• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Dinamika Kehidupan Orang Sakai (Studi Etnografi Mengenai Dinamika Kehidupan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Dinamika Kehidupan Orang Sakai (Studi Etnografi Mengenai Dinamika Kehidupan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Penelitian ini mengkaji kehidupan Orang Sakai di Desa Petani, Kecamatan

Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Orang Sakai yang dimaksud adalah Orang

Sakai yang berada di kawasan Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa

Petani. Peneliti mendeskripsikan bagaimana kehidupan sehari-hari Orang Sakai

serta bagaimana hubungan Orang Sakai dengan lingkungan ekologi mereka.

Fokus penelitian ini menjelaskan dinamika kehidupan Orang Sakai terkait

perubahan lingkungan ekologi tempat mereka tinggal akibat berbagai hal salah

satunya karena keberadaan perusahaan eksplorasi minyak dan perusahaan

perkebunan. Alasan peneliti melakukan penelitian terhadap Orang Sakai karena

kehidupan Orang Sakai yang tradisional berubah menjadi masyarakat yang

semakin modern baik dalam sistem mata pencaharian, pendidikan anak, sistem

kemasyarakatan, pola perkawinan, agama dan religi, serta kesehatan.

Orang Sakai hidup di kawasan rawa-rawa atau daerah berpaya-paya, di

hutan, serta disekitar sungai. Orang Sakai bertahan hidup dengan bergantung pada

hutan dan sungai tersebut. Meliputi berladang berpindah-pindah, menjerat atau

memburu hewan di hutan, mencari dan mengumpulkan hasil hutan serta

menangkap ikan di sungai dan di rawa-rawa (Parsudi Suparlan, 1995).

Hutan-hutan di wilayah Kecamatan Mandau menurut Suparlan (1995)

termasuk kedalam hutan tropik yang ditumbuhi bermacam tumbuhan. Dari

(2)

lunak dan kecil; dan dari tumbuhan yang merambat sampai dengan lumut dan

berbagai jamur serta tumbuhan air. Hasil hutan yang dicari oleh Orang Sakai

antara lain kayu meranti, kayu balam, kayu gaharu (kayu bosi), rotan, damar,

kemenyan, getah karet hutan dan sebagainya. Sedangkan jenis hewan yang ada di

hutan tersebut seperti gajah, tapir, babi hutan, musang, monyet, ular, tupai,

kalong, tikus, ayam hutan, dan sebagainya. Sungai yang menghidupi Orang Sakai

merupakan sungai-sungai kecil yang airnya hitam atau gelap kecoklat-coklatan.

Hewan yang terdapat di sungai tersebut seperti ikan toman, ikan patin, ikan gabus,

ikan lele, ikan kayangan, ikan selais, ikan baung, udang galah, biawak, ular air,

dan sebagainya (Suparlan, 1995:36-37).

Kehidupan Orang Sakai yang sangat bergantung pada lingkungan alam

membuat mereka menjalin hubungan baik dengan lingkungannya. Dalam

berladang, memburu hewan di hutan dan menangkap ikan Orang Sakai memiliki

cara dan aturan tertentu. Orang Sakai cenderung tidak mengeksploitasi

lingkungannya. Hal tersebut didukung dengan tidak adanya teknologi yang

digunakan untuk memanfaatkan lingkungan hidup mereka.

Wilayah Kecamatan Mandau yang dijadikan sebagai pusat kegiatan

eksplorasi minyak, membuat wilayah-wilayah hutan di kecamatan ini dibuka

secara bertahap dan terus-menerus. Selain itu wilayah tersebut juga dijadikan

perkebunan karet dan kelapa sawit serta usaha Hutan Tanaman Industri (HTI).

Keadaan ini tentunya membuat Orang Sakai harus beradaptasi terhadap

lingkungan ekologis mereka yang berubah. Kerusakan lingkungan hidup dapat

menimbulkan kerugian ekologis, ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat

(3)

Rab (2002:28) menjelaskan bahwa tempat beroperasinya

perusahaan-perusahaan besar disana, dahulunya merupakan hutan dan belukar tempat orang

Sakai mencari makan. Mereka mengambil rotan, damar, getah rambung, lembuai

jenis kayu dan hewan buruhan. Dari sungai, mereka dapat mengambil berbagai

jenis ikan. Mereka menerapkan pertanian ladang berpindah dengan tanaman padi

ladang dan ubi manggalo. Dulu orang Sakai rata-rata memiliki lahan yang luas.

Pada saat perusahaan-perusahaan mulai membuka hutan dan belukar,

mereka banyak kehilangan tanahnya. Memang ada beberapa pihak membantu

“pengganti” pada tanah penduduk yang diambil. Akan tetapi lebih banyak lagi

yang seenaknya mencaplok itu tanah mereka tanpa permisi. Biaya pengganti tanah

juga sangat rendah dan sepihak. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di

berbagai bidang seperti explorasi minyak (PT Caltex Pacific Indonesia1

Ada pula artikel dalam kampungrison.wordpress.com (30/6/2009), yang

ditulis Jelprison dengan judul Selama 20 Tahun Sakai Telah Berubah,

menyebutkan hutan-hutan yang dikelola oleh perusahaan itu ternyata dinilai tidak

membawa keuntungan bagi masyarakat Sakai sendiri, bahkan Orang Sakai yang

lekat dengan hutan dan rimba ini tidak bisa memasuki wilayah hutan tanaman ),

perkebunan kelapa sawit dan karet (yang terbesar adalah PT Ivomas Tunggal dan

PT Adei), PHP (diantaranya adalah PT Rokan Timber) dan terakhir adalah HTI

(PT Indah Kiat). Selain itu terdapat perusahaan-perusahaan kecil dan menengah

milik perseorangan atau kelompok. Selain kepada perusahaan-perusahaan, lahan

orang Sakai juga turut dihabiskan oleh para pendatang yang umumnya datang dari

daerah Sumatera Utara, terutama Etnis Batak dan Jawa ( Rab, 2002:28).

1

(4)

industri yang dikelola perusahaan2. Selain itu terdapat juga artikel dalam

www.riaupos.co (26/8/2012), yang ditulis Erwan Sani dengan judul Dari

Menangkap Ikan dan Berburu, Berpindah ke Tambak dan Bertani: Hutan Punah,

Hidup Suku Sakai pun Berubah, menyebutkan Orang Sakai tak mudah lagi

mengharapkan hasil hutan dan sungai. Apalagi setiap harinya jumlah tangkapan

ikan dari sungai-sungai yang ada semakin tak bisa dipastikan. Kadang-kadang

turun ke sungai menggunakan sonik tak dapat ikan, kalaupun ada hanya bisa

untuk makan saja. Hal ini disebabkan semakin banyaknya anak-anak sungai yang

mengering dan tak adanya hutan3

Uraian masalah diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan lingkungan

ekologi yang menyebabkan berubahnya kehidupan Orang Sakai. Perubahan

tersebut dapat menyangkut sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan dan

lingkaran hidup, magi, kepemimpinan dan keteraturan sosial, nilai-nilai

tradisional, aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera. Perubahan

tersebut dapat berupa perubahan yang lebih baik maupun perubahan yang kurang

baik bagi kehidupan masyarakatnya. .

Salah satu contoh perubahan yang lebih baik karena perubahan lingkungan

ekologi dapat dilihat antara lain mengenai perubahan ekologi dalam kehidupan

masyarakat Pulau Rote dan Sawu yang ditulis oleh Fox (1996). Fox menjelaskan

peralihan mata pencaharian masyarakat Rote dan Sawu yang mula-mula adalah

petani ladang, kemudian pertanian yang semakin memburuk telah menimbulkan

2

Selama 20 Tahun Sakai Telah Beruba

3

(5)

tumbuhnya sabana palem seperti lontar dan gewang. Mereka mampu

menyesuaikan diri dan bahkan membuat perekonomian mereka menjadi lebih baik

dengan memanfaatkan sabana palem yaitu lontar dan gewang tersebut.

Selain itu, contoh perubahan kurang baik karena masuknya teknologi baru

dalam pertanian dapat dilihat mengenai perubahan sosial dan perkelahian politik

Masyarakat di Tengger yang ditulis oleh Hafner (1999). Hafner menjelaskan

perubahan bentuk ekonomi masyarakat Tengger akibat pertumbuhan kapitalisme

industri. Pertumbuhan kapitalisme industri telah mengikis nilai-nilai tradisional,

mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera yang

berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Satu contoh lagi

mengenai perubahan yang kurang baik dari adanya bencana yang ditimbulkan

oleh suatu industri dapat dilihat mengenai tulisan Adhan (2010). Adhan

menjelaskan masalah konflik tanah antara masyarakat Tanah Toa Kajang dengan

PT LONSUM. Tanah masyarakat Tanah Toa Kajang dieksploitasi oleh Perusaaan

perkebunan PT LONSUM. Ketersediaan tanah semakin berkurang membuat

masyarakat mulai mengeksploitasi tanah-tanah mereka dan tidak bisa lagi

melakukan beberapa ritual yang berhubungan dengan penghargaan terhadap alam.

Hal ini lah yang mendasari peneliti untuk meneliti kehidupan Orang Sakai,

karena kehidupan Orang Sakai ikut berubah dengan perubahan lingkungan

ekologi tempat mereka tinggal. Selain itu peneliti juga akan melihat bagaimana

tanggapan Orang Sakai terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut dan

(6)

1.2 Tinjauan Pustaka

Salim (1983:7-8) menjelaskan manusia menyesuaikan pola hidupnya

dengan irama yang ditentukan oleh lingkungan alam. Perubahan lingkungan alam

berada diluar kendali tangan manusia, maka manusia memasrahkan diri kepada

lingkungan. Ini melahirkan kebiasaan, tradisi, dan hukum-hukum tidak tertulis,

yang kemudian mengatur pergaulan hidup masyarakat. Naruli mempertahankan

diri mendorong hasrat berkembang biak dan melangsungkan kehidupan. Untuk

mempertahankan kehidupan diri dan masyarakat yang kian banyak, manusia

mulai menggunakan ilmu dan teknologi untuk menundukkan lingkungan alam.

Sikap pasrah menjadi sikap mengendalikan lingkungan. Pola hidup yang

semulanya mengikuti irama dan hukum alam, kini ingin ditentukan oleh irama dan

hukum masyarakat sendiri. Tradisi, kebiasaan, dan hukum tak tertulis

berangsur-angsur disesak oleh hukum tertulis dan cara-cara yang berkembang di masyarakat

dalam menanggapi masalah baru. Semua ini menimbulkan perubahan yang

dinamis sifatnya. Dalam kaitannya dengan studi ini, peneliti akan melihat apakah

Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani hidup lekat

dengan alam dengan segala tradisi, kebiasaan dan hukum yang berlaku. Kemudian

peneliti akan melihat apakah kehidupan Orang Sakai mengalami perubahan akibat

perubahan ekologi mereka.

Alfian (1983:58) menjelaskan manusia yang berhasil mengembangkan

rasio dan penalarannya mempunyai kemampuan untuk mengolah alam sekitarnya

guna memenuhi kepuasan materinya. Melalui perkembangan ilmu pengetahuan

(7)

kepentingan dirinya. Keserakahan manusia, tentunya mereka yang mampu

menghimpun kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sering menyebabkannya

lupa tentang keterbatasan-keterbatasan alam itu sendiri sehingga

pengeksploitasiannya secara berlebihan bukan lagi membawa kebahagiaan materi,

melainkan berbalik mendatangkan malapetaka yang menyengsarakan. Dalam

kaitan dengan studi ini akan melihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi

mempengaruhi Orang Sakai dalam memanfaatkan hutan dan sungai.

Daldjoeni (1982:46) menjelaskan lingkungan hidup adalah apa saja yang

mempunyai kaitan dengan kehidupan pada umumnya dan kehidupan manusia

khususnya. Oleh sebab itu, maka dunia hewan, tumbuh-tumbuhan dan zat-zat

hidup yang dibutuhkan bagi kebutuhan hidup, termasuk di dalam pengertian

lingkungan hidup.

Sastrosupeno (1884:67-68) menjelaskan pada masyarakat sederhana,

hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan sangat dekat dan erat.

Saking eratnya sampai-sampai tumbuh kepercayaan yang dikenal dengan nama

totemisme4

4

Totemisme adalah suatu kepercayaan tentang asal-usul keturunan suatu masyarakat atau kelompok suku.

. Didalam kepercayaan ini, maka seseorang dapat merupakan

keturunan dari seekor binatang atau dari daun atau pohon tertentu. Timbul juga

kepercayaan bahwa roh nenek moyang kembali kepada pohon, batu, kayu,

gunung, dan lain unsur alam. Untuk itu perlu diadakan penghormatan dan

penghargaan kepada mereka. Keeratan hubungan antara manusia dengan alam dan

lingkungannya itu tercermin juga di dalam cara hidup mereka dalam mencari

(8)

memang amat ditentukan oleh alam dan lingkungannya. Maka suatu kelompok

masyarakat yang tinggal didaerah pegunungan, akan hidup secara otomatis

sebagai orang gunung misalnya mencari kayu bakar, membuat arang, mencari

daun-daun untuk dijual dan berkebun atau berladang. Dalam kaitan dengan studi

ini, peneliti akan melihat bagaimana hubungan Orang Sakai dengan alam mereka.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu

lingkungan. Lingkungan fisik, lingkungan biologis serta lingkungan sosial

manusia akan selalu berubah dari waktu ke waktu (Amsyari, 1981:11-12). Begitu

juga dengan Orang sakai yang mengalami perubahan dalam lingkungannya.

Lingkungan fisik Orang Sakai yang terdiri dari hutan dan sungai, berubah menjadi

industri perminyakan dan perkebunan. Alam Orang Sakai secara otomatis

berubah, ikan di sungai, hewan dan pohon-pohon di hutan mulai berkurang

jumlahnya. Selain itu, semakin banyak Orang Sakai berinteraksi dengan orang

yang berada diluar kelompoknya membuat kehidupan Orang Sakai lebih modern.

Hal inilah yang membuat Orang Sakai harus melakukan penyesuaian terhadap

perubahan-perubahan tersebut. Dengan kebudayaan yang dimiliki, manusia dapat

berkembang dan tetap bertahan karena mereka mampu melakukan proses

penyesuaian. Menurut Poerwanto (2005:61) kebudayaan merupakan seperangkat

gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam

suatu ekosistem.

Kebudayaan menurut Kluckhohn (1993:69-96) adalah keseluruhan cara

hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya.

(9)

manusia. Cara hidup yang berbeda yang diturunkan sebagai warusan sosial suatu

masyarkat tidak hanya memberikan perangkat-perangkat kemampuan untuk

menjalani kehidupan tetapi juga perangkat rencana bagi hubungan antara manusia.

Poerwanto (2005:139-143) menjelaskan perubahan suatu lingkungan dapat

pula mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan, dan perubahan

kebudayaan dapat pula terjadi karena mekanisme lain seperti munculnya

penemuan baru, difusi dan akulturasi. Dengan kebudayaan yang dimilikinya,

suatu masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungannya dengan

lingkungannya. Sahlins (dalam Poerwanto, 2005:140) mengatakan bahwa dalam

menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung mendekatinya melalui budaya

yang dimilikinya, yaitu sistem simbol, makna dan sistem nilai.

Suparlan (1983:74) menjelaskan dalam masyarakat yang kompleks,

khususnya dalam masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan

kebudayaan, hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya

menjadi lebih intensif sehingga lingkungan sebagai sistem terganggu

keseimbangannya. Hal ini dapat terjadi pertama karena penekanan yang ada dalam

kebudayaan tersebut adalah pada usaha untuk menaikkan tingkat kesejahteraan

hidup baik secara kualitas maupun secara kuantitas, yang mempunyai efek

samping keapada adanya sifat rakus untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya

yang ada dalam lingkungannya semaksimal mungkin. Kerakusan dapat

berkembang karena kebudayaan yang dipunyai oleh warga masyarakat sebagai

kesatuan sudah terpecah-belah, unsur mekanisme kontrol hubungan antara

(10)

menjadi tidak berlaku lagi, khususnya mekanisme kontrol yang mempunyai sanksi

moral dan keagamaan.

Kedua, penekanan pada hal-hal yang rasional amat dilebih-lebihkan, yaitu

hubungan sebab akibat antara gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya secara

objektif dan empiris, yang membawa akibat sampingan bahwa tempat angker dan

upacara berkenaan dengan kepercayaan akan adanya makhluk gaib di sawah, di

hutan, atau ditempat tertentu, menjadi tidak ada lagi. Ketiadaan

tempat tersebut disebabkan karena kepercayaan yang berkenaan dengan

tempat-tempat tersebut dianggap sebagai tahyul, kepercayaan orang bodoh, atau juga

dianggap sebagai menduakan Tuhan. Padahal secara tidak langsung adanya

kepercayaan tersebut merupakan mekanisme kontrol yang terselubung dalam

kebudayaan agar manusia tidak menghabiskan sumber daya alam yang ada dalam

lingkungannya sehingga keseimbangan lingkungan terebut dapat dipertahankan.

Ketiga, kewibawaan makhluk halus yang menghini tempat-tempat angker

tersebut dalam pengamatan manusia yang bersangkutan ternyata tidak dapat

dipertahankan dalam melawan teknologi modern. Hilanglah sudah kekuasaan para

makhluk halus yang ada di hutan belantara dalam memberikan rasa takut kepada

manusia untuk merusak alam lingkungannya. Dalam kaitan dengan studi ini,

peneliti akan melihat apa yang berubah dan apa yang tidak berubah dari

kehidupan dan kebudayaan Orang Sakai setelah berubahnya lingkungan ekologis

mereka.

Fox (1996:79) menjelaskan mengenai perubahan ekologi dalam kehidupan

(11)

petani ladang, pertanian yang semakin memburuk telah menimbulkan tumbuhnya

sabana palem seperti lontar dan gewang. Mereka terpaksa harus menyesuaikan

diri dengan keadaan lingkungan yang baru ketika usaha perladangan mulai gagal.

Letak Pulau Rote dan Sawu yang terpencil membuat masyarakat pulau-pulau ini

dapat mengadakan peralihan dari perladangan ke pemanfaatan sabana palem yaitu

lontar dan gewang tanpa campur tangan yang berarti dari luar. Masyarakat Pulau

Rote dan Sawu akhirnya dalam kehidupannya sangat tergantung pada pohon

lontar. Dari batang, buah, tangkai dan daun, serta nira berguna bagi kehidupan

masyarakat. Dalam kaitannya dengan studi ini, peneliti akan melihat bagaimana

Orang Sakai dapat bertahan dengan perubahan alam yang dialami.

Steward (dalam Poerwanto, 2005:68-71) mengkaji keterkaitan hubungan

antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya, antara lain dengan

menganalisis hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan

teknologi yang dipergunakan. Sehingga warga dari suatu kebudayaan dapat

melakukan aktivitas mereka dan akhirnya mampu bertahan hidup. Steward

memberikan contoh pada masyarakat yang telah mengenal sistem pertanian.

Pertanian menetap membuat orang harus mengolah tanahnya secara intensif,

karena itu muncul teknologi bajak, dan pemanfaatan ternak sebagai pengganti

energi manusia. Sebagai akibatnya, terjadilah perubahan struktur masyarakat pada

bentuk-bentuk baru dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk dapat mengolah

tanah yang tidak subur. Timbul lah suatu sistem irigasi dengan suatu organisasi

dan orang-orang yang mengatur. Dalam kaitan dengan studi ini akan melihat

adakah struktur masyarakat Sakai yang berubah dengan adanya perubahan ekologi

(12)

Hafner (1999:1-5) menjelaskan mengenai perubahan bentuk ekonomi

masyarakat Tengger akibat pertumbuhan kapitalisme industri. Masyarakat

Tengger mengalami perubahan besar ketika masa Orde Baru mengambil alih

kekuasaan. Rovolusi hijau merupakan proyek ekonomi yang dijalankan. Pertanian

perkebunan yang subsisten berubah menjadi pertanian komersil dengan modal

intensif yang bergantung pada benih unggul, pestisida, fungisida dan pupuk.

Pembangunan jalan-jalan memudahkan transportasi barang-barang konsumsi dan

semakin banyak campur tangan pemerintah. Barang konsumsi mewah melanda

pasar-pasar di daerah pedalaman membuat terlihatnya yang kaya dan yang miskin.

Pertumbuhan kapitalisme industri telah menggerogoti nilai-nilai tradisional,

mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera senantiasa

berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.

Sebagai contoh orang dataran tinggi yang tidak tertarik menggunakan

pakaian bagus dan makan makanan tertentu; pada musim panen semua orang

bekerja sama-sama, hampir tidak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah,

hubungan patron-klien; tidak mengenal stratifikasi; dan bergantung pada tanahnya

sendiri, bukan jaminan subsisten dati patron. Kini orang dataran tinggi persis

seperti orang dataran rendah. Orang yang berkelebihan sifatnya memerintah,

orang yang berkelebihan musim panen tidak memanen sendiri hasil panennya,

mereka mengingat-ingat apa saja yang pernah mereka berikan pada orang lain dan

apa saja yang mereka terima, segala sesuatu diperhitungkan dan dimiliki. Dalam

kaitan dengan studi ini, peneliti akan mencermati apakah perubahan ekologi

(13)

sehari-hari, dan identitas Orang Sakai sesuai dengan kepentingan produksi dan

status.

Adhan (2010) menjelaskan mengenai masalah konflik tanah masyarakat

Tanah Toa Kajang dengan PT LONSUM dan kaitan antara bencana alam serta

bencana sosial di Tanah Toa Kajang dengan keberadaan PT LONSUM. Terdapat

keterikatan batin antara masyarakat Tanah Toa dengan lingkungannya. Hutan,

binatang, dan tanaman dalam kosmologi mereka adalah bagian dari manusia. Dan

karenanya masyarakat Tanah Toa menghormati, menyayangi dan memperlakukan

layaknya makhluk hidup. Sehingga yang terjadi bukan penaklukan, eksploitasi

dari manusia ke yang lain, tetapi bagaimana manusia dengan lingkungannya,

makanya pengolahan tanah bagi orang Kajang hanya bisa sekali setahun. Akan

tetapi, kini semua hal itu tidak bisa lagi dilakukan.

Tanah dan sumber daya alam masyarakat Tanah Toa dieksploitasi oleh

Perusaaan perkebunan PT LONSUM. Masyarakat tidak bisa lagi bertahan hanya

menggarap sawah atau tanah sekali dalam setahun. Saat ini mereka mulai

menggarap sawah atau lahan-lahan mereka sampai dua kali bahkan tiga kali

setahun. Mereka mulai mengeksploitasi tanah-tanah mereka, sebab ketersediaan

tanah semakin berkurang. Selain itu mereka tidak bisa lagi melakukan beberapa

ritual yang berhubungan dengan penghargaan terhadap alam karena beberapa

lokasi adat mereka telah dijadikan perkebunan. Oleh karena itu, Penelitian ini

akan melihat bagaimana hubungan yang tercipta antara Orang Sakai dengan alam

(14)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana dinamika kehidupan Orang Sakai di Jembatan II

RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani ditinjau dari perubahan ekologi.

Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana sejarah kedatangan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun

Buluh Manis Desa Petani?

2. Bagaimana kehidupan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh

Manis Desa Petani?

3. Bagaimana hubungan antara Orang Sakai dengan alam sebelum terjadinya

perubahan ekologi?

4. Bagaimana hubungan antara Orang Sakai dengan alam setelah terjadinya

perubahan ekologi?

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan kehidupan Orangt Sakai di

Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani Kecamatan Mandau

Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana

hubungan Orang Sakai dengan alam serta kegiatan Orang Sakai sehari-hari baik

dalam sistem mata pencaharian, magi, sistem kekerabatan dan lingkaran hidup,

maupun kepemimpinan dan keteraturan sosial serta perubahan-perubahan yang

(15)

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah secara akademis

penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi.

Khususnya dalam memperkaya literatur mengenai Orang Sakai. Secara praktis

penelitian ini akan memperoleh data yang diharapkan mampu memberikan

informasi dan solusi bagi pemerintah dalam memberikan perhatian terhadap

masyarakat yang terpinggirkan. Selain itu manfaat praktis untuk pembaca umum

sebagai informasi tentang kehidupan Orang Sakai serta bagaimana Orang Sakai

menghadapi perubahan lingkungan ekologi mereka.

1.5Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara mendalam tentang

perubahan-perubahan yang terjadi pada Orang Sakai. Menurut Moleong (2005:6)

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami apa yang

dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Penelitian ini akan dilakukan di Jembatan

II RW 09 Dusun Buluh Manis, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten

Bengkalis, Provinsi Riau. Kecamatan Mandau dipilih karena di lokasi inilah

tempat Orang Sakai bermukim.

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna

(16)

a. Teknik Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal

seperti ruang dan tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat

yang digunakan, waktu, peristiwa, dan kegiatan sehari-hari. Peneliti mengamati

segala aktivitas sehari-hari yang dikerjakan oleh Orang Sakai. Baik kegiatan

orang tua maupun kegiatan anak-anak Sakai. Peneliti akan mengamati

lingkungan tempat Orang Sakai bermukim, mengamati tempat Orang Sakai

bekerja, mengamati cara bekerja Orang Sakai, mengamati peralatan bekerja

yang digunakan Orang Sakai, mengamati bagaimana hubungan Orang Sakai

dengan lingkungannya, mengamati bagaimana hubungan Orang Sakai dengan

Orang Sakai serta mengamati bagaimana hubungan yang tercipta antara Orang

Sakai dengan perusahaan-perusahaan yang dekat dengan pemukiman mereka.

Selain observasi, peneliti juga berpartisipasi dalam beberapa hal, yakni

peneliti tinggal bersama Orang Sakai, mengikuti kegiatan Orang Sakai seperti

memancing dengan Orang Sakai, memasang taju dan lukah dengan Orang

Sakai, menyusun dan mengikat kayu, serta mengajar di Sekolah Dasar yang

ada di Jembatan II tersebut. Tujuan peneliti melakukan partisipasi ini adalah

untuk dapat mendekatkan diri lebih dalam dengan masyarakat yang diteliti.

b. Teknik Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam, dimana peneliti dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang

(17)

guide). Peneliti melakukan wawancara dengan Orang Sakai di Jembatan II

mengenai mata pencaharian mereka, pendidikan anak, sistem kemasyarakatan,

pola perkawinan, agama dan religi, kesehatan, pengobatan tradisional. Serta

tanggapan Orang Sakai terhadap PT Chevron Pasific Indonesia dan PT lain

yang berada di wilayah Desa Petani. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana

sejarah kedatangan masyarakat Sakai di Jembatan II Dusun Buluh Manis Desa

Petani penulis memawancarai Bapak Adim, Ibu Erma, Ibu Erleni sebagai orang

yang sudah lama tinggal disini serta Bapak Hendra selaku ketua RT 02.

Sedangkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana hubungan antara

Masyarakat Sakai dengan alam sebelum terjadinya perubahan ekologi dan

setelah terjadinya perubahan ekologi, peneliti melihat dari kegiatan mereka

dalam meanfaatkan hutan.

Selain itu peneliti juga menggunakan data kepustakaan guna

melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data

kepustakaan diperoleh melalui sumber tertulis seperti buku-buku, majalah,

koran serta sumber elektronik seperti televisi, radio dan internet. Peralatan

visual seperti kamera juga membantu peneliti dalam pengumpulan data selama

penelitian ini.

1.5.2 Rangkaian Pengalaman di Lapangan

Penulis tiba di lokasi penelitian yakni di Jembatan II Desa Petani

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Riau pada tanggal 27 Maret 2013.

Sebagai langkah awal penulis datang ke rumah ketua RT 01 Jembatan II untuk

(18)

di rumah. Penulis bertemu dengan istri ketua RT 01 dan menjelaskan maksud

kedatangan penulis. Kemudian istri ketua RT 01 tersebut menyarankan agar

peneliti pergi ke rumah ketua RW 09.

Penulis kemudian pergi ke rumah ketua RW 09. Ketika penulis sampai di

rumah ketua RW 09 terdapat pemuda-pemuda yang sedang berkumpul. Namun

ketua RW 09 juga sedang tidak berada di rumah. Penulis dipersilahkan masuk ke

rumah oleh istri ketua RW 09. Penulis pun menyampaikan maksud kedatangan

penulis ke Jembatan II untuk melakukan penelitian kepada istri ketua RW 09.

Penulis menunjukan surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh Universitas

kepada mereka. Pada awalnya mereka sulit untuk menerima penulis untuk

melakukan penelitian di lingkungan mereka. Mereka bercerita bahwa pernah ada

anak sekolah datang memfoto rumah dan lingkungan mereka tanpa izin.

Kemudian mereka merebut camera anak sekolah tersebut dan membuangnya ke

sungai. Mereka merasa di hina oleh anak sekolah tersebut. Mereka mengatakan

bahwa mereka sangat tidak suka di foto. Lain halnya dengan istri ketua RW 09, Ia

mengatakan bahwa mereka takut apabila penulis bukanlah benar-benar anak

sekolah melainkan orang yang disuruh menyelidiki kegiatan Orang Sakai di

Jembatan II ini.

Setelah penulis berhasil meyakinkan maksud kedatangan untuk belajar,

maka penulis meminta izin untuk tinggal di lingkungan mereka. Istri ketua RW 09

pun mencarikan tempat tinggal untuk penulis. Istri ketua RW 09 memangggil Ibu

Erma yang merupakan seorang janda memilki dua orang anak perempuan yang

masih sekolah. Mereka mengatakan tidak aman apabila penulis tinggal di rumah

(19)

dirumahnya. Pada awalnya Ibu Erma merasa keberatan apabila penulis tinggal di

rumahnya. Ia mengatakan bahwa rumahnya sudah akan roboh apabila ada angin

dan hujan yang membuat penulis tidak nyaman. Namun penulis meyakinkan

bahwa hal itu tidak menjadi masalah untuk penulis. Akhirnya Ibu Erma

mengizinkan penulis untuk tinggal di rumahnya. Kemudian Ibu Erma mengajak

penulis melihat keadaan rumahnya terlebih dahulu. Setelah penulis melihat

keadaan rumah ibu erma, lalu penulis kembali ke rumah ketua RW 09 untuk

berpamitan pulang dan akan kembali keesokan harinya. Istri RW 09 pun

mengatakan akan menyampaikan maksud kedatangan penulis kepada Bapak RW

09 setelah Ia pulang nanti.

Pada tanggal 28 Maret 2013 penulis kembali ke Jembatan II dengan

membawa pakaian dan perlengkapan lainnya. Penulis kembali mendatangai

rumah ketua RT 01 untuk meminta izin melakukan penelitian dan melapor untuk

tinggal di rumah keluarga Ibu Erma. Setelah bertemu dengan ketua RT 01 dan

mendapatkan izin, penulis pergi mendatangi rumah ketua RW 09. Namun ketua

RW 09 sedang tidak berada ditempat, akan tetapi istri ketua RW 09 telah

menyampaikan maksud kedatangan penulis kepada ketua RW 09 dan Ia

mengizinkannya.

Kemudian penulis berbegas ke rumah Ibu Erma dan meletakkan barang

yang penulis bawa. Penulis mulai berbincang dengan Ibu Erma mengenai

masyarakat Sakai di Jembatan II ini sambil menunggu anak-anaknya pulang

sekolah. Pada siang hari terlihat pemuda-pemuda sedang melangsir kayu di

sungai. Kemudian Ibu Rw datang ke rumah Ibu Erma dan kami pun berbincang.

(20)

Sore hari penulis berkeliling kampung dengan anak-anak Ibu Erma dengan

menaiki sampan kecil. Kesempatan ini penulis gunakan untuk mengobservasi dan

mengambil foto-foto keadaan lingkungan Jembatan II seperti keadaan sungai,

keberadaan kilang kayu, keadaan pohon-pohon di sekitar sungai, rumah-rumah

warga, tumpukan serbuk kayu bekas kilang kayu, dan lukah ikan. Anak Ibu Erma

juga menceritakan keadaan kampung mereka ini.

Orang Sakai di Jembatan II melakukan aktivitas mandi dan mencuci di

sungai. Mereka mandi dengan berenang si sungai. Sedangkan penulis mandi

dengan menggunakan gayung untuk mengambil air dari sungai. Keadaan sungai

yang dalam membuat penulis tidak berani untuk berenang. Pada awalnya penulis

ragu untuk mandi dengan air sungai, karena air sungai berwarna coklat kehitaman.

Selain itu mereka juga buang air kecil dan besar langsung ke sungai. Mereka juga

menggosok gigi dengan air sungai tersebut. Penulis memilih menggosok gigi

dengan mengambil air hujan yang ditampung. Ketika mandi penulis ditonton oleh

anak-anak dan pemuda yang berada di atas jembatan. Penulis sangat tidak nyaman

ketika mandi di sungai ini. Penulis juga prihatin melihat warga Jembatan II ini

karena tidak memperhatikan kebersihan tubuh dan lingkungannya. Terutama

pamakaian sikat gigi yang digunakan bergantian dengan anggota keluarga

laiannya. Bahkan anak-anak tidak menggosok gigi mereka.

Pukul 18.30 WIB lampu yang dihidupkan dengan mesin diesel hidup.

Warga langsung menghidupkan TV di rumah mereka. Terkadang lampu yang

kurang arus membuat TV tidak bisa dinyalakan. Penulis makan malam bersama

sambil menonton TV. Lauk yang dimasak oleh Ibu Erma untuk makan malam

(21)

bulan-bulan campur tempe. Selama dua minggu penulis tinggal di rumah Ibu Erma, lauk

yang disajikan adalah ikan bulan-bulan yang di sambal dan di gulai. Hanya satu

kali saja makan dengan lauk ikan patin dan daging ayam.

Pada malam hari suasana kampung sangat sepi dan gelap karena tidak ada

lampu penerangan jalan. Bahkan teras rumah warga juga tidak ada lampunya.

Orang Sakai di Jembatan II tidur dengan menggunakan tilam, kasur lipat atau

tikar di depan TV. Hanya sebagian warga saja yang menggunakan tempat tidur

dan tidur didalam kamar. Penulis tidur dengan menggunakan tikar di depan TV.

Keadaan lantai rumah yang tidak rata membuat badan penulis keesokan harinya

terasa sakit. Keadaan rumah yang dinding dan lantainya tidak tertutup rapat

membuat angin dan nyamuk dengan bebas masuk ke dalam rumah.

Pada pagi hari kegiatan yang rutin dilakukan oleh laki-laki atau perempuan

adalah melihat lukah atau taju yang dipasang sore sebelumnya. Pada tanggal 29

Maret 2013, pagi hari penulis ikut melihat hasil tangkapan ikan pada lukah yang

dipasang oleh Ibu Erma dengan menggunakan sampan. Terdapat tiga lukah yang

dipasang oleh Ibu Erma. Hasil tangkapan ikan dalam satu lukah sekitar 7-15 ekor

ikan bulan-bulan. Penulis memperhatikan cara mereka dalam mengambil ikan

yang terperangkap dalam lukah, memperhatikan mereka meletakkan lukah,

bertanya dimana tempat meletakkan lukah agar mendapatkan banyak ikan, upan

yang digunakan dan lain-lain. Ikan yang didapat dari lukah ini antara lain ikan

bulan-bulan dan ikan selais.

Ibu Erma mengolah ikan bulan-bulan yang di dapat menjadi ikan asin.

Penulis baru pertama kali melihat bagaimana cara membuat ikan asin. Penulis

(22)

dengan garam, serta menjemur ikan tersebut. Ikan yang dijemur sekali-sekali

harus dilihat agar tidak dimakan kucing. Ibu Erma menjelaskan bahwa ikan asin

ini dijemur sampai kering, biasanya sekitar 2-3 hari.

Pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB laki-laki atau perempuan pergi

memancing di sungai. Penulis ikut memancing bersama Ibu Erma dengan

menggunakan sampan. Lokasi memancing adalah di hilir sungai. Sampan

diikatkan ke akar pohon yang berada dipinggir sungai. Penulis pun mencoba

memancing akan tetapi pancing yang penulis gunakan sering tersangkut pada

ranting-ranting kayu yang berada di dalam sungai. Tidak memerlukan waktu yang

lama untuk umpan dimakan oleh ikan-ikan. Pulang memancing biasanya pada

pukul 18.30 WIB. Ikan yang didapat antara lain ikan selais, ikan lele, ikan lupong,

dan lain-lain.

Ibu Erma menyalai sisa ikan bulan-bulan yang di dapat dari lukah selesai

makan malam. Penulis pun antusias memperhatikan cara menyalainya, mulai dari

membersihkan ikan, memasang api, serta menyusun ikan di atas api. Ikan ini akan

diasap semalaman. Api untuk menyalai ikan sengaja dibuat sangat kecil agar ikan

tidak gosong.

Pada tanggal 30 Maret 2013 Penulis buang air besar untuk pertama kali

setelah tiga hari berada di Jembatan II. Penulis meresa tidak bisa untuk buang air

besar langsung ke sungai. Pagi hari penulis membantu ibu Erma membersihkan

ikan untuk di salai. Ia mengajarkan penulis untuk membuat ikan salai. Selagi Ibu

Erma memasak lauk, penulis menanyakan alat-alat memancing yang diletakkan di

atas asbes rumah. Alat tersebut antara lain tombak, pancing dan taju. Selain itu

(23)

Pada siang hari penulis ikut berkumpul dengan ibu-ibu dan anak-anak di

depan rumah Ibu Erma. Ibu Juli menjelaskan kegunaan ago. Kemudian ia

menyuruh anaknya Sarah untuk memperagakan bagimana cara membawa ago. Ibu

Juli juga menjelaskan kegiatan pemuda-pemuda yang saat itu sedang menyelam di

sungai untuk meleles kayu yang jatuh saat dilangsir dari kilang ataupun mandah.

Pada sore hari penulis berjalan-jalan disekitar kampung bersama

anak-anak Ibu Erma. Penulis diikuti oleh anak-anak-anak-anak yang penasaran dengan keberadaan

penulis. Kemudian penulis tertarik untuk melihat keadaan sekolah di Jembatan II

ini. Penulis mengobservasi keadaan sekeliling sekolah dan keadaan ruangan kelas

melalui jendela.

Pada tanggal 31 Maret 2013, Ibu Erleni menjelaskan obat yang digunakan

untuk demam pada anak. Ibu Erleni mengambilkan daun esam dari semak-semak

pinggir jalan. Ia mempraktekan bagaimana menggunakan daun esam tersebut agar

dapat dijadikan obat. Selain itu, Ia juga menceritakan pengobatan yang dilakukan

oleh dukun yaitu berdikir. Penulis juga melihat pemuda yang sedang membuat

dayung sampan di rumah Ibu Erleni.

Pada sore hari, penulis berjalan menuju perumahan yang didirikan oleh

pemerintah untuk Orang Sakai di Jembatan II. Setelah itu penulis melihat

anak dan pemuda setempat bermain sepak bola di lapangan. Terdapat pula

anak-anak kecil yang sedang bermain bersama. Mereka begitu asyik dengan permainan

tersebut hingga tidak memperhatikan kebersihan tubuh. Selain itu penulis melihat

kuku anak-anak yang kotor. Kemudian penulis berpesan kepada mereka untuk

memotong dan membersihkan kuku mereka. esok sore penulis akan datang lagi

(24)

Pada tanggal 1 April 2013, menjelang siang penulis menuju Pos

sumbangan yang berada di depan Sekolah Dasar. Penulis ikut menjaga pos

bersama Heri. Heri menjelakan ia mulai menjaga pos sejak pukul 07.00 WIB

hingga 07.00 Wib keesokan harinya. Heri juga menjelaskan mengenai aturan

sumbangan yang harus diberikan oleh truk pengangkut kelapa sawit, tangki

pengangkut minyak, dan mobil PT Chevron. Saat penulis berada di pos

sumbangan, penulis melihat anak-anak yang tidak bersekolah main selubang di

depan SD. Permainan selubang ini menggunakan uang logam. Penulis juga

melihat kayu cerocok yang diangkut oleh truk kecil, penulis pun bertanya kepada

Heri mengenai kayu cerocok tersebut. Heri menjelaskan bahwa kayu cerocok

tersebut dijual dan digunakan sebagai tiang penyanggah untuk membangun rumah

bertingkat. Pada malam hari keluarga Heri tiba-tiba harus pergi dan Ibu Erma

yang menggantikan mereka untuk menjaga pos. Penulis ikut menjaga pos dengan

ibu Erma dan anak-anaknya. Akan tetapi hanya sebentar saja penulis menjaga pos,

Ibu erma mengatakan bahwa kami dirumah saja.

Pada tanggal 2 April 2013 pagi hari penulis melihat anak Ibu Erleni yakni

Iil sedang mengambil lukah ikan mengkaik di sungai. Iil mengatakan bahwa ikan

mengkaik ini akan digunakan sebagai umpan untuk memasang taju. Iil juga

menjelaskan bahwa untuk menangkap ikan mengkaik dengan lukah dapat

menggunakan umpan nasi.

Pukul 07.30 WIB penulis bersiap pergi ke SD. Setalah sampai di SD

guru-guru belum pada datang padahal sudah pukul 07.30 WIB. Kemudian pukul 07.45

WIB dua orang guru datang yakni Bapak Misyono selaku kepala sekolah dan

(25)

diri dan menjelaskan maksud kedatangan penulis untuk mengetahui pendidikan

anak Sakai di Jembatan II melalui sokolah. Akhirnya semua guru telah datang.

Penulis pun berkenalan dengan Bapak Dalana, Ibu Yarmiati, Ibu Sri, Ibu Adinar,

Ibu Zulaikah, Bapak Alderta.

Penulis dipersilahkan untuk mengajar oleh Kepala Sekolah. Penulis

terkejut mengajar kelas 4 karena muridnya hanya 1 orang. Penulis mengajarkan

pelajaran matematika. Penulis mengajar tidak menggunakan papan tulis,

melainkan menggunkan buku tulis saja. siswa yang penulis ajar lumayan pintar.

Pada saat istirahat penulis kembali ke kantor dan berbincang dengan

Kepala Sekolah dan guru di kantor. Kepala Sekolah dan guru banyak bercerita

mengenai keadaan sekolah terutama bapak delana sebagai guru pertama sejak SD

di Jembatan II ini berdiri. Mereka juga bercerita mengenai pengalaman suka dan

duka mereka selama mengajar disini. Selain mendengarkan cerita guru-guru

peneliti juga mengobservasi keadaan kantor.

Selesai istirahat penulis mengajar kelas 1 yang muridnya berjumlah sekitar

15 orang. Penulis merasa heran karena murid kelas 1 ada yang sudah besar dan

ada yang masih terlalu kecil. Penulis mengajarkan mereka mengeja dan membaca.

Keadaan kelas sangat riuh. Siswa-siswa semua bersuara sehingga penulis harus

mengajar dengan suara yang keras agar mereka mendengarkan. Siswa-siwa juga

susah berkonsentrasi. Selain itu siswa-siswa juga tidak menggunakan seragam

yang tidak lengkap. Ada siswa yang menggunakan sandal jepit dan ada pula yang

menggunakan baju yang bukan seragam sekolah. Setelah kelas selesai dan

siswa-siswa pulang. Penulis kembali ke kantor. Para guru menanyakan bagaimana

(26)

merasa tenggorokan sakit karena harus mengeluarkan suara yang kuat. Para guru

memuji keberanian penulis untuk meneliti Orang Sakai di Jembatan II dan

memuji keberanian penulis untuk tinggal bersama dengan Orang Sakai di

Jembatan II ini.

Pada tanggal 3 April 2013 penulis dipersilahkan untuk mengajar di kelas

Bapak Alderta yaitu kelas 3. Penulis terkejut karena siswanya hanya 4 orang.

Penulis mengajarkan pelajaran agama Islam pada pelajaran pertama dan pelajan

matematika pada pelajaran kedua. Siswa-siswa lumayan pintar, akan tetapi sedikit

tidak sopan karena ada yang melepas saputunya dengan alasan kepanasan. Selain

itu seragam yang digunakan juga tidak seragam. Saat pulang mengajar di kelas 3,

penulis mengobservasi timbunan serbuk kayu bekas kilang yang berada di depan

bangunan SD tersebut.

Sekitar pukul 15.00 WIB Ibu Erma dan Ibu Uwai melangsir kayu api dari

kilang kayu. Penulis tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan ini.

Penulis hanya membantu melemparkan tali dan menarik perahu beserta kayu

ketika akan sampai ke pinggir sungai agar tidak terbawa arus. Setelah membantu

Ibu Erma penulis dan anak-anak ibu erma mempraktekkan cara memasang taju di

sungai dengan menaiki sampan. Akan tetapi terlebih dahulu memancing ikan

mengkaik untuk umpan taju.

Pada sore hari sekitar pukul 18.00 penulis pergi ke rumah Bapak Henrda

selaku RT 02. Menurut warga Bapak Hendra lebih sering pergi ke kantor Desa

dari pada Bapak Adim ketua RT 01. Penulis kemudian memperkenalkan diri dan

menjelaskan kedatangan peneliti. Bapak Hendra menyambut penulis dengan

(27)

wilayah Jembatan II ini. Kemudian Bapak Hendra mengambilkan berkas yang ia

punya, antara lain peta Desa Petani, Berita Acara Pemasangan Tugu Batas Desa,

Berita Acara Penetapan Batas Wilayah Desa/ Kelurahan (PBWDK), Daftar

Koordinat Batas Desa Petani Kecamatan Mandau, dan Bentuk Pilar Batas Desa.

Penulis membawa pulang berkas tersebut untuk di fotokopi. Selain itu penulis

juga banyak berbincang dengan Bapak Hendra mengenai keadaan masyarakat

Sakai di Jembatan II ini.

Hari ini penulis makan bersama keluarga Ibu Erma dengan ubi menggalo

dan lauk ikan patin bakar. Rasa ubi menggalo hambar dan berstektur keras. Ibu

Erma menyarankan penulis untuk mencampur ubi menggalo dengan nasi agar

mudah dikunyah dan ditelan. Selain itu Ibu Erma juga menjelaskan apabila tidak

biasa makan ubi menggalo ini dapat menyebabkan sakit perut. Penulis prihatin

kepada keluarga Ibu Erma, karena setiap hari lauk yang dimasak adalah ikan

bulan-bulan yang disambal atau digulai. Serta ikan selais atau lupong yang

disambal dan digulai. Mereka jarang sekali membeli ikan laut ataupun daging.

Keluarga Ibu Erma juga tidak pernah sarapan pagi karena menghemat beras.

Setelah makan malam, Ibu Erma memasang tengarang karena hujan angin.

Tengarang adalah api yang dipasang didalam rumah dan diletakkan di tengah

rumah. Secara otomatis rumah dipenuhi oleh asap yang membuat mata sakit dan

batuk-batuk. Penulis bertanya mengenai tengarang tersebut kepada Ibu Erma. Ia

pun menjelaskan alat dan bahan yang digunakan untuk membuat tengarang serta

tujuan dibuatnya tengarang tersebut.

Pada tanggal 4 April 2013 sekitar Pukul 17.30 penulis mengunjungi rumah

(28)

masyarakat Sakai di Jembatan II ini dan mengenai keadaan alam pada saat awal

kedatangan mereka. Penulis juga menanyakan mengenai mitos buloh manis yang

berkembang di masyarakat Sakai. Bapak Adim dengan panjang lebar

menceritakan pertanyaan-pertanyaan penulis tersebut.

Pada tanggal 5 April 2013 Ibu Erma dan anaknya menyusun kayu dan

mengikat kayu pada siang hari. Penulis ikut membantu mereka menyusun kayu

dan mengikat kayu. Pekerjaan ini tidak begitu berat, tetapi harus berhati-hati

karena tangan dapat tertusuk serpihan kayu atau tertimpa kayu broti ini. Selain itu

pekerjaan ini dilakukan di luar sehingga harus berhadapan dengan teriknya sinar

matahari.

Pada tanggal 6 April 2013 Ibu Erma berencana mengganti tiang penyanggah

rumahnya yang telah lapuk. Salah satu kerabat Ibu Erma membantu mencarikan

kayu balok untuk mengganti tiang tersebut. Kayu balok tersebut dipotong sesuai

dengan ukuran tiang penyanggah rumah sekitar 2 ½ meter dengan mesin

pemotong kayu. Ibu Erma menjelaskan bahwa tiang rumah tersebut sekitar 15

tahun belum diganti. Kerabat Ibu Erma mengganti satu persatu tiang penyanggah

rumah dibantu dengan anaknya. Penulis melihat mereka sedikit kesulitan dalan

memasang tiang karena dibawah rumah tersebut adalah lumpur yang dalam.

Sore hari sekitar pukul 18.00 penulis pergi ke rumah Bapak Hendra.

Penulis mengembalikan berkas yang dipinjam sebelumnya. Kemudian penulis

menanyakan apakah Ia memiliki data kependudukan Jembatan II. Bapak Hendra

pun mengambilkan data kependudukan yang iya miliki. Penulis pun meminta izin

untuk membawa pulang data tersebut untuk difotokopi. Selain itu penulis juga

(29)

Bapak Hendra menejelaskan dengan panjang lebar mengenai awal mula

kedatangan Orang Sakai di Jembatan II, siapa saja orang pertama yang

memutuskan untuk menetap di Jembatan II, serta menceritakan mitos yang

berkembang dikalangan masyarakat Sakai mengenai Buloh Manis. Bapak Hendra

juga menyarankan peneulis untuk menanykan tentang sejarah Orang Sakai di

Jembatan II ini kepada Bapak Adim.

Pada tanggal 7 April 2013 penulis pergi ke kilang kayu bersama anak-anak

Ibu Erma. Penulis baru pertama kali menginjakkan kaki di kilang kayu sejak

penulis tinggal di Jembatan II ini. Sebelumnya peneliti hanya melihat saja ketika

ikut pergi memancing atau memasang taju di sungai. Kilang kayu saat itu sedang

tidak beroperasi. Penulis mengobservasi keadaan kilang dan sekitarnya, peralatan

yang ada di kilang, serta kayu-kayu yang terdapat di kilang. Penulis bisa bertanya

bebas dengan anak-anak Ibu Erma mengenai kilang kayu. Akan tetapi mereka

tidak mengetahui banyak hal mengenai kilang kayu tersebut. Jika penulis bertanya

kepada Ibu-Ibu, Bapak-Bapak dan pemuda-pemuda maka mereka tidak mau

terbuka mengenai kegiatan ini. Selama penulis berada di Jembatan II terhitung

hanya 3 hari saja kilang beroperasi. Di kilang kayu ini penulis bermain dengan

anak-anak Ibu Erma. Penulis diajak masuk kedalam semak-semak di dekat kilang.

Penulis diajak memanjat pohon dan bergelantungan dan berayunan di akar-akar

pohon. Kegiatan ini merupakan hal terasyik selama penulis di Jembatan II ini.

Pada tanggal 8 April 2013 penulis pergi ke SD untuk mengajar. Saat itu

adalah hari senin. Kegiatan upacara bendera tidak dilakukan di SD ini. Salah satu

guru hanya membariskan siswa-siswa di teras sekolah. Sedangkan guru yang lain

(30)

menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan cipta. Penulis lebih

terkejut lagi ketika mendengar mereka bernyanyi dengan suara yang pelan dan

tidak hafal kedua lagu tersebut. Setelah murid-murid selesai bernyanyi, Bapak

Boniran sebagai pemimpin kegiatan ini mempersilahkan penulis untuk

memberikan arahan dan motivasi kepada murid-murid. Dengan senang hati dan

antusias penelis memberikan arahan dan motivasi kepada siswa-siswa agar tidak

malas pergi ke sekolah, agar tidak jenuh dalam belajar, serta agar mematuhi dan

menghormati guru-guru. Kemudian Bapak Boniran menyuruh siswa-siswa untuk

masuk kelas. Hari itu penulis mengajar kelas 3. Penulis mengajarkan pelajaran

IPS. Siswa kelas 3 sudah sangat akrab dengan penulis karena sudah beberapa kali

diajar oleh penulis. Pada pelajaran kedua penulis mengajar kelas 5. Penulis

mengajarkan pelajaran IPA.

Pada saat penulis pulang mengajar, penulis melihat Ibu RW sedang

membuat salai ikan di depan rumahnya. Penulis mampir dan berbincang dengan

Ibu RW dan Bapak Bahtiar yang juga lagi duduk disana. Disinilah penulis

mendapat informasi mengenai sejarah kehidupan Orang Sakai di jembatan II sejak

awal kedatangan hingga sekarang. Ibu RW juga menceritakan

keterpurukan-keterpurukan yang dialami oleh Orang Sakai di Jembatan II dan menceritakan

awal terbentuknya pos sumbangan yang ada di Jemabatan II ini. Penulis juga

mendapatkan foto-foto keadaan Jembatan II pada tahun 2000-an serta foto

mobil-mobil berisi kayu yang ditahan polisi saat razia pada tahun 2010.

Pada tanggal 9 April 2013 penulis pergi ke sekolah untuk mengajar. Hari itu

penulis mengajar kelas 1. Penulis kesulitan untuk mengajar karena usia siswa

(31)

Kelompok pertama untuk siswa dengan usia 5-7 tahun dan kelompok kedua untuk

siswa dengan usia 8-14 tahun. Penulis mengajarkan kelompok usia 5-7 tahun

untuk mengenal huruf, serta mengajarkan mengeja dan membaca untuk kelompok

usia 8-14 tahun.

Pada siang hari penulis bercengkrama dengan keluarga Ibu Erma di

rumah. Penulis menanyakan mengenai sistem kekerabatan dan sistem perkawinan

yang berlaku pada Orang Sakai di Jembatan II. Ibu Erma memperlihatkan akta

kelahiran yang dimiliki oleh anak-anaknya serta akta kematian almarhum

suaminya. Akta ini berbeda dengan akta kelahiran dan kematian yang dimiliki

masyrakat pada umumnya. Bisa dikatakan akta kelahiran dan kematian yang

dimiliki oleh orang Sakai dibuat khusus untuk mereka. menurut Ibu Erma hal ini

terjadi karena sebagian besar Orang Sakai di Jembatan II menikah secara sirih.

Pada sore hari saat penulis duduk-duduk di pinggir sungai, penulis melihat

sekelompok Orang Sakai yang pulang dari mandah. Mereka membawa kayu yang

disusun menanjang yang dihanyutkan pada sungai. Penulis menanyakan hal ini

dengan Heri yang juga sedang duduk dipinggir sungai. Heri banyak memberikan

informasi mengenai kegiatan mandah kepada penulis.

Pada tanggal 10 April 2013, siang hari penulis melihat Ibu Erma dan Ibu

Uwai sedang mengangkut kayu yang telah diikat ke becak. Kayu tersebut akan

dibawa oleh pembeli yang datang. Penulis melihat mereka mendapatkan upah Rp

50.000 untuk berdua. Selain itu penulis melihat Ibu Erma di bayar oleh toke kayu

atas pekerjaan mengikat kayu yang telah Ia kerjakan. Penulis takjub dengan

(32)

kuat. Mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh

laki-laki.

Pada hari itu penulis juga melihat salah seorang warga sedang mendirikan

pondasi rumah panggung di atas bekoan pinggir sungai. Sore hari penulis

berjalan-jalan ke pos sumbangan yang berada di depan SD. Penulis menemani

remaja yang sedang menjaga pos sumbangan tersebut. Pada saat itu anak-anak

bermain di pos sumbangan karena mengetahui penulis disana. Penulis merasa

senang karena dapat akrab dengan anak-anak Sakai di Jembatan II. Kemudian

penulis berjalan-jalan ke perumahan yang dibuatkan oleh pemerintah untuk Orang

Sakai di Jembatan II. Penulis mengobservasi kedaaan perumahan dan sekitarnya.

Penulis sangat menyayangkan karena lingkungan perumahan sangat kotor. Warga

perumahan tersebut membuang sampah rumah tangga mereka di bawah panggung

rumah. Selain itu penulis melihat ada 2 bekas rumah yang dibongkar. Penulis juga

melakukan wawancara dengan salah satu penghuni rumah tersebut mengenai

masalah tersebut.

Pada tanggal 11 April 2013 hari terakhir penulis di Jembatan II. Pagi hari

penulis pergi ke sekolah untuk terkhir kalinya. Penulis membawa makanan

sebagai pelengkap perpisahan dengan guru-guru. Penulis mengajar kelas 5 untuk

terakhir kalinya. Saat pulang sekolah penulis berpamitan dan berterima kasih

kepada guru-guru. Penulis juga mengajak mereka untuk berfoto sebagai

kenang-kenangan. Penulis merasa sedih karena harus pulang hari ini.

Pukul 15.00 WIB penulis dijemput oleh kakek untuk pulang. Penulis

berpamitan dan berterima kasih kepada Ibu Erma dan anak-anaknya. Penulis

(33)

Anak Ibu Erma juga memberikan sebuah baju untuk penulis sebagai

kenang-kenangan. Selain itu, Ibu Erma juga memberikan ikan salai dan ikan asin kepada

penulis untuk oleh-oleh. Penulis juga berpamitan dan berterima kasih kepada Ibu

Erleni dan Ketua RW 09. Ibu Erleni juga memberikan ikan salai kepada penulis

untuk oleh-oleh. Penulis juga berpamitan dan berterima kasih dengan Bapak

Adim selaku ketua RT. Terakhir penulis berpamitan dengan Heri yang telah

Referensi

Dokumen terkait

pyogenes dari Sirup Ekstrak Etanol Daun Karamunting ( Rhodomyrtus tomentosa , (Aiton) Hassk) ” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Penentuan Kebijakan Persediaan dalam Cost Reduction Mrenggunakan Model Economic Order Quantity (EOQ) Backorder dengan Shortage.. Sari, Indah

Veda adalah kitab suci Agama Hindu yang dturunkan oleh ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada umat Hindu melalui para Rsi (Sapta Rsi) yaitu Rsi Grtsamada, Rsi Viswamitra, Rsi Atri,

Studi pendahuluan yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta berdasarkan wawancara didapatkan hasil 6 dari 10 responden mengaku tidak puas dengan

Untuk mengetahui kualitas pelayanan listrik yang tersedia di Lampung, perlu dihitung tingkat keandalaan pembangkit dengan menggunakan beberapa indeks keandalan diantaranya

Pada feminisme eksistensialis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan

Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye berbasis Al- Qur‟an dan Sunnah perlu diatur agar sesuai dengan Etika Islam, dan tidak.. menyimpang dari garis-garis yang di

1.6.3 Berbicara untuk menyampaikan maklumat dengan tepat tentang sesuatu perkara dengan menggunakan ayat yang mengandungi frasa yang sesuai secara bertatasusila.