan bahwa aku berdiri dari tempat dudukku agar tidak dikatakan duduk di majelisnya untuk mendapatkan uang. Lalu dia mengatakan,” Ambillah ini!” Aku meninggalkannya dan tidak pernah datang kepadanya lagi ketika pembicaraannya sudah sampai mencerca Abu bakar dan Umar radhiyallu anhuma.”

Abu Zakariya Yahya bin Mandah mengatakan,”Aku mendengar guru-guru terpercaya kami menceritakan,”Suatu saat Abul Qosim At Thabrani membaca hadits riwayat Ikrimah tentang melihat Allah di akhirat. Namun Thabathaba Al Alawi mengecamnya dan melemparinya dengan buku yang ada di depannya. Melihat hal ini, At Thabrani

(12)

membalasnya dengan kata-kata yang di antara kata-kata tersebut adalah : Kamu suka banyak bicara dan terlena dengan apa yang kamu lakukan, sementara Hari Kiamat tidak kamu ingat.” Lalu Ibnu Thabathaba menyesal atas perbuatannya itu dan meminta maaf kepada At Thabrani.

Kemudian Ibnu Mandah mengatakan : Telah sampai kepadaku bahwa At Thabrani adalah orang yang cerdas dan kuat hafalannya. Pada suatu hari Abu Thahir bin Luqa membaca hadits,”Rasulullah Saw. membasuh batu-batu kecilnya yang digunakan untuk melempar jumroh (hasha jimarih).” Namun Abu Thahir bin Luqa membacanya dengan,”Rasulullah membasuh buah dzakar keledainya (hasha khimarih).”

Lalu at Thabrani mengatakan kepadanya,”Wahai Abu Thahir, apa maksud Rasulullah Saw. melakukan itu?” Abu Thahir berkata,”Untuk menunjukkan sikap tawadhu.”

Abu Thahir adalah seorang pelupa maka wajar jika dia salah mengucapkan hadits seperti di atas. Pada suatu hari At Thabrani mengatakan kepadanya : Kamu adalah seperti anakku yang masih kecil. Abu Thahir berkata,Cih kamu juga.

d. Guru-gurunya

Beliau mendengar hadits dari Hasyim bin Martsad At Thobroni, Ahmad bin Mas’ud Al Khoyyat, ‘Amru bin Abi Salamah At Tunisi, Ahmad bin Abdullah Al Lihyani (pemilik Kitab Adam), ‘Amru bin Tsaur di Qoisariyah, Ibrohim bin Abi Sufyan (pemilik Kitab Al Firyabi) dan dari ribuan syaikhnya yang lain, bahkan lebih.

Beliau meriwayatkan hadits dari Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Ishaq bin Ibrohim Ad Dabari, Idris bin Ja’far Al Attor, Bisyr bin Musa, Hafs bin Umar Sanjah, Ali bin Abdul Aziz Al Baghowi Al Mujawir, Miqdam bin Dawud Ar Ruaini, Yahya bin Ayyub Al ‘Alaf, Abdullah bin Muhammad bin Said bin Abi Maryam, Ahmad bin Abdul Wahab Al Khauti, Ahmad bin Ibrohim bin Fill Al Balisi, Ahmad bin Ibrohim Al Busri, Ahmad bin Ishaq bin Ibrohim bin Nabit Al Asyja’I, Ahmad bin Ishaq Al Khosyab, Ahmad bin Dawud Al Mishriy Al Makiy, Ahmad bin

(13)

Muhamad bin Yahya bin Hamzah, Al Butalhi, Ahmad bin Kholid Al Halbi, Ahmad bin Ziyad Ar Roqi Al Hadza’, Ibrohim bin Suwaid As Syibami, Ibrohim bin Muhammad bin Barroh As Shon’ani, Al Hasan bin Abdul A’la Al Bausiy, Bakr bin Sahl Ad Dimyati, Habbusy bin Rizqillah Al Mishriy, Abu Zanba’ Rouh bin Al Farj Al Qotton, Al Abbas bin Al Fadhl Al Asfati, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Al Husain Al Mushshi, Abdurrohim bin Abdullah Al Barqi, Ali bin Abdussomad, Abu Muslim Al Kajji, Ishaq bin Ibrohim Al Mihri Al Qotton, Idris bin Abdulkarim Al Haddad, Ja’far bin Muhammad Ar Romli Al Qolanisi, AL Hasan bin Sahl Al Mujawwiz, Zakaria bin Hamdawih As Sofar, Utsman bin Umar Ad Dzobi, Muhammad bin Muhammad At Tamar, Muhammad bin Yahya bin Al Mundzir Al Qozzaz, Muhammad bin Zakaria Al Gholabi, Muhammad bin Ali As Soigh, Abu ‘Ulatsah Muhammad bin Amru bin Kholid Al Khoroni, Muhammad bin Asad bin Yazid Al Ashbahani, menceritakan kepadanya dari Abu Dawud At Thoyalisi, Muhammad bin Mu’adz, Abu Abdurrohman An Nasa’I, Ubaidullah bin Rumhisi, Harun bin Malul.

At Thabrani juga meriwayatkan dan mendengar dari Hasym bin Martsad At Thobroni, Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Ishaq bin Ibrohim Ad Dabari, Idris Al ‘Ator, Bisyr bin Musa, Ali bin Abdul Aziz Al Baghowi, An Nasai, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ayyub Al Alaf.

e. Murid-muridnya

Yang menceritakan dari beliau adalah Abu Kholifah Al Jumhi, Al Hafidz ibnu ‘Uqdah (syaikhnya), Ahmad bin Muhammad bin Ibrohim As Sihaf, Ibnu Mundah, Abu Bakar bin Mardawih, Abu Umar Muhammad bin Al Husain Al bastomi, Abu Nuaim La ashbahani, Abul Fadhl Muhammad bin ahmad Al Jarudi, Abu Sa’id An Nuqosy, Abu bkar bin Abi Ali Adz Dzakwan, Ahmad bin Abdurrohman Al azdi, Al Hudsain bin Ahmad bin Al Marzaban, Abul Husain bin Fadsyah, Abu Sa’d Abdurrohman bin Ahmad As Sofar, Ma’mar bin Ahmad bin Ziyad, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah Ar Ribati, Al Fadhl bin Ubaidillah bin Syahriyar, Abdul wahid bin ahmad Al Baturqini, Ahmad bin

(14)

Muhammad bin Ibrohim Al Ashbahani, Ali bin Yahya bin Abdu Kawih, Muhammad bin Abdullah ibnu Syimah, Basyru bin Muhammad Al mUhini, Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Ridzah At Tajir, Abul Qosim Abdurohmanbin abi Bakar Adz Dzakwan.

Yang meriwayatkan hadits beliau yang berasal dari syaikh-syaikhnya yaitu Abu Khalifah Al Jumahi, Ibnu Uqdah.

Yang meriwayatkan hadits beliau selain dari syaikh-syaikhnya yaitu Abu Bakar bin Mardawih, Abu Nu’aim Al Hafidz Al Kabir Muhadits kontemporer, Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Mahrani Al Ashbahani, Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad Al Jarudi, Abul Husain bin Fadhsyah,dan Ibnu Roidhah.

f. Ketenaran ilmu beliau dan tanggapan para ulama mengenai beliau Karena keluasan ilmiyahnya dan dalamnya ilmunya, Imam Adz Dzahabi menjulukinya (Musnidud Dunya) sedangkan As Suyuthi menjulukinya (Musnidud Dunya wa Ahadu Farsani hadza Sya’ni).

Ibnu Asakir berkata : beliau adalah salah satu penghafal hadits yang banyak dan rihlah (perjalanan dalam mencari hadits) nya paling banyak.

Ibnu Abdul Hadi Al Hambali berkata : Al Imam Al Alamah Al Hafidz Al Kabir Ats Tsabat, Musnidud Dunya…. sampai beliau berkata farsani hadza sya’ni yang jujur dan amanah.

Ibnu Mundah berkata : Salah satu dari banyak huffadz yang ada. Al Hafidz Abul Abbas Ahmad bin Manshur As Syirozi berkata : Aku menulis dari At Thabrani 300 ribu hadits, dan dia adalah orang yag tsiqoh.

Ad Dzahabi berkata : Beliau adalah orang yang tsiqoh, jujur, luas hafalannya, mengetahui ‘ilal dan rijal dan bab-bab, serta karya-karya benyak.

Ibnul Amid berkata : Aku tidak mengira kalau di dunia ini ada kelezatan yang lebih lezat dari kekusasaan sedangkan aku menjadi menteri di dalamnya sampai aku melihat hafalan Sulaiman bin Ahmad At Tabhrani dan Abu bakar Al Jandi di hadapanku. Adapun At Tabroni

(15)

mengalahkan Al Ju’abi dalam hafalannya. Dan Al Ju’abi mengalahkan kecerdasannya. Dan kecerdasan Ahlu Baghdad sampai terangkat suara keduanya. Hampir-hampir saja mereka saling mengungguli. Al Ju’abi berkata,”Aku mempunyai sebuah hadits yang tidak ada di dunia selain milikku.” Maka dia berkata,”Coba sebutkan!” Dia berkata,”Menceritakan kepadaku Abu Khalifah, menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ayyub dan menceritakan sebuah hadits. Maka Thabrani berkata,”Aku adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub dan dariku Abu Kholifah mendengar. Maka dengarkanlah aku sampai sanadmu meninggi . dan tidak meriwayatkan Abu Kholifah kecuali dariku. Al Ju’abi keget dan At Tabrani menggunggulinya.

Beliau mendapatkan keluasan ilmu yang diberikan Allah ta’ala dalam kemampuannya untuk menghafal dan mengadakan perjalanan yang banyak dan jauh, serta mengambil ilmu dari ahlinya, dan banyak syaikhnya yang sebagai muhaddits, ahli fiqih, ahli bahasa, ahli nahwu, ahli tafsir, Qori dan lain sebagainya. Kemudian Allah juga memberikan kesabaran kepada beliau.

At Thabrani pernah ditanya tentang banyaknya hafalan hadits, maka dia berkata,”Aku tidur di atas karpet 30 tahun.

Al Hafidz Abu Abdillah bin Mandah mengatakan,”Abul Qosim At Thabrani adalah salah satu hafidz yang agung.”

Adz Dzahabi mengatakan : At Thabarani adalah seorang imam, al hafidz, tsiqoh, ulama yang banyak melakukan perjalalanan, ahli hadis dan bendera para penyeberang lautan ilmu.

Tidak henti-hentinya hadits-hadits yang disampaikan At Thabrani dituju, disenangi, dan diambil orang, lebih-lebih pada masa temannya, Ibnu Ridzah, pada masa itu banyak para pencari ilmu yang menimba ilmu darinya. As Salafi telah mencatat ada sekitar seratus orang yang menjadi muridnya.

Al Hafidzh Sulaiman bin Ibrohim mengatakan : Ibnu Mardawih pernah mempunyai rasa benci terhadap At Thabrani sehingga mengucapkan sesuatu yang bernada mengejeknya. Maka Abu Nuaim

(16)

berkata kepadanya,”Berapakah hadits yang kamu tulis darinya wahai Abu Bakar?” Ibnu Mardawih berisyarat pada beberapa tumpukan berkas. Lalu Abu Nuail bertanya,”Apakah kamu melihat orang yang menyamainya?” Ibnu Mardawih tidak menjawab pertanyaan ini.

Muhammad bin Al Haitsam menceritakan bahwa ia mendengar Abu Ja’far bin Abi As Sirri mengatakan,”Aku bertemu dengan Ibnu Uqdah di Kufah. Aku memohon kepadanya untuk mengulangi apa yang aku tertinggal darinya. Namun, ia menolak untuk mengulangi. Aku pun meminta dengan keras agar dia tetap mengulanginya. Kemudian dia berkata,”Dari negeri manakah kamu?” Aku menjawab,”Dari Asfahan.” Ia berkata,”Mereka adalah Nasibah, kelompok yang membenci Ali. Aku berkata,”Syiah (pendukung) Muawiyah?” Aku berkata,”Demi Allah tidak, mereka adalah Syiah Ali. Imam Ali bagi setiap penduduk Asfahan adalah lebih berharga daripada kedua mata dan keluarga mereka.” Ibnu Uqdah pun mau mengulangi apa yang aku telah tertinggal darinya. Kemudian ia berkata kepadaku,”Aku mendengar dari Sulaiman bin Ahmad Al Lakhami. Aku berkata,”Tidak!”Ia berkata,”Subhanallah! Abul Qosim (Sulaiman bin Ahmad At Thabrani) di negerimu, sedangkan kamu tidak mau mendengar darinya. Kalau begitu aku yang berada di Kuffah merasa sakit hati. Aku tidak mengetahui seorang pun yang dapat menandingi keilmuannya, aku telah mendengar hadits darinya dan dia mendengar hadits dariku.

Ad Dawudi mengatakan,”At Thabrani adalah imam yang dijadikan hujjah para al Hafidz dan menjadi sanad dunia.

Sulaiman bin Ibrohim Al Hafidz berkata : Abu Ahmad Al ‘Assal Al Qodhi berkata,”Jika aku mendengar dari At Thabrani 20 ribu hadits dan mendengar darinya Abu Ishaq bin Hamzah 30 ribu, dan mendengar darinya Abu Syaikh 40 ribu, kita telah sempurna. Aku Berkata : Merekalah para syaikh Asbahan.

Abu Bakar bin Abi Ali Al Muaddil mengatakan : At Thabrani lebih masyhur daripada kelebihan-kelebihannya yang disebut-sebut. Ia adalah orang yang luas ilmunya dan banyak karya-karyanya.

(17)

Wafatnya

Beliau meninggal pada dua hari terakhir pada bulan Dzulqo’dah tahun 360 berarti genap 100 tahun dan 10 bulan. Dia termasuk Ma’marin dan dikuburkan di samping kuburan sahabat yang syahid Khumamah bin Abi Khamamah Ad Dausi di pintu kota Asbahan. Al Hafidz Abu Nu’aim Al Ashbahani menyolatkanjenazahnya dan hadir di pemakamannya.

Al Hafidz Abu Nu’aim berkata : At Thabrani meninggal pada tanggal 29 Dzulqo’dah tahun 360 H di Asfahan. Sedangkan anaknya Abu Dzar meninggal pada tahun 399 H dalam umur lebih dari enam puluh tahun.

g. Karya-karyanya

1. Al Mu’jam Al Kabir : Kitab ini merupakan musnad, hanya saja tidak menyebutkan Musnad Abu Huroiroh.

2. Al Mu’jam Al Ausath : Dalam enam jilid besar. Kitab ini berisi tentang ensiklopedi guru-gurunya. Setiap gurunya disebutkan cerita-cerita ajaib dan mengherankan. Dan ini adalah cerminan kitab Al Afrod milik Daruqutni. Diterangkan di dalamnya kemuliannya dan luasnya riwayatnya. Dan beliau berkata : Kitab ini adalah ruhku. Di dalamnya juga ada hadits nafis, aziz dan munkar.

3. Al Mu’jam As Shogir : Kitab ini pada setiap syaihknya terdapat satu hadits, terkadang lebih.

Karya beliau yang lain adalah Ad Dua dalam jilid yang besar, As Sunnah, Dalailun Nubuwah, Hadit Syamiyin, At Thuwalat, An Nawadir, Musnad Sufyan, Al Awail.

Dan mempunyai kitab tafsir juga diantaranya : Musnad Syu’bah, Musnad Asyrah,Musnad Aisyah, Musnad Ubadalah, Musnad Abu Huroiroh, At Tafsir.

Kitab-kitab beliau yang lain adalah Akhbar Umar bin Abdul Aziz, ‘Isyroton Nisa, Al Faroidh, Fadhlu Romadhon, , Ar Romyu, Al

(18)

Manasik, Ma’rifatu Sohabah, Al Ilmu, Ar Ru’yah Fadhlul Arob, Al Juud, Manaqibu Ahmad, Kitabul Asyribah, Kitabul Uluwiyah fi Khilafati Abu Bakr wa Umar.

h. Maraji’ :

1. Siyaru A’lamin Nubala karangan Imam Adz Dzahabi

2. Mu’jamul Ausath lil Hafidz Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad At Thabrani (ditahqiq oleh Abu Mu’adz Thoriq bin ‘Iwadhillah bin Muhammad dan Abul Fadhl Abdul Muhsin bin Ibrohim Al Hasini) 3. Mu’jamul Kabir lil Hafidz Abul Qosim Sulaiman bin Ahmad At

Thabrani

4. 60 Biografi Ulama Salaf karangan Syaikh Ahmad Farid

3. Al-Hakim

Ia adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Hamdawaih Al-Hakim An-Naisaburi , lahir di Naisabur pada tahun 321 H. ia terkenal dengan nama Al-Hakim atau Ibnul Bayyi’. Al-Bayyi’ adalah nama salah seorang nenek moyangnya. Ia pernah menjadi Hakim di Naisabur pada tahun 359 H dan pernah pergi dua kali ke Iraq dan Hijjaz. Ia suka mengadakan diskusi dengan para ulama hadits tentang masalah-masalah hadits.

Karangannya banayak sekali, dapat mencapai 1.500 juz, antara lain : Ma’rifat Ulum Al-Hadits. Dan yang sangat terkenal dan terpenting ialah Al-Mustdarku ‘ala As-Shohihain. Ia wafat di Naisabur pada tahun 405 H.

4. An-Nai Saburi

Salah seorang penulis kitab hadits yang cukup terkenal adalah Imam

Muslim. Karya-karya beliau cukup banyak, dan menjadi salah satu referensi bagi para ulama fiqh. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur

(19)

pada

tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain

Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar

biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara.

Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan

untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada

Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli

hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau

(20)

lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam

Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.

Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari

kedua gurunya itu. Kendatipun

demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di

dunia ini

orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy

Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

a. Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih

dikenal dengan nama Imam

Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi

akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.

(21)

Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih

Bukhari, kitab

tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.

b. Kitab Shahih Muslim

Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.

Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud

mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad.

Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.

Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.

Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan

(22)

pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

c. Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4)

Al-Intifa bi Juludis

Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’,

10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin

Hanbal, 13) Thabaqat, 14) I’lal, 15) Mukhadhramin, 16) Al-Musnad

al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.

Kitab-kitab

nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

d. Wafatnya Imam Muslim

Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala

kesalahannya, serta

menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.

5. Al-Baihaqi

Imam Baihaqi dilahirkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naysabur di Persia (sekarang provinsi Khorasan, Iran) pada tahun 994.

(23)

Ia mempelajari hadist dan mendalami fiqh mazhab Syafi'i, dan dalam hal akidah mengikuti mazhab Asy'ari. Dalam pencarian ilmunya, ia mendatangi para ulama di Baghdad, Kufah, dan Mekkah, sebelum akhirnya kembali lagi ke Baihaq.

a. Pengajaran

Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi'i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi'i. Imam al-Haramain al-Juwaini berkomentar tentang pemahaman Imam Baihaqi terhadap mazhab Syafi'i:

"Tidak ada pengikut mazhab Syafi'i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena

karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi'i." Sedangkan Imam adz-Dzahabi pernah berkata mengenai keluasan ilmunya, bahwa kalau Al- Baihaqi menghendaki, maka ia mampu membuat mazhab sendiri karena keluasan ilmu dan pemahamannya akan masalah-masalah khilafiyah.

b. Karya-karya

 Beberapa karya Imam Baihaqi, antara lain:

 Al-Sunan al-Kubra

 Ma`arifa al-Sunan wa al-Athar

 Bayan Khata Man Akhta`a `Ala al-Shafi`i

 Al-Mabsut

 Al-Asma’ wa al-Sifat

 Al-I`tiqad `ala Madhhab al-Salaf Ahl al-Sunna wa al-Jama`a

 Dala’il al-Nubuwwa

 Shu`ab al-Iman

 Al-Da`awat al-Kabir

 Al-Zuhd al-Kabir

 Al-Arb`un al-Sughra

 Al-Khilafiyyat

(24)

 Fada’il al-Awqat

 Manaqib al-Shafi`i

 Manaqib al-Imam Ahmad

 Tarikh Hukama al-Islam

c. Wafat

Imam Baihaqi wafat di Naysabur pada tahun 1066 dan dimakamkan di Khasrujard. 5

6. Ibnu Shalah

a. Mengenal Pribadi Ibnu Shalâh

Nama aslinya Taqiyyuddîn Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa al-Kurdi al-Syahrazuri. Ibnu al-Shalâh sendiri awalnya adalah julukan ayahnya, lalu whatdinisbatkan kepada Abu ‘Amr sehingga sampai sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Shalâh. Tanah Syarkhân, yaitu sebuah desa yang terletak dekat Syahrazur, kawasan Irbil di selatan Irak adalah saksi bisu di mana Ibnu Shalâh dilahirkan, pada tahun 577 H/1181 M. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berada nan agamis.

Ayahnya, Abdurrahman, adalah seorang ulama terkemuka yang dikenal sebagai pakar fikih madzhab Syafi’i. Oleh sebab itu, sejak kecil ia mulai dikenalkan dengan fikih oleh ayahnya sendiri. Meskipun masih tergolong belia, namun Utsman kecil telah mampu menyerap berbagai pelajaran dari ayahnya. Tak tanggung-tanggung ia telah berulang kali menghatamkan kita “Muhadzdzab” dan mempelajari berbagai macam dalil yang ada di dalamnya. Fase berikutnya, Ibnu Shalâh diutus oleh ayahnya untuk berhijrah ke Maushul untuk menuntut disiplin ilmu lainnya. Di sana ia benar-benar rajin belajar sehingga mampu menguasai berbagai ilmu seperti: fikih, ushul fikih, tafsir, hadits, bahasa dan lain sebagainya.

b. Petualangan Ibnu Shalâh dalam Mencari Ilmu

Mursi, Muhammad Sa'id. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan Lc. MAg, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

(25)

Ibnu Shalâh tergolong sebagai sosok petualang sejati. Ia berpetualang ke berbagai negeri Islam dalam rangka mencari ilmu, sebagaimana yang pernah dilakukan dan menjadi sunnah hasanah para ulama terdahulu. Terutama sebagaimana yang lazim ditempuh oleh para ulama hadits, mereka rela bepergian dari satu kota ke kota lainnya, dari satu negeri ke negeri lainnya hanya demi mendapatkan (mendengarkan) sebuah hadits. Fakta sejarah ini terekam dalam sebuah karangan imam Abu Bakar Khathîb Baghdâdi bertajuk “Rihlatu fî Thalabi al-Hadîts”.

Dalam kitab Ulûm al-Hadîts atau yang lebih dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu al-Shalâh juga dicantumkan berbagai riwayat terkait petualangan para sahabat dan tabi’in dalam mendapatkan hadits. Yaitu sebagaimana termaktub dalam pembahasan bagian ke-28, tentang ma’rifatu âdâbi thâlibi al-hadîts dan pembahasan ke-29 tentang ma’rifatu al-isnâd al-‘âli wa al-nâzil. Maka, bagi yang ingin membaca lebih detail seputar riwayat-riwayat tersebut, silahkan langsung merujuk ke kitab tersebut.

Dalam rangkaian petualangannya, Ibnu Shalâh tercatat telah mengunjungi berbagai ibukota penting negara-negara Islam. Setelah bermukim di Maushul selama beberapa tahun, beliau lalu hijrah ke Baghdad, ke Khurasan dan kemudian melanjutkan ke Syam. Dalam persinggahannya di beberapa kota tersebut, beliau belajar kepada para ulama setempat dan secara khusus mendalami ilmu hadits, sampai beliau menguasainya.Ketika di Maushul beliau sempat berguru pada beberapa ulama terkemuka di sana, antara lain; ‘Ubaidillah bin al-Samîn, Nashrullah bin al-Salâmah, Mahmoud bin Ali al-Maushili dan lain sebagianya. Di Baghdad beliau berguru kepada Abi Ahmad bin Sukainah dan Abi Hafsh bin Thabarzad. Sedangkan ketika di Hamadan, beliau belajar dari Abi al-Fadhl bin al-Mu’azzam. Di Naisabur beliau menimba ilmu pada sejumlah besar ulama’ di sana, antara lain; Abi al-Fath Manshur bin Abdil Mun’im bin al-Furâwiy, Mu`ayyid bin Muhammad bin Ali al-Thûsi, Zainab binti Abi al-Qâsim al-Sya’riyyah

(26)

dan lain-lainya. Dan masih banyak lagi guru-guru Ibnu Shalâh yang tersebar di berbagai tempat yang pernah ia singgahi.

c. Kondisi Sosio-Politik Di Masa Hidup Ibnu Shalâh

Semasa hidup, Ibnu Shalâh termasuk salah satu ulama yang beruntung karena mendapati sebuah miliu yang kondusif, stabil dan mendukung aktivitas keilmuan. Beliau hidup di masa kesultanan Ayyubiyyah, yang dikenal dengan keberanian dan kepahlawanan mereka. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai pemimpin-pemimpin yang adil, bijaksana dan selalu melakukan perbaikan di berbagai wilayah yang telah mereka kuasai. Tak hanya itu, mereka sangat sadar bahwa kemenangan mereka dalam pertempuran tidak akan sempurna jika tak diiringi dengan kemajuan di bidang peradaban, yang mana pilar-pilarnya adalah ilmu pengetahuan.

Oleh karena itu, pemerintah berjihad untuk menggalakkan ilmu pengetahuan, dengan jalan mendirikan berbagai madrasah dan pesantren. Kondisi seperti ini tentu saja memberikan peluang yang sangat besar kepada umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain Ibnu Shalâh, berbagai ulama lainnya pun muncul dalam spesifikasi ilmu yang beraneka ragam. Di antaranya seperti Abdul Ghani al-Muqaddasi (w. 600 H), Ibnu al-Atsîr al-Jazariy (w. 606 H), Ibnu ‘Asâkir al-Qâsim Bahâ`uddîn Abu Muhammad al-Dimasyqi (w. 600 H) dan lain sebagainya.

Kota Syam kala itu termasuk salah satu kota yang terkenal memiliki banyak pesantren dan perguruan tinggi. Di negeri ini pulalah tertancap kokoh sebuah madrasah yang secara khusus mengajarkan disiplin ilmu hadits. Adapun tokoh pertama yang mempelopori madrasah ini adalah Imâm Hâfidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khathîb al-Baghdâdi (w. 463 H). Beliau berhijrah dari Baghdad dengan membawa berbagai karangannya menuju Damaskus untuk diajarkan di sana.

Setelah kepergian al-Khathîb al-Baghdâdi, Ibnu Shalâh kemudian menggantikan beliau sebagai pengajar ilmu hadits. Ibnu Shalâh seperti menerima tampuk kepemimpinan untuk mengabdikan

(27)

dirinya di Syam. Pada waktu itu, Ibnu Shalâh meminta kepada ayahnya untuk pindah ke Halab guna mengajar di Madrasah Asadiyyah yang berada di sana. Semenjak itulah ayah beliau mengajar di Halab dan meninggal di kota itu pada tahun 618 H.

Salah satu fase terpenting dalam hidup Ibnu Shalâh adalah ketika beliau berada di Damaskus. Di sanalah beliau benar-benar mencapai titik kematangan sebagai seorang ulama besar. Bintangnya semakin bersinar dan dikenal oleh masyarakat secara luas. Di sana pulalah beliau semakin gigih menyebarkan ilmu dan menulis berbagai karya. Beliau kemudian dikenal sebagai seorang faqîh, ahli ushul fikih, dan tak main-main beliau menjadi seorang mufti dan dijuluki syaikhu al-Islâm. Selain bidang fikih beliau juga menguasai bidang lainnya seperti tafsir, hadits dan sebagian besar keilmuan Islam.

Sebagai satu-satunya ulama yang paling menguasai bidang hadits (pada masa itu), sejumlah penuntut ilmu dari berbagai penjuru berbondong-bondong untuk datang menuntut ilmu kepada beliau. Sehingga, ketika dalam sebuah karya ilmu hadits disebutkan kata [Syaikh], maka yang dimaksud adalah Ibnu Shalâh. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Iraqi dalam “Alfiyyah”nya: “ketika aku menggunakan kata [Syaikh] (dalam berbagai tulisanku), maka tiada lain yang aku maksud adalah Ibnu Shalâh”. Dengan demikian, setelah melihat sepak terjangnya, kapabilitas Ibnu Shalâh dalam bidang keilmuan Islam sudah tak diragukan lagi.

Jika dahulu Ibnu Shalâh adalah murid dari berbagai ulama kenamaan, maka pada gilirannya ia juga menjadi guru dari murid-muridnya, yang pada masa selanjutnya mereka juga menjadi para ulama besar. Beberapa ulama yang berguru kepada Ibnu Shalâh dalam bidang fikih adalah; imam Syamsuddîn Abdurrahman bin Nûh al-Muqaddasi, imam Kamâluddîn Sallâr, Kamâluddîn Ishâq, Taqiyyuddîn bin Zirrîn dan sebagainya.

Adapun yang belajar hadits pada Ibnu Shalâh antara lain; Fakhruddîn Umar al-Karji, Majduddîn bin al-Muhtâr, Syaikh Tâjuddîn

(28)

Abdurrahman, Zainuddîn al-Fâraqiy, al-Qâdli Syihabuddîn al-Jauriy dan lain sebagainya.

d. Ibnu Shalâh dalam Kehidupan Sehari-hari

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Ibnu Shalâh kecil tumbuh berkembang dalam naungan sebuah keluarga agamis dan berkecukupan. Hal itu pulalah yang akhirnya membentuk karakter dan kepribadiannya. Ibnu Shalâh tumbuh sebagai sosok yang taat beragama, giat nan rajin dalam menuntut ilmu serta selalu memprioritaskan hal-hal yang bermanfaat untuk dilakukan. Untuk sebuah pelajaran ia tak cukup mempelajarinya sekali, namun berkali-kali dan selalu ia teliti.

Ibnu Shalâh adalah seorang yang zuhud dan wira’i terhadap hal-hal duniawi. Namun, dalam hal-hal berpakaian, misalnya, beliau senantiasa menggunakan pakaian yang bersih dan serapi mungkin dalam rangka menghormati majlis-majlis ilmu yang beliau hadiri. Di samping itu, Ibnu Shalâh adalah pribadi yang mengikuti jejak para sufi dalam hal keilmuan sekaligus amalan. Ia sosok seorang hamba yang senantiasa berjihad mengalahkan hawa nafsu agar bisa meraih derajat ikhlas dalam setiap prilakunya. Dan yang perlu di catat, Ibnu Shalâh adalah seseorang yang sangat mencintai hadits beserta ilmunya, sehingga ia pernah berkata dalam kitab “Ulûm al-Hadîts”nya:

“Ilmu hadits adalah ilmu yang mulia, yang sesuai dan seiring dengan tuntunan etika luhur,... dan ia termasuk ilmu akhirat, bukan ilmu keduniaan. Maka barangsiapa yang ingin mendengarkan (belajar) hadits, haruslah terlebih dahulu menata niat dan segenap keikhlasan!”

Ibnu Shalâh juga mengutip perkataan para gurunya, bahwa: “Tanda orang yang panjang umurnya adalah kesibukannya dengan hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hal ini terbukti melalui berbagai fakta lapangan, bahwa ketika kita meneliti umur para ahli hadits, maka kita akan mendapati bahwa umur mereka di-panjang-kan (oleh Allah)”.

Demikianlah kita telah melihat bahwa segenap masa hidup Ibnu Shalâh betul-betul dihibahkan demi ilmu pengetahuan dan Islam. Tahun 643 H, bertepatan dengan tahun 1245 M adalah hari di mana Ibnu

(29)

Shalâh berpulang ke rahmatullah. Tepatnya pada hari Rabu waktu Subuh dan beliau disholati setelah Dzuhur, tanggal 25 Robi`ul Akhir, di kota Damaskus.

e. Peninggalan Ibnu Shalâh

Ibnu Shalâh pergi meninggalkan berbagai buah karyanya yang terangkup dalam beberapa disiplin keilmuan. Karya-karya beliau yaitu:

1. Thabaqâtu al-Fuqahâ` al-Syâfi’iyyah; 2. Al-`Amâliy;

3. Fawâ`idu al-Rihlah, sebuah kitab menarik yang mengandung berbagai pembahasan dalam beragam ilmu, beliau tulis di sela-sela perjalanan menuju Khurasan;

4. Adâbu al-Mufti wa al-Mustafti;

5. Shilatu al-Nâsiki fî Shifati al-Manâsiki, sebuah buku yang menjelaskan tata cara dalam melaksanakan ibadah haji; 6. Syarhu al-Wasîth fi Fiqhi al-Syâfi’iyyah;

7. Al-Fatâwâ, sebuah buku hasil kodifikasi para muridnya, berdasarkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan Ibnu Shalâh, baik dalam bidang fikih, tafsir maupun hadits;

8. Syarhu Shahîhi al-Muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam Tadrîb al-Râwi;

9. Al-Mu`talaf wa al-Mukhtalaf fî Asmâ`i al-Rijâl. Sebuah manuskrip yang disimpan di Dâr al-Kutub al-Dzâhiriyyah;

10. Ulûm Hadîts atau yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnu al-Shalâh.

Demikian apa yang dapat penulis sampaikan terkait biografi Ibnu Shalâh. Semoga, melalui kajian tokoh ini kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran, sehingga dapat kita jadikan cermin untuk bermuhasabah.

Wallahu a’lam!

7. An-Nawawi

(30)

Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.

Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.

An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].

Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.

(31)

Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”

Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:

1) Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.

2) Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’. 3) Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.

4) Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.

Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang men-ta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.

(32)

Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.

8. Ibnu Hajar Al-Qolani a. Nama dan Nasabnya

Nama sebenarnya Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizh”. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.

b. Kelahirannya

Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, namun tanggal kelahirannya diperselisihkan. Beliau tumbuh di sana dan termasuk anak yatim piatu, karena ibunya wafat ketika beliau masih bayi, kemudian bapaknya menyusul wafat ketika beliau masih kanak-kanak berumur empat tahun.

Ketika wafat, bapaknya berwasiat kepada dua orang ‘alim untuk mengasuh Ibnu Hajar yang masih bocah itu. Dua orang itu ialah Zakiyuddin al Kharrubi dan Syamsuddin Ibnul Qaththan al Mishri. c. Perjalanan Ilmiah Ibnu Hajar

(33)

Perjalanan hidup al Hafizh sangatlah berkesan. Meski yatim piatu, semenjak kecil beliau memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Beliau masuk kuttab (semacam Taman Pendidikan al Qur’an) setelah genap berusia lima tahun. Hafal al Qur’an ketika genap berusia sembilan tahun. Di samping itu, pada masa kecilnya, beliau menghafal kitab-kitab ilmu yang ringkas, sepeti al ‘Umdah, al Hawi ash Shagir, Mukhtashar Ibnu Hajib dan Milhatul I’rab.

Semangat dalam menggali ilmu, beliau tunjukkan dengan tidak mencukupkan mencari ilmu di Mesir saja, tetapi beliau melakukan rihlah (perjalanan) ke banyak negeri. Semua itu dikunjungi untuk menimba ilmu. Negeri-negeri yang pernah beliau singgahi dan tinggal disana, di antaranya:

a) Dua tanah haram, yaitu Makkah dan Madinah. Beliau tinggal di Makkah al Mukarramah dan shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Yaitu pada umur 12 tahun. Beliau mendengarkan Shahih Bukhari di Makkah dari Syaikh al Muhaddits (ahli hadits) ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki Rahimahullah. Dan Ibnu Hajar berulang kali pergi ke Makkah untuk melakukah haji dan umrah.

b) Dimasyq (Damaskus). Di negeri ini, beliau bertemu dengan murid-murid ahli sejarah dari kota Syam, Ibu ‘Asakir Rahimahullah. Dan beliau menimba ilmu dari Ibnu Mulaqqin dan al Bulqini.

c) Baitul Maqdis, dan banyak kota-kota di Palestina, seperti Nablus, Khalil, Ramlah dan Ghuzzah. Beliau bertemu dengan para ulama di tempat-tempat tersebut dan mengambil manfaat.

d) Shana’ dan beberapa kota di Yaman dan menimba ilmu dari mereka.

Semua ini, dilakukan oleh al Hafizh untuk menimba ilmu, dan mengambil ilmu langsung dari ulama-ulama besar. Dari sini kita bisa mengerti, bahwa guru-guru al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqlani sangat banyak, dan merupakan ulama-ulama yang masyhur. Bisa dicatat, seperti: ‘Afifuddin an-Naisaburi (an-Nasyawari) kemudian al-Makki (wafat 790 H), Muhammad bin ‘Abdullah bin Zhahirah al Makki (wafat

(34)

717 H), Abul Hasan al Haitsami (wafat 807 H), Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), Sirajuddin al Bulqini Rahimahullah (wafat 805 H) dan beliaulah yang pertama kali mengizinkan al Hafizh mengajar dan berfatwa. Kemudian juga, Abul-Fadhl al ‘Iraqi (wafat 806 H) –beliaulah yang menjuluki Ibnu Hajar dengan sebutan al Hafizh, mengagungkannya dan mempersaksikan bahwa Ibnu Hajar adalah muridnya yang paling pandai dalam bidang hadits-, ‘Abdurrahim bin Razin Rahimahullah –dari beliau ini al Hafizh mendengarkan shahih al Bukhari-, al ‘Izz bin Jama’ah Rahimahullah, dan beliau banyak menimba ilmu darinya. Tercatat juga al Hummam al Khawarizmi Rahimahullah. Dalam mengambil ilmu-ilmu bahasa arab, al Hafizh belajar kepada al Fairuz Abadi Rahimahullah, penyusun kitab al Qamus (al Muhith-red), juga kepada Ahmad bin Abdurrahman Rahimahullah. Untuk masalah Qira’atus-sab’ (tujuh macam bacaan al Qur’an), beliau belajar kepada al Burhan at-Tanukhi Rahimahullah, dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 500 guru dalam berbagai cabang ilmu, khususnya fiqih dan hadits.

Jadi, al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani mengambil ilmu dari para imam pada zamannya di kota Mesir, dan melakukakan rihlah (perjalanan) ke negeri-negeri lain untuk menimba ilmu, sebagaimana kebiasaan para ahli hadits.

Layaknya sebagai seorang ‘alim yang luas ilmunya, maka beliau juga kedatangan para thalibul ‘ilmi (para penuntut ilmu, murid-red) dari berbagai penjuru yang ingin mengambil ilmu dari beliau, sehingga banyak sekali murid beliau. Bahkan tokoh-tokoh ulama dari berbagai madzhab adalah murid-murid beliau. Yang termasyhur misalnya, Imam ash-shakhawi (wafat 902 H), yang merupakan murid khusus al Hafizh dan penyebar ilmunya, kemudian al Biqa’i (wafat 885 H), Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), Ibnu Qadhi Syuhbah (wafat 874 H), Ibnu Taghri Bardi (wafat 874 H), Ibnu Fahd al-Makki (wafat 871 H), dan masih banyak lagi yang lainnya.

d. Karya-Karyanya

(35)

Kepakaran al Hafizh Ibnu Hajar sangat terbukti. Beliau mulai menulis pada usia 23 tahun, dan terus berlanjut sampai mendekti ajalnya. Beliau mendapatkan karunia Allah Ta’ala di dalam karya-karyanya, yaitu keistimewaan-keistimewaan yang jarang didapati pada orang lain. Oleh karena itu, karya-karya beliau banyak diterima umat islam dan tersebar luas, semenjak beliau masih hidup. Para raja dan amir biasa saling memberikan hadiah dengan kitab-kitab Ibnu hajar Rahimahullah. Bahkan sampai sekarang, kita dapati banyak peneliti dan penulis bersandar pada karya-karya beliau Rahimahullah.

Di antara karya beliau yang terkenal ialah: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr dan lain-lain.

Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian). e. Mengemban Tugas Sebagai Hakim

Beliau terkenal memiliki sifat tawadhu’, hilm (tahan emosi), sabar, dan agung. Juga dikenal banyak beribadah, shalat malam, puasa sunnah dan lainnya. Selain itu, beliau juga dikenal dengan sifat wara’ (kehati-hatian), dermawan, suka mengalah dan memiliki adab yang baik kepada para ulama pada zaman dahulu dan yang kemudian, serta terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau, baik tua maupun muda. Dengan sifat-sifat yang beliau miliki, tak heran jika perjalanan hidupnya beliau ditawari untuk menjabat sebagai hakim.

Sebagai contohya, ada seorang hakim yang bernama Ashadr al Munawi, menawarkan kepada al Hafizh untuk menjadi wakilnya, namu beliau menolaknya, bahkan bertekad untuk tidak menjabat di kehakiman. Kemudian, Sulthan al Muayyad Rahimahullah menyerahkan kehakiman dalam perkara yang khusus kepada Ibnu Hajar Rahimahullah. Demikian juga hakim Jalaluddin al Bulqani Rahimahullah mendesaknya agar mau

(36)

menjadi wakilnya. Sulthan juga menawarkan kepada beliau untuk memangku jabatan Hakim Agung di negeri Mesir pada tahun 827 H. Waktu itu beliau menerima, tetapi pada akhirnya menyesalinya, karena para pejabat negara tidak mau membedakan antara orang shalih dengan lainnya. Para pejabat negara juga suka mengecam apabila keinginan mereka ditolak, walaupun menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka memusuhi orang karena itu. Maka seorang hakim harus berbasa-basi dengan banyak fihak sehingga sangat menyulitkan untuk menegakkan keadilan.

Setelah satu tahun, yaitu tanggal 7 atau 8 Dzulqa’idah 828 H, akhirnya beliau mengundurkan diri.

Pada tahun ini pula, Sulthan memintanya lagi dengan sangat, agar beliau menerima jabatan sebagai hakim kembali. Sehingga al Hafizh memandang, jika hal tersebut wajib bagi beliau, yang kemudian beliau menerima jabatan tersebut tanggal 2 rajab. Masyarakatpun sangat bergembira, karena memang mereka sangat mencintai beliau. Kekuasaan beliau pun ditambah, yaitu diserahkannya kehakiman kota Syam kepada beliau pada tahun 833 H.

Jabatan sebagai hakim, beliau jalani pasang surut. Terkadang beliau memangku jabatan hakim itu, dan terkadang meninggalkannya. Ini berulang sampai tujuh kali. Penyebabnya, karena banyaknya fitnah, keributan, fanatisme dan hawa nafsu.

Jika dihitung, total jabatan kehakiman beliau mencapai 21 tahun. Semenjak menjabat hakim Agung. Terakhir kali beliau memegang jabatan hakim, yaitu pada tanggal 8 Rabi’uts Tsani 852 H, tahun beliau wafat.

Selain kehakiman, beliau juga memilki tugas-tugas: a) Berkhutbah di Masjid Jami’ al Azhar.

b) Berkhutbah di Masjid Jami’ ‘Amr bin al Ash di Kairo. c) Jabatan memberi fatwa di Gedung Pengadilan.

Di tengah-tengah mengemban tugasnya, beliau tetap tekun dalam samudra ilmu, seperti mengkaji dan meneliti hadits-hadits, membacanya,

(37)

membacakan kepada umat, menyusun kitab-kitab, mengajar tafsir, hadits, fiqih dan ceramah di berbagai tempat, juga mendiktekan dengan hafalannya. Beliau mengajar sampai 20 madrasah. Banyak orang-orang utama dan tokoh-tokoh ulama yang mendatanginya dan mengambil ilmu darinya.

f. Kedudukannya

Ibnu Hajar Rahimahullah menjadi salah satu ulama kebanggaan umat, salah satu tokoh dari kalangan ulama, salah satu pemimpin ilmu. Allah Ta’ala memberikan manfaat dengan ilmu yang beliau miliki, sehingga lahirlah murid-murid besar dan disusunnya kitab-kitab.

Seandainya kitab beliau hanya Fathul Bari, cukuplah untuk meninggikan dan menunjukkan keagungan kedudukan beliau. Karena kitab ini benar-benar merupakan kamus Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaii wasallam. Sedangkan karya beliau berjumlah lebih dari 150 kitab.

Syaikh al Albani Rahimahullah mengatakan, Adalah merupakan kedzaliman jika mengatakan mereka (yaitu an-Nawawi dan Ibnu Hajar al ‘Asqalani) dan orang-orang semacam mereka termasuk ke dalam golongan ahli bid’ah. Menurut Syaikh al Albani, meskipun keduanya beraqidah Asy’ariyyah, tetapi mereka tidak sengaja menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Anggapan mereka, aqidah Asy’ariyyah yang mereka warisi itu adalah dua hal: Pertama, bahwa Imam al Asy’ari mengatakannya, padahal beliau tidak mengatakannya, kecuali pada masa sebelumnya, (lalu beliau tinggalkan dan menuju aqidah Salaf,). Kedua, mereka menyangka sebagai kebenaran, padahal tidak.

g. Wafatnya

Ibnu Hajar wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir, setelah kehidupannya dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, menurut sangkaan kami, dan kami tidak memuji di hadapan Allah terhadap seorangpun. Beliau dikuburkan di Qarafah ash-Shugra. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas, memaafkan dan mengampuninya dengan karunia dan kemurahanNya.

(38)

9. As-Suyuthi

a. Nama, Garis keturunan, dan nisbat yang dimilikinya:

As-Sayuthi nama lengkapnya adalah Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq ad-Din Ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi al-Sayuthi. Penulis Mu’jam al-Mallifin menambahkan: Athaluni al-Mishri Asy-Syafi’i, dan diberi gelar Jalaluddin, serta di panggil dengan nama Abdul Fadhal.

Ia berasal dari keturunan non arab, yang dalam hal ini As-Sayuthi sendiri pernah mengatakan:”Ada seorang yang bisa saya percaya pernah menuturkan kepada saya, bahwa dia pernah mendengar ayah saya mengatakan bahwa kakek buyut ayah adalah orang non arab dari timur. Ia menghubungkan garis keturunannya demikian: ”Kakek buyut saya adalah Damam ad-Din, seorang ahli hakikat dan guru tarekat. Darinya lahir tokoh-tokoh dan pemimpin, antara lain ada diantara mereka yang menjadi kepala pemerintahan di daerahnya, ada pula yang menjadi Hakim Perdata, dan ada pula yang menjadi pedagang. Namun tidak ada seorangpun diantara mereka yang saya ketahui menekuni ilmu secara sungguh-sungguh kecuali ayah saya.

b. Kelahiran dan pertumbuhannya:

As-Suyuthi dilahirkan di wilayah Asyuth sesudah magrib pada malam Ahad, bulan Rajab 849 H, begitulah ia mengatakannya sendiri, dan para sejarawan sepakat tentang tahun kelahiran ini, kecuali Ibnu Iyas dan Ismail Pasha al-Bagdadi yang menganggap bahwa kelahiran as-Sayuthi adalah pada bulan Jumadil akhir. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal dunia pada malam Senin, 5 Safar 855 H, pada saat ia masih berusia 6 tahun.

c. Perjalanan dan masa menuntut ilmu:

Pada usia yang amat sangat muda ia telah hafal Al-Quran, dan hafalan ini menjadi sempurna betul ketika ia menginjak usia 8 tahun.

Referensi

Dokumen terkait

24 – Rabi’ah ar-Ra’yu berkata, “Tidak pantas bagi seseorang – yang dalam dirinya ada sedikit ilmu – untuk menyia-nyiakan dirinya.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang

Setelah Tuan Guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan wafat Babussalam pada saat ini dipimpin oleh Syekh Abdul Hasyim Al Syarwani atau dikenal dengan sebutan Tuan Guru

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:”Mereka (para Ulama) bersepakat bahwasanya yang dimaksud dengan pembolehan kedustaan dalam urusan suami isteri adalah kedustaan dalam

Hadits ‘Umar menurut Ibnu Hajar dijadikan aslun (asal/dasar) daripada syariat wakaf itu sendiri. Hadits ini menjadi yang paling masyhur dalam kajian wakaf. Ibnu Hajar pun

Dalam penelitian ini membahas mengenai pandangan Ibnu Hajar Al- Asqalani dan Imam Nawawi Ad-Dimasyqi mengenai hadis yang berkaitan dengan kematian Husnul

Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika menyebutkan pendapat jumhur bahwasanya boleh orang yang puasa mendapati pagi hari dalam keadaan masih junub (belum mandi janabah saat

Pada tahun 574 H beliau pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus menimba ilmu dari syaikh Al-Mubarok Ali Ibnu al-Husain Ibnu Abdillah Ibn Muhammad

Di beberapa negara dan juga dalam bank Syariah ijarah muntahiya bittamlik juga dikenal dengan sebutan ijarah wa iqtina atau al-Ijarah thumma al-bai’ (AITAB) yang artinya