• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak jalanan - Kekerasan Terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Di Perempatan Jalan Kawasan Sekitar Pasar Aksara Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak jalanan - Kekerasan Terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus Di Perempatan Jalan Kawasan Sekitar Pasar Aksara Kota Medan)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak jalanan

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang

mempunyai kegiatan di jalanan tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarga.

Tetapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan

bagi semua pihak tentang konsep anak jalanan. (dikutip dari: wikipedia bahasa

indonesia).

Istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan Atau

Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan umumnya

sudah tidak memiliki ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada kategori ini

pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau kriminal. UNICEF

kemudian menggunakan istilah hidup di jalanan bagi mereka yang sudah tidak

memiliki ikatan keluarga. Bekerja di jalanan adalah istilah bagi mereka yang masih

memiliki ikatan dengan keluarga.

Secara umum, Anak jalanan adalah perempuan dan laki-laki yang

menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan

tempat-tempat umum, seperti pasar, mall terminal bis, stasiun kereta api, taman kota

(Suharto, 2008: 231). PBB mendefenisikan anak jalanan adalah Anak yang

menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja, bermain, atau beraktivitas lain

(2)

menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak

jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais

sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan,

perkelahian, dan kekerasan lain.

Anak jalanan merupakan anak yang tersisih, marginal dan teralienasi dari

perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus

berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat.

Di berbagai sudut kota, sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan

cara-cara yang secara sosial kurang dan bahkan tidak dapat diterima masyarakat

umum, hal itu mereka lakukan yang sebenarnya dengan terpaksa karena ingin

membantu orangtua dan menghilangkan rasa lapar. Mereka juga sering dianggap

sebagai dianggap sebagai penggangggu ketertiban (Suyanto, 2003: 185).

Menurut Surbakti dkk (dalam Suyanto 2003), Berdasarkan hasil kajiannya,

secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat

dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan

kepada orangtua mereka. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk

membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarga karena beban atau

tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri

(3)

2. Chidren of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih

mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan

mereka tidak menentu. Biasanya diantara mereka hidup di jalanan karena

kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Kategori ini biasanya rawan terhadap

perlakuan salah baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai

hubungan kekeluargaan yang cukup kuat tetapi hidup mereka

terombang-ambing dari suatu tempat-ke tempat lain dengan segala resikonya. Kategori ini

banyak ditemui di kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta

api (Suyanto, 2003: 186).

2.2 Kekerasan Terhadap Anak

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang

terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Thomas, 2002: 11).

Istilah kekerasan terhadap anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku,

dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa

lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Menurut

(4)

yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial,

baik yang dialami individu maupun kelompok.

Anak-anak pada umumnya dapat hidup nyaman dan tenteram dalam

lingkungan keluarga (nature) dengan pola asuh (nurture) yang baik untuk anak,

sementara anak jalanan bertanggung jawab atas tubuh dan dirinya secara utuh.

Mereka wajib kebal terhadap resiko atas kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang

tidak terbayangkan dapat diterima oleh anak-anak seusianya. Seolah-olah mereka

hidup dengan menggantungkan panjang usia hidupnya pada proses seleksi alam. Di

jalanan anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak, pekerja malam dan

lainnya (dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ

Anak-anak di jalanan harus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya

sendiri karena di jalanan anak-anak menghadapi beragam konflik dan ancaman

kekerasan. Tindak kekerasan dapat dilakukian oleh siapa pun. Mulai dari sesama anak

jalanan, terutama anak jalanan yang lebih dewasa, sampai kekerasan antar geng anak

jalanan. Pelaku lainnya adalah orang-orang dewasa di sekitar jalanan, seperti orang

tua yang ingin mengambil keuntungan dari anak jalanan. Bagi anak jalanan aparatur

pemerintah, khususnya satuan polisi pamong praja (satpol PP), juga merupakan

ancaman kekerasan karena ketika melakukan razia satpol PP sering menggunakan

(5)

Orang tua sering menjadi pelaku kekerasan anak di jalanan karena mereka

memanfaatkan posisi anak untuk mencari keuntungan ekonomi. Sering sekali anak

jalanan yang menerima perlakuan kekerasan dari banyak pihak telah menimbulkan

ketraumaan dan dendam. Anak jalanan selalu menunggu waktu dan kesempatan

untuk membalaskan kekerasan yang pernah dialaminya (Misran, 2010: 31). Menurut

WHO, ada beberapa jenis kekerasan pada anak, yaitu:

1. Kekerasan Fisik; tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi

menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau

berulang kali. Seperti dipukul/ tempeleng, ditendang, dijewer, di cubit,

dilempar dengan benda -benda keras, dijemur di bawah terik sinar matahari.

2. Kekerasan Seksual merupakan keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang

tidak dipahaminya. Kekerasan Seksual ini dapat juga berupa: Perlakuan tidak

senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi,

perkataan-perkataan porno dan tindakan pelecehan organ seksual anak, perbuatan cabul

dan persetubuhan pada anakanak yang dilakukan oleh orang lain dengan tanpa

tanggung jawab, tindakan mendorong atau memaksa anak terlibat dalam

kegiatan seksual yang melanggar hukum seperti dilibatkan anak pada kegiatan

prostitusi.

3. Tindak pengabaian dan penelataran adalah ketidakpedulian orang tua, atau

orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka, seperti:

pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada

(6)

penelantaran pada pemenuhan gizi, penelantaran dan pengabaian pada

penyediaan perumahan, pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan.

4. Kekerasan Emosional adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan

terhambatnya perkembangan emosional anak. Hal ini dapat berupa: kata -kata

yang mengancam, menakut-nakuti, berkatakata kasar, mengolok-olok anak,

perlakuan diskriminatif dari orang tua, keluarga, pendidik dan masyarakat,

membatasi kegiatan sosial dan kreasi anak pada teman dan lingkungannya.

5. Kekerasan ekonomi (Eksploitasi Komersial) merupakan penggunaan tenaga

anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau

orang lain, seperti: menyuruh anak bekerja secara berlebihan, menjerumuskan

anak pada dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi.

2.3 Kemiskinan

Menurut Word Bank (2002) kemiskinan adalah suatu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia baik fisik atau sosial sebagai akibat tidak

tercapainya kehidupan yang layak karena penghasilannya tidak mencapai 1,00 dolas

AS per hari. Kemiskinan juga merupakan suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan

dan hak-hak dasar meliputi: kebutuhan fisik dasar (makanan dan gizi, perlindungan

atau perumahan, dan kesehatan), dan kebutuhan budaya dasar seperti pendidikan

(Matias, 2012: 25-27).

Secara umum, jika dilihat dari sumbernya kemiskinan disebabkan oleh

(7)

3 Faktor internal, dalam hal ini kemiskinan itu bersumber dari dalam diri individu

yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk

kekurangmampuan. Misalnya cacat, kurang pengetahuan dan keterampilan.

4 Faktor eksternal. Kemiskinan dalam hal ini berasal dari luar diri individu atau

keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu yang pada suatu titik

waktu menjadikannya miskin seperti terbatasnya lapangan pekerjaan, terbatasnya

pelayanan sosial dan kondisi geografis yang sulit.

Masalah kemiskinan merupakan persoalan global yang harus mendapat

perhatian. Data BPS menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya telah mengalami

penurunan angka kemiskinan dari tahun 2002-2011 tetapi saat ini Indonesia sendiri

berada pada urutan ke-68 negara termiskin di dunia. Kemiskinan merupakan sebuah

masalah sosial yang pada kenyataannya telah menimbulkan masalah sosial lainnya.

Masalah-masalah sosial sebagai dampak dari kemiskinan tersebut seperti

berkembangnya kejahatan, munculnya pemukiman kumuh, menurunnya tingkat

pendidikan pelajar dan bertambahnya pekerja anak dan jumlah anak yang bekerja di

jalanan. Bagi keluarga-keluarga juga sering sekali masalah kemiskinan menjadi

sebuah pemicu keretakan keluarga. Kemiskinan dan masalah perekonomian keluarga

dinilai telah membawa dampak buruk bagi anak. Seorang anak yang lahir dari

keluarga yang orangtuanya tidak memiliki pekerjaan tidak akan mampu untuk

mendapat kebutuhannya sepenuhnya sehingga anak-anak tersebut hanya akan

menjadi anak jalanan yang mengemis ataupun berjualan di pinggir jalan demi

(8)

2.4 Keretakan Dalam Keluarga

Seperti kita ketahui, perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh

keluarga, keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan

individu. Keluarga mempunyai beberapa fungsi yang harus dipelihara demi

bertahannya dan demi keutuhan sebuah keluarga. Fungsi-fungsi yang dimaksud

adalah:

1. Fungsi pengaturan keturunan

2. Fungsi sosialisasi dan pendidikan

3. Fungsi ekonomi dan unit produksi

4. Fungsi pelindung

5. Fungsi penentuan status

6. Fungsi pemeliharaan

7. Fungsi afeksi

Kegagalan keluarga di dalam menjalankan fungsinya akan berakibat buruk

dan menyebabkan keretakan di dalam keluarga atau apa yang kita kenal dengan

istilah bkoken home. Dalam keluarga yang broken home biasanya sering terjadi perselisihan diantara orang tua dan sikap saling bermusuhan yang disertai dengan

tindakan-tindakan agresif. Kemudian status sosial ekonomi sering menjadi penyebab

keretakan hubungan dalam keluarga. Hal yang demikian tentu sangat berdampak

(9)

Menurut Leslie (1967) dalam T.O. Ihromi (1999) dampak perceraian

terhadap anak-anak hampir selalu buruk. Anak-anak yang orang tuanya bercerai

sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional

kehilangan rasa aman. Juga menurut Bumpass dan Ridfuss anak-anak dari orang tua

yang bercerai cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi

ekonomi yang rendah. Pada umumnya masalah kesulitan ekonomi ini khususnya

dialami oleh anak-anak yang berada dibawah pengasuhan ibu dan berasal dari strata

bawah. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa dampak negatif dari

perceraian terhadap anak lebih kecil dibandingkan apabila orangtua tetap

mempertahankan perkawinan mereka yang tidak bahagia dan harmonis lagi karena

pertengkaran-pertengkaran orangtua sering terjadi dan membuat anak tertekan dan

stres (Ihromi, 1999: 161-163).

Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan keretakan keluarga seperti yang telah

dijelaskan tersebut sangat berdampak buruk bagi anak. Kebutuhan anak yang tidak

terpenuhi secara material dan emosional dalam keluarga sering menjadi pendorong

bagi anak untuk hidup dijalanan. Anak merasa lebih aman dan jauh dari tekanan

keluarga ketika mereka memilih untuk terjun atau bahkan tinggal di jalanan.

2.5 Tahap Perkembangan Anak

Menurut George Herbert Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang dalam masyarakat suatu proses yang dinamakannya

(10)

harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan

peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan orang lain,

tahap-tahap tersebut antara lain:

2.5.1 Tahap Bermain (Play Stage )

Pada tahap ini seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang

lain yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran orang lain yang

ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh

orangtuanya misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering

berinteraksi, dalam tahap ini anak belum sepenuhnya memahami isi

peran-peran yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau

ibu yang sedang bekerja tetapi mereka tidak memahami mengapa mereka

mengerjakannya. Dalam tahap ini interaksi seorang anak biasanya terbatas

pada sejumlah orang lain biasanya anggota keluarga terutama ayah dan ibu

(Sunarto, 2004: 22).

2.5.2 Tahap Permainan (Game Stage)

Dalam tahap ini seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran yang

harus dijalankannya, tetapi juga telah mengetahui peran yang harus

dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi, misalnya dalam

sebuah pertandingan ia tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang

lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut

(11)

dapat mengambil peran orang lain (Sunarto, 2004: 22). Dalam hal ini

anak-anak mulai mampu berfungsi dalam kelompok terorganisasi dan yang

terpenting mampu menemukan apa yang akan mereka lakukan dalam

kelompok yang spesifik.

2.5.3 Orang Lain Pada Umumnya (Generalized Other)

Pada tahap ini seseorang dianggap telah mampu berinteraksi dengan orang

lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta

peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Dalam hal ini seorang anak

telah membatinkan nilai-nilai, arti dan norma-norma kelompok serta

menyesuaikan pengertiannya, penafsirannya dan kelakuannya dengan

semuanya (Veeger, 1990: 224). Selaku anak ia telah memahami peran yang

dijalankan orangtua, maka ia bisa disebut telah mempunyai suatu diri yang

terbentuk melalui interaksi dengan orang lain (Sunarto, 2004: 22). Pada

masa ini seseorang menentukan corak kepribadian yang diharapkan dengan

cara mengembangkan suatu “pola umum gambaran dirinya” mereka mulai

merintis tujuan hidupnya serta merencanakan strategi yang akan

ditempuhnya dalam mengejar tujuan hidup yang dipilihnya.

Perkembangan kepribadian dilihat melalui gambaran diri seseorang, metode

interaksi dan pandangan serta harapan terhadap orang lain adalah berkaitan dengan

perilaku sosialnya yang terbentuk melalui riwayat perkembangan hidupnya (Sjarkawi,

(12)

2.6 Sosialisasi Sekunder Dan Sosialisasi Primer

Robert Lawang membagi sosialisasi menjadi dua macam yaitu sosialisasi

primer dan sosialisasi sekunder. Berger dan Luckman, mendefenisikan sosialisasi

primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana

ia menjadi anggota masyarakat (Sunarto, 2004: 29). Proses ini terjadi pada seseorang

ketika masih balita. Pada fase ini seorang anak dibekali pengetahuan tentang

orang-orang yang berada di lingkungan sosial sekitarnya melalui interaksi seperti dengan

ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya. Ia dibekali kemampuan untuk mengenali

dirinya, membedakan dirinya dengan orang lain. Pada fase ini peran orang-orang

disekitarnya sangat diperlukan terutama untuk membentuk karakter anak di usia

selanjutnya hingga anak mampu menempatkan dirinya di lingkungan sosial, terutama

dalam menempatkan hak dan kewajiban. Maka pada proses ini seorang anak akan

dikenalkan dengan pola-pola kelakuan yang bersifat mendasar.

Sosialisasi sekunder diartikan sebagai proses berikutnya yang

memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia

objektif masyarakatnya (Sunarto, 2004: 29). Proses ini terjadi setelah proses

sosialisasi primer yaitu semenjak usia 4 tahun hingga selama hidupnya. Proses

sosialisasi ini merupakan proses pengenalan akan tata kelakuan dari lingkungan

sosialnya seperti teman sepermainan, sekolah dan orang lain yang lebih dewasa

(13)

Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat

ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi yang didahului dengan proses

desosialisasi. Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri

yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri

yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses

yang berlangsung dalam apa yang disebut Goffman dengan istilah institusi total (total

institutions).

Sosialisasi tidak akan berjalan jika tidak ada peran media sosialisasi. Adapun

media sosialisasi yang otomatis memiliki peran tersebut dalah lembaga sosial.

Lembaga sosial adalah alat yang berguna untuk melakukan serangkaian peran

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial. Lembaga-lembaga yang saling

berhubungan tersebut memerankan sebagai agen sosialisasi atau agen sosialisasi.

Lembaga sosial tersebut adalah:

2.6.1 Keluarga

Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap

proses sosialisasi. Hal ini dimungkinkan sebab berbagai kondisi keluarga.

Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka

diantara anggotannya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan

anggota-anggotanya. Kedua, orangtua memiliki kondisi yang tinggi untuk mendidik

anak-anaknya, sehingga menimbulkan hungan emosional yang hubungan ini sangat

(14)

dengan sendirinya orang tua memiliki peranan yang penting terhadap proses

sosialisasi kepada anak.

Dalam proses sosialisasi di dalam lingkungan keluarga tertuju tertuju pada keinginan orang tua untuk memotivasi kepada anak orang mempelajari pola

perilaku yang diajarkan keluarganya. Adapun bentuk dari motivasi sendiri

apakah bersifat coersive dan participative tergantung pada tipe keluarga tersebut,

mengingat model yang digunakan oleh masing-masing keluarga di dalam

melakukan sosialisasi ada yang bertipe otoriter dan ada yang bertipe demokratis.

2.6.2 Kelompok

Kepribadian manusia sangat memiliki hubungan dengan tipe kelompok

dimana individu tersebut berada. Adapun tipe-tipe kelompok sendiri sangat

beragam. Misalnya kelompok masyarakat modern memiliki kultur yang

heterogen tentunya berbeda dengan kelompok masyarakat tradisional cenderung

memiliki kultur yang homogen. Struktur masyakat tersebut biasanya

menghasilkan bentuk kepribadian anggota-anggota kelompok berbeda pula. Cara

masyarakat modern dan masyarakat tradisional menghasilkan bentuk kepribadian

anggota-anggota kelompok yag berbeda pula. Cara masyarakat modern dan

masyarakat tradisional mengajarkan nilai-nilai sosial dapat dilihat dari

kepribadian kedua tipe kelompok masyarakat tersebut. Kepribadian masyarakt

(15)

kultural, sedangkan kelompok masyarakat tradisional biasanya lebih bersifat

konservatif.

2.6.3 Lingkungan Pendidikan

Lembaga pendidikan adalah lembaga yang diciptakan oleh pemerintah

untuk mendidik anak-anak sebagai langkah untuk mempersiapkan potensi anak

dalam rangka membangun negara. Melalui lembaga pendidikan anak diasah

kecerdasan dan keahliannya. Akan tetapi selain potensi akademik dengan

pola-pola penyerapan ilmu pengetahuan, seorang anak dididik juga dibina untuk

memiliki moralitas yang baik, sehingga selain menjadi generasi yang memiliki

kecerdasan, dia juga ditunutut untuk memiliki moralitas yang baik serta

komitmen.

Beberapa hal yang ditanamkan dalam jiwa peserta didik yaitu kemandirian, artinya mandiri dan bertanggung jawab melepaskan ketergantungan dengan

orang tua dan orang lain. Kemudian berhubungan dengan prestasi, jika seorang

anak berada di rumah seorang anak lebih banyak berperilaku berdasarkan

peranan bawaan (heredity), seperti peran seorang adik, kakak dan sebagainya.

Akan tetapi di sekolah, peranan seorang anak justru merupakan peran yang

bukan pembawaannya, tetapi peran yang diarahkan dan dikendalikan berpangkal

pada prestasi bukan pada kekerabatan. Seorang anak akan memiliki hierarki yang

tinggi jika ia memiliki peringkat yang tinggi. Yang terakhir universalisme artinya

(16)

di sekolah tidak ada perlakuan khusus. Perlakuan terhadap semua siswa sama

tanpa membeda-bedakan, ini disebut universal. Dalam hal ini sekolah merupakan

peralihan antara dunia keluarga dan dunia kemasyarakatan. Di sekolah anak

diperkenalkan dengan berbagai macam peraturan yang relatif baru.

2.6.4 Keagamaan

Agama merupakan salah satu lembaga sosial yang di dalamnya terdapat

norma-norma yang harus dipatuhi, sekalipun norma agama tidak mempunyai

sanksi secara langsung, agama tidak hanya sekedar tatanan yang berisi tata cara

praktik ibadah atau praktik penyembahan kepada Tuhan semata, tetapi di

dalamnya terdapat pola kelakuan ang berisi perintah dan larangan. Agama

sebagai salah satu lembaga sosial, sebab dalam ajaran agama manusia diharuskan

hidup dalam keteraturan sosial, supaya tidak memiliki kepribadian yang

menyimpang.

2.6.5 Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial merupakan tempat atau suasana diamana sekelompok

orang merasa sebagai anggotanya, seperti lingkungan kerja, lingkungan RT,

lingkungan pendidikan, lingkungan pesantren dan sebagainya. Misalnya ketika

seorang anak pada mulanya berada pada lingkungan anak baik-baik kemudian

memasuki lingkungan anak-anak penggunan narkoba secara otomatis dia akan

(17)

Di lingkungan mana pun seorang pasti akan terisolasi dengan tata aturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Di dalam lingkungan kerja seseorang akan

terisolasi oleh pola-pola yang berlaku di lingkungan kerja tersebut, misalnya dia

harus menjalankan peran sesuai dengan status atau kedudukannya di dalam

lingkungan tersebut. Semua peran-peran merupakan hasil sosialisasi secara tidak

langsung dalam masing-masing lingkungan sosial dimana seseorang berada

(Setiadi, 2011: 177-178).

2.6.6 Media Massa

Media massa terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah) maupun media elektronik (radio, televisi, dan internet) merupakan bentuk komunikasi yang

menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diklasifikasikan sebagai suatu

agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap khalayaknya. Peningkatan

teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan

frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk

berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting. Pesan-pesan yang

ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khayalayak ke arah

perilaku prososial maupun antisosial. Iklan-iklan yang ditayangkan melalui

media massa mempunyai potensi untuk memicu perubahan pola konsumsi atau

bahkan gaya hidup masyarakat. Pengamat televisi mencatat bahwa banyak

diantara acara untuk anak-anak seperti film kartun sering memuat adegan

kekerasan dan sadis seperti pembunuhan dan penganiayaan yang kemungkinan

(18)

Media massa memiliki andil besar dalam menyebarluaskan informasi dari

berbagai kebijakan pemerintah, seperti Undang-Undang, Peraturan Daerah, dan

berbagai kebijakan publik lainnya. Sosialisasi anak melalui acara-acara film, majalah

anak-anak, radio, sangat berpengaruh pada proses pembentukan karakter kepribadian

anak (Setiadi, 2011: 181).

2.7 Kelompok Primer Dan Kelompok Sekunder

Kelompok-kelompok sosial merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari

kumpulan individu-individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan

timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga daripadanya diharapkan adanya

pembagian tugas struktur, tugas, serta norma-norma tertentu yang berlaku bagi

mereka. Berdasarkan besar kecilnya jumlah anggota kelompok. Charles Horton

Cooley membedakan antara kelompok primer dan kelompok sekunder.

Menurut Cooley dalam Bagong Suyanto (2010), kelompok primer

merupakan kelompok yang ditandai dengan adanya hubungan yang erat dimana

anggota-anggotanya saling mengenal dan sering berkomunikasi secara langsung

berhadapan muka (face to face) serta terdapat kerjasama yang bersifat pribadi atau

adanya ikatan psikologis yang erat (Suyanto, 2010: 25). Dari ikatan-ikatan psikologis

dan hubungan yang bersifat pribadi inilah, maka akan terjadi peleburan-peleburan

dalam suatu kelompok, sehingga tujuan-tujuan individu menjadi juga tujuan

kelompoknya. Contohnya: keluarga, kelompok sepermainan.

(19)

Sifat-sifat hubungan dalam kelompok primer yaitu:

1. Adanya kesamaan tujuan diantara para anggotanya yang berarti bahwa

masing-masing individu mempunyai keinginan dan sikap yang sama dalam

usahanya untuk mencapai tujuan serta salah satu pihak harus rela berkorban

demi untuk kepentingan pihak lainnya.

2. Hubungan secara sukarela sehingga pihak-pihak yang bersangkutan tidak

merasakan adanya penekanan-penekanan, melainkan semua anggota akan

merasakan adanya kebebasan.

3. Hubungan bersifat dan juga inklusif, artinya hubungan yang diadakan itu

harus melekat pada kepribadian seseorang dan tidak dapat digantikan oleh

orang lain, dan bagi mereka yang mengadakan hubungan harus menyangkut

segala kepribadiannya misalnya perasannya, sifat-sifatnya.

Kelompok sekunder merupakan kelompok-kelompok besar yang terdiri

dari banyak orang. Hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan

sifatnya juga tidak begitu langgeng, misalnya: hubungan kontrak jual beli

(Soekanto, 2009: 114). Dalam kelompok sekunder, diantara para anggotanya tidak

terdapat loyalitas terhadap kelompoknya sehingga tidak tercapai kesejahteraan

bersama seperti pada kelompok primer.

Sifat-sifat hubungan dalam kelompok sekunder adalah:

(20)

2. Hubungan renggang dimana anggotanya tidak perlu saling mengenal secara

pribadi

3. Sifatnya tidak permanen

4. Hubungan cenderung pada hubungan formil, karena sedikit sekali terdapat

kontak di antara para anggotanya, dan baru terdapat kontak apabila ada

kepentingan dan tujuan tertentu saja (Suyanto, 2010: 27).

2.8 Labeling Terhadap Anak Jalanan

Sebagai seorang anak yang seharusnya mendapatkan perhatian dari orang

dewasa, anak jalanan tidak pernah memimpikan untuk hidup di jalanan. Dengan

keadaan terpaksa tanpa pilihan lain mereka memilih untuk hidup di jalanan. Di dalam

masyarakat pada umumnya anak-anak jalanan telah mempunyai stigma negatif.

Teori labeling tidak berusaha untuk menjelaskan mengapa individu-individu

tertentu tertarik atau terlibat dalam tindakan menyimpang tetapi lebih ditekankan

adalah pada pentingnya defenisi-defenisi sosial dan sanksi-sanksi sosial negatif yang

dihubungkan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam tindakan yang

lebih menyimpang. Analisis tentang pemberian cap itu dipusatkan pada reaksi orang

lain. Artinya ada orang-orang yang memberi defenisi, julukan atau pemberi label

(definers/labelers) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian

(21)

Menurut ahli teori labeling, mendefenisikan penyimpangan merupakan

sesuatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena

untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji

melalui reaksi orang lain. Menurut Becker, salah seorang pencetus teori labeling

(dalam Clinard dan Meier, 1989: 92) mendefenisikan penyimpangan sebagai “suatu

konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang

pelanggar”.

Melalui defenisi itu dapat diterapkan bahwa penyimpangan adalah tindakan

yang dilabelkan kepada seseorang atau pada siapa label secara khusus telah

ditetapkan. Dengan demikian, dimensi penting dari penyimpangan adalah pada

adanya reaksi masyarakat bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan

kata lain penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi

masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain

penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi

dari penonton sosialnya (Bagong, 2004: 114).

Dalam pandangan masyarakat, anak jalanan adalah manusia yang menempati

kedudukan yang sangat hina. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang

miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali

tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan

kejahatan juga kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat

terhadapnya sangat rendah. Masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai

(22)

tidak mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus dan

tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat.

Status sebagai anak jalanan menyebabkan mereka harus rela dengan berbagai

hinaan, cacian, makian, kekejaman, dan image buruk di masyarakat. Itu artinya ketika

permasalahan sosial menimpa keluarga dan dirinya, dengan sendirinya ia mengalami

penghilangan hak sebagai anak oleh masyarakat, termasuk oleh pemerintah. Stigma

negatif masyarakat serta kurang berfungsinya pemerintah melaksanakan

kewajibannya untuk memberikan yang terbaik kepada anak menyebabkan posisi anak

jalanan semakin termarginalkan. Hal ini juga menimbulkan anak jalanan selalu

mengalami perlakuan-perlakuan yang bukan saja mengabaikan keberadaanya sebagai

anak dalam sutu negara tapi juga melanggar hak azasinya. Itulah sebabnya

masyarakat begitu mudah melakukan kekerasan kepada anak. Stigma negatif dan

latar belakang statusnya menyebabkan seseorang atau kelompok dengan mudah

melakukan perbuatan yang berseberangan dengan konsep sesungguhnya masyarakat

dan negara (Frans, 1999:12).

2.9 Undang-Undang Terhadap Perlindungan Anak

Berbicara tentang perlindungan anak artinya membicarakan bagaimana

untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan suatu keseimbangan antara

hak dan kewajiban bagi anak. Karena itu unsur perlindungan harus merupakan

wawasan, tujuan dan sifat semua kegiatan yang ingin mengembangkan kesejahteraan

(23)

Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi

Hak-hak Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 yang secara

keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang tersebut memuat ketentuan dan

prinsip-prinsip konvensi hak-hak anak.

Sehubungan dengan konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan

kompherensif undang-undang No.23 meletakkan kewajiban memberikan

perlindungan kepada anak berdasarkan azas-azas sebagai berikut :

1. Nondiskriminasi

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

4. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Kemudian dalam UUPA nomor 23 ayat 12 dikatakan bahwa “Hak anak adalah

bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara”. Jika memperhatikan jumlah

anak jalanan saat ini dijalanan menjadi sebuah bukti bahwa Undang-undang yang

ditetapkan oleh pemerintah belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata lama menginap tamu (RLMT) Asing dan Indonesia pada hotel berbintang di Sumatera Barat bulan Juli 2014 selama 1,62 hari, naik 0,03 hari bila dibandingkan

Segala puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidyah-Nya yang telah dilimpahkan dan dikaruniakan kepada penulis sehingga dapat menuangkan sebuah

Artinya variabel independen yang terdiri variabel fokus pada pelanggan, perbaikan berkelanjutan dan pemberdayaan karyawan memberikan kontribusi sumbangan sebesar

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan orientasi harga, orientasi waktu, manfaat yang dirasakan, resiko yang diterima dengan perilaku pembelian konsumen

Advá Mendes Silva –

Telah dilaksanakannya kegiatan evaluasi penawaran atas kegiatan Pekerjaan Pengurukan Dan Pematangan Tanah Pengadilan Agama Tanjung Selor. Oleh karena hal tersebut, maka

Perkembangan film animasi yang semakin meningkat membuat studio animasi semakin antusias untuk menciptakan terobosan kreatif dalam pembuatannya. Khususnya di Indonesia,

Luas CA Situ Patengan yang hanya 21,18 ha dan letaknya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi Perum Perhutani, dapat menjadi ancaman bagi