ANALISIS PERSPEKTIF NILAI INDIVIDU, HUBUNGAN KERJA DAN
SISTEM KERJA KARYAWAN GENERASI Y DAN GENERASI X
DI INDONESIA
Nindya Kartika Kusmayati STIE Mahardhika Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan perspektif nilai individu, hubungan kerja dan sistem kerja karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena- fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia (Sukmadinata, 2005). Penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan populasi yang tidak dapat ditentukan, maka penentuan jumlah sampel mengunakan metode rule of thumbs oleh Roscoe, jumlah sampel pada penelitian ini adalah 200 orang dari karyawan generasi X dan 200 orang dari karyawan generasi Y. Adapun, teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia tidak sepenuhnya memiliki perspektif yang sama dengan perspektif karyawan generasi Y dan generasi X di luar Indonesia. Terdapat banyak kesamaan perspektif antara generasi Y dan generasi X di Indonesia.. Hal ini didukung oleh Purwanti, Rizky, dan Handriyanto (2013) bahwa karyawan generasi Y dan karyawan generasi X di Indonesia dapat memiliki kecenderungan untuk memiliki perspektif yang sama. Chen dan Lian (2015) juga turut membenarkan bahwa diantara karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia tidak terdapat perbedaan yang signifikan seperti di negara lainnya dengan alasan karena terdapat perbedaan peristiwa sejarah, kultur dan situasi yang dialami para generasi tersebut saat tumbuh dewasa. Kowske, Rasch dan Wiley (2010) sependapat bahwa negara Indonesia memiliki sejarah, situasi, kondisi dan budaya yang berbeda dari negara lainnya.
Kata kunci : Perspektif Nilai Individu, Hubungan Kerja, Sistem Kerja.
PENDAHULUAN
Ragam generasi terdapat dalam setisp organisasi (Gursoy, Chi, & Karadag, 2013). Generasi merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Setidaknya terdapat empat generasi berbeda yang bekerja dalam sebuah organisasi, yaitu silent generation atau traditionalists (1925- 1945), baby boomers (1946- 1964), generasi X (1965- 1981), dan millennials atau generasi Y (1982-1999) (Schoch, 2012; Hillman, 2013; Schullery, 2013).
Masing-masing generasi ternyata memiliki perspektif yang berbeda dan
organisasi harus mengetahui apa perspektif yang dimiliki oleh setiap generasi (Keene & Handrich, 2015). Bila mengetahui apa perspektif yang dimiliki setiap generasi, organisasi dapat melakukan pengelolaan secara optimal, karena pengelolaan harus disesuaikan dengan perspektif masing-masing generasi (Clare, 2009; Costanza et al., 2012). Adapun secara umum perspektif yang dimiliki oleh setiap generasi adalah sebagai berikut (Kodatt, 2009; Kowske, Rasch & Wiley, 2010; Hillman, 2013; Tremblay et al, 2013; Chen & Lian, 2015) :
hati, tidak imaginatif, tidak original, fasilitator atau senang membantu, dapat membuat keputusan namun bukan pemimpin, melakukan sesuatu tanpa alasan, tidak senang membuat kekacauan, fokus untuk internal pribadi, pekerja keras, menghormati kekuasaan, logis, disiplin, berdedikasi, berkorban, dan konservatif.
2. Generasi Baby Boomers ( 1946-1964). Generasi ini memiliki perspektif senang menggembar-gemborkan keinginan, namun sering gagal mencapai ekspektasi semula, puas dengan diri sendiri, asik dengan diri sendiri, sombong secara intelektual, dewasa dalam bidang sosial, bijak dalam kultur, berpikir kritis, spiritual beragama, memiliki semangat dari dalam diri, radikal, kontroversial, tidak senang membantah, percaya diri dan penyabar, optimistis, kepuasan dan pertumbuhan personal, berdasarkan persetujuan umum, adil, ditekan waktu dan materialistis, bekerja lembur, pertemuan antar muka, menghargai nilai dan ingin dikenal. 3. Generasi X (1965-1981). Generasi
ini memiliki perspektif yang sinis, mudah curiga membawa beban dunia, penakut, mudah kehilangan arah, menyia- nyiakan, sulit diperbaiki, in-your-face, hingar- bingar, mudah terkejut, tidak berpendidikan, dangkal, tidak dapat
dibudayakan, memiliki
kedewasaan, pragmatis, apatis, tidak peduli dengan politik, tidak terikat, percaya pada diri sendiri, fatalistis, mengejek, belum mencapai pencapaian, menerima keberagaman, melek teknologi, keseimbangan kehidupan dan kerja,
informal, skeptis dan
individualistis.
4. Generasi Y (1982-1999).Generasi ini memiliki perspektif yang Idealistis, optimis, kooperatif, bekerja dalam tim, berkolaborasi, terus menerus berlatih, mentoring
dan mengembangkan karir, percaya, menerima perintah, pengikut peraturan, pintar, bersifat kewarganegaraan, spesial, dilindungi, percaya diri, mengejar keberhasilan atau pencapaian tertentu, ditekan, konvensional, menerima keberagaman, egois, lebih menghargai reward baik intrinsik maupun ekstrinsik, sinis, narsis, melek teknologi, multi tasking, menghargai posisi dan jabatan.
Organisasi perlu mengetahui perspektif dari setiap generasi secara lebih spesifik, yaitu bagaimana perspektif mereka terhadap nilai individu yang mereka miliki di organisasi, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang diterapkan oleh organisasi. Nilai individu yang dimaksud adalah kreatifitas, etika, adaptasi, kecepatan kerja, makna pekerjaan dan learning style yang karyawan tersebut miliki dalam dirinya saat di organisasi. Sedangkan hubungan kerja dapat dilihat dari teamwork, metode komunikasi, tipe kepemimpinan, dan loyalitas. Kemudian pada system kerja dapat dilihat melalui pelatihan, feedback, promosi, rotasi kerja, kompensasi, instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen, work family balance dan fleksibilitas jam kerja.
al., 2013). Mereka juga menganggap bahwa mereka tidak terlalu mudah beradaptasi dengan berbagai atribut yang ada (Nambiyar, 2014), tidak memiliki kecepatan kerja karena lebih mementingkan proses berpikir dan berefleksi terlebih dahulu dibandingkan langsung bertindak (Keegan, 2011). Kemudian bagi mereka, pekerjaan merupakan tantangan yang sulit dan merupakan sebuah kontrak, sehingga tidak terlalu menghayati apa makna pekerjaan yang mereka jalani (Young, 2009). Selain itu bagi karyawan generasi X, cara belajar yang diinginkan adalah cara belajar yang bertahap karena mereka tidak dapat menerima informasi yang besar dalam waktu singkat (Keegan, 2011) dan tidak mampu belajar dengan cepat (Nambiyar, 2014).
Kemudian, karyawan generasi X memiliki perspektif terkait hubungan kerja di organisasi bahwa bekerja lebih baik dilakukan sendiri daripada di dalam sebuah teamwork, karena mereka lebih mementingkan diri sendiri (Kodatt, 2009) dan tidak mudah bergaul dengan individu lain (Montana & Petit, 2008). Di samping itu, mereka juga lebih senang dengan metode komunikasi yang lebih konvensional seperti komunikasi tatap muka dan bila harus menggunakan teknologi seperti telepon genggam, mereka hanya ingin dihubungi saat ditempat kerja atau pada jam kerja (Young, 2009). Saat ditinjau tentang tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka cenderung lebih senang dengan pemimpin yang otoritatif karena mereka memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang besar (Mhatre & Conger, 2011). Kemudian mereka juga cenderung loyal pada organisasi, walaupun terkadang terdapat harapan yang belum tercapai di organisasi (Ertas, 2015).
Saat perspektif terkait sistem kerja yang diterapkan oleh organisasi ditinjau, karyawan generasi X ingin menjalani pelatihan yang lebih konvensional, seperti tatap muka, membaca bahan pelatihan, diskusi dan mentoring (Purwanti, Rizky, & Handriyanto, 2013). Di samping itu, saat
ada feedback dari organisasi, mereka ingin segera mendapatkannya secara langsung dan cepat (Young et al., 2013). Mereka juga tidak ingin mendapatkan tantangan saat bekerja, sebab mereka ingin bekerja dengan lebih santai dan tidak ingin terlalu serius (Stanley, 2010), ingin mendapatkan promosi namun tidak terlalu berekspektasi terlalu besar (Young et al., 2013), menghindari rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan tidak puas dengan kompensasi yang ada, sehingga ingin meningkatkan kompensasi (Young et al., 2013). Kemudian generasi ini merasa bahwa walaupun mereka dapat melakukan pekerjaan multitasking (Young et al., 2013), lebih baik mereka diberikan instruksi yang eksplisit dan jelas pada satu jenis pekerjaan saja (Keegan, 2011). Karyawan generasi X juga tidak ingin terlalu terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen, sebab mereka tidak ingin memberikan tekanan pada pekerjaan yang dilakukan (Stanley, 2010). Saat dilihat dari pandangan terhadap keseimbangan kehidupan di tempat kerja dengan keluarga (work-family balance), mereka beranggapan bahwa kehidupan bersama keluarga merupakan hal yang penting (Young, 2009), sehingga keseimbangan perlu ada. Dan walaupun mereka dapat bekerja dalam jangka waktu panjang, mereka juga ingin bekerja dengan jam kerja yang lebih fleksibel (Roebuck,2013).
membawa dampak besar bagi organisasi (Shih & Allen, 2006). Sebab generasi Y sebagai pemilik perspektif tersebut telah memasuki dunia kerja dalam jumlah yang sangat besar dalam kurun waktu singkat (Vanmeter et al., 2012).
Di samping itu, perbedaan ini dibawa oleh generasi yang paling berpengaruh dibanding generasi lainnya (Shih & Allen, 2006), sebab mereka akan menentukan bagaimana bisnis dijalankan, menetapkan perilaku yang dapat diterima organisasi (Borodin, Smith, & Bush, 2010; Ertas, 2015) dan akan menentukan kesuksesan organisasi di masa depan (Murphy, 2012). Bahkan lambat laun peran serta tanggung jawab mereka akan bertambah untuk mengisi posisi para generasi sebelumnya yang akan pensiun dari dunia kerja (Hillman, 2013; Ertas, 2015), sehingga organisasi dipaksa untuk membangun ulang strategi berdasarkan perspektif generasi Y agar dapat mengelola generasi Y dengan baik (Nambiyar, 2014). Oleh karena itu, Lai, Chang, dan Hsu (2011) menyatakan bahwa bila kita mengetahui perspektif para generasi Y tersebut, mereka dapat dikelola untuk menjadi individu yang berkualitas, terlebih untuk bersaing di tengah kompetisi yang semakin ketat, sehingga (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010) menyatakan bahwa organisasi penting untuk mengetahui perspektif karyawan generasi Y.
Saat ditinjau lebih spesifik tentang perspektif terhadap nilai individu yang mereka miliki, karyawan generasi Y merasa bahwa mereka adalah karyawan yang kreatif, sehingga senang mencapai tujuan melalui metode atau caranya sendiri (Cates, 2014) dan memiliki inovasi (Nambiyar, 2014). Mereka juga menjunjung nilai etika dan memiliki toleransi rendah terhadap pelanggaran etika (Vanmeter et al., 2013), dapat dengan mudah beradaptasi pada berbagai atribut yang ada (Nambiyar, 2014), perubahan yang terjadi (Gardner, 2006) dan terbuka untuk berubah (Welsh, 2010). Kecepatan kerja yang mereka miliki
juga baik, sebab mereka merasa lebih penting bertindak cepat daripada menghabiskan waktu untuk berpikir (Keegan, 2011).
Mereka juga tidak senang dengan prosedur dan proses yang tidak perlu sebelum melakukan tindakan, sehingga bekerja pintar dan cepat akan sangat diandalkan (Nambiyar, 2014). Kemudian bagi mereka makna pekerjaan adalah suatu hal yang penting, sehingga mereka akan mencari pekerjaan yang bermakna untuk memperoleh kepuasan (Ng & Schweitzer, 2010). Selain itu saat belajar mereka lebih memilih untuk belajar dalam jumlah besar, sebab mereka adalah pelajar aktif (Gardner, 2006) yang memiliki kemampuan belajar yang cepat (Nambiyar, 2014) dan dapat menerima informasi yang beragam dalam jumlah besar pada waktu singkat (Keegan,2011).
Kemudian saat ditinjau perspektifnya pada hubungan kerja, mereka ingin bekerja dalam teamwork (Welsh, 2010; Vanmeter et al., 2013, Nambiyar, 2014). Metode komunikasi yang mereka senangi merupakan metode komunikasi yang menggunakan media komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti Internet, telepon, mobile phone, media digital (Welsh, 2010; Cates, 2014; Nambiyar, 2014). Mereka juga bersedia dihubungi pada jam kapanpun, walaupun diluar jam kerja (Young, 2009). Sebab mereka merupakan karyawan yang partisipatif dan interaktif (Kodatt, 2009). Saat ditinjau tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka ingin memiliki tipe kepemimpinan yang partisipatif (Young, 2009) karena mereka senang berkolaboratif (Mhatre & Conger, 2011). Mereka juga merupakan karyawan yang cenderung kurang loyal terhadap organisasi, terlebih bila harapannya tidak tercapai (Reed, 2011; Minter, 2013; Jackson, 2014), sehingga mereka mudah berganti-ganti pekerjaan (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).
menyukai metode pelatihan yang modern, dimana terdapat penggunaan media seperti media belajar audio visual yang memanfaatkan kemajuan teknologi dibanding hanya secara konvensional (Young et al., 2013). Mereka juga meminta feedback dengan segera namun lebih senang diberikan dalam bentuk pujian secara berkala (Nambiyar, 2014) dan sulit menerimanya dalam bentuk kritikan (Welsh, 2010). Saat berada di organisasi, karyawan generasi ini ingin mendapatkan tantangan yang menantang kemampuan dirinya (Nambiyar, 2014), sehingga akan menerima tantangan mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit dan penting (Ng & Schweitzer,2010).
Ketika ditinjau perspektifnya terkait promosi, rotasi kerja dan kompensasi, karyawan generasi Y ingin mendapatkan promosi dalam rentan waktu yang singkat, menjalankan rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan mendapatkan kompensasi dalam jumlah besar dengan cepat atau dalam waktu singkat (Ng & Schweitzer, 2010). Dalam mendapatkan instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, mereka ingin mendapatkan insturksi yang jelas (Hillman, 2013) dan dapat melaksanakan pekerjaan multitasking atau berbagai macam pekerjaan dalam waktu hampir bersamaan (Ng & Schweitzer, 2010). Kemudian mereka juga memiliki perspektif bahwa dalam bekerja perlu ada keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu bersama keluarga (Welsh, 2010), serta perlu ada jam kerja yang lebih fleksibel, sebab jam kerja yang kaku dapat menghambat kesenangan menjalani kehidupan bermakna di luar dunia kerja (Ng & Schweitzer, 2010; Roebuck, 2013).
Dari penjabaran di atas dapat dilihat perspektif terhadap nilai individu saat berada di organisasi, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang dibentuk organisasi (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010; Idrus, Ng & Jee, 2014) dari karyawan generasi X dan Y. Berbagai perspektif di atas merupakan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti
Australia (Cogin, 2012), Canada (Tremblay et al., 2013), China (Chen & Lian, 2015), New Zealand (Haynes, Vowles, & Boxall, 2005), dan United States (Kowske, Rasch, & Wiley, 2010; Dai & Goodrum, 2012; Hillman, 2013; Dimitriou & Blum, 2015; Keene & Handrich, 2015).
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep GenerasiGenerasi adalah sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Borodin, Smith dan Bush (2010); Schullery (2013) menyatakan pula bahwa orang- orang yang berasal dari generasi yang sama mempunyai kesamaan pengalaman seperti kultur, politik, ekonomi, persitiwa dunia, bencana alam dan teknologi sehingga membentuk pandangan, nilai, pilihan dan kepercayaan yang sama. Hal serupa dinyatakan oleh Kupperschmidt (2000) bahwa generasi merupakan orang yang lahir di kisaran waktu sama yang berbagi pengalaman sejarah dan/atau kehidupan sosial yang signifikan yang membentuk pandangan dan perspektif.
Sejarah, kejadian, fenomena budaya dan berbagai hal yang muncul pada era para generasi ini hidup ternyata mempengaruhi memori individu-individu pada generasi terkait, sehingga menimbulkan perkembangan sikap, nilai, perspektif dan kepribadian tertentu (Costanza, et al, 2012). Oleh karena itu, karena setiap generasi menjalani berbagai pengalaman yang berbeda, perspektif, seperti nilai, ekspektasi dan sikap dalam bekerja yang ditimbulkan pun jadi berbeda (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).
Adapun berbagai penjabaran lebih lanjut mengenai generasi- generasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Generasi Traditionalist
Traditionalist merupakan generasi yang lahir pada kisaran tahun 1925- 1945 (McCrindle & Wolfinger, 2010). Generasi ini hidup pada zaman Great Depression, The New Deal, World War II dan Rise of Labor Unions, dimana terdapat krisis, kesulitan ekonomi, para pria pergi berperang, para wanita dipaksa bekerja di pabrik untuk menopang keluarga mereka (Cates, 2014), dan keluarga dibangun pada umur muda setelah perang berakhir (McCrindle & Wolfinger, 2010). Pengalaman dan situasi mereka tumbuh membentuk para traditionalist menjadi individu yangdisiplin, mau mengorbankan diri, pekerja keras, mudah menyesuaikan diri, dan patuh pada kekuasaan (Cates, 2014).
2. Generasi BabyBoomers
Baby boomers lahir pada kisaran tahun 1946-1964 (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Generasi ini hidup pada masa stabil, makmur, adanya hak asasi, kemunculan teknologi baru seperti televisi, air panas, bahkan alat- alat rumah tangga dan pertumbuhan yang menyenangkan karena sang ibu tidak perlu dipaksa untuk bekerja di pabrik demi menopang hidup keluarga, namun di rumah untuk mengurus mereka (Cates, 2014). Oleh karena itu, generasi ini memiliki optimisme, kepuasan personal, berhasrat dan workaholic, namun juga memiliki stress atau tekanan (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013; Cates, 2014). 3. Generasi X
Generasi ini mendapat pengalaman challenger disaster, perceraian, pertumbuhan teknologi dan personal computer (PC), serta perubahan peran gender dalam keluarga (Cates, 2014). Di samping itu, mereka merupakan generasi pertama yang tumbuh di sistem keluarga yangbaru yang diciptakan
oleh baby boomers (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Oleh karena itu, generasi ini lebih individualitas, pragmatis, sinis, bertoleransipada berbagai gaya hidup dan perbedaan kultur. (Cates, 2014). Di samping itu sebagian besar generasi X tumbuh menjadi individu yang bersikap dan berperilaku dewasa diusia yang masih muda serta memiliki tanggung jawab besar walau masih berada pada masa remaja (Cates, 2014). Hal ini disebabkan karena mereka tumbuh dengan mempertanyakan kekuasaan yang dialami oleh para orang tua mereka, baby boomers, sehingga mereka lebih senang untuk terlibat, bertanggung jawab dan memiliki kontrol (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Roebuck, Smith, dan Haddaoui (2013) juga menyatakan bahwa generasi X bahkan senang mengambil resiko dengan melakukan kalkulasi resiko terlebih dahulu dan tidak dapat diintimidasi olehkekuasaan.
4. Generasi Y
media sosial (Young et al., 2014), sehingga memungkinkan mereka memiliki pergaulan yang luas dengan beragam orang dari seluruh dunia (Roebuck, Smith & Haddaoui, 2013). Oleh karena itu pula lah generasi ini memiliki toleransi keberagaman manusia yang lebih tinggi disbanding generasi lainnya (Domitriou, 2015). Young et al. (2014) bahkan menyatakan bahwa generasi Y merupakan genersi yang paling beragam dan yang paling dapat menerima keberagaman.
Akan tetapi, selain hidup di era peningkatan bidang ekonomi dan teknologi, generasi Y juga hidup pada era dimana terjadi peningkatan kejahatan, sehingga mendorong para orang tua untuk terjun langsung melindungi anak-anak mereka dari kejadian berbahaya atau kejadian yang sekedar mengecewakan, misalnya seperti turunnya nilai di sekolah (Schullery, 2013). Perlindungan yang diberikan oleh para orang tua generasi Y adalah seperti mendorong generasi Y untuk bermain di dalam rumah dengan media teknologi yang ada, cepat memberi pujian bila sang anak mencapai sesutu (Schullery, 2013), mengabulkan sebagian besar permintaan mereka, memanjakan, dan memberi tahu bahwa mereka dapat mencapai apapun yang mereka inginkan (Cates,2014).
Hidup di zaman yang berteknologi maju dan diasuh dengan cara tersebut membuat generasi ini memiliki ekspektasi tinggi, menuntut mendapat jawaban secara instan, lebih menyukai distribusi sumber pengetahuan dan informasi, berpikiran terbuka, memiliki keterampilan yang beragam, mampu mengerjakan pekerjaan yang banyak secara simultan, tidak sabar (Idrus, Ng & Jee, 2014), partisipatif, tidak menganut paham hierarki atau level kekuasaan, yang berarti semua orang memiliki level yang setara, sehingga mereka bersikap sama baik kepada
atasan maupun rekan kerja, sosialis, optimis, bertalenta, kolaboratif, dan berorientasi pada kesuksesan (Cates, 2014).
Konsep Berbagai Perspektif
Dalam melakukan analisis perilaku individu dalam organisasi, terdapat tiga level analisis yang dapat digunakan, yaitu individu, kelompok dan organsisasi. Pada level individu terdapat perspektif terhadap nilai individu saat berada diorganisasi, pada level kelompok adalah perpsektif terhadap hubungan kerja, yaitu bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan individu atau kelompok atau organisasi, dan pada level organisasi adalah perspektif pada sistem kerja, yaitu bagaimana sistem organisasi dijalankan di organisasi. Oleh karena itu, konsep berbagai perspektif generasi Y pada penelitian ini akan dikelompokan ke dalam tiga kelompok tersebut :
1. Nilai Individu
a. Kreatifitas. Kreatifitas telah
mendapat perhatian
belakangan ini karena merupakan satu langkah awal menuju inovasi dan sangat penting untuk kinerja bisnis (Fujii, 2015). Kreatifitas mencakup originalitas dan inovasi (Fletcher dalam Murad & West, 2004). Selain itu kreatifitas adalah kemampuan untuk menghasilkan ide baru dan keinginan untuk terus berusaha memproduksi ide atau produk baru (Fujii, 2015). Kreatifitas juga digambarkan sebagai berpikir kreatif atau kemampuan, pemecahan masalah, imajinasi atau inovasi (Murad & West, 2004).
tindakan (Stys, 2006). Walaupun etika kerap dinyatakan sebagai penentu hitam dan putih atau apa yang benar dan tidak secara kaku dan dianggap universal, sebenarnya etika bersifat lebih personal karena setiap tempat memiliki nilai atau standar etikanya masing-masing (Pasztor, 2015).
c. Adaptasi. Adaptasi merupakan kemampuan yang secara alami berada dalam diri manusia untuk menyesuaikan diri dengan berabagi situasi dan lingkungan yang berbeda (Berggren et al., 2016). Maka dari itu, setiap individu
seharusnya memiliki
kemampuan beradaptasi (Graen & Grace, 2015). Karena perubahan merupakan suatu aspek kehidupan, termasuk bisnis yang selalu ada, perlu ada kemampuan untuk menyesuaikan diri secara terus menerus (Dukic, 2015). Oleh karena itu, karyawan yang memiliki kemampuan beradaptasi merupakan aset yang berharga bagi organisasi (Nambiyar, 2014).
d. Kecepatan Kerja. Kecepatan kerja dilihat dari kemampuan untuk dapat segera mengambil tindakan dibanding dengan menunggu untuk melakukan proses berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan (Nambiyar, 2014). Tekanan organisasi pada karyawan agar bekerja lebih cepat kerap menjadi penyebab, sebab banyak pekerjaan yang perlu dikerjakan, sehingga karyawan cepat mengambil tindakan bila tidak ingin bekerja lembur
untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut
(Munawaroh, Riantoputra, & Marpaung, 2013). Agar dapat
memiliki kecepatan kerja, karyawan cenderung men-siasatinya dengan melakukan kerja pintar dan cepat agar pekerjaan dapat segera diselesaikan (Nambiyar,2014). e. Makna Pekerjaan. Menjalani
pekerjaan yang bermakna adalah bagaimana pekerjaan dapat mengambil tempat sebagai makna pribadi dan bagaimana pekerjaan dapat menyelesaikan sesuatu (Casey & Robbins, 2012). Fokus makna pekerjaan adalah situasi pada literatur organisasi secara lebih luas yang meng-gambarkan reaksi kepada organisasi yang mampu menyedia kepuasan dalam bekerja (Kuchinke et al., 2010). Mereka yang menjalani pekerjaan yang bermakna bagi diri mereka akan menganggap bahwa pekerjaan adalah suatu hal yang penting, bernilai dan bermanfaat (Casey & Robins, 2012). Menjalani pekerjaan yangbermakna bahkan dapat membawa karyawan kearah peningkatan keterikatan dengan tempat kerja, mau menjalani banyak tantangan dan permintaan organisasi (Kuchinke et al., 2010). f. Learningstyle. Learning
merupakan suatu proses
dimana pengetahuan
diciptakan melalui
2. Hubungan Kerja
a. Teamwork. Banyak aktivitas individu yang
dapat mendapatkan
keuntungan dari kolaborasi bersama individu lainnya (Galashin & Popov, 2016). Selain itu dibutuhkan kemampuan untuk secara
efektif merespon
lingkungan yang dinamis dan kompleks, yaitu dengan cara bekerja dalam tim atau yang disebut dengan teamwork (Hu & Liden, 2012). Karyawan yang senang bekerja dalam tim memiliki orientasi untuk terkoneksi pada orang lain atau bekerja di dalam tim (Clare, 2009; Vanmeter et al., 2013). Disamping itu, mereka yang senang bekerja dalam tim juga ingin melihat dampak dari tindakan yang ditimbulkan pada rekan kerja mereka (Welsh, 2010).
b. Metode Komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai proses transmisi informasi dan pengetahuan umum dari satu orang ke orang lainnya (Keyton dalam Lunenburg, 2010). Banyak metode komunikasi yang digunakan, yaitu misalnya melalui media internet, e-mail, telepon, dan handphone, atau menggunakan cara langsung yaitu melalui proses tatap muka (Young, 2009). Bila
mengetahui metode
komunikasi yang cocok digunakan pada setiap individu, dampak positif akan muncul, seperti menghilangkan
kesalahpahaman, konflik yang tidak menyenangkan dan meningkatkan motivasi dan etika, serta moral
karyawan (Dimitriou & Blum, 2015).
c. Tipe Kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi
orang lain untuk
melaksanakan tugas (Montana & Petit, 2008). Terdapat berbagai macam tipe kepemimpinan, misalnya seperti tipe kepemimpinan partisipatif (Young, 2009), otoritatif yang kaku (Mhatre & Conger, 2011). Bila mengetahui tipe ke-pemimpinan yang sesuai dengan kondisi organisasi, organisasi dapat mengelola karyawannya dengan lebih optimal (Mekraz & Gundala, 2016).
d. Loyalitas. Loyalitas adalah komitmen yang disengaja untuk menarik ketertarikan seorang karyawan, bahkan ketika melakukan banyak permintaan yang menuntut pengorbanan atas beberapa aspek ketertarikan pribadi di atas apa yang disarankan oleh ketentuan dan tugas yang ada (Elegido, 2013). Adapun loyalitas dalam organisasi adalah perasaan terikat dari karyawan terhadap organisasi (Buchanan, 1974). Hal ini berarti perasaaan ingin selalu berada dalam organisasi dimana individu tersebut bekerja (Kumar & Shekhar, 2012).
3. Sistem Kerja
al., 2010). Terdapat berbagai macam metode,
misalnya metode
konvensional seperti membaca buku pelatihan
atau kesimpulan-
kesimpulan pelatihan tertentu (Purwanti, Rizky, & Handriyanto, 2013) dan metode yang memanfaatkan kemajuan teknologi seperti menggunakan media belajar audio visual (Young et al.,2013).
b. Feedback. Feedback merupakan hasil observasi penilaian kinerja karyawan agar dapat memberi pelajaran bagi karyawan,
sehingga dapat
meningkatkan kinerja karyawan terkait (Pelgrim et al., 2012). Feedback di tempat kerja merupakan sejauh mana karyawan melaksanakan kegiatan kerja yang mendatangkan hasil seperti yang dikehendaki organisasi dan informasi yang jelas tentang keefektifan kinerja (Casey & Robbins, 2012). Dalam menyampaikan feedback, konten dan cara penyampaiannya
merupakan suatu hal yang sangat penting agar dapat mendatangkan hasi yang optimal (Pelgrim et al., 2012).
c. Job enrichment. Job enrichment merupakan sebuah program dimana karyawan diberikan berbagai macam pekerjaan, diberikan tanggung jawab yang lebih tinggi dan diberikan tambahan otonomi serta kontrol terhadap pekerjaan yang diberikan (Pan & Werblow, 2012). Davoudi (2013) turut menambahkan bahwa
job enrichment adalah suatu metode manajerial untuk memotivasi karyawan
dengan memberikan
mereka kesempatan yang cukup untuk menggunakan
seluruh kemampuan
mereka. Terkait job enrichment, terdapat karyawan yang cenderung ingin lebih santai dan tidak ingin terlalu serius bekerja (Stenley, 2010). Namun banyak pula karyawan yang cenderung berbeda, dimanamereka ingin ditantang kemampuannya, serta ingin mengerjakan tugas yang lebih sulit dan lebih penting (Ng & Schweitzer, 2010; Bristow et al., 2011).
d. Promosi. Promosi
merupakan kebijakan
dimana karyawan
melakukan perubahan arah ke hierarki tingkat atas atau pindah ke tempat yang lebih tinggi tanggung jawabnya (Dessler, dalam Naveed, Usma, & Bushara, 2011). Bila mendapatkan promosi, karyawan akan mengalami peningkatan jabatan dan kompensasi, sehingga banyak karyawan yang akan berusaha meningkatkan kinerja demi mendapatkan promosi (Manove, 1997). Oleh karena itu, promosi kerap
digunakan sebagai
penghargaan karena dapat mencapai tujuan organisasi dan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan pribadi (Naveed, Usma, Bushara,2011).
e. Rotasi kerja. Rotasi kerja merupakan sebuah metode manajemen SDM dimana
kesempatan untuk menempati posisi pekerjaan yang berbeda (Cuesta et al., 2011). Bobbitt et al. dalam Song, Bij, dan Weggeman (2006) turut menyatakan bahwa rotasi kerja adalah perpindahan pekerja yang direncanakan dari suatu tugas atau departemen ke tugas atau departemen lainnya. Rotasi kerja ini diberikan kepada individu di dalam organsasi untuk menghindari tekanan karena melakukan tugas yangsama secara terus menerus (Cuesta et al., 2011; Comper & Padula, 2014).
f. Kompensasi. Kompensasi kerap digunakan untuk
memacu karyawan
meningkatan kinerja dan kompetensi diri (Manove, 1997). Bahkan kompensasi dianggap sebagai salah satu aspek penting atau elemenkunci dalam organisasi yang dapat memiliki dampak besar pada hasil pengelolaan organisasi karena terkait erat dengan kinerja bisnis
(Ingram, 2015).
Kompensasi merupakan salah satu hal yang utama dalam organisasi, sebab terkait dengan rekrutmen, motivasi, mempertahankan karyawan, dan mem-pertahankan keunggulan lainnya dalam organisasi (Boyd & Salamin, 2001).
Kompensasi yang
disediakan oleh organisasi antara lain adalah gaji
pokok, pelayanan
kesehatan, dan tunjangan lainnya.
g. Instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan. Dalam organisasi terdapat
karyawan yang cenderung ingin diberikan instruksi pekerjaan secara berkala, satu per satu (Keegan, 2011). Adapula karyawan yang cenderung senang mengerjakan berbagai instruksi pekerjaan dalam waktu singkat atau yang disebut dengan multi-tasking (Keegan, 2011). h. Keterlibatan dalam
pengambilan keputusan manajemen. Ketika berada di dalam organisasi, terdapat karyawan yang ingin mempunyai peran dan pengaruh dalam organisasi (Dai & Goodrum, 2012). Bahkan mereka kerap berpikir bahwa ide mereka sama baik dan bahkan terkadang lebih baik daripada ide atasan, sehingga mereka merasa layak turut terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen (Trends Magazine, 2009). Namun di sisi lain terdapat karyawan yang cenderung tidak terlalu terlibat ketika ada pengambilan keputusan manajemen (Stanley, 2010).
waktu untuk bekerja. j. Fleksibilitas jam kerja.
Dewasa ini organisasi menghadapi berbagai macam tantangan, dimana para pekerja kerap merasa tertekan karena jam kerja mengikis waktu yangdapat
digunakan untuk
melakukan aktivitas di luar pekerjaan (Kossek, Thompson, & Lautsch, 2015). Apalagi ketika dikaitkan dengan karyawan yang cenderung lebih mengutamakan kehidupan di luar pekerjaan dibanding kehidupan di tempat kerja (Trends E-Magazine, 2009). Oleh karena itu, banyak karyawan yang mengharapkan jam dan jadwal kerja yang lebih fleksibel (Bristow et al., 2011). Bahkan diantaranya terdapat yang menganggap kefleksibilitas jam kerja lebih penting dibandingkan materi (Bristow et al., 2011).
METODE PENELITIAN
Rancangan PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena- fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia (Sukmadinata, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan perspektif karyawan generasi X dan generasi Y di Indonesia.
Populasi dan Lokasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah karyawan generasi X dan Y di Indonesia. Karena jumlah yang sangat besar, maka populasi tidak dapat disajikan dalam jumlah tertentu.
Teknik Pengambilan Sampel
Karena penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan populasi yang tidak dapat ditentukan, maka penentuan jumlah sampel mengunakan metode rule of thumbs oleh Roscoe, dimana ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk semua riset. Oleh karena itu, jumlah sampel pada penelitian ini adalah 200 orang dari karyawan generasi X dan 200 orang dari karyawan generasi Y. Adapun, teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan akan disajikan dalam bentuk skala semantic differential (diferensial semantik). Skala yang diperkenalkan oleh Osgood (1957) ini adalah instrumen yang digunakan dalam menilai suatu konsep perangsang pada seperangkat skala bipolar tujuh langkah dari satu ujung sampai dengan ujung yang lain dalam rangkaian kesatuan (Sevilla dalam Margono, 2013). Hal ini berarti pada setiap item terdapat sepasang pernyataan yang bersifat bipolar atau bertolak belakang yang diletakan di ujung paling kiri dan di ujung paling kanan. Salah satu pernyataan merupakan pernyataan yang mendukung perspektif yang diusung dan pernyataan di sisi lain merupakan pernyataan yang tidak mendukung perspektif yang diusung.
Margono (2013) menyatakan bahwa pasangan-pasangan kata sifat biasanya dipisahkan oleh 7 kategori respons yang merupakan unit-unit yang sama sepanjang kontinum kata sifat yang berlawanan. Oleh karena itu, setiap ujung yang terdiri atas pernyataan bertolak belakang akan dipisahkan oleh satu garis kontinu yang berisi 7 buah angka, yaitu angka 1 hingga angka 7 dengan urutan dari kiri ke kanan.
pernyataan yang tertulis di sebelah kiri daripada pernyataan yang ditulis di sebelah kanan. Sebaliknya, pilihan angka yang semakin ke kanan menandakan bahwa responden cenderung merasa lebih sesuai dengan pernyataan yang tertulis di sebelah kanan garis dibanding dengan pernyataan di sebelah kiri. Adapun Nilai Alternatif Jawaban yang mungkin diberikan :
a. Pilihan jawaban Favorable 1 & Unfavorable 7, nilai 1, interpretasinya adalah sangat tidak sesuai
b. Pilihan jawaban Favorable 2 & Unfavorable 6, nilai 2, interpretasinya adalah tidak sesuai c. Pilihan jawaban Favorable 3 & Unfavorable 5, nilai 3, interpretasinya adalah agak tidak sesuai
d. Pilihan jawaban Favorable 4 & Unfavorable 4, nilai 4, interpretasinya adalah tidak dapat menentukan dengan pasti
e. Pilihan jawaban Favorable 5 & Unfavorable 3, nilai 5, interpretasinya adalah agak sesuai f. Pilihan jawaban Favorable 6 &
Unfavorable 2, nilai 6, interpretasinya adalah sesuai g. Pilihan jawaban Favorable 7 &
Unfavorable 1, nilai 7, interpretasinya adalah sangat sesuai
Setelah responden memilih angka yang tersedia, penulis akan memberikan nilai pada setiap pilihan. Bila pernyataan yang mendukung perspektif yang diusung terdapat pada sebelah kanan garis (favorable), maka nilai yang didapat sesuai dengan nominal angka yang dipilih, dengan angka 7 sebagai nilai maksimal. Namun, bila pernyataan yang mendukung perspektif terdapat di sebelah kiri (unfavorable), maka skor yang didapat akan dibalik, dimana angka 1 bernilai 7 hingga angka 7 yang bernilai 1. Oleh karena itu, semakin tinggi nilai yang didapat dengan nilai maksimal 7 menandakan bahwa semakin sesuai
perspektif responden dengan perspektif yang diusung. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang didapat dengan nilai minimal 1 menandakan bahwa semakin tidak sesuai perspektif responden dengan perspektif yang diusung.
Terdapat 20 pertanyaan dalam kuesioner yang disampaikan kepada responden yang mewakili setiap perspektif generasi Y yang akan diukur, yaitu kreatifitas, etika, adaptasi, kecepatan kerja, makna pekerjaan, learning style, teamwork, metode komunikasi, tipe kepemimpinan, loyalitas, pelatihan, feedback, job enrichment, promosi, rotasi kerja, kompensasi, instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen, work- family balance, dan fleksibilitas jam kerja.
Selain berisi instrumen penelitian, kuisioner ini juga menanyakan identitas responden terkait, yaitu inisial atau nama. Kemudian umur dengan pilihan 20-34 tahun dan 35-51 tahun. Responden yang memilih 20-34 tahun dimasukan ke dalam kategori generasi Y, sedangkan yang memilih 35-51 tahun dimasukan ke dalam kategori generasi X. Setelah itu jenis kelamin dengan pilihan laki-laki atau perempuan, tingkat pendidikan terakhir yaitu SMA, D3, S1, S2 atau S3, status pernikahan dengan pilihan menikah atau belum menikah, dan sektor pekerjaan.
Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan sumbernya, jenis data yang akan dikumpulkan adalah data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber datanya. Oleh karena itu, data akan langsung diperoleh dari generasi Y dan generasi X di Indonesia sebagai responden, yang diminta mengisi kuisioner dengan dua cara, yaitu secara online dan secara manual.
mempermudah proses penelitian karena dapat diakses dan diisi di berbagai tempat pada waktu yang sesuai dengan kondisi responden. Guna menyebarkan kuisioner secara online, penulis akan menghubungi para karyawan generasi Y dan X di Indonesia yang memenuhi kriteria terlebih dahulu melalui berbagai media sosial (Facebook, Twitter), via telepon, sms, kontak langsung dan bantuan generasi Y dan X lainnya untuk mengontak generasi Y dan X yang telah mereka kenal untuk meminta kesediaan mengisi kuisioner. Bila mereka bersedia dan sesuai dengan kriteria yang dimaksud, penulis akan memberikan sebuah link atau tautan yang akan digunakan melalui media internet untuk mengakses kuisioner tersebut. Adapun penyebaran secara manual dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner yang telah dicetak di kertas kepada responden oleh penulis atau oleh pihak lain yang dapat diminta bantuan oleh penulis, dimana terlebih dahulu penulis memberitahukan kriteria responden yang cocok untuk mengikuti penelitian ini.
Metode AnalisisData
Setelah mendapatkan data yang dibutuhkan, penulis akan memberi nilai pada jawaban yang telah dipilih oleh responden sesuai dengan tabel 3. Adapun nilai yang dihasilkan adalah dari 1 hingga 7, dimana angka yang dipilih akan diberi nilai sesuai besaran angka tersebut. Sedangkan pada item unfavourable, nilai akan dibalik, dimana besaran angka 1 akan diberi nilai 7 hingga besaran angka 7 diberi nilai 1. Setelah itu, nilai tersebut akan dimasukan ke dalam aplikasi Microsoft Office Excel 2007. Kemudian dilakukanlah proses analisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif yang dijabarkan sebagai berikut:
Jumlah nilai tertinggi : nilai maksimal × jumlah soal = 7 × 1 = 7
Jumlah nilai terendah : nilai minimal × jumlah soal = 1 × 1 = 1
Jawaban dari setiap item yang mewakili 1 perspektif akan diberi nilai dengan nilai maksimal 7 dan nilai
minimal 1. Dari nilai tersebut akan dicari jumlah nilai tertinggi dan terendah dengan mengalikan nilai maksimal dan nilai minimal masing-masing dengan 1, karena setiap perspektif hanya diwakili oleh 1 item atau 1 jumlah soal.
𝑖 = jumlah nilai tertinggi − jumlah nilai terendah jumlah kategori
= 7 − 1 5
= 1,2
Keterangan : i = interval
Berdasarkan hasil interval di atas, maka ditentukan kriteria nilai setiap perspektif seperti berikut:
1. i= 1 ≤ x ≤ 2 , kategorinya sangat rendah.
2. i= 2,2 ≤ x ≤ 3,4 , kategorinya rendah.
3. i= 3,4 ≤ x ≤ 4,6 , kategorinya cukup.
4. i= 4,6 ≤ x ≤ 5,8 , kategorinya tinggi.
5. i= 5,8 ≤ x ≤ 7, kategorinya sangat tinggi.
Setelah mengetahui perspektif masing-masing generasi, perspektif tersebut akan dibandingkan dengan dua cara, yaitu membandingkan rata-rata yang telah diberi nilai sesuai kategori yang ada serta dengan menggunakan uji beda Mann Whitney melalui aplikasi SPSS Statistics 20. Uji beda ini digunakan karena pada penelitian ini data berskala ordinal, terdiri dari dua kelompok yang independent atau saling bebas, jumlah responden dari dua kelompok tidak sama, dan data tidak harus berdistribusi normal. Dari uji beda ini akan dihasilkan angka signifikansi, dimana bila angka tersebut lebih besar daripada (>) 0,05, generasi Y dan generasi X memiliki perspektif yang sama. Namun bila angka lebih kecil daripada (<) 0,05, generasi Y dan generasi X dinyatakan memiliki perspektif yang berbeda.
maka proses analisis akan dilakukan sebanyak 20 kali, sehingga akan didapat 20 gambaran perspektif karyawan
generasi Y dan X serta
perbandingannya.
HASIL
Melalui hasil penghitungan jawaban yang tertuang dalam kuesioner, dapat dilihat bahwa karyawan generasi Y dan X di Indonesia mempunyai perspektif nilai individu yang sama, yaitu pada rentang yang Tinggi dan Cukup Tinggi ( i= 4,6 ≤ x ≤ 5,8 ; i= 5,8 ≤ x ≤ 7 ) pada kreatifitas, adaptasi, kecepatan kerja dan makna pekerjaan. Mereka memiliki kreatifitas yang tinggi, mudah beradaptasi, memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dibanding segera bertindak, dan sangat mementingkan makna pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan terdapat perspektis yang berbeda pada etika dan learning style, dimana generasi Y menjunjung nilai etika dalam bekerja, namun generasi X lebih menjunjung nilai etika dibanding dengan generasi Y. Pada perspektif learning style generasi Y senang belajar secara bertahap daripada mempelajari banyak hal sekaligus dalam waktu singkat, namun generasi X hanya sekedar cukup senang belajar dengan cara seperti generasi Y.
Hasil perhitungan data juga menunjukan bahwa karyawan generasi Y dan X di Indonesia memiliki perspektif terhadap hubungan kerja yang sama pada teamwork dan tipe kepemimpinan, yaitu pada rentang yang Tinggi dan Cukup Tinggi ( i= 4,6 ≤ x ≤ 5,8 ; i= 5,8 ≤ x ≤ 7 ). Mereka sama-sama ingin bekerja dalam tim dan dipimpin oleh pemimpin yang partisipatif. Namun terdapat pula perspektif yang berbeda pada metode komunikasi dan loyalitas. Generasi Y senang melakukan komunikasi melalui proses tatap muka dibanding melalui media komunikasi. Namun, generasi X hanya cukup senang melakukan komunikasi melalui proses tatap muka dan cukup senang pula bila
harus melakukan komunikasi dengan perantara media komunikasi.
Generasi Y dan X di Indonesia memiliki perspektif terhadap sistem kerja yang sama, yaitu pada rentang yang Tinggi dan Cukup Tinggi ( i= 4,6 ≤ x ≤ 5,8 ; i= 5,8 ≤ x ≤ 7) pada pelatihan, feedback, job enrichment, promosi, instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, work-family balance, dan fleksibilitas jam kerja. Mereka cukup senang menjalankan pelatihan yang menggunakan metode konvensional, seperti tatap muka, diskusi, dan mentoring daripada menggunakan teknologi seperti audio visual dan teleconference, senang mendapatkan feedback secara langsung segera setelah pekerjaan dilakukan, ingin mengerjakan pekerjaan yang menantang, bersedia mendapatkan promosi pada waktu yang dianggap tepat oleh organisasi, daripada memiliki keinginan mendapat promosi dalam waktu singkat, senang mendapatkan instruksi untuk melakukan sebuah pekerjaan secara bertahap dibanding diminta untuk melakukan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan, sangat ingin menghabiskan waktu yang seimbang antara kehidupan di tempat kerja dan bersama keluarga, dan menyukai jam kerja yang fleksibel.
Pembahasan
Perspektif karyawan generasi Y tentang nilai individu yang dimilikinya adalah bahwa mereka memiliki kreatifitas yang tinggi, menjunjung nilai etika dalam bekerja, mudah beradaptasi, kurang memiliki kecepatan kerja, sangat mementingkan makna pekerjaan yang dilakukan, dan lebih senang melakukan proses belajar secara bertahap daripada mempelajari banyak hal sekaligus dalam waktu singkat. Di samping itu terdapat perbedaan pada learning style atau metode belajar. Marambe, Vermunt, dan Boshuizen (2012) menyatakan bahwa hal ini mungkin dapat disebabkan karena saat duduk di bangku sekolah, karyawan generasi Y di Indonesia kurang mengetahui dan terbiasa dengan strategi belajar yang dapat membantu mempelajari banyak hal dalam waktu hamper bersamaan.
Kemudian saat ditinjau perspektif pada hubungan kerja dengan karyawan lain di organisasi, karyawan generasi Y cenderung senang bekerja dalam kelompok, memilih melakukan komunikasi melalui proses tatap muka dibandingkan melalui perantara media komunikasi seperti handphone atau media sosial, sangat ingin dipimpin oleh pemimpin dengan tipe kepemimpinan partisipatif dan kurang loyal pada organisasi. Pada hubungan kerja, karyawan generasi Y di Indonesia hanya memiliki perbedaan perspektif mengenai metode komunikasi dengan karyawan generasi Y di luar Indonesia, dimana karyawan generasi Y yang bukan berasal dari Indonesia cenderung lebih senang menggunakan metode komunikasi yang memanfaatkan perantara media komunikasi seperti telepon atau media sosial. Perbedaan ini dapat disebabkan karena kultur negara Asia, termasuk Indonesia yang merasa dapat lebih dalam berkomunikasi saat dilakukan secara langsung dan dapat lebih menunjukan rasa hormat kepada lawan bicara (Dimitriou &Blum, 2015).
Ditinjau dari perspektif pada sistem kerja di organisasi, karyawan
generasi Y cukup ingin menjalani pelatihan dengan metode konvensional, namun cukup ingin pula menjalani pelatihan dengan menggunakan teknologi seperti audio visual. Di samping itu generasi Y senang mendapatkan feedback secara langsung segera setelah pekerjaan selesai dilakukan, mengerjakan pekerjaan yang menantang, bersedia menunggu mendapatkan promosi pada waktu yang ditentukan organisasi, ingin menjalani rotasi kerja, cukup puas dengan kompensasi yang ditetapkan oleh organisasi, ingin diberikan instruksi mengerjakan suatu pekerjaan secara bertahap, ingin terlibat dapat pengambilan keputusan manajamen, sangat ingin menghabiskan waktu yang seimbang antara kehidupan di tempat kerja dan bersama keluarga, serta ingin menjalani jam kerja yang fleksibel.
Terdapat hasil penelitian yang berbeda pada perspektif mengenai metode pelatihan, promosi, dan kompensasi. Perbedaan mengenai metode pelatihan dapat disebabkan oleh penyebab yang sama dengan perbedaan pada perspektif mengenai metode komunikasi, dimana karyawan generasi Y di Indonesia tumbuh di kultur yang menjunjung pentingnya komunikasi secara langsung, sehingga pelatihan menggunakan media teknologi masih belum terlalu diminati.
Saat perspektif pada sistem kerja ditinjau, generasi X cukup senang dengan metode pelatihan konvensional maupun dengan yang menggunakan teknologi audio visual, ingin mendapatkan feedback secara langsung, senang mengerjakan pekerjaan yang menantang, bersedia menerima promosi dalam waktu yang dianggap tepat oleh organisasi, cukup senang dengan kebijakan rotasi kerja, puas dengan kompensasi yang ada, ingin mendapatkan instruksi pekerjaan untuk mengerjakan sesuatu secara bertahap, cukup ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan manajemen, sangat menghabiskan waktu bersama keluarga dan di tempat kerja secara seimbang dan ingin bekerja dengan jam kerja yang fleksibel.
Karyawan generasi X di Indonesia banyak memiliki perspektif yang berbeda dari karyawan di luar Indonesia, seperti perspektif pada nilai individu, yaitu kreatifitas, etika, adaptasi, makna pekerjaan, perspektif pada hubungan kerja, yaitu teamwork dan tipe kepemimpinan, perspektif pada sistem kerja, yaitu feedback, job enrichment, keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen, work-family balance dan fleksibilitas jam kerja.
Dari penjabaran di atas dapat dilihat bahwa terdapat 13 perspektif yang sama dan 7 perspektif yang berbeda dari karyawan generasi Y dan X di Indonesia. Perspektif yang sama adalah perspektif pada kreatifitas, adaptasi, kecepatan kerja, makna pekerjaan, teamwork, tipe kepemimpinan, pelatihan, feedback, job enrichment, promosi, instruksi pekerjaan yang dilakukan, work- family balance, dan fleksibilitas jam kerja. Sedangkan perbedaan perspektif terdapat pada etika, learning style, metode komunikasi, loyalitas, rotasi kerja, kompensasi, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia tidak
sepenuhnya memiliki perspektif yang sama dengan perspektif karyawan generasi Y dan generasi X di luar Indonesia. Terdapat banyak kesamaan perspektif antara generasi Y dan generasi X di Indonesia.. Hal ini didukung oleh Purwanti, Rizky, dan Handriyanto (2013) bahwa karyawan generasi Y dan karyawan generasi X di
Indonesia dapat memiliki
kecenderungan untuk memiliki perspektif yang sama. Chen dan Lian (2015) juga turut membenarkan bahwa diantara karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia tidak terdapat perbedaan yang signifikan seperti di negara lainnya dengan alasan karena terdapat perbedaan peristiwa sejarah, kultur dan situasi yang dialami para generasi tersebut saat tumbuh dewasa. Kowske, Rasch dan Wiley (2010) sependapat bahwa negara Indonesia memiliki sejarah, situasi, kondisi dan budaya yang berbeda dari Negara lainnya.
Perbedaan sejarah, situasi, kondisi dan budaya ini berpengaruh karena pengalaman kultural dapat membuat keunikan pada perspektif karyawan dari berbagai generasi dan kemudian berlanjut pada siklus dimana generasi pun memainkan peran dalam menentukan kultur (Graen & Grace, 2015). (Lutbans & Hob dalam Casey & Robbins, 2012) juga telah menyatakan sebelumnya bahwa kultur berdampak dan mempengaruhi perilaku individu dan dapat menciptakan sikap tertentu. Kultur tersebut dapat berdampak dan berpengaruh karena mereka dipelajari, dibagikan, diturunkan kepada generasi selanjutnya secara turun temurun, disimbolkan dan dibentuk polanya agar dapat dipelajari, dan individu dapat menyesuaikan diri dengan kultur yang ada (Casey & Robbuns, 2012).
individu, hubungan kerja dan sistem kerja di organisasi (Montana & Petit, 2008).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Gambaran Perspektif Karyawan Generasi Y di Indonesia
Perspektif nilai individu pada karyawan generasi Y adalah memiliki kreatifitas yang tinggi, menjunjung tinggi nilai etika dalam bekerja, mudah beradaptasi pada perubahan, memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dengan segera, sangat mementingkan makna pekerjaan yang dilakukan, dan senang mempelajari suatu hal secara bertahap.
Sedangkan perspektif hubungan kerja pada karyawan generasi Y, mereka senang bekerja dalam kelompok, senang melakukan komunikasi tatap muka, sangat senang dengan tipe kepemimpinan partisipatif dan kurang loyal pada organisasi. Dan pada sistem kerja, generasi Y memiliki perspektif bahwa mereka cukup senang menjalani pelatihan yang menggunakan metode konvensional maupun yang menggunakan teknologi audio visual, senang mendapatkan feedback secara langsung segera setelah pekerjaan dilakukan, ingin
mengerjakan pekerjaan
menantang, bersedia mendapatkan promosi pada waktu yang dianggap tepat oleh organisasi, setuju dengan rotasi kerja, cukup puas dengan kompensasi yang didapat, senang mendapatkan instruksi untuk mengerjakan suatu pekerjaan secara bertahap, ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan manajemen, sangat ingi menghabiskan waktu yang seimbang antara kehidupan di
tempat kerja dan bersama keluarga serta menyukai jam kerja yang fleksibel.
2. Gambaran Perspektif Karyawan Generasi X di Indonesia
Karyawan generasi X di Indonesia memiliki perspektif nilai individu kreatifitas yang tinggi, sangat menjunjung
tinggi etika dalam
bekerja,mudah beradaptasi pada perubahan, memilih untuk berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan, sangat mementingkan makna pekerjaan yang dilakukan dan cukup senang belajar secara bertahap maupun belajar banyak dalam waktu bersamaan.
3. Perbedaan Perspektif Karyawan Generasi Y dan Karyawan Generasi X di Indonesia
Karyawan generasi Y dan generasi X di Indonesia memiliki perspektif yang sama pada kreatifitas, adaptasi, kecepatan kerja, makna pekerjaan, teamwork, tipe kepemimpinan, pelatihan, feedback, job enrichment, promosi, insturksi pekerjaan yang dilakukan, work-family balance, dan fleksibilitas jam kerja. Namun memiliki perbedaan pada etika, learning style, metode komunikasi, loyalitas, rotasi kerja, kompensasi, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen.
SARAN
1.
Melakukan penelitan eksplorasi yang lebih dalam agar dapat diketahui lebih lanjut tentang perspektif karyawan generasi Y dan X di Indonesia terhadap nilai individu yang dimiliki, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang dibentuk organisasi.2.
Penelitian ini ditujukan pada karyawan generasi Y dan X di Indonesia dari semua sektor pekerjaan. Sedangkan penelitan sebelumnya cenderung lebih sering menyorot karyawan generasi Y dan generasi X pada sektor tertentu. Untuk penelitian selanjutnya, sektor pekerjaan harap dipertimbangkan, karena pada setiap sektor pekerjaan terdapat karyawan dengan perspektifyang berbeda sesuai dengan kebutuhan sektor pekerjaan tersebut. Misalnya pada sektor kesehatan, kreatifitas tidak terlalu dibutuhkan, sehinggakaryawan pada sektor tersebut kurang kreatif. Sedangkan pada sektor pariwisata, kreatifitas sangat diperlukan untuk menarik para konsumen yang berwisata untuk berkunjung, sehingga karyawan pada sektor ini cenderung lebih kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
BukuBennis, W. 2003. On Becoming a Leader, Cambridge, MA: Peruses Publishing.
Dwiatmadja C. et al, 2001. Managemen: Suatu Hampiran Fungsional ISBN 979-9325-60-9. FEB , Unifersitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dwiatmadja C. et al, 2001. Managemen:
Suatu Hampiran Fungsional ISBN 979-9325-60-9. FEB, Unifersitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Foster. B. 2005, Manajemen Ritel: Semua kegiatan yang dilakukan oleh peritel dapat dijadikan dasar bagi keunggulan bersaing, tetapi terdapat beberapa keunggulan yang “Subtainable” dan beberapa diantaranya dapat ditiru oleh pesainganya. Alfabeta Bandung Gibson Jl, et al 1993, Organisasi dan
Menejemen (terjemahan) Erlangga.
Griffin, Ricy W., 2006. Management,
7th Edition, Boston, Massachusetts,USA: Houghton Mifflin Company.
Ivanceich, John M.,Robert kanopaske, Michael T. matteson, 2005.
Organizational Behavior, 7 th
Edition , McGraw Hill Companies Mowday, RT. Porter, L.W.& Steers,
RM. 1982. Employ Organization Linkage: The Psychology of commitment, absenteeism & Turnover. New York Academy Press.
Pujatmaka, Edisi Bahasa Indonesia Jilid 1 dan 2, Jakarta: PT. Prenhallindo.
Jurnal
Amazon, A. C 1996. Distinguishing the effects of functional and dysfunctional conflict on strategic decision making: Resolving a paradox for top management teams. Academy Of managemen Journal, 39, 123-1
Avolio, Bruce J. 2007. Promoting More Integrative Strategies For Leadership Theory-Building.The American Psychologicak Association 0003- 0066X/07/$12.00. Vol.62, N0.1,25-33 DOI:10.1037/0003-066X. 62.1.25
Cole, caroline Louise. 2000. Building Loyality, Workforce, aug 2000, Vol.79 issue 8.
Davis, Peter S, Paula D Harveston. 2001. The phenomenon of substantive conflict in the family firm: a cross- generational Study. Journal Of Small Business Management; Jan 2001; 39, I; Business Module. Pg. 14-30. De Drau, C. K.W., & Weigart, L. R.
2003. Task versus relationship conflict: A meta analysis. Journal of applied psychology, 88,741-749.
Jehn, Karen A., and Elizabeth A. Chatman. 2000. The Dynamic Nature of Conflict: A Longitudinal Study of Infragroup Conflict and Group Performance. Academy of Management Journal. 2001, Vol. 44. No. 2, 238-251. Karadal , Himmet, Unal Ay, M. Turan
Cuhadar, 2008. The effect of Role Cofnflict and Role Abiquity on Job satisfaction and Organizational Commitment: A Study in the Public and Private Sectors, The Journal of American Academy of Business, Cambrigde, Vol. 13, Num. 2, September 2008. Markovits, Jannis, Ann J. Davis, Rolf van Dick. 2007. Organizational
commitment Profiles and Job satisfaction among Greek Private and Public Sector Employees, International Journal of Cross Cultural management, 2007 Vol 7(1):77-99.
Meyer, IP., Allen and Smith. 1993. Commitment to organization and Occupation: Extention and test of tree component Conceptualization, Journal Applied Psychology, Vol.78.PP38-55.
Morris, Michael G., and Visvanath Venkatesh. 2010. Job Characteristics and Job satisfaction: Understanding The Role Of Enterprise Resource Planing System Implementation. Mis Quartely. Vol. 34 No. 1,Pp.143-161.
Palled, Lisa Hope. 1996. Demographic Diversity, conflict, and Work Group Outcome: an Intervening Process Theory. Organization science Vol. 7, 615-631
Rahim, M. Afzaur. 2002. Toward A Theory of Managing Organization Conflict.Internasional Journal Of Conflict Mangement; 2002, Vol.13 Issue 3,p206, 30p,4
Ussahawanitchakit, Pharpuke, 2008. Organizational Learning Capability, Organization Commitment, And Organizational Effeectiveness: An Epirical Study of Thai Acounting Firms. International Journal of Business Startegy, Vol. 8, Number 3,2008
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Internet
Lambert, Eric G., Sudershan Pasupuleti, Terry Cluse-Tolar, Mylo jenings, david baker. 2006. The Impact of Work Family Conflict on Social Work and Human Service Worker Job Satisfaction and Organizational Commitment: A