BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Penelitian ini mengkaji kehidupan Orang Sakai di Desa Petani, Kecamatan
Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Orang Sakai yang dimaksud adalah Orang
Sakai yang berada di kawasan Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa
Petani. Peneliti mendeskripsikan bagaimana kehidupan sehari-hari Orang Sakai
serta bagaimana hubungan Orang Sakai dengan lingkungan ekologi mereka.
Fokus penelitian ini menjelaskan dinamika kehidupan Orang Sakai terkait
perubahan lingkungan ekologi tempat mereka tinggal akibat berbagai hal salah
satunya karena keberadaan perusahaan eksplorasi minyak dan perusahaan
perkebunan. Alasan peneliti melakukan penelitian terhadap Orang Sakai karena
kehidupan Orang Sakai yang tradisional berubah menjadi masyarakat yang
semakin modern baik dalam sistem mata pencaharian, pendidikan anak, sistem
kemasyarakatan, pola perkawinan, agama dan religi, serta kesehatan.
Orang Sakai hidup di kawasan rawa-rawa atau daerah berpaya-paya, di
hutan, serta disekitar sungai. Orang Sakai bertahan hidup dengan bergantung pada
hutan dan sungai tersebut. Meliputi berladang berpindah-pindah, menjerat atau
memburu hewan di hutan, mencari dan mengumpulkan hasil hutan serta
menangkap ikan di sungai dan di rawa-rawa (Parsudi Suparlan, 1995).
Hutan-hutan di wilayah Kecamatan Mandau menurut Suparlan (1995)
termasuk kedalam hutan tropik yang ditumbuhi bermacam tumbuhan. Dari
lunak dan kecil; dan dari tumbuhan yang merambat sampai dengan lumut dan
berbagai jamur serta tumbuhan air. Hasil hutan yang dicari oleh Orang Sakai
antara lain kayu meranti, kayu balam, kayu gaharu (kayu bosi), rotan, damar,
kemenyan, getah karet hutan dan sebagainya. Sedangkan jenis hewan yang ada di
hutan tersebut seperti gajah, tapir, babi hutan, musang, monyet, ular, tupai,
kalong, tikus, ayam hutan, dan sebagainya. Sungai yang menghidupi Orang Sakai
merupakan sungai-sungai kecil yang airnya hitam atau gelap kecoklat-coklatan.
Hewan yang terdapat di sungai tersebut seperti ikan toman, ikan patin, ikan gabus,
ikan lele, ikan kayangan, ikan selais, ikan baung, udang galah, biawak, ular air,
dan sebagainya (Suparlan, 1995:36-37).
Kehidupan Orang Sakai yang sangat bergantung pada lingkungan alam
membuat mereka menjalin hubungan baik dengan lingkungannya. Dalam
berladang, memburu hewan di hutan dan menangkap ikan Orang Sakai memiliki
cara dan aturan tertentu. Orang Sakai cenderung tidak mengeksploitasi
lingkungannya. Hal tersebut didukung dengan tidak adanya teknologi yang
digunakan untuk memanfaatkan lingkungan hidup mereka.
Wilayah Kecamatan Mandau yang dijadikan sebagai pusat kegiatan
eksplorasi minyak, membuat wilayah-wilayah hutan di kecamatan ini dibuka
secara bertahap dan terus-menerus. Selain itu wilayah tersebut juga dijadikan
perkebunan karet dan kelapa sawit serta usaha Hutan Tanaman Industri (HTI).
Keadaan ini tentunya membuat Orang Sakai harus beradaptasi terhadap
lingkungan ekologis mereka yang berubah. Kerusakan lingkungan hidup dapat
menimbulkan kerugian ekologis, ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat
Rab (2002:28) menjelaskan bahwa tempat beroperasinya
perusahaan-perusahaan besar disana, dahulunya merupakan hutan dan belukar tempat orang
Sakai mencari makan. Mereka mengambil rotan, damar, getah rambung, lembuai
jenis kayu dan hewan buruhan. Dari sungai, mereka dapat mengambil berbagai
jenis ikan. Mereka menerapkan pertanian ladang berpindah dengan tanaman padi
ladang dan ubi manggalo. Dulu orang Sakai rata-rata memiliki lahan yang luas.
Pada saat perusahaan-perusahaan mulai membuka hutan dan belukar,
mereka banyak kehilangan tanahnya. Memang ada beberapa pihak membantu
“pengganti” pada tanah penduduk yang diambil. Akan tetapi lebih banyak lagi
yang seenaknya mencaplok itu tanah mereka tanpa permisi. Biaya pengganti tanah
juga sangat rendah dan sepihak. Perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di
berbagai bidang seperti explorasi minyak (PT Caltex Pacific Indonesia1
Ada pula artikel dalam kampungrison.wordpress.com (30/6/2009), yang
ditulis Jelprison dengan judul Selama 20 Tahun Sakai Telah Berubah,
menyebutkan hutan-hutan yang dikelola oleh perusahaan itu ternyata dinilai tidak
membawa keuntungan bagi masyarakat Sakai sendiri, bahkan Orang Sakai yang
lekat dengan hutan dan rimba ini tidak bisa memasuki wilayah hutan tanaman ),
perkebunan kelapa sawit dan karet (yang terbesar adalah PT Ivomas Tunggal dan
PT Adei), PHP (diantaranya adalah PT Rokan Timber) dan terakhir adalah HTI
(PT Indah Kiat). Selain itu terdapat perusahaan-perusahaan kecil dan menengah
milik perseorangan atau kelompok. Selain kepada perusahaan-perusahaan, lahan
orang Sakai juga turut dihabiskan oleh para pendatang yang umumnya datang dari
daerah Sumatera Utara, terutama Etnis Batak dan Jawa ( Rab, 2002:28).
1
industri yang dikelola perusahaan2. Selain itu terdapat juga artikel dalam
www.riaupos.co (26/8/2012), yang ditulis Erwan Sani dengan judul Dari
Menangkap Ikan dan Berburu, Berpindah ke Tambak dan Bertani: Hutan Punah,
Hidup Suku Sakai pun Berubah, menyebutkan Orang Sakai tak mudah lagi
mengharapkan hasil hutan dan sungai. Apalagi setiap harinya jumlah tangkapan
ikan dari sungai-sungai yang ada semakin tak bisa dipastikan. Kadang-kadang
turun ke sungai menggunakan sonik tak dapat ikan, kalaupun ada hanya bisa
untuk makan saja. Hal ini disebabkan semakin banyaknya anak-anak sungai yang
mengering dan tak adanya hutan3
Uraian masalah diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan lingkungan
ekologi yang menyebabkan berubahnya kehidupan Orang Sakai. Perubahan
tersebut dapat menyangkut sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan dan
lingkaran hidup, magi, kepemimpinan dan keteraturan sosial, nilai-nilai
tradisional, aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera. Perubahan
tersebut dapat berupa perubahan yang lebih baik maupun perubahan yang kurang
baik bagi kehidupan masyarakatnya. .
Salah satu contoh perubahan yang lebih baik karena perubahan lingkungan
ekologi dapat dilihat antara lain mengenai perubahan ekologi dalam kehidupan
masyarakat Pulau Rote dan Sawu yang ditulis oleh Fox (1996). Fox menjelaskan
peralihan mata pencaharian masyarakat Rote dan Sawu yang mula-mula adalah
petani ladang, kemudian pertanian yang semakin memburuk telah menimbulkan
2
Selama 20 Tahun Sakai Telah Beruba
3
tumbuhnya sabana palem seperti lontar dan gewang. Mereka mampu
menyesuaikan diri dan bahkan membuat perekonomian mereka menjadi lebih baik
dengan memanfaatkan sabana palem yaitu lontar dan gewang tersebut.
Selain itu, contoh perubahan kurang baik karena masuknya teknologi baru
dalam pertanian dapat dilihat mengenai perubahan sosial dan perkelahian politik
Masyarakat di Tengger yang ditulis oleh Hafner (1999). Hafner menjelaskan
perubahan bentuk ekonomi masyarakat Tengger akibat pertumbuhan kapitalisme
industri. Pertumbuhan kapitalisme industri telah mengikis nilai-nilai tradisional,
mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera yang
berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status. Satu contoh lagi
mengenai perubahan yang kurang baik dari adanya bencana yang ditimbulkan
oleh suatu industri dapat dilihat mengenai tulisan Adhan (2010). Adhan
menjelaskan masalah konflik tanah antara masyarakat Tanah Toa Kajang dengan
PT LONSUM. Tanah masyarakat Tanah Toa Kajang dieksploitasi oleh Perusaaan
perkebunan PT LONSUM. Ketersediaan tanah semakin berkurang membuat
masyarakat mulai mengeksploitasi tanah-tanah mereka dan tidak bisa lagi
melakukan beberapa ritual yang berhubungan dengan penghargaan terhadap alam.
Hal ini lah yang mendasari peneliti untuk meneliti kehidupan Orang Sakai,
karena kehidupan Orang Sakai ikut berubah dengan perubahan lingkungan
ekologi tempat mereka tinggal. Selain itu peneliti juga akan melihat bagaimana
tanggapan Orang Sakai terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut dan
1.2 Tinjauan Pustaka
Salim (1983:7-8) menjelaskan manusia menyesuaikan pola hidupnya
dengan irama yang ditentukan oleh lingkungan alam. Perubahan lingkungan alam
berada diluar kendali tangan manusia, maka manusia memasrahkan diri kepada
lingkungan. Ini melahirkan kebiasaan, tradisi, dan hukum-hukum tidak tertulis,
yang kemudian mengatur pergaulan hidup masyarakat. Naruli mempertahankan
diri mendorong hasrat berkembang biak dan melangsungkan kehidupan. Untuk
mempertahankan kehidupan diri dan masyarakat yang kian banyak, manusia
mulai menggunakan ilmu dan teknologi untuk menundukkan lingkungan alam.
Sikap pasrah menjadi sikap mengendalikan lingkungan. Pola hidup yang
semulanya mengikuti irama dan hukum alam, kini ingin ditentukan oleh irama dan
hukum masyarakat sendiri. Tradisi, kebiasaan, dan hukum tak tertulis
berangsur-angsur disesak oleh hukum tertulis dan cara-cara yang berkembang di masyarakat
dalam menanggapi masalah baru. Semua ini menimbulkan perubahan yang
dinamis sifatnya. Dalam kaitannya dengan studi ini, peneliti akan melihat apakah
Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani hidup lekat
dengan alam dengan segala tradisi, kebiasaan dan hukum yang berlaku. Kemudian
peneliti akan melihat apakah kehidupan Orang Sakai mengalami perubahan akibat
perubahan ekologi mereka.
Alfian (1983:58) menjelaskan manusia yang berhasil mengembangkan
rasio dan penalarannya mempunyai kemampuan untuk mengolah alam sekitarnya
guna memenuhi kepuasan materinya. Melalui perkembangan ilmu pengetahuan
kepentingan dirinya. Keserakahan manusia, tentunya mereka yang mampu
menghimpun kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sering menyebabkannya
lupa tentang keterbatasan-keterbatasan alam itu sendiri sehingga
pengeksploitasiannya secara berlebihan bukan lagi membawa kebahagiaan materi,
melainkan berbalik mendatangkan malapetaka yang menyengsarakan. Dalam
kaitan dengan studi ini akan melihat bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi
mempengaruhi Orang Sakai dalam memanfaatkan hutan dan sungai.
Daldjoeni (1982:46) menjelaskan lingkungan hidup adalah apa saja yang
mempunyai kaitan dengan kehidupan pada umumnya dan kehidupan manusia
khususnya. Oleh sebab itu, maka dunia hewan, tumbuh-tumbuhan dan zat-zat
hidup yang dibutuhkan bagi kebutuhan hidup, termasuk di dalam pengertian
lingkungan hidup.
Sastrosupeno (1884:67-68) menjelaskan pada masyarakat sederhana,
hubungan antara manusia dengan alam dan lingkungan sangat dekat dan erat.
Saking eratnya sampai-sampai tumbuh kepercayaan yang dikenal dengan nama
totemisme4
4
Totemisme adalah suatu kepercayaan tentang asal-usul keturunan suatu masyarakat atau kelompok suku.
. Didalam kepercayaan ini, maka seseorang dapat merupakan
keturunan dari seekor binatang atau dari daun atau pohon tertentu. Timbul juga
kepercayaan bahwa roh nenek moyang kembali kepada pohon, batu, kayu,
gunung, dan lain unsur alam. Untuk itu perlu diadakan penghormatan dan
penghargaan kepada mereka. Keeratan hubungan antara manusia dengan alam dan
lingkungannya itu tercermin juga di dalam cara hidup mereka dalam mencari
memang amat ditentukan oleh alam dan lingkungannya. Maka suatu kelompok
masyarakat yang tinggal didaerah pegunungan, akan hidup secara otomatis
sebagai orang gunung misalnya mencari kayu bakar, membuat arang, mencari
daun-daun untuk dijual dan berkebun atau berladang. Dalam kaitan dengan studi
ini, peneliti akan melihat bagaimana hubungan Orang Sakai dengan alam mereka.
Kehidupan manusia tidak terlepas dari perubahan-perubahan suatu
lingkungan. Lingkungan fisik, lingkungan biologis serta lingkungan sosial
manusia akan selalu berubah dari waktu ke waktu (Amsyari, 1981:11-12). Begitu
juga dengan Orang sakai yang mengalami perubahan dalam lingkungannya.
Lingkungan fisik Orang Sakai yang terdiri dari hutan dan sungai, berubah menjadi
industri perminyakan dan perkebunan. Alam Orang Sakai secara otomatis
berubah, ikan di sungai, hewan dan pohon-pohon di hutan mulai berkurang
jumlahnya. Selain itu, semakin banyak Orang Sakai berinteraksi dengan orang
yang berada diluar kelompoknya membuat kehidupan Orang Sakai lebih modern.
Hal inilah yang membuat Orang Sakai harus melakukan penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan tersebut. Dengan kebudayaan yang dimiliki, manusia dapat
berkembang dan tetap bertahan karena mereka mampu melakukan proses
penyesuaian. Menurut Poerwanto (2005:61) kebudayaan merupakan seperangkat
gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam
suatu ekosistem.
Kebudayaan menurut Kluckhohn (1993:69-96) adalah keseluruhan cara
hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya.
manusia. Cara hidup yang berbeda yang diturunkan sebagai warusan sosial suatu
masyarkat tidak hanya memberikan perangkat-perangkat kemampuan untuk
menjalani kehidupan tetapi juga perangkat rencana bagi hubungan antara manusia.
Poerwanto (2005:139-143) menjelaskan perubahan suatu lingkungan dapat
pula mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan, dan perubahan
kebudayaan dapat pula terjadi karena mekanisme lain seperti munculnya
penemuan baru, difusi dan akulturasi. Dengan kebudayaan yang dimilikinya,
suatu masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungannya dengan
lingkungannya. Sahlins (dalam Poerwanto, 2005:140) mengatakan bahwa dalam
menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung mendekatinya melalui budaya
yang dimilikinya, yaitu sistem simbol, makna dan sistem nilai.
Suparlan (1983:74) menjelaskan dalam masyarakat yang kompleks,
khususnya dalam masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan
kebudayaan, hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya
menjadi lebih intensif sehingga lingkungan sebagai sistem terganggu
keseimbangannya. Hal ini dapat terjadi pertama karena penekanan yang ada dalam
kebudayaan tersebut adalah pada usaha untuk menaikkan tingkat kesejahteraan
hidup baik secara kualitas maupun secara kuantitas, yang mempunyai efek
samping keapada adanya sifat rakus untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya
yang ada dalam lingkungannya semaksimal mungkin. Kerakusan dapat
berkembang karena kebudayaan yang dipunyai oleh warga masyarakat sebagai
kesatuan sudah terpecah-belah, unsur mekanisme kontrol hubungan antara
menjadi tidak berlaku lagi, khususnya mekanisme kontrol yang mempunyai sanksi
moral dan keagamaan.
Kedua, penekanan pada hal-hal yang rasional amat dilebih-lebihkan, yaitu
hubungan sebab akibat antara gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya secara
objektif dan empiris, yang membawa akibat sampingan bahwa tempat angker dan
upacara berkenaan dengan kepercayaan akan adanya makhluk gaib di sawah, di
hutan, atau ditempat tertentu, menjadi tidak ada lagi. Ketiadaan
tempat tersebut disebabkan karena kepercayaan yang berkenaan dengan
tempat-tempat tersebut dianggap sebagai tahyul, kepercayaan orang bodoh, atau juga
dianggap sebagai menduakan Tuhan. Padahal secara tidak langsung adanya
kepercayaan tersebut merupakan mekanisme kontrol yang terselubung dalam
kebudayaan agar manusia tidak menghabiskan sumber daya alam yang ada dalam
lingkungannya sehingga keseimbangan lingkungan terebut dapat dipertahankan.
Ketiga, kewibawaan makhluk halus yang menghini tempat-tempat angker
tersebut dalam pengamatan manusia yang bersangkutan ternyata tidak dapat
dipertahankan dalam melawan teknologi modern. Hilanglah sudah kekuasaan para
makhluk halus yang ada di hutan belantara dalam memberikan rasa takut kepada
manusia untuk merusak alam lingkungannya. Dalam kaitan dengan studi ini,
peneliti akan melihat apa yang berubah dan apa yang tidak berubah dari
kehidupan dan kebudayaan Orang Sakai setelah berubahnya lingkungan ekologis
mereka.
Fox (1996:79) menjelaskan mengenai perubahan ekologi dalam kehidupan
petani ladang, pertanian yang semakin memburuk telah menimbulkan tumbuhnya
sabana palem seperti lontar dan gewang. Mereka terpaksa harus menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan yang baru ketika usaha perladangan mulai gagal.
Letak Pulau Rote dan Sawu yang terpencil membuat masyarakat pulau-pulau ini
dapat mengadakan peralihan dari perladangan ke pemanfaatan sabana palem yaitu
lontar dan gewang tanpa campur tangan yang berarti dari luar. Masyarakat Pulau
Rote dan Sawu akhirnya dalam kehidupannya sangat tergantung pada pohon
lontar. Dari batang, buah, tangkai dan daun, serta nira berguna bagi kehidupan
masyarakat. Dalam kaitannya dengan studi ini, peneliti akan melihat bagaimana
Orang Sakai dapat bertahan dengan perubahan alam yang dialami.
Steward (dalam Poerwanto, 2005:68-71) mengkaji keterkaitan hubungan
antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya, antara lain dengan
menganalisis hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan
teknologi yang dipergunakan. Sehingga warga dari suatu kebudayaan dapat
melakukan aktivitas mereka dan akhirnya mampu bertahan hidup. Steward
memberikan contoh pada masyarakat yang telah mengenal sistem pertanian.
Pertanian menetap membuat orang harus mengolah tanahnya secara intensif,
karena itu muncul teknologi bajak, dan pemanfaatan ternak sebagai pengganti
energi manusia. Sebagai akibatnya, terjadilah perubahan struktur masyarakat pada
bentuk-bentuk baru dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk dapat mengolah
tanah yang tidak subur. Timbul lah suatu sistem irigasi dengan suatu organisasi
dan orang-orang yang mengatur. Dalam kaitan dengan studi ini akan melihat
adakah struktur masyarakat Sakai yang berubah dengan adanya perubahan ekologi
Hafner (1999:1-5) menjelaskan mengenai perubahan bentuk ekonomi
masyarakat Tengger akibat pertumbuhan kapitalisme industri. Masyarakat
Tengger mengalami perubahan besar ketika masa Orde Baru mengambil alih
kekuasaan. Rovolusi hijau merupakan proyek ekonomi yang dijalankan. Pertanian
perkebunan yang subsisten berubah menjadi pertanian komersil dengan modal
intensif yang bergantung pada benih unggul, pestisida, fungisida dan pupuk.
Pembangunan jalan-jalan memudahkan transportasi barang-barang konsumsi dan
semakin banyak campur tangan pemerintah. Barang konsumsi mewah melanda
pasar-pasar di daerah pedalaman membuat terlihatnya yang kaya dan yang miskin.
Pertumbuhan kapitalisme industri telah menggerogoti nilai-nilai tradisional,
mereorganisasi aspek-aspek kehidupan sehari-hari, identitas dan selera senantiasa
berubah sesuai dengan kepentingan produksi dan status.
Sebagai contoh orang dataran tinggi yang tidak tertarik menggunakan
pakaian bagus dan makan makanan tertentu; pada musim panen semua orang
bekerja sama-sama, hampir tidak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah,
hubungan patron-klien; tidak mengenal stratifikasi; dan bergantung pada tanahnya
sendiri, bukan jaminan subsisten dati patron. Kini orang dataran tinggi persis
seperti orang dataran rendah. Orang yang berkelebihan sifatnya memerintah,
orang yang berkelebihan musim panen tidak memanen sendiri hasil panennya,
mereka mengingat-ingat apa saja yang pernah mereka berikan pada orang lain dan
apa saja yang mereka terima, segala sesuatu diperhitungkan dan dimiliki. Dalam
kaitan dengan studi ini, peneliti akan mencermati apakah perubahan ekologi
sehari-hari, dan identitas Orang Sakai sesuai dengan kepentingan produksi dan
status.
Adhan (2010) menjelaskan mengenai masalah konflik tanah masyarakat
Tanah Toa Kajang dengan PT LONSUM dan kaitan antara bencana alam serta
bencana sosial di Tanah Toa Kajang dengan keberadaan PT LONSUM. Terdapat
keterikatan batin antara masyarakat Tanah Toa dengan lingkungannya. Hutan,
binatang, dan tanaman dalam kosmologi mereka adalah bagian dari manusia. Dan
karenanya masyarakat Tanah Toa menghormati, menyayangi dan memperlakukan
layaknya makhluk hidup. Sehingga yang terjadi bukan penaklukan, eksploitasi
dari manusia ke yang lain, tetapi bagaimana manusia dengan lingkungannya,
makanya pengolahan tanah bagi orang Kajang hanya bisa sekali setahun. Akan
tetapi, kini semua hal itu tidak bisa lagi dilakukan.
Tanah dan sumber daya alam masyarakat Tanah Toa dieksploitasi oleh
Perusaaan perkebunan PT LONSUM. Masyarakat tidak bisa lagi bertahan hanya
menggarap sawah atau tanah sekali dalam setahun. Saat ini mereka mulai
menggarap sawah atau lahan-lahan mereka sampai dua kali bahkan tiga kali
setahun. Mereka mulai mengeksploitasi tanah-tanah mereka, sebab ketersediaan
tanah semakin berkurang. Selain itu mereka tidak bisa lagi melakukan beberapa
ritual yang berhubungan dengan penghargaan terhadap alam karena beberapa
lokasi adat mereka telah dijadikan perkebunan. Oleh karena itu, Penelitian ini
akan melihat bagaimana hubungan yang tercipta antara Orang Sakai dengan alam
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana dinamika kehidupan Orang Sakai di Jembatan II
RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani ditinjau dari perubahan ekologi.
Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana sejarah kedatangan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun
Buluh Manis Desa Petani?
2. Bagaimana kehidupan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh
Manis Desa Petani?
3. Bagaimana hubungan antara Orang Sakai dengan alam sebelum terjadinya
perubahan ekologi?
4. Bagaimana hubungan antara Orang Sakai dengan alam setelah terjadinya
perubahan ekologi?
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan kehidupan Orangt Sakai di
Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani Kecamatan Mandau
Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian ini menitik beratkan pada bagaimana
hubungan Orang Sakai dengan alam serta kegiatan Orang Sakai sehari-hari baik
dalam sistem mata pencaharian, magi, sistem kekerabatan dan lingkaran hidup,
maupun kepemimpinan dan keteraturan sosial serta perubahan-perubahan yang
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah secara akademis
penelitian ini akan menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi.
Khususnya dalam memperkaya literatur mengenai Orang Sakai. Secara praktis
penelitian ini akan memperoleh data yang diharapkan mampu memberikan
informasi dan solusi bagi pemerintah dalam memberikan perhatian terhadap
masyarakat yang terpinggirkan. Selain itu manfaat praktis untuk pembaca umum
sebagai informasi tentang kehidupan Orang Sakai serta bagaimana Orang Sakai
menghadapi perubahan lingkungan ekologi mereka.
1.5Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara mendalam tentang
perubahan-perubahan yang terjadi pada Orang Sakai. Menurut Moleong (2005:6)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami apa yang
dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Penelitian ini akan dilakukan di Jembatan
II RW 09 Dusun Buluh Manis, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau. Kecamatan Mandau dipilih karena di lokasi inilah
tempat Orang Sakai bermukim.
1.5.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna
a. Teknik Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal
seperti ruang dan tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat
yang digunakan, waktu, peristiwa, dan kegiatan sehari-hari. Peneliti mengamati
segala aktivitas sehari-hari yang dikerjakan oleh Orang Sakai. Baik kegiatan
orang tua maupun kegiatan anak-anak Sakai. Peneliti akan mengamati
lingkungan tempat Orang Sakai bermukim, mengamati tempat Orang Sakai
bekerja, mengamati cara bekerja Orang Sakai, mengamati peralatan bekerja
yang digunakan Orang Sakai, mengamati bagaimana hubungan Orang Sakai
dengan lingkungannya, mengamati bagaimana hubungan Orang Sakai dengan
Orang Sakai serta mengamati bagaimana hubungan yang tercipta antara Orang
Sakai dengan perusahaan-perusahaan yang dekat dengan pemukiman mereka.
Selain observasi, peneliti juga berpartisipasi dalam beberapa hal, yakni
peneliti tinggal bersama Orang Sakai, mengikuti kegiatan Orang Sakai seperti
memancing dengan Orang Sakai, memasang taju dan lukah dengan Orang
Sakai, menyusun dan mengikat kayu, serta mengajar di Sekolah Dasar yang
ada di Jembatan II tersebut. Tujuan peneliti melakukan partisipasi ini adalah
untuk dapat mendekatkan diri lebih dalam dengan masyarakat yang diteliti.
b. Teknik Wawancara
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam, dimana peneliti dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang
guide). Peneliti melakukan wawancara dengan Orang Sakai di Jembatan II
mengenai mata pencaharian mereka, pendidikan anak, sistem kemasyarakatan,
pola perkawinan, agama dan religi, kesehatan, pengobatan tradisional. Serta
tanggapan Orang Sakai terhadap PT Chevron Pasific Indonesia dan PT lain
yang berada di wilayah Desa Petani. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana
sejarah kedatangan masyarakat Sakai di Jembatan II Dusun Buluh Manis Desa
Petani penulis memawancarai Bapak Adim, Ibu Erma, Ibu Erleni sebagai orang
yang sudah lama tinggal disini serta Bapak Hendra selaku ketua RT 02.
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana hubungan antara
Masyarakat Sakai dengan alam sebelum terjadinya perubahan ekologi dan
setelah terjadinya perubahan ekologi, peneliti melihat dari kegiatan mereka
dalam meanfaatkan hutan.
Selain itu peneliti juga menggunakan data kepustakaan guna
melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data
kepustakaan diperoleh melalui sumber tertulis seperti buku-buku, majalah,
koran serta sumber elektronik seperti televisi, radio dan internet. Peralatan
visual seperti kamera juga membantu peneliti dalam pengumpulan data selama
penelitian ini.
1.5.2 Rangkaian Pengalaman di Lapangan
Penulis tiba di lokasi penelitian yakni di Jembatan II Desa Petani
Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Riau pada tanggal 27 Maret 2013.
Sebagai langkah awal penulis datang ke rumah ketua RT 01 Jembatan II untuk
di rumah. Penulis bertemu dengan istri ketua RT 01 dan menjelaskan maksud
kedatangan penulis. Kemudian istri ketua RT 01 tersebut menyarankan agar
peneliti pergi ke rumah ketua RW 09.
Penulis kemudian pergi ke rumah ketua RW 09. Ketika penulis sampai di
rumah ketua RW 09 terdapat pemuda-pemuda yang sedang berkumpul. Namun
ketua RW 09 juga sedang tidak berada di rumah. Penulis dipersilahkan masuk ke
rumah oleh istri ketua RW 09. Penulis pun menyampaikan maksud kedatangan
penulis ke Jembatan II untuk melakukan penelitian kepada istri ketua RW 09.
Penulis menunjukan surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh Universitas
kepada mereka. Pada awalnya mereka sulit untuk menerima penulis untuk
melakukan penelitian di lingkungan mereka. Mereka bercerita bahwa pernah ada
anak sekolah datang memfoto rumah dan lingkungan mereka tanpa izin.
Kemudian mereka merebut camera anak sekolah tersebut dan membuangnya ke
sungai. Mereka merasa di hina oleh anak sekolah tersebut. Mereka mengatakan
bahwa mereka sangat tidak suka di foto. Lain halnya dengan istri ketua RW 09, Ia
mengatakan bahwa mereka takut apabila penulis bukanlah benar-benar anak
sekolah melainkan orang yang disuruh menyelidiki kegiatan Orang Sakai di
Jembatan II ini.
Setelah penulis berhasil meyakinkan maksud kedatangan untuk belajar,
maka penulis meminta izin untuk tinggal di lingkungan mereka. Istri ketua RW 09
pun mencarikan tempat tinggal untuk penulis. Istri ketua RW 09 memangggil Ibu
Erma yang merupakan seorang janda memilki dua orang anak perempuan yang
masih sekolah. Mereka mengatakan tidak aman apabila penulis tinggal di rumah
dirumahnya. Pada awalnya Ibu Erma merasa keberatan apabila penulis tinggal di
rumahnya. Ia mengatakan bahwa rumahnya sudah akan roboh apabila ada angin
dan hujan yang membuat penulis tidak nyaman. Namun penulis meyakinkan
bahwa hal itu tidak menjadi masalah untuk penulis. Akhirnya Ibu Erma
mengizinkan penulis untuk tinggal di rumahnya. Kemudian Ibu Erma mengajak
penulis melihat keadaan rumahnya terlebih dahulu. Setelah penulis melihat
keadaan rumah ibu erma, lalu penulis kembali ke rumah ketua RW 09 untuk
berpamitan pulang dan akan kembali keesokan harinya. Istri RW 09 pun
mengatakan akan menyampaikan maksud kedatangan penulis kepada Bapak RW
09 setelah Ia pulang nanti.
Pada tanggal 28 Maret 2013 penulis kembali ke Jembatan II dengan
membawa pakaian dan perlengkapan lainnya. Penulis kembali mendatangai
rumah ketua RT 01 untuk meminta izin melakukan penelitian dan melapor untuk
tinggal di rumah keluarga Ibu Erma. Setelah bertemu dengan ketua RT 01 dan
mendapatkan izin, penulis pergi mendatangi rumah ketua RW 09. Namun ketua
RW 09 sedang tidak berada ditempat, akan tetapi istri ketua RW 09 telah
menyampaikan maksud kedatangan penulis kepada ketua RW 09 dan Ia
mengizinkannya.
Kemudian penulis berbegas ke rumah Ibu Erma dan meletakkan barang
yang penulis bawa. Penulis mulai berbincang dengan Ibu Erma mengenai
masyarakat Sakai di Jembatan II ini sambil menunggu anak-anaknya pulang
sekolah. Pada siang hari terlihat pemuda-pemuda sedang melangsir kayu di
sungai. Kemudian Ibu Rw datang ke rumah Ibu Erma dan kami pun berbincang.
Sore hari penulis berkeliling kampung dengan anak-anak Ibu Erma dengan
menaiki sampan kecil. Kesempatan ini penulis gunakan untuk mengobservasi dan
mengambil foto-foto keadaan lingkungan Jembatan II seperti keadaan sungai,
keberadaan kilang kayu, keadaan pohon-pohon di sekitar sungai, rumah-rumah
warga, tumpukan serbuk kayu bekas kilang kayu, dan lukah ikan. Anak Ibu Erma
juga menceritakan keadaan kampung mereka ini.
Orang Sakai di Jembatan II melakukan aktivitas mandi dan mencuci di
sungai. Mereka mandi dengan berenang si sungai. Sedangkan penulis mandi
dengan menggunakan gayung untuk mengambil air dari sungai. Keadaan sungai
yang dalam membuat penulis tidak berani untuk berenang. Pada awalnya penulis
ragu untuk mandi dengan air sungai, karena air sungai berwarna coklat kehitaman.
Selain itu mereka juga buang air kecil dan besar langsung ke sungai. Mereka juga
menggosok gigi dengan air sungai tersebut. Penulis memilih menggosok gigi
dengan mengambil air hujan yang ditampung. Ketika mandi penulis ditonton oleh
anak-anak dan pemuda yang berada di atas jembatan. Penulis sangat tidak nyaman
ketika mandi di sungai ini. Penulis juga prihatin melihat warga Jembatan II ini
karena tidak memperhatikan kebersihan tubuh dan lingkungannya. Terutama
pamakaian sikat gigi yang digunakan bergantian dengan anggota keluarga
laiannya. Bahkan anak-anak tidak menggosok gigi mereka.
Pukul 18.30 WIB lampu yang dihidupkan dengan mesin diesel hidup.
Warga langsung menghidupkan TV di rumah mereka. Terkadang lampu yang
kurang arus membuat TV tidak bisa dinyalakan. Penulis makan malam bersama
sambil menonton TV. Lauk yang dimasak oleh Ibu Erma untuk makan malam
bulan-bulan campur tempe. Selama dua minggu penulis tinggal di rumah Ibu Erma, lauk
yang disajikan adalah ikan bulan-bulan yang di sambal dan di gulai. Hanya satu
kali saja makan dengan lauk ikan patin dan daging ayam.
Pada malam hari suasana kampung sangat sepi dan gelap karena tidak ada
lampu penerangan jalan. Bahkan teras rumah warga juga tidak ada lampunya.
Orang Sakai di Jembatan II tidur dengan menggunakan tilam, kasur lipat atau
tikar di depan TV. Hanya sebagian warga saja yang menggunakan tempat tidur
dan tidur didalam kamar. Penulis tidur dengan menggunakan tikar di depan TV.
Keadaan lantai rumah yang tidak rata membuat badan penulis keesokan harinya
terasa sakit. Keadaan rumah yang dinding dan lantainya tidak tertutup rapat
membuat angin dan nyamuk dengan bebas masuk ke dalam rumah.
Pada pagi hari kegiatan yang rutin dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
adalah melihat lukah atau taju yang dipasang sore sebelumnya. Pada tanggal 29
Maret 2013, pagi hari penulis ikut melihat hasil tangkapan ikan pada lukah yang
dipasang oleh Ibu Erma dengan menggunakan sampan. Terdapat tiga lukah yang
dipasang oleh Ibu Erma. Hasil tangkapan ikan dalam satu lukah sekitar 7-15 ekor
ikan bulan-bulan. Penulis memperhatikan cara mereka dalam mengambil ikan
yang terperangkap dalam lukah, memperhatikan mereka meletakkan lukah,
bertanya dimana tempat meletakkan lukah agar mendapatkan banyak ikan, upan
yang digunakan dan lain-lain. Ikan yang didapat dari lukah ini antara lain ikan
bulan-bulan dan ikan selais.
Ibu Erma mengolah ikan bulan-bulan yang di dapat menjadi ikan asin.
Penulis baru pertama kali melihat bagaimana cara membuat ikan asin. Penulis
dengan garam, serta menjemur ikan tersebut. Ikan yang dijemur sekali-sekali
harus dilihat agar tidak dimakan kucing. Ibu Erma menjelaskan bahwa ikan asin
ini dijemur sampai kering, biasanya sekitar 2-3 hari.
Pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB laki-laki atau perempuan pergi
memancing di sungai. Penulis ikut memancing bersama Ibu Erma dengan
menggunakan sampan. Lokasi memancing adalah di hilir sungai. Sampan
diikatkan ke akar pohon yang berada dipinggir sungai. Penulis pun mencoba
memancing akan tetapi pancing yang penulis gunakan sering tersangkut pada
ranting-ranting kayu yang berada di dalam sungai. Tidak memerlukan waktu yang
lama untuk umpan dimakan oleh ikan-ikan. Pulang memancing biasanya pada
pukul 18.30 WIB. Ikan yang didapat antara lain ikan selais, ikan lele, ikan lupong,
dan lain-lain.
Ibu Erma menyalai sisa ikan bulan-bulan yang di dapat dari lukah selesai
makan malam. Penulis pun antusias memperhatikan cara menyalainya, mulai dari
membersihkan ikan, memasang api, serta menyusun ikan di atas api. Ikan ini akan
diasap semalaman. Api untuk menyalai ikan sengaja dibuat sangat kecil agar ikan
tidak gosong.
Pada tanggal 30 Maret 2013 Penulis buang air besar untuk pertama kali
setelah tiga hari berada di Jembatan II. Penulis meresa tidak bisa untuk buang air
besar langsung ke sungai. Pagi hari penulis membantu ibu Erma membersihkan
ikan untuk di salai. Ia mengajarkan penulis untuk membuat ikan salai. Selagi Ibu
Erma memasak lauk, penulis menanyakan alat-alat memancing yang diletakkan di
atas asbes rumah. Alat tersebut antara lain tombak, pancing dan taju. Selain itu
Pada siang hari penulis ikut berkumpul dengan ibu-ibu dan anak-anak di
depan rumah Ibu Erma. Ibu Juli menjelaskan kegunaan ago. Kemudian ia
menyuruh anaknya Sarah untuk memperagakan bagimana cara membawa ago. Ibu
Juli juga menjelaskan kegiatan pemuda-pemuda yang saat itu sedang menyelam di
sungai untuk meleles kayu yang jatuh saat dilangsir dari kilang ataupun mandah.
Pada sore hari penulis berjalan-jalan disekitar kampung bersama
anak-anak Ibu Erma. Penulis diikuti oleh anak-anak-anak-anak yang penasaran dengan keberadaan
penulis. Kemudian penulis tertarik untuk melihat keadaan sekolah di Jembatan II
ini. Penulis mengobservasi keadaan sekeliling sekolah dan keadaan ruangan kelas
melalui jendela.
Pada tanggal 31 Maret 2013, Ibu Erleni menjelaskan obat yang digunakan
untuk demam pada anak. Ibu Erleni mengambilkan daun esam dari semak-semak
pinggir jalan. Ia mempraktekan bagaimana menggunakan daun esam tersebut agar
dapat dijadikan obat. Selain itu, Ia juga menceritakan pengobatan yang dilakukan
oleh dukun yaitu berdikir. Penulis juga melihat pemuda yang sedang membuat
dayung sampan di rumah Ibu Erleni.
Pada sore hari, penulis berjalan menuju perumahan yang didirikan oleh
pemerintah untuk Orang Sakai di Jembatan II. Setelah itu penulis melihat
anak dan pemuda setempat bermain sepak bola di lapangan. Terdapat pula
anak-anak kecil yang sedang bermain bersama. Mereka begitu asyik dengan permainan
tersebut hingga tidak memperhatikan kebersihan tubuh. Selain itu penulis melihat
kuku anak-anak yang kotor. Kemudian penulis berpesan kepada mereka untuk
memotong dan membersihkan kuku mereka. esok sore penulis akan datang lagi
Pada tanggal 1 April 2013, menjelang siang penulis menuju Pos
sumbangan yang berada di depan Sekolah Dasar. Penulis ikut menjaga pos
bersama Heri. Heri menjelakan ia mulai menjaga pos sejak pukul 07.00 WIB
hingga 07.00 Wib keesokan harinya. Heri juga menjelaskan mengenai aturan
sumbangan yang harus diberikan oleh truk pengangkut kelapa sawit, tangki
pengangkut minyak, dan mobil PT Chevron. Saat penulis berada di pos
sumbangan, penulis melihat anak-anak yang tidak bersekolah main selubang di
depan SD. Permainan selubang ini menggunakan uang logam. Penulis juga
melihat kayu cerocok yang diangkut oleh truk kecil, penulis pun bertanya kepada
Heri mengenai kayu cerocok tersebut. Heri menjelaskan bahwa kayu cerocok
tersebut dijual dan digunakan sebagai tiang penyanggah untuk membangun rumah
bertingkat. Pada malam hari keluarga Heri tiba-tiba harus pergi dan Ibu Erma
yang menggantikan mereka untuk menjaga pos. Penulis ikut menjaga pos dengan
ibu Erma dan anak-anaknya. Akan tetapi hanya sebentar saja penulis menjaga pos,
Ibu erma mengatakan bahwa kami dirumah saja.
Pada tanggal 2 April 2013 pagi hari penulis melihat anak Ibu Erleni yakni
Iil sedang mengambil lukah ikan mengkaik di sungai. Iil mengatakan bahwa ikan
mengkaik ini akan digunakan sebagai umpan untuk memasang taju. Iil juga
menjelaskan bahwa untuk menangkap ikan mengkaik dengan lukah dapat
menggunakan umpan nasi.
Pukul 07.30 WIB penulis bersiap pergi ke SD. Setalah sampai di SD
guru-guru belum pada datang padahal sudah pukul 07.30 WIB. Kemudian pukul 07.45
WIB dua orang guru datang yakni Bapak Misyono selaku kepala sekolah dan
diri dan menjelaskan maksud kedatangan penulis untuk mengetahui pendidikan
anak Sakai di Jembatan II melalui sokolah. Akhirnya semua guru telah datang.
Penulis pun berkenalan dengan Bapak Dalana, Ibu Yarmiati, Ibu Sri, Ibu Adinar,
Ibu Zulaikah, Bapak Alderta.
Penulis dipersilahkan untuk mengajar oleh Kepala Sekolah. Penulis
terkejut mengajar kelas 4 karena muridnya hanya 1 orang. Penulis mengajarkan
pelajaran matematika. Penulis mengajar tidak menggunakan papan tulis,
melainkan menggunkan buku tulis saja. siswa yang penulis ajar lumayan pintar.
Pada saat istirahat penulis kembali ke kantor dan berbincang dengan
Kepala Sekolah dan guru di kantor. Kepala Sekolah dan guru banyak bercerita
mengenai keadaan sekolah terutama bapak delana sebagai guru pertama sejak SD
di Jembatan II ini berdiri. Mereka juga bercerita mengenai pengalaman suka dan
duka mereka selama mengajar disini. Selain mendengarkan cerita guru-guru
peneliti juga mengobservasi keadaan kantor.
Selesai istirahat penulis mengajar kelas 1 yang muridnya berjumlah sekitar
15 orang. Penulis merasa heran karena murid kelas 1 ada yang sudah besar dan
ada yang masih terlalu kecil. Penulis mengajarkan mereka mengeja dan membaca.
Keadaan kelas sangat riuh. Siswa-siswa semua bersuara sehingga penulis harus
mengajar dengan suara yang keras agar mereka mendengarkan. Siswa-siwa juga
susah berkonsentrasi. Selain itu siswa-siswa juga tidak menggunakan seragam
yang tidak lengkap. Ada siswa yang menggunakan sandal jepit dan ada pula yang
menggunakan baju yang bukan seragam sekolah. Setelah kelas selesai dan
siswa-siswa pulang. Penulis kembali ke kantor. Para guru menanyakan bagaimana
merasa tenggorokan sakit karena harus mengeluarkan suara yang kuat. Para guru
memuji keberanian penulis untuk meneliti Orang Sakai di Jembatan II dan
memuji keberanian penulis untuk tinggal bersama dengan Orang Sakai di
Jembatan II ini.
Pada tanggal 3 April 2013 penulis dipersilahkan untuk mengajar di kelas
Bapak Alderta yaitu kelas 3. Penulis terkejut karena siswanya hanya 4 orang.
Penulis mengajarkan pelajaran agama Islam pada pelajaran pertama dan pelajan
matematika pada pelajaran kedua. Siswa-siswa lumayan pintar, akan tetapi sedikit
tidak sopan karena ada yang melepas saputunya dengan alasan kepanasan. Selain
itu seragam yang digunakan juga tidak seragam. Saat pulang mengajar di kelas 3,
penulis mengobservasi timbunan serbuk kayu bekas kilang yang berada di depan
bangunan SD tersebut.
Sekitar pukul 15.00 WIB Ibu Erma dan Ibu Uwai melangsir kayu api dari
kilang kayu. Penulis tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan ini.
Penulis hanya membantu melemparkan tali dan menarik perahu beserta kayu
ketika akan sampai ke pinggir sungai agar tidak terbawa arus. Setelah membantu
Ibu Erma penulis dan anak-anak ibu erma mempraktekkan cara memasang taju di
sungai dengan menaiki sampan. Akan tetapi terlebih dahulu memancing ikan
mengkaik untuk umpan taju.
Pada sore hari sekitar pukul 18.00 penulis pergi ke rumah Bapak Henrda
selaku RT 02. Menurut warga Bapak Hendra lebih sering pergi ke kantor Desa
dari pada Bapak Adim ketua RT 01. Penulis kemudian memperkenalkan diri dan
menjelaskan kedatangan peneliti. Bapak Hendra menyambut penulis dengan
wilayah Jembatan II ini. Kemudian Bapak Hendra mengambilkan berkas yang ia
punya, antara lain peta Desa Petani, Berita Acara Pemasangan Tugu Batas Desa,
Berita Acara Penetapan Batas Wilayah Desa/ Kelurahan (PBWDK), Daftar
Koordinat Batas Desa Petani Kecamatan Mandau, dan Bentuk Pilar Batas Desa.
Penulis membawa pulang berkas tersebut untuk di fotokopi. Selain itu penulis
juga banyak berbincang dengan Bapak Hendra mengenai keadaan masyarakat
Sakai di Jembatan II ini.
Hari ini penulis makan bersama keluarga Ibu Erma dengan ubi menggalo
dan lauk ikan patin bakar. Rasa ubi menggalo hambar dan berstektur keras. Ibu
Erma menyarankan penulis untuk mencampur ubi menggalo dengan nasi agar
mudah dikunyah dan ditelan. Selain itu Ibu Erma juga menjelaskan apabila tidak
biasa makan ubi menggalo ini dapat menyebabkan sakit perut. Penulis prihatin
kepada keluarga Ibu Erma, karena setiap hari lauk yang dimasak adalah ikan
bulan-bulan yang disambal atau digulai. Serta ikan selais atau lupong yang
disambal dan digulai. Mereka jarang sekali membeli ikan laut ataupun daging.
Keluarga Ibu Erma juga tidak pernah sarapan pagi karena menghemat beras.
Setelah makan malam, Ibu Erma memasang tengarang karena hujan angin.
Tengarang adalah api yang dipasang didalam rumah dan diletakkan di tengah
rumah. Secara otomatis rumah dipenuhi oleh asap yang membuat mata sakit dan
batuk-batuk. Penulis bertanya mengenai tengarang tersebut kepada Ibu Erma. Ia
pun menjelaskan alat dan bahan yang digunakan untuk membuat tengarang serta
tujuan dibuatnya tengarang tersebut.
Pada tanggal 4 April 2013 sekitar Pukul 17.30 penulis mengunjungi rumah
masyarakat Sakai di Jembatan II ini dan mengenai keadaan alam pada saat awal
kedatangan mereka. Penulis juga menanyakan mengenai mitos buloh manis yang
berkembang di masyarakat Sakai. Bapak Adim dengan panjang lebar
menceritakan pertanyaan-pertanyaan penulis tersebut.
Pada tanggal 5 April 2013 Ibu Erma dan anaknya menyusun kayu dan
mengikat kayu pada siang hari. Penulis ikut membantu mereka menyusun kayu
dan mengikat kayu. Pekerjaan ini tidak begitu berat, tetapi harus berhati-hati
karena tangan dapat tertusuk serpihan kayu atau tertimpa kayu broti ini. Selain itu
pekerjaan ini dilakukan di luar sehingga harus berhadapan dengan teriknya sinar
matahari.
Pada tanggal 6 April 2013 Ibu Erma berencana mengganti tiang penyanggah
rumahnya yang telah lapuk. Salah satu kerabat Ibu Erma membantu mencarikan
kayu balok untuk mengganti tiang tersebut. Kayu balok tersebut dipotong sesuai
dengan ukuran tiang penyanggah rumah sekitar 2 ½ meter dengan mesin
pemotong kayu. Ibu Erma menjelaskan bahwa tiang rumah tersebut sekitar 15
tahun belum diganti. Kerabat Ibu Erma mengganti satu persatu tiang penyanggah
rumah dibantu dengan anaknya. Penulis melihat mereka sedikit kesulitan dalan
memasang tiang karena dibawah rumah tersebut adalah lumpur yang dalam.
Sore hari sekitar pukul 18.00 penulis pergi ke rumah Bapak Hendra.
Penulis mengembalikan berkas yang dipinjam sebelumnya. Kemudian penulis
menanyakan apakah Ia memiliki data kependudukan Jembatan II. Bapak Hendra
pun mengambilkan data kependudukan yang iya miliki. Penulis pun meminta izin
untuk membawa pulang data tersebut untuk difotokopi. Selain itu penulis juga
Bapak Hendra menejelaskan dengan panjang lebar mengenai awal mula
kedatangan Orang Sakai di Jembatan II, siapa saja orang pertama yang
memutuskan untuk menetap di Jembatan II, serta menceritakan mitos yang
berkembang dikalangan masyarakat Sakai mengenai Buloh Manis. Bapak Hendra
juga menyarankan peneulis untuk menanykan tentang sejarah Orang Sakai di
Jembatan II ini kepada Bapak Adim.
Pada tanggal 7 April 2013 penulis pergi ke kilang kayu bersama anak-anak
Ibu Erma. Penulis baru pertama kali menginjakkan kaki di kilang kayu sejak
penulis tinggal di Jembatan II ini. Sebelumnya peneliti hanya melihat saja ketika
ikut pergi memancing atau memasang taju di sungai. Kilang kayu saat itu sedang
tidak beroperasi. Penulis mengobservasi keadaan kilang dan sekitarnya, peralatan
yang ada di kilang, serta kayu-kayu yang terdapat di kilang. Penulis bisa bertanya
bebas dengan anak-anak Ibu Erma mengenai kilang kayu. Akan tetapi mereka
tidak mengetahui banyak hal mengenai kilang kayu tersebut. Jika penulis bertanya
kepada Ibu-Ibu, Bapak-Bapak dan pemuda-pemuda maka mereka tidak mau
terbuka mengenai kegiatan ini. Selama penulis berada di Jembatan II terhitung
hanya 3 hari saja kilang beroperasi. Di kilang kayu ini penulis bermain dengan
anak-anak Ibu Erma. Penulis diajak masuk kedalam semak-semak di dekat kilang.
Penulis diajak memanjat pohon dan bergelantungan dan berayunan di akar-akar
pohon. Kegiatan ini merupakan hal terasyik selama penulis di Jembatan II ini.
Pada tanggal 8 April 2013 penulis pergi ke SD untuk mengajar. Saat itu
adalah hari senin. Kegiatan upacara bendera tidak dilakukan di SD ini. Salah satu
guru hanya membariskan siswa-siswa di teras sekolah. Sedangkan guru yang lain
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan cipta. Penulis lebih
terkejut lagi ketika mendengar mereka bernyanyi dengan suara yang pelan dan
tidak hafal kedua lagu tersebut. Setelah murid-murid selesai bernyanyi, Bapak
Boniran sebagai pemimpin kegiatan ini mempersilahkan penulis untuk
memberikan arahan dan motivasi kepada murid-murid. Dengan senang hati dan
antusias penelis memberikan arahan dan motivasi kepada siswa-siswa agar tidak
malas pergi ke sekolah, agar tidak jenuh dalam belajar, serta agar mematuhi dan
menghormati guru-guru. Kemudian Bapak Boniran menyuruh siswa-siswa untuk
masuk kelas. Hari itu penulis mengajar kelas 3. Penulis mengajarkan pelajaran
IPS. Siswa kelas 3 sudah sangat akrab dengan penulis karena sudah beberapa kali
diajar oleh penulis. Pada pelajaran kedua penulis mengajar kelas 5. Penulis
mengajarkan pelajaran IPA.
Pada saat penulis pulang mengajar, penulis melihat Ibu RW sedang
membuat salai ikan di depan rumahnya. Penulis mampir dan berbincang dengan
Ibu RW dan Bapak Bahtiar yang juga lagi duduk disana. Disinilah penulis
mendapat informasi mengenai sejarah kehidupan Orang Sakai di jembatan II sejak
awal kedatangan hingga sekarang. Ibu RW juga menceritakan
keterpurukan-keterpurukan yang dialami oleh Orang Sakai di Jembatan II dan menceritakan
awal terbentuknya pos sumbangan yang ada di Jemabatan II ini. Penulis juga
mendapatkan foto-foto keadaan Jembatan II pada tahun 2000-an serta foto
mobil-mobil berisi kayu yang ditahan polisi saat razia pada tahun 2010.
Pada tanggal 9 April 2013 penulis pergi ke sekolah untuk mengajar. Hari itu
penulis mengajar kelas 1. Penulis kesulitan untuk mengajar karena usia siswa
Kelompok pertama untuk siswa dengan usia 5-7 tahun dan kelompok kedua untuk
siswa dengan usia 8-14 tahun. Penulis mengajarkan kelompok usia 5-7 tahun
untuk mengenal huruf, serta mengajarkan mengeja dan membaca untuk kelompok
usia 8-14 tahun.
Pada siang hari penulis bercengkrama dengan keluarga Ibu Erma di
rumah. Penulis menanyakan mengenai sistem kekerabatan dan sistem perkawinan
yang berlaku pada Orang Sakai di Jembatan II. Ibu Erma memperlihatkan akta
kelahiran yang dimiliki oleh anak-anaknya serta akta kematian almarhum
suaminya. Akta ini berbeda dengan akta kelahiran dan kematian yang dimiliki
masyrakat pada umumnya. Bisa dikatakan akta kelahiran dan kematian yang
dimiliki oleh orang Sakai dibuat khusus untuk mereka. menurut Ibu Erma hal ini
terjadi karena sebagian besar Orang Sakai di Jembatan II menikah secara sirih.
Pada sore hari saat penulis duduk-duduk di pinggir sungai, penulis melihat
sekelompok Orang Sakai yang pulang dari mandah. Mereka membawa kayu yang
disusun menanjang yang dihanyutkan pada sungai. Penulis menanyakan hal ini
dengan Heri yang juga sedang duduk dipinggir sungai. Heri banyak memberikan
informasi mengenai kegiatan mandah kepada penulis.
Pada tanggal 10 April 2013, siang hari penulis melihat Ibu Erma dan Ibu
Uwai sedang mengangkut kayu yang telah diikat ke becak. Kayu tersebut akan
dibawa oleh pembeli yang datang. Penulis melihat mereka mendapatkan upah Rp
50.000 untuk berdua. Selain itu penulis melihat Ibu Erma di bayar oleh toke kayu
atas pekerjaan mengikat kayu yang telah Ia kerjakan. Penulis takjub dengan
kuat. Mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh
laki-laki.
Pada hari itu penulis juga melihat salah seorang warga sedang mendirikan
pondasi rumah panggung di atas bekoan pinggir sungai. Sore hari penulis
berjalan-jalan ke pos sumbangan yang berada di depan SD. Penulis menemani
remaja yang sedang menjaga pos sumbangan tersebut. Pada saat itu anak-anak
bermain di pos sumbangan karena mengetahui penulis disana. Penulis merasa
senang karena dapat akrab dengan anak-anak Sakai di Jembatan II. Kemudian
penulis berjalan-jalan ke perumahan yang dibuatkan oleh pemerintah untuk Orang
Sakai di Jembatan II. Penulis mengobservasi kedaaan perumahan dan sekitarnya.
Penulis sangat menyayangkan karena lingkungan perumahan sangat kotor. Warga
perumahan tersebut membuang sampah rumah tangga mereka di bawah panggung
rumah. Selain itu penulis melihat ada 2 bekas rumah yang dibongkar. Penulis juga
melakukan wawancara dengan salah satu penghuni rumah tersebut mengenai
masalah tersebut.
Pada tanggal 11 April 2013 hari terakhir penulis di Jembatan II. Pagi hari
penulis pergi ke sekolah untuk terkhir kalinya. Penulis membawa makanan
sebagai pelengkap perpisahan dengan guru-guru. Penulis mengajar kelas 5 untuk
terakhir kalinya. Saat pulang sekolah penulis berpamitan dan berterima kasih
kepada guru-guru. Penulis juga mengajak mereka untuk berfoto sebagai
kenang-kenangan. Penulis merasa sedih karena harus pulang hari ini.
Pukul 15.00 WIB penulis dijemput oleh kakek untuk pulang. Penulis
berpamitan dan berterima kasih kepada Ibu Erma dan anak-anaknya. Penulis
Anak Ibu Erma juga memberikan sebuah baju untuk penulis sebagai
kenang-kenangan. Selain itu, Ibu Erma juga memberikan ikan salai dan ikan asin kepada
penulis untuk oleh-oleh. Penulis juga berpamitan dan berterima kasih kepada Ibu
Erleni dan Ketua RW 09. Ibu Erleni juga memberikan ikan salai kepada penulis
untuk oleh-oleh. Penulis juga berpamitan dan berterima kasih dengan Bapak
Adim selaku ketua RT. Terakhir penulis berpamitan dengan Heri yang telah