• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA MENURUT PERATURAN KETENAGAKERJAAN A. Perjanjian Penyedia Jasa PekerjaBuruh menurut Undang –undang No.13 - Pengawasan Pemerintah Terhadap Pemberian Izin Penyedia Jasa Tenaga Kerja Berdasarkan Permenkertran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA MENURUT PERATURAN KETENAGAKERJAAN A. Perjanjian Penyedia Jasa PekerjaBuruh menurut Undang –undang No.13 - Pengawasan Pemerintah Terhadap Pemberian Izin Penyedia Jasa Tenaga Kerja Berdasarkan Permenkertran"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA MENURUT PERATURAN KETENAGAKERJAAN

A. Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/Buruh menurut Undang –undang No.13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan

Aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara tepat,

sesuai dengan teori hukum dan filsafat hukum. Rumusan hukum tentang Perjanjian penyedia

jasa pekerja buruh diatur dalam Pasal 64-66 UU No.13 tahun 2003 merupakan rumusan yang

mengandung vague norm, karena menimbulkan interpretasi yang lebih dari satu. Ketentuan Pasal 64 UU No.13 tahun 2003 adalah “Perusahaan dapat menyerahkan sebagianpelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau

penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Terhadap ketentuan ini tidak ada

penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam penjelasan Pasal demi

Pasal. Rumusan itu apabila dicermati mengandung ketidakjelasan maksud. Pasal 64 UU

13/2003 tahun 2003 mengatur tentang bentuk outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan (merupakan outsourcing pekerjaan) dan penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing pekerja). Terhadap pemborongan pekerjaan diatur lebih lanjut dalam Pasal 65, syaratnya12

1. dibuat dalam perjanjian kerja tertulis berbentuk PKWTT atau PKWT;

:

2. pekerjaan yang dialihkan adalah bukan pekerjaan pokok;

3. berbadan hukum;

4. memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya

5. Bentuknya PKWTT atau PKWT berdasar Pasal 59.

Kriteria bukan pekerjaan pokok ditafsirkan secara otentik dalam Pasal 65 ayat (2)

yaitu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; berdasarkan perintah langsung atau tidak

langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang yang tidak menghambat

proses produksi secara langsung. Interpretasi otentik ini masih menimbulkan ketidak pastian

hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang hanya meletakkan

pemikiran yang pragmatis, hanya berdasar kehendak politik yang lebih mengarah pada

kepentingan pengusaha. Seharusnya interpretasi “perintah” harus melandaskan pada teori

hukum yaitu meletakkan dasar teori hukum tentang perintah yaitu hakekat

12

(2)

pertanggungjawaban. Bukan pertimbangan pragmatis yang menunjuk pada bentuk perintah

dilakukan. Siapaun yang memberikan perintah maka dialah yang harus bertanggung jawab.

Majikan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diperintahkan kepada pekerjanya. Pemberi

perintah adalah yang menikmati hasil dari pekerjaan. Dari sudut filosofinya adalah adil

apabila pekerja mendapatkan hak berupa upah apabila ia sudah mengerjakan pekerjaan

dengan benar. Sebaliknya akan adil pula apabila majikan harus melaksanakan kewajibannya

dengan membayar upah apabila pekerjaan yang merupakan kehendakya sudah dilaksanakan

oleh pekerja. Jadi makna dari perintah adalah tanggung jawab bukan cara dilakukannya

perintah.

Apabila makna perintah sudah sesuai dengan konsep/ teori hukum, maka akibatnya

dengan serta merta perlindungan syarat kerja menjadi kewajiban dari yang memberikan

perintah yaitu pemberi pekerjaan. Dirumuskannya Pasal 65 ayat (4) UU 13/2003

menunjukkan kesalahan perumusan ayat sebelumnya yaitu Pasal 65 ayat (2) huruf b.

Terhadap rumusan otentik pemberi kerja sudah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (4) UU No.13

tahun 2003 yaitu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lain yang

mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Sayangnya rumusan ini tidak menjadi landasan dalam merumuskan konsep hubungan

kerja. Hubungan kerja dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UU 13/2003 yaitu hubungan

antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah, dan perintah. Terdapat kesalahan perumusan (yang disengaja) dalam Pasal 1

angka 14 UU No.13 tahun 2003, Seharusnya kata “pengusaha” diganti dengan “pemberi

kerja”.

Kesalahan interpretasi otentik ini mengakibatkan konflik sosial. Terjadi perbedaan

pendapat di masyarakat berkaitan dengan siapakah pekerja yang dilindungi oleh UU No.13

tahun 200313

Apakah semua orang yang bekerja pada pemberi kerja ataukah hanya pekerja yang

bekerja pada pengusaha. Lebih adil menggunakan istilah majikan daripada istilah pengusaha.

Pengusaha adalah bagian dari majikan. Pengusaha adalah orang yang menjalankan usaha.

Sementara di masyarakat lebih banyak orang yang memberi pekerjaan yang bukan .

13

(3)

pengusaha. Rumusan Pasal1 angka 14 mengakibatkan pekerja yang tidak bekerja pada

pengusaha dapat diinterpretasikan tidak dilindungi oleh UU 13/2003.

Terdapat perbedaan rumusan otentik tentang subyek hukum dalam hubungan kerja

pemberi kerja atau pengusaha. Pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha secara yuridis,

tidak dianggap telah melakukan hubungan kerja, sehingga tidak dilindungi oleh UU No.13

Tahun 2003 (Asri Wijayanti: 2011, 115).

Ketentuan Pasal 66 UU 13/2003 merupakan pasal penjelas dari Pasal 64, yang

mengatur tentang outsourcing pekerja dirumuskan sebagai berikut :

“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan

oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan

langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang

tidak berhubungan langsung dengan proses produksi” Syarat perusahaan penyedia jasa/buruh

(perusahaan outsourcing) adalah: ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa/buruh; memenuhi syarat PKWT berdasarkan Pasal 59; memberi

perlindungan, ada perjanjian tertulis antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia

jasa/buruh; berbadan hukum. Rumusan Pasal 66 UU 13/2003 merupakan rumusan yang

kabur, tidak menimbulkan kepastian hukum.

Kata-kata “jasa pekerja” dapat diinterpretasikan sebagai pekerja karena jasa dari

pekerja melekat pada tubuh pekerja itu. Berbeda dengan pekerjaan, yang baru melekat pada

diri pekerja apabila telah dilaksanakan. Jasa pekerja tidak sama dengan jasa. Seharusnya

bukan jasa pekerja tetapi pekerjaan yang menghasilkan jasa. Hubungan kerja adalah suatu

hubungan hukum antara pemberi kerja dengan pekerja mengenai dilaksanakannya suatu

pekerjaan dengan pemberian imbalan berupa upah. Pekerjaan dapat dikategorikan menjadi

dua yaitu pekerjaan yang menghasilkan barang dan pekerjaan yang menghasilkan jasa.

Kesalahan pemikiran pada pembuat Undang-Undang mengakibatkan pekerja sebagi obyek

dari hubungan kerja.

Pekerja adalah orang, di dalam teori dan filsafat hukum, selamanya orang tidak dapat

menjadi obyek dari suatu hubungan hukum. Penempatan orang sebagai obyek hukum adalah

(4)

ayat (3) UU 13/2003 jo Pasal 66 ayat (3) jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenaker 220/2004, yaitu

perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum,kecuali14

a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang; :

b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan

perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut

mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang. Tujuan disyaratkan badan

hukum adalah tidak relevan, mengingat setiap pelaku usaha tetap dapat dimintai

pertanggungjawaban apabila melakukan suatu pelanggaran, tidak menunggu pelaku usaha

berbentuk badan hukum.

Melakukan pemborongan pekerjaan bukanlah monopoli suatu perusahaan yang sudah

berbadan hukum, tetapi menjadi hak setiap pelaku usaha. Batasan ini akan mengakibatkan

pelaku usaha (khususnya usaha kecil dan menengah) kehilangan haknya disamping juga

dapat mematikan program kemitraan atau community social development program suatu perusahaan dengan lingkungan sosial disekitarnya yang sudah berjalan. (MochSyamsudin:

2007, 174)15

B. Peraturan-peraturan pelaksana terkait Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Buruh

Perusahaan penyedia jasa pekerja yang merupakan salah satu bentuk dari

outsourcing, harus dibedakan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta (laboursupplier). Sebagaimana diatur dalam Pasal 35, 36, 37 dan 38 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu apabila tenaga kerja telah ditempatkan, maka

hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah pekerja dengan perusahaan pemberi kerja

bukan dengan lembaga penempatan tenaga kerja swasta tersebut.

Dalam penyediaan jasa pekerja, perusahaan pemberi kerja tidak berhak

memperkerjakan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok / kegiatan yang berhubungan

dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk melaksanakankegiatan jasa

penunjang / kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan

dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaningservice), usaha penyedia makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengaman /satuan pengaman (security) usaha

14

Ibid, hal.6.

15

(5)

jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan serta usaha penyedia angkutan pekerja. Di

samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan

jasa pekerja bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat

kerja serta perselisihan hubungan industrial yang terjadi.

Pasal 50 undang-undang ketenagakerjaan menegaskan bahwa : “hubungan kerja

terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal diatas

menetapkan pentingnya perjanjian kerja sebagai dasar mengikatnya suatu hubungan hukum

yaitu hubungan kerja, dengan kata lain untuk mengatakan ada tidaknya suatu hubungan kerja

maka maka landasannya adalah ada tidaknya perjanjian kerja.

Perjanjian kerja dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian, syarat ini

telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pada pasal 52 ayat 1 yaitu

:

1. Kesepakatan kedua belah pihak

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Akibat hukum yang sah adalah perjanjian itu mengikat para pihak layaknya UU.

Jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut yang berakibat

merugikan pihak lain maka disebut wanprestasi.

Sebelum berlakunya Kepmenaker No.19 tahun 2012 Peraturan lain terkait

pelaksana perjanjian penyedia jasa pekerja buruh diatur lebih lanjut dalam Keputusan

Menakertrans Keputusan Menakertrans No. 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, dimana dalam

Keputusan tersebut perjanjian kerja terdapat dalam pasal 5 yakni “setiap perjanjian

pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak

pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan

perunndang-undangan” ,

Dalam Keputusan Menakertrans No. 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan

(6)

“Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan

pemberian pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang

sekurang-kurangnya memuat :

a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud

huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja dan perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja buruh c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa buruh bersedia menerima pekerja

diperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada diperusahaan pemberi kerja dalam dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja buruh.

Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa : “perjanjian sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan

pekerjaan”.

Sejak Permenakertrans No. 19 tahun 2012 resmi diberlakukan, hal ini yang membuat

dua peraturan menteri yang lain sebelumnya menjadi tidak berlaku. Yaitu Keputusan

Menakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Keputusan Menakertrans No 101 Tahun 2004 tentang

Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Dimana Permen No 19 ini

ternyata banyak mengubah pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian

pekerjaan kepada perusahaan lain yang diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101. Secara

umum, Permen No 19 ini terlihat lebih memperketat keberadaaan perusahaan outsourcing.

Sebelumnya, untuk mengingatkan, UU Ketenagakerjaan membedakan mekanisme

penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi dua cara. Pertama, dengan

pemborongan pekerjaan. Dan kedua adalah lewat penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam

praktik, cara yang kedua yang biasa dikenal dengan outsourcing. Sebut saja soal syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan perseroan terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum perusahaan

outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya membolehkan perusahaan

outsourcing berbentuk PT. Boleh jadi, koperasi

(7)

perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220

yang masih memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum

sepanjang bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan. Hal

lain yang diatur dalam Permen No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian

pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan

setempat. Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan

jasa pekerja.

Perbedaan lain yang mencolok adalah soal izin operasional perusahaan penyedia jasa

pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun

dan berlaku di seluruh Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya

berlaku di satu provinsi. Untuk melindungi pekerja outsourcing, Permen ini juga mencantumkan hak apa saja dari pekerja outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan

penyedia jasa. Semisal hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak mendapatkan

ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.

Surat Edaran Menakertans No: SE.04/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan

Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, Mengatur lebih lanjut mengenai perjanjian

penyedia jasa pekerja buruh. Dalam Surat Edaran ini ketentuan tentang persayaratan

perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh adalah

1. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi, meliputi:

a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan

e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh di larang menyerahkan pelaksanaan sebagian

atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikannya kepada perusahaan penyedia jasa

(8)

4. Memuat jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dariperusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh.

5. Memuat penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia

menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya

untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam

hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

6. Memuat penjelasan mengenai hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Dalam hal Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja

Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), maka :

a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mencatatkan perjanjian kerja antara perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya kepada instansi yang bertanggung

jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan ;

b. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota meneliti isi

perjanjian kerja, meliputi:

1) jaminan kelangsungan bekerja;

2) jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan

dan yang diperjanjikan, yaitu:

a) hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;

b) hak atas jaminan sosial;

c) hak atas tunjangan hari raya;

d) hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;

e) hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan

pekerja;

f) hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang telah

dilalui; dan

g) hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan dan/atau perjanjian

kerja sebelumnya.

3) jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh untuk menetapkan upah. Untuk itu perusahaan perlu membuat skala upah yang

(9)

c. instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota mengeluarkan

bukti pencatatan perjanjian kerja tersebut.

Dalam Surat Edaran ini, setelah seluruh persyaratan perjanjian penyediaan jasa

pekerja/buruh ini dilaksanakan, maka :

a. perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mendaftarkan perjanjian penyediaan jasa

pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

b. berdasarkan pengajuan tersebut, instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota meneliti isi perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh, meliputi:

1) kelengkapan persyaratan perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT).

2) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh;

3) penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima

pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis

pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi

penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan

4) hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan

pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu atau

perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

c. apabila telah memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan menerbitkan

bukti pendaftaran perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh .

d. Apabila tidak memenuhi persyaratan, instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan dapat menolak pendaftaran .

Dari sisi isi/substansi, Permen No 19 tahun 2012 ini banyak mengubah dan mengatur

hal-hal yang sebelumnya tidak ada antara lain16

a. pengaturan soal syarat dan tata-cara penyerahan sebagian pekerjaan kepada

perusahaan lain sebagaimana pernah diatur dalam Kepmen 220 dan Kepmen 101. :

16

(10)

b. syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing. Bila Kepmen 101 menyatakan perseroan terbatas (PT) dan koperasi boleh dipilih sebagai bentuk badan hukum

perusahaan outsourcing, tidak demikian dengan Permen No 19 yang hanya membolehkan perusahaan outsourcing berbentuk PT.

c. Permenakertrans No 19 ini juga bakal melarang perusahaan pemborong pekerjaan

yang tidak berbadan hukum. Berbeda dengan Kepmen 220 yang masih

memberikan keleluasaan kepada perusahaan yang tidak berbadan hukum sepanjang

bergerak di bidang pengadaan barang, atau jasa pemeliharaan dan perbaikan.

d. Permenakertrans No. 19 memuat kewajiban mendaftarkan perjanjian pemborongan

pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan setempat.

Praktik sebelumnya, kewajiban pendaftaran ini hanya berlaku untuk penyediaan

jasa pekerja.

e. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja. Kepmen 101 menyatakan izin

operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan berlaku di seluruh

Indonesia. Sedangkan Permen No 19 hanya tiga tahun dan hanya berlaku di satu

provinsi.

f. Permenakertrans No. 19 tahun 2012 juga mencantumkan hak apa saja dari pekerja

outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa, meliputi hak cuti,

jaminan sosial, tunjangan hari raya, dan hak mendapatkan ganti rugi bila

diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.

g. Perusahaan pemberi pekerjaan melaporkan jenis kegiatan yang akan diborongkan

kepada instansi di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota

h. Pemborongan pekerjaan itu dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan yang

bersifat penunjang dan dalam pelaksanaannya akan mensyaratkan adanya

pembuatan alur proses pelaksanaan pekerjaan oleh asosiasi sektor usaha.

i. Penegasan jenis kerja yang dapat di outsourcing yaitulima jenis pekerjaan: usaha

pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja, usaha tenaga

pengaman/security, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta

penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

j. Perusahaan yang menempatkan pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) dapat

dikenai sanksi berupa beralihnya status pekerja/buruh yang ditempatkannya dari

PKWT menjadi PKWTT apabila perlindungan kerja tidak dicantumkan dalam

(11)

k. Dibuka kesempatan bagi pekerja/buruh yang tidak memperoleh jaminan

kelangsungan bekerja, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada

Pengadilan Hubungan Industrial.

l. Digunakannya prinsip dialihkannya tanggungjawab perlindungan pekerja pada

perusahaan pemborongan kerja yang baru.

C. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan

Sebelum berlakunya Peraturan Presiden Republik Indonesia tahun No. 21 tahun 2010

Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan maka yang menjadi dasar Pengawasan

ketenagakerjaan adalah Undang-undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan

perburuhan. Pengawasan ketenagakerjaan dalam UU ini lebih luas lagi, bukan hanya

mengontrol implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan tetapi juga untuk mengumpulkan

informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan para pekerja sebagai dasar pembentukan

peraturan-peraturan yang baru.

Pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui departemen tenaga kerja

dimaksudkan yntuk menjamin pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan. Pengawasan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan, tugas dan

kewajibnya adalah sebagai berikut:17

a. Merahasiakan segala sesuatu yang mnurut sifatnya wajib dirahasiakan

b. Tidak menyalahgunakan kewenanganya

Pemerintah ( cq.Depnaker) melalui pengawasan perburuhan berdasarkan UU No.23

Tahun 1948 jo. UU. No. 3 Tahun 1951tentang pengawasan perburuhan diberikan wewenang

18

1. Mengawasi berlakunya undang-undang dan peraturan –peraturan perburuhan pada

khusus nya :

2. Mengumpulkan bahan-bahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerja dan

keadaan perburuhan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat undang-undang

dan peraturan-peraturan perburuhan lainya

17

Maimun , Hukum ketenagakerjaan, PT PRADNYA PARAMITA, Jakarta, 2004, hal. 34.

18

(12)

3. Menjalankan pekerjaan lainya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

UU 23 Tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan masih berlaku sampai saat ini karena

UUK tidak mencabutnya. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa tujuan diadakanya pengawasan

adalah untuk:

a) Mengawasi berlakunya UU dan peraturan Perburuhan;

b) Mengumpulkan bahan keterangan tentang persoalan hubungan kerja dan keadaan

perburuhan dalam arti seluas-luasnya guna membuat UU dan peraturan perburuhan.

Pengawasan ketenagakerjaan dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu secara luas,

pengawasan ketenagakerjaan adalah segala tindakan dan perbuatan yang tujuannya untuk

mengawasi pelaksanaan kesehatan kerja,keamanaan kerja, pelaksanaan peraturan

perlindungan kerja, keamanaan kerja seperti waktu kerja, waktu istirahat, K3 dan

sebagainya,yang dapat dilakukan oleh siapa saja pemerintah,asosiasi pengusaha,serikat

pekerja buruh dan sebagainya.

Biasanya pengertian sempit pengawasan ketenagakerjaan adalah tugas yang diemban

oleh instansi ketenagakerjaan untuk menjamin dilaksanakannya peraturan perlindungan

kerja,dalam hal ini petugas pengawas ketenagakerjaan.

Persamaan keduaanya adalah bahwa pengawasan bukanlah alat perlindungan

melainkan lebih sabagai cara untuk menjamin pelaksanaan peraturan perlindungan.

Tahun 1948 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengawasan tenaga kerja

yaitu UU no.23 Tahun 1948 jo UU No.3 THUN 1951. Pengawasan ketenagakerjaan dalam

UU ini lebih luas lagi,bukan hanya mengontrol implementasi aturan-aturan ketenagakerjaan

tetapi juga untuk mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan para pekerja

sebagai dasar pembentukan peraturan-peraturan yang baru.

Secara umum pengawasan ada dua19

1. Pengawasan preventif

:

Pengawasana preventif,yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya segala

penyelewengan-penyelewengan,kesalahan-kesalahan,dan sebelum suatu pekerjaan

dilaksanakan dengan member pedoman-pedoman pelaksanaan.

2. Pengawasan represif

19

(13)

Pengawasan yang dilakukan sesudah rencana dilaksanakan,dengan kata lain

berkenaan dengan hasil-hasil yang dicapai,dinilai/diukur,jadi pengawasan ini

dilakukan setelah adanya kesalahan atau penyimpangan.

UU 23 Tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan masih berlaku sampai saat ini

karena UUK tidak mencabutnya.Dalam pasal 1 disebutkan bahwa tujuan diadakanya

pengawasan adalah untuk:

c) Mengawasi berlakunya UU dan peraturan Perburuhan;

d) Mengumpulkan bahan keterangan tentang persoalan hubungan kerja dan keadaan

perburuhan dalam arti seluas-luasnya guna membuat UU dan peraturan perburuhan.

Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.Kep.353/M/SJ/1996 tentang

uraian Kegiatan Kantor Wilayah,Kantor Departemen dan Unit Pelaksana Teknis

Depnaker disebutkan dalam bagian ketujuh bahwa bidang pengawasan

ketenagakerjaan memiliki tugas melaksanakan pembinaan dan pengawasan norma

kerja,norma jaminan social tenaga kerja,norma keselamatan dan kesehatan

kerja,melakukan penyidikan terhadap pelanggaran norma kerja.

Pegawai pengawas dilingkungan departemen tenaga kerja diberi wewenang pengawasan

yang mencakup20

j) Memasuki semua tempat dimana dijalankan pekerjaan dan juga segala rumah yang

disewakan atau dipergunakan oleh pengusaha atau wakilnya untuk perumahan ata

erawatan tenaga kerja :

k) Meminta keterangan baik lisan maupun tertulis kepada pengawas atau pengurus dan

atau tenaga kerja atau serikat pekerja tanpa dihadiri pihak ketiga

l) Menjaga,membantu dan memerintahkan pengusaha atau pengurus perusahaan dan

pekerja agar menaati peraturan perundangan ketenagakerjaan

m) Memberikan teguran terhadap penyimpangan peraturan perundangan ketenagakerjaan

n) Melakukan pengujian teknik persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja

o) Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan yang belum jelas dan/atau belum diatur dalam

peraturan perundangan.meminta bantuan polisi bila ditolak memasuki perusahaan

atau pihak yang dipanggil tidak mematuhi panggilan

p) Memanggil pengusaha dan pekerja

q) Melarang pemakain bahan alat berbahaya

(14)

r) Melakukan penyidikan selaku PPNS(Penyidik Pegawai Negeri Sipil).

Pengawasan ketenagakerjan merupakan salah satu unsur yang harus ikut berperan

didalam tenaga kerja.sebagai penegak hukum dibidang ketenagakerjaan unsur pengawasan ini

harus bertindak sebagai pendeteksi dini di lapangan,sehingga diharapkan segala gejolak yang

akan timbul dapat dideteksi secara awal dan yang pada giliran nya dapat memberikan atau

dapat diciptakan suasana yang aman,stabil dan mantap dibidang ketenagakerjaan yang

dengan demikian dapat memberikan andil dalam pembangunan nasional,sehingga

pertumbuhan ekonomi dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

Kebijaksanaan pengawasan ketenagakerjaan secara operasional ditetapkan sebagai berikut21

1. Pengawasan ketenagakerjaan diarahkan kepada usaha preventif dan

edukatif,namun demikian tindakan represifbaik yang yutisial. maupun non

yutisial akan dilaksanakan secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang

yang secara sengaja melanggar ataupun telah berkali-kali diperingatkan akan

tetap tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,

:

2. Unit dan aparat pengawasan diharapkan lebih peka dan cepat bertindak

terhadap masalah-masalah yang timbul dan mungkin timbul

dilapangan,sehingga masalah nya tidak meluas atau dapat diselesaikan dengan

tuntas(tidak berlarut-larut).

3. Aparat prngawasan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan

diharuskan turun langsung kelapangan untuk melihar permasalahnya secara

langsung,sehingga dapat dijamin obyektifitaasnya.

4. Pemanfaatan aparat pengawasan secara optimal sehingga dapat menjangkau

obyek pengawasan seluas mungkin khususnya pada sektor-sektor yang

dianggap rawan dan strategis.

Adapun ruang lingkup tugas-tugas pengawasan ketenagakerjaan ini adalah22

1. Melaksanakan Pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan peraturan

perundang-undangan mengenai norma perlindungan tenaga kerja

:

2. Melaksanakan pembinaan dalam usaha penyempuranaan norma kerja dan

pengawasannya

21

Sendjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 124.

(15)

3. Melaksankan Pembinaan dan pengawasan yang menyangkut perlindungan

tenaga kerja wanita, anak dan orang muda.

4. Melaksanakan usaha-usaha pembentukan, penerapan dan pengawasan norma

dibidang kecelakaan kerja.

Hal ini sesuai dangan pasal 16 UU No 14 tahun 1969 yang berbunyi: “guna menjamin

pelakasanaan pengaturan ketenagakerjaan serta peraturan-peraturan pelaksanaan nya

diadakan suatu sistem pengawasann tenaga kerja.

Sedangkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan ini adalah :

1. Mengawasi pelaksanaan undang-undang atau ketentuan-ketentuan hukum

dibidang perburuhan atau ketenagakerjaan

2. Memberi penerangan teknis serta nasehat kepada pengusaha dan tenaga kerja

tentang hal-hal yang dapat menjamin pelaksanaan efektif dari

peraturan-peraturan ketenagakerjaan.

3. Melaporkan kepada yang berwenang kecurangan dan penyelewengan dalam

bidang ketenagakerjaan yang tidak jelas diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Yang melaksanakan tugas serta fungsi-fungsi pengawasan dibidang ketenagakerjaan

ini disebut ”Pegawai Pengawas” yaitu pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen

Tenaga Kerja (pasal 1 UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja).

Pegawai-pegawai pengawas serta pegawai-pegawai pembantu yang mengikutinya

dalam melakukan kewajiban nya berhak memasuki semua tempat-tempat dimana dijalankan

atau biasa dijalankan pekerjaan atau dapat disangka bahwa disitu dijalankan pekerjaan dan

juga segala rumah yang disewakan atau dipergunakan majikan /pengusaha atau wakilnya

untuk perumahan atau perwatan tenaga kerja. Jika pegawai-pegawai tersebut ditolak untuk

memasukin tempat-tempat termaksud diatas maka mereka dapat meminta bantuan kepada

polisi.

Pegawai-pegawai pengawas didalam menjalankan tugasnya diwajibkan berhubungan

organisasi serikat pekerja atau tenaga kerja yang bersangkutan. Atas permintaan pegawai

tersebut maka pengusaha (pimpinan perusahaan) atau wakilnya dapat menunjuk seorang

pengantar untuk memberikan keterangan-keterangan pada waktu diadakannya pemeriksaan.

Pegawai-pegawai pengawas serta pegawai-pegawai pembantu tersebut diluar

jabatanya wajib merahasiakan segala keterangan tentang rahasia-rahasia didalam suatu

(16)

Terhadap pegawai pengawas/pegawai pembantu yang dengan sengaja membuka

rahasia yang dipercayakan kepadanya dikenakan sanksi hukuman berupa hukuman penjara

selama-lama nya 6 (enam) bulan dengan tidak atau dipecat dari hak memangku jabatanya.

Untuk mencapai sasaran pengawasan yang diinginkan maka pelaksanaan nya

dilandasi oleh23

1.Landasan Hukum,yaitu: :

a. Undang-undang No.3 Tahun 1951 tentang pengawasan perburuhan

b. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan kerja

c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.3 tahun 1984 tentang pengawasan

ketenagakerjaan terpadu.

d.Keputusan Menteri Tenaga kerja No.199 Tahun 1983 tentang organisasi dan

pembagian Tugas Departemen Tenaga Kerja.

e.Berbagai peraturan perundang-undangan lainya serta konvensi ILO yang

mangatur tentang pengawasan perburuhan mengenai ketenaga kerjaan.

2.Landasan Operasional

a. Garis-garis Besar Haluan Negara 1983-1988

b. Kebijaksanaan Menteri Tenaga Kerja.

3.Landasan Sikap Mental

Pegawai pengawas sebagai aparat pegawai negeri sipil selalu tunduk dan berpegang

kepada undang-undang No.8 tahun 1974 yaitu Undang-undang tentang pokok-pokok

kepegawaian

2.Pengawasan Pelaksanaan

Ada 3(tiga) macam kegiatan yang bersifat pemeriksaan dalam melaksanakan

pengawasan ini yaitu :

1. Pemeriksaan pertama,yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh pegawai

pengawas umum yang mencakup dua aspek yaitu norma kerja dan norma

keselamatan kerja.

2. Pemeriksaan ulang

3. Pemeriksaan khusus yaitu apabila ada hal –hal tertentu misalnya pengaduan

atas perintah atasan untuk sesuatu hal disuatu perusahaan.

23

(17)

Sesuai dengan maksud diadaknya pengawasan ketenagakerjaan maka tugas utama

dari pegawai pengawas adalah

1. Mengawasi berlakunya Undang-undang dan Peraturan-peraturan

ketenagakerjaan

2. Mengumpulkan bahhan-bahan keterangan dengan soal-soal hubungan kerja

dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-luasnya guna membuat

Undang-undang dan perturan peraturan ketenagkerjaan

3. Menjalankan pekerjaan lainya yang diserahkan kepadanya dengan

Undang-undang dan perturan lainya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengawas ketenagakerjaan adalah pegawai

negeri sipil pada departemen tenaga kerja yang berdasarkan undang-undang ditugaskan

secara penuh oleh penjabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap

ditaatinya perturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.24

Pengawasan Perburuhan adalah suatu institut yang sangat penting dalam

penyelenggaraan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Perburuhan. Tidak hanya untuk

mengawasi tentang berlakunya Undang-undang dan Peraturan-peraturan tadi dengan jalan

memberi penerangan kepada buruh, sarekat buruh dan majikan dan jikalau perlu dengan

mengusut hal-hal yang dikenakan hukuman oleh Undang-undang/Peraturan-peraturan itu,

akan tetapi pula untuk mengetahui dan menjelami tentang keinginan dan kebutuhan

masyarakat akan adanya Undang-undang/Peraturan-peraturan Pemerintah dalam suatu hal,

dan selanjutnya untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan,agar dapat mengadakan

Undang-undang/Peraturan-peraturan jang setepat-tepatnya, Meskipun Kantor Pengawasan

Perburuhan itu didalam zaman Belanda sudah ada, akan tetapi Kantor itu tidak begitu dikenal

oleh dunia buruh (terutama di perusahaan-perusahaan yang besar-besar, kebun-kebun dll.),

oleh karena pegawainya yang harus mengadakan pemeriksaan, seorang Arbeidinspecteur,

tidak pernah mengadakan perhubungan yang seerat-eratnya dengan pihak buruh Indonesia.

Oleh karena itu sampai kinipun Kantor Pengawasan Perburuhan yang sebetulnya telah ada

dan masih saja belum dikenal sebaik-baiknya oleh beberapa majikan dan buruh, sehingga

telah beberapa kali terjadi seorang Ajun Inspectur Pengawasan Perburuhan yang hendak

memasuki suatu tempat perusahaan untuk menjalankan kewajibanya, mendapat rintangan dari

atau ditolak oleh majikan yang berkepentingan. Berhubung dengan itu dan mengingat akan

24

(18)

pentingnya Pengawasan Perburuhan, dan untuk menyelesaikan sifatnya dengan aliran

sekarang, maka Pemerintah menganggap perlu untuk mengadakan Undang-undang yang

dengan tegas menetapkan tentang adanya Pengawasan Perburuhan beserta aturan-aturanya.

Dalam rangka membenahi masalah pengawas ketenagakerjaan di tengah sistem

otonomi daerah itu, Muhaimin selaku Menteri Tanaga kerja mengatakan pemerintah telah

menerbitkan Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawas Ketenagakerjaan.

dimana dalam peraturan itu, Pengawasan Ketenagakerjaan dilakukan oleh pengawas

ketenagakerjaan yang memiliki kompetensi dan independen yang ditunjuk sesuai dengann

ketentuan perundang-undangan. pengawas ketenagakerjaan bertugas melaksanakan

pengawasan keteneagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai penyidk pegawai negeri

sipil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pengawas ketenagakerjaan wajib25

a. Merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan.

:

b. Tidak menyalahgunakan wewenangnya.

Pengawas di dinas tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan

pengawasan ke pemerintah pusat dan mengatakan peraturan itu diharapkan dapat

memperbaiki sinergi pemerintah pusat dan daerah di bidang ketenagakerjaan. Untuk

meningkatkan pengawas ketenagakerjaan, dengan menerbitkan Permenakertrans No.10

Tahun 2012 telah dibentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Komite yang mendorong

fungsi pengawasan itu terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja.

Komite juga berperan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada Menteri

atas pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan.

Akan tetapi Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar

berpendapat, mengembalikan kewenangan pengawasan ke tingkat pusat adalah tuntutan

serikat pekerja yang telah lama disuarakan dan selama ini otonomi daerah memberi

kewenangan kepada kepala daerah untuk menempatkan dan memutasi pengawas

ketenagakerjaan ke bagian lain di luar pengawasan. Seperti dimutasi ke dinas sosial,

kependudukan dan sebagainya.26

25

Peraturan presiden No 21 tahun 2010, pasal 20

26

(19)

Selain itu, Timboel berpendapat kepentingan memprioritaskan PAD (Pendapatan Asli

Daerah) membuat para kepala daerah lebih mementingkan eksistensi perusahaan di

daerahnya daripada menegakkan hukum ketenagakerjaan. Akibatnya, pengawas

ketenagakerjaan dikondisikan hanya pasif dan sekedarnya dalam menjalankan fungsinya di

bidang pengawasan.

Timboel berharap Menteri Tenaga Kerja serius merealisasikannya dan Selaras

dengan itu Timboel melihat beberapa regulasi yang berkaitan dengan pengawas

ketenagakerjaan dapat direvisi. Misalnya, merevisi PP No.38 Tahun 2007 agar pembinaan,

pengawasan dan pertanggungjawaban pengawas langsung kepada Menakertrans. Jika laporan

itu hanya sampai ke tingkat kepala daerah, Timboel ragu penegakan hukum ketenagakerjaan

dan pengawasan tak berjalan baik. “Penempatan pengawas adalah tanggungjawab

Kemenakertrans sehingga tidak asal-asalan lagi,” katanya kepada hukumonline lewat pesan

elektronik, Rabu (10/4).27

Jika Menteri Tenaga Kerja serius memperkuat pengawas ketenagakerjaan, Timboel

berpendapat meningkatkan anggaran untuk bidang pengawasaan menjadi bagian yang patut

dilakukan. Menurutnya, anggaran itu dapat diambil dari APBN. Ketika hal itu sudah

dilakukan maka wilayah Kabupaten/Kota yang belum punya pengawas, perlu diprioritaskan.

Timboel berpendapat di setiap daerah di Indonesia pasti terdapat perusahaan yang

mempekerjakan pekerja formal. Oleh karenanya, Timboel mengangap tak ada alasan bagi

pemerintah untuk tidak menempatkan pengawas ke seluruh wilayah di Indonesia. “Idealnya

setiap tahun Kemenakertrans harus mampu menciptakan minimal 200 PPNS yang tersebar

diseluruh provinsi dan Kabupaten/Kota,” urainya.

28

27 Ibid

Selain itu menyasar APBN, Timboel

mengatakan APBD juga harus mengalokasikan anggaran untuk memperkuat pengawas

ketenagakerjaan. Pasalnya, dari pantauannya selama ini ketika melaporkan masalah

ketenagakerjaan ke dinas-dinas, Timboel mengatakan petugas pengawas kerap mengeluh tak

punya dana operasional. “Laporan-laporan yang OPSI laporkan sangat lama di follow up,

(20)

sehingga beberapa kali pengawas ketenagakerjaan yang lambat tersebut kami laporkan ke

Ombudsman,” ucapnya.29

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Hang Ali Saputra Syah Pahan, mengatakan pengawas ketenagakerjaan yang berlangsung selama ini lemah.

Akibatnya, marak terjadi penyelundupan hukum ketenagakerjaan30

Kejadian ‘perbudakan’ di Tangerang tidak cukup hanya dilakukan tindakan represif

terhadap oknum siapapun yang bertanggungjawab. Namun perlu tindakan preventif dan

evaluatif atas semua sarana dan prasarana pengawas ketenagakerjaan dari tingkat nasional

sampai dengan tingkat kabupaten/kota. agar pengawasan yang dilaksanakan dapat efektif

,maka :

.Metode dan sistem

pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2010

tidak pernah dijelaskan kepada masyarakat.

1. Dinas Tenaga Kerja setempat perlu mengupayakan sistem dan metode

pengawasan terpadu dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, kelurahan dan

atau kecamatan untuk melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara

periodik. Pengawasan yang dilakukan seharusnya tidak terbatas pada

pengusahanya tetapi juga bertemu langsung dengan tenaga kerjanya.

2. Model pengaduan dan informasi melalui membuka hotline, surat elektronik, sms

pengaduan, dan media informasi lainnya harus terus dikembangkan dan

dikenalkan kepada masyarakat pelaku produksi.

3. Perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus dan terstruktur tentang UU

Ketenagakerjaan dan peraturan yang berkaitan kepada semua pelaku usaha baik

dalam bentuk usaha berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik

persekutuan, milik badan hukum, baik swasta maupun milik negara, skala kecil

dan menengah

4. Pemerintah harus serius melakukan upaya penghapusan biaya-biaya ‘siluman'

(upeti) untuk berdirinya suatu usaha ataupun setelah badan usaha terbentuk

29 Ibid

30

(21)

(operasional) dan membersihkan oknum-oknum aparat/pejabat di pusat dan daerah

yang meminta sumbangan atau dana dalam bentuk apapun.

5. Perlu dilakukan terobosan karena keterbatasan jumlah pengawas ketenagakerjaan

dengan membentuk ‘Intel’ Ketenagakerjaan yang bertugas mengumpulkan

informasi dan data awal dengan tidak mengenal jam kerja sebagaimana pegawai

negeri saat ini. Antara Intel Ketenagkerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan

sebagai Penyidik saling berkoordinasi setiap ada temuan-temuan, info-info, dan

data-data yang ada di lapangan, sehingga laporan-laporan ketengakerjaan yang

diwajibkan selama ini mendekati akurat dan konkrit, setelah mendapatkan

keterangan awal tersebut petugas pengawas melakukan tugas sebagaimana

mestinya salah satunya pembinaan.

Semoga pemerintah melalui Kemenakertrans segera mewujudkan konsep dan sistem

yang modern dalam melakukan pengawasan dan kasus ‘perbudakan’ di Tangerang tidak

Referensi

Dokumen terkait

penelitian ini perawat kamar bedah dengan masa kerja kurang dari 6 tahun terdapat 22 orang. yang mengalami tingkat kelelahan kerja sedang 4 orang mengalami kelelahan kerja

Apabila permukaan bumi ini ditelusuri dari suatu tempat menuju ketempat lain, maka bentuk permukaan bumi ini tidak rata seperti jika kita melihat sebuah gunung dari kejauhan

coli (c), fecal streptococci (d) and total bacteria (e) during incubation at green house after alkaline stabilization of pig manure with coal fly ash and lime

Berdasarkan asumsi pengaruh yang digunakan dalam regresi data panel, model regresi data panel dibagi menjadi 3 metode untuk melakukan estimasi parameternya yaitu, pendekatan common

Hasil penelitian yang dilakukan di pedagang kaki lima kebersihan diri penjamah makanan kebersihan diri (100%), 9 responden yang mengatakan tidak menggunakan

Kehadiran peserta yang senang bicara di luar konteks ini juga menjadi tantangan dalam proses lokakarya, terutama karena jika kurang konsentrasi, Manajer kampanye bisa terbawa

Pertemuan Komisi Bersama akan diketua i oleh Menteri Luar Negeri atau Pejabat Senior yang mewakili Kementerian Luar Negeri dari Para Pihak, dan akan terdiri dari

dalam huruf a serta dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 16 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 15 Tahun 2005 tentang Organisasi Lembaga Teknis Kota Surabaya perlu