Intan Erwany
Tugas Mata Kuliah Gender, Seksualitas,
dan Hegemoni Kebudayaan
Heteroseksualitas Sebagai Norma dan Institusi
(Sebuah Kajian Teoritis) 1. Latar Belakang
Dewasa ini permasalahan seksualitas mulai tampil tanpa henti dalam wacana publik, yang semula telah direpresi dan dianggap sebagai
persoalan ranah pribadi. Hal ini sejalan dengan pandangan Foucault yang menganjurkan bahwa seks harus dibicarakan tidak hanya untuk dikutuk, atau ditoleransi, tetapi untuk dikelola, disisipkan dalam berbagai sistem kegunaan, untuk diatur demi kebaikan semua orang, untuk dibuat berfungsi semaksimal mungkin (2008: 43). Konteks seksualitas yang saya maksud tidak hanya sebatas permasalahan coitus antara laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga seksualitas disini memiliki makna yang luas dalam aspek kehidupan, misalnya permasalahan tentang seks (jenis kelamin), gender, identitas gender, peran gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan,
keintiman, hingga permasalahan reproduksi. Sedemikian sehingga wacana seksualitas yang di alami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, dan kebiasaan pada masyarakat dapat dimobilisasi sedemikian rupa untuk kepentingan bersama.
Perbincangan seksualitas sendiri membuka celah diskusi tentang pembedaan seks dan gender yang selama ini menjadi cikal-bakal opresi bagi relasi perempuan dan laki-laki. Bingkai pembedaan seks dan gender ini dapat berguna untuk menjelaskan bagaimana situasi kontruksi yang tejadi di tengah masyarakat saat ini. Dengan kata lain, pembedaan seks dan gender sebagai cara kerja yang efektif untuk membongkar dan menata kembali mana yang menjadi fakta alamiah dan mana yang hasil konstruksi dari kultural dan historis. Permasalahan seks dan gender mulai diperdebatkan dalam esai Gayle Rubin (1975) dengan istilah sex/gender distinction. Dalam konsepnya, Rubin
memaknai “seks” sebagai sesuatu yang alamiah yang menjadi fakta biologis dan “gender” sebagai suatu hasil konstruksi masyarakat yang menempatkan dan memosisikan subjek tubuh sesuai dengan seks atau jenis kelaminnya. Misalnya, laki-laki diharuskan menjadi maskulin dan perempuan diharuskan menjadi feminin, laki-laki tidak diizinikan menangis dan perempuan diizinkan menangis, serta laki-laki berada di ranah publik dan perempuan berada di ranah domestik.
Binerisme antara laki-laki dan perempuan ini terus bergulir sedemikian rupa dan menjadi ideologi dasar dalam hubungan heteroseksual di masyarakat. Alih- alih menjadi ideologi yang
menempatkan heteroseksual sebagai normatif atau sering disebut sebagai heteronormativitas, hal ini justru
menciptakan opresi dan jurang pemisah dalam relasi laki-laki dan perempuan. Dalam esai yang ditulis oleh Adrienne Rich (1929) dan Richard Dyer (1945), mereka memprotes keras mengenai wacana dominan yang menempatkan heteroseksual sebagai norma dan institusi yang mengharuskan laki-laki dan perempuan untuk
melaksanakannya. Tidak hanya itu, jika heteronormativitas yang dianggap paing benar dan alamiah, justru
melipatkangandakan opresi terhadap kelompok minoritas yang menyimpang, seperti lesbian, gay dan biseksual. Rich mengklaim bahwa selama ini para feminis selalu menggunakan sudut pandang heteroseksual untuk melihat segala permasalahan opresi yang terjadi pada perempuan, sehingga mereka telah gagal dalam melihat dan membicarakan opresi terhadap lesbian. Oleh karena itu, baik identitas lesbian sebagai
perempuan sekaligus sebagai lesbian maupun identitas homoseksual sebagai laki-laki sekaligus sebagai gay
memungkinkan terjadinya opresi ganda, ketika peran dan orientasi mereka menyimpang dari wacana dominan.
Berdasarkan permasalahan mengenai heteroseksual di atas, pada tulisan ini saya menggunakan sudut pandang feminis untuk membahas permasalahan yang terjadi saat
heteroseksual mulai dilembagakan oleh masyarakat. Dari hasil pembacaan saya dari kedua tulisan Dyer dan Rich
heteroseksualitas, saya fokus pada beberapa gagasan yang mirip dalam tulisan tersebut, yakni pertama,
mengenai isu binerisme seks dan gender yang melanggengkan opresi terhadap relasi laki-laki sebagai maskulin dan perempuan sebagai feminin, sedemikan sehingga laki-laki dan perempuan tidak dapat melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan dirinya. Oleh sebab itu, penting bagi saya untuk mengetahui bagaimana mekanisme
heteroseksualitas itu saling bekerja dan beredar dalam masyarakat. Kedua, saya juga sedikit membahas mengenai permasalahan atas relasi
heteronormativitas yang berdampak dan membuka ruang terjadinya opresi ganda terhadap eksistensi lesbian. Dengan kata lain, secara tidak langsung wacana kenormativitasan yang selama ini menjadi ketentuan mutlak, tidak hanya mengopresi hubungan antara laki-laki dan perempuan saja, melainkan kaum lesbian yang memiliki identitas sebagai perempuan dan sebagai lesbian.
2. Pembahasan
Dewasa ini perdebatan dalam menafsirkan perbedaan konstruksi laki-laki dan perempuan, yaitu konsep seks dan gender menjadi isu sentral yang hangat pada studi feminis. Banyak teoritkus yang memberikan perspketif berbeda berkenaan dengan
permasalahan seks dan gender ini. Seks dan gender menjadi penting untuk dibicarakan karena menjadi akar opresi antara perempuan. Pembedaan ini seperti yang dikatakan oleh Prabasmoro merupakan bingkai pikir yang sangat berguna untuk menjelaskan bahwa situasi opresif yang dihadapi perempuan bukanlah suatu takdir dan bukan juga merupakan suatu hal yang “alamiah” (2006: 51). Secara umum konsep “seks” berkenaan dengan “jenis kelamin” yang digunakan untuk membedakan
penubuhan──lelaki (male) atau
perempuan (female) berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh manusia. Sementara gender merupakan sebuah konstruksi yang bersifat kultural dan historis. Akan tetapi, perlu dicermati kembali dari pembedaan seks dan gender, seolah-olah konsep ini secara implisit membangun kerangka oposisi biner yang menuntut laki-laki sebagai
maskulin dan perempuan sebagai feminin. bahwa
Namun demikian, Prabasmoro dengan lugas mengatakan wacana yang mempertentangkan laki-laki dan
perempuan dalam oposisi biner sebagai yang lebih tinggi dan lebih rendah, pencari nafkah dan pengatur rumah tangga, publik dan domestik, rasional dan emosional, aktif dan pasif, dan sebagainya sebenarnya adalah opresi yang menimpa laki-laki juga (2006 :27). Dari ilustrasi Prabasmoro, bagi saya cukup masuk akal bahwa saat seks dan gender distereotipekan sebagai
hubungan antara kutub utara dan selatan, maka ideologi patriarki yang menempatkan laki-laki di ranah publik tentulah tidak mudah masuk ke dalam wilayah domestik yang selama ini di klaim sebagai ororitas perempuan, sedemikan sehingga memungkinkan bagi laki-laki mengalami opresi juga.
Perspektif berbeda ditawarkan oleh Alice Rossi sebagaimana dikutip oleh Rich yang mengatakan bahwa secara biologis laki-laki hanya memiliki satu orientasi keintiman── keintiman seksual laki-laki yang mendorong mereka kepada perempuan, sementara perempuan mempunyai dua orientasi keintiman, yaitu orientasi seksualnya terhadap laki-laki dan terhadap anaknya (2003: 12). Namun, Rich mengkritik pandangan Rossi tesebut seolah-olah memposisikan seksualitas perempuan hanya tertuju pada laki-laki. Berdasarkan argumentasi Rossi, asumsi saya bahwa perbedaan “orientasi keintiman” laki-laki dan perempuan merujuk pada
penubuhan.Tubuh yang dimilikinya merupakan atribut yang selamanya melekat pada setiap manusia dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Organ tubuh tersebut bersifat permanen, tidak berubah, dan menjadi ketentuan biologis.
Tubuh laki-laki mempunyai pelbagai ciri jenis kelamin yang membedakan mereka dari perempuan. Sebagian dari tubuh biologis laki-laki terdiri dari penis dan sistem reproduksi yang
bahwa orientasi laki-laki diinterpretasikan hanya pada
perempuan. Sementara, secara biologis tubuh perempuan mempunyai perangkat reproduksi──payudara, vagina, ovarium (indung telur) dan lainnya. Sedemikian sehingga perempuan menjadi sosok yang berperan dalam pengasuhan dan menyalurkan seluruh orientasi
seksualnya kepada anak. Misalnya, ketika melakukan kegiatan menyusui, perempuan bisa merasakan sisi erotik atau keintiman terhadap anaknya──kulit ibu bersentuhan dengan kulit bayi, keintiman pelukan ibu dan air susu yang dihisap anak melalui payudara ibunya memberikan sebuah kenikmatan kepada perempuan.
Yang menjadi pemasalahan adalah jika pengasuhan anak menjadi tanggung jawab penuh oleh perempuan tanpa adanya kontribusi laki-laki di dalamnya serta mengharuskan pembagian tugas itu dengan sudut pandang seks atau jenis kelamin. Dalam The Mermaid and the Minotaur: Sexual Arrangements and the Human Malaise, dengan penuh semangat Dorothy Dinnerstein (1923) membagi pengasuhan anak antara perempuan dan laki-laki, yang akhirnya membawa pandangannya dalam suatu simbiosis male/female pada “gender arrangements” yang ia rasa menuntut spesifik lain, kekerasan dan kepunahan diri lebih jauh. Berdasarkan pandangan Dinnerstein, Rich melihat bahwa
hubungan antara laki-laki dan
perempuan tersebut sebagai “suatu kobalorasi untuk memelihara sejarah buruk” yang sama sekali tampak
ahistoris (2003: 15). Ia juga menganggap bahwa kolaborasi antara perempuan dan laki-laki ini hanya sebatas patner setara dalam membuat “sexual arrangements”, yang tanpa disadari tampak mengulang perjuangan perempuan untuk
meresistensi opresi yang mereka alami sebelumnya.
Dari kedua argumen ini, pertama saya akan mengomentari pandangan Dinnerstein terkait dengan pembagian pengasuhan anak antara laki-laki dan perempuan. Dalam membagi tugas pengasuhan anak, Dinnerstein tampak memosisikan hal tersebut diatur oleh seks atau jenis kelamin. Dengan kata lain, ketika tugas dikerjakan berdasarkan kategori jenis kelamin, maka
pengasuhan anak dibagi atas tugas
sebagai ranah maskulin dilakukan oleh laki-laki dan tugas yang dianggap sebagai ranah feminin dilakukan oleh perempuan. Sebagai contoh, pada situasi ketika anak sedang kelaparan dan meminta untuk dimasakkan makanan yang diinginkannya, akan tetapi anak tersebut hanya menemukan sosok ayah yang beraada di rumah. Ayah yang terbiasa mengerjakan tugas publik atau maskulin tentu tidak dapat memenuhi keinginan anaknya. Artinya, pekerjaan “memasak” yang selama ini
distereotipekan pada perempuan dan berada di ranah domestik, tidak mampu di akses atau dikerjakan oleh laki-laki. Dikarenakan sebagai laki-laki yang diipaksa menjalani dan menikmati ideologi patriarki tersebut tidak diperkenalkan pada kegiatan di ranah domestik, begitu juga sebaliknya.
Dari ilustrasi ini, tampak kolaborasi antara suami dan istri dalam keluarga tanpa disadari dapat mengopresi satu sama lain, ketika suami dan istri tidak mempunyai pilihan siapa yang harus mengerjakan tugasnya. Binerisme tugas dalam pembagian pengasuhan anak terus menerus dijadikan landasan dalam keluarga dan beredar dari masa ke masa. Rich menyebutkan kolaborasi yang digagas oleh Dinnerstein ini sebagai patner setara yang membagi tugas pengasuhan anak berdasarkan aturan seksual, siapa yang harus mengerjakan tugas maskulin dan siapa yang harus mengerjakan tugas feminin. Saya sepakat dengan solusi yang
ditawarkan oleh Prabasmoro (2006: 36) bahwa tugas itu adalah merupakan serangkaian pilihan siapa yang ingin atau dapat mengerjakan apa, dan bukannya siapa yang harus mengerjakan apa. Artinya, tugas yang berkaitan dengan keluarga, seperti memasak, menidurkan anak, mengantar dan menjemput anak ke sekolah dilakukan atas pilihan yang diinginkan untuk mengerjakannya, bukan sebuah keharusan atau kewajiban.
sering menemukan beberapa laki-laki yang sedang mengasuh, menggendong, dan membawa tas perlengkapan untuk anaknya. Hal ini juga yang disampaikan oleh Rich bahwa peningkatan
pengasuhan anak oleh laki-laki dapat meminimalisir antagonisme antara binerisme seks, sedemikian sehingga kuasa laki-laki yang menjadi sumber ketidakseimbangan gender terhadap perempuan dapat dikecilkan. Setidaknya, konsep pengasuhan anak mencoba di giring keluar dari wacana dominan, sehingga antara laki-laki dan perempuan yang berperan menjadi lebih fleksibel. Oleh karena itu, jika heteroseksual yang dijalani antara laki-laki dan perempuan menerobos tatanan yang telah
distereotipekan dan berusaha menemukan mekanisme yang lebih nyaman, maka hubungan heteroseksual tersebut dapat mengurangi opresi bagi keduanya, terutama dalam perkawinan.
Lalu bagaimana dan mengapa relasi heteroseksual tersebut di atur
berdasarkan ketentuan dan norma tertentu terjadi?. Ketentuan yang mengharuskan perempuan dan laki-laki untuk melakukan segala sesuatu dengan aturan, sehingga apabila keduanya tidak melakukan hal tersebut akan mendapat sanksi-sanksi sosial yang menjerat mereka. Permasalahan inilah yang menjadi kritik tajam oleh Rich dan Dyer. Mereka tidak memprotes heteroseksual itu sebagai “preference” atau “choose” bagi laki-laki dan perempuan, melainkan saat heteroseksual kemudian
dilembagakan atau sering disebut dengan istilah heteronormativitas. Rich menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap ketimpangan yang terjadi pada heteroseksual. Baginya, heteroseksualitas sebagai ketentuan harus dicermati sebagai institusi politis dan dipahami sesuai dengan konteks dimana kita berada. Oleh karena itu, menurut saya cara pandang ini ini dapat membuka ruang dalam perspektif baru bahwa apa yang dianggap atau diterima oleh masyarakat selama ini, tidak
semata-mata sebagai sebuah takdir atau alamiah, melainkan konsep ini dibangun oleh konteks kultur dan sejarah yang berlaku.
Dalam tulisannya berjudul
Heterosexuality (1997), Dyer mencoba menganalisis lima karakteristik
bagaimana mekanisme heteroseksual itu
saling bekerja dan bertahan dalam masyarakat. Pertama, perbedaan dalam pemilihan pusat objek seksual. Artinya, hubungan laki-laki dan perempuan selalu di dasari pada objek seksual, yakni gender, sedemikian sehingga perbedaan gender itu terus menerus dierotisasi. Sebagai contoh, dari pengalaman saya dan pasangan saya memutuskan untuk berkencan dengan sesama pasangan lainnya atau sering diistilahkan sebagai double date. Saat itu saya dan teman perempuan saya sedang bersiap-siap untuk pergi, saya memutuskan untuk menggunakan pakaian yang lebih santai, atasan kaos, jeans, dan sneakers, sementara teman perempuan saya memilih menggunakan rok, atasan yang bermotif bunga dan juga menggunakan sepatu berhak tinggi. Lalu teman perempuan saya bertanya “kenapa kamu menggunakan atasan kaos? kita kan mau ngedate bareng pacar”. Pertanyaan ini terus menerus mengusik saya dan membuat saya berpikir ulang untuk mengganti pakaian saya. Namun, hal itu saya urungkan kembali, karena saya merasa nyaman dengan style seperti itu.
Di situasi berbeda, ketika pasangan saya melihat padunan atasan kaos, jeans, dan sneakers yang saya kenakan, ia lalu memberikan satu argumen “kok tumben hari ini boyish banget”.
Sepanjang situasi itu, pertanyaan “kok tumben hari ini boyish banget” membuat saya menanyakan kepada diri saya sendiri, apakah ada yang salah dengan tampilan saya?, apakah saya kelihatan tidak seperti perempuan sesungguhnya dan beda dari teman perempuan saya? Apakah saya tidak diizinikan merasa nyaman atas apa yang saya kenakan? dan apakah setiap hari saya harus dituntut untuk mengenakan pakaian perempuan, sehingga tidak
diperbolehkan memakai pakaian yang identik dengan laki-laki?.
Berdasarkan contoh ini, seperti yang dikatakan oleh Dyer bahwa
saya terus menerus dierotisasi oleh pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh sekeliling saya. Artinya,
heteroseksual menempatkan perempuan yang sangat feminin dan laki-laki yang sangat maskulin sebagai nilai tinggi, sedangkan di luar wacana itu tidak di nilai tinggi.
Kedua, mekanisme perbedaan heteroseksual dikonseptualisasi sebagai hal yang berlawanan. Dalam
heteroseksual, laki-laki dan perempuan ditempatkan pada oposisi biner dalam melakukan sesuatu yang dialamatkan pada mereka. Misalnya, untuk dianggap sebagai “perempuan” harus bersifat lembut, lemah, penyayang, memelihara, dan lainnya. Sedangkan untuk menjadi “laki-laki” harus berani, gagah, kuat, penyuka tantangan dan lainnya. Oleh karena itu pada pola heteroseksualitas menempatkan gender laki-laki di ranah aktif dan perempuan di ranah pasif. Misalnya, dari situasi yang saya ilustrasi di atas, saya sebagai perempuan yang bergender feminin dituntut oleh
lingkungan saya untuk menggunakan atribut dan aksesoris perempuan setiap hari──atasan bermotif bunga, kemeja berwarna pink, rok, sepatu berhak tinggi, lipstik, maskara dan lainnya. pada saat yang bersamaan saya juga harus menampilkan citra diri saya sebagai orang yang sabar, pengasih, dan penurut, sedemikian sehingga hal itu yang mendefinisikan saya sebagai orang yang heteroseksual yang normal. Akan tetapi, ketika saya melawan,
menyimpang, dan tidak menggunakan aksesoris dan atribut tersebut── atasan kaos, jeans, dan sneakers, maka sanksi-sanksi sosial mempertanyakan gender saya pun segera dialamatkan pada saya. Begitu juga sebaliknya yang dialami oleh laki-laki pada saat menggunakan atasan berwarna pink. Oleh karena itu, Dyer melihat bahwa binerisme merupakan prinsip utama dalam heteroseksual, ketika laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi satu sama lainnya, ia juga mengatakan pola seperti inilah yang diterapkan dalam hubungan homoseksual.
Ketiga, perbedaan dalam
ketidakseimbangan kekuasaan telah memosisikan laki-laki di ranah dominan dan perempuan di ranah subordinat. Pola seperti ini didefinisikan oleh Sheila
Jeffrey bahwa hasrat heteroseksualitas selalu dierotisasi dengan
ketidakseimbangan kekuasaan. Misalnya, gagasan untuk saling melengkapi dalam perbedaan antara laki-laki dan perempuan terus menerus bertahan dan dipedomani dalam kultural, sedemikian sehingga laki-laki dan perempuan sudah tidak
mempermasalahkan posisi
ketidakseimbangan kekuasaan tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa gagasan untuk saling melengkapi perbedaan tersebut memberikan pleasure yang tidak bisa didefinisikan. Akan tetapi, bagi Dyer gagasan saling melengkapi dalam perbedaan tidak selamanya dapat bertahan dan memberikan pleasure sepenuhnya. Saat laki-laki dan
perempuan menyadari identitas jenis kelaminnya bahwa mereka tetap dibedakan dan diposisikan sebagai berlawanan.
Keempat, seksualitas hanya berguna untuk menghasilkan keturunan. Secara umum, tujuan dari hubungan coitus dalam heteroseksualitas dimaknai sebagai reproduksi untuk
mengembangkan spesies baru dan melestarikan silsilah keluarga agar tidak punah. Mekanisme ini terjalin terus menerus dan selalu diingatkan melalui pesan-pesan agama, tradisi serta sejarah yang membuat heteroseksul berjalan dan dilaksanakan. Masuk akal bagi saya, ketika seksualitas digunakan sebagai landasan untuk menghasilkan keturunan, sedemikian sehingga hetersoeksual menjadi dominan dan diasumsikan sebagai yang paling benar. Akan tetapi, jika seseorang memiliki kecenderungan untuk menjadi homo, maka ideologi ini akan menyadarkan mengurungkan keinginan seseorang tersebut. Bahkan, tidak hanya melalui agama dan tradisi saja, pola ini juga dhadir dalam sebagai pesan dalam iklan televisi, film, dan media elektronik.
kenormalan, karena untuk dapat di akui sebagai heteroseksual dan normal ia harus memasuki dan menjalani
pernikahan. Tidak hanya itu, hal ini terus menerus disanksikan oleh masyarakat sekitar dengan berbagai pertanyaan “kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan nambah momongan lagi?”.
Sedemikian sehingga praktik seksualitas tersebut berperan besar dalam
membangun identitas seseorang dan diterima oleh masyarakat sebagai yang normal.
Berdasarkan dari lima karakteristik yang telah dijabarkan oleh Dyer, asumsi saya bahwa heteroseksualitas tidak dibentuk oleh ideologi biologis, kealamiahan, takdir dan tidak juga berdiri sendiri tanpa konteks, melainkan adanya peran kultur sangat kuat dalam mempertahankan eksistensi
heteroseksual tersebut. Di lain pihak, kultur membangun wacana dalam menggiring orientasi manusia menuju kebenaran. Heteroseksual yang normatif ini juga akhirnya menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang bias dan seksis, misalnya mengatur cara berpakaian perempuan, diskriminasi, stereotipe, stigmatisasi terhadap gender dan identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan identitas gender diluar aturan
heterosentris. Permasalahan tersebut tanpa disadari menjadi hegemoni yang menyebabkan ketidakadilan pada suatu kelompok dan menjadi landasan
sejumlah kritik yang dilontarkan oleh kajian lesbian dan homoseksual.
Beberapa esai provokatif yang ditulis oleh sejumlah feminis radikal sering mensituasikan perempuan dan
mempertanyakan bentuk-bentuk opresi yang diterima oleh perempuan serta memungkinkan terciptanya hubungan lesbian antar perempuan. Dalam tulisan Ann Koedt berjudul The Myth of the Vaginal Orgasm sebagaimana yang dijelaskan oleh Tong (2010: 103)
mengatakan bahwa banyak perempuan merasa yakin bahwa orgasme yang mereka rasakan selama hubungan seksual heteroseksual adalah berasal dari vagina, padahal yang lebih tepat adalah mereka mengalami stimulasi pada klitoris. Pernyataan ini banyak menuai perdebatan baik dari kalangan feminis radikal libertarian maupun
feminis radikal kultural. Dari perspektif feminis radikal libertarian menafsirkan bahwa Koedt memberikan alasan kuat bagi perempuan untuk hanya melibatkan diri di dalam apa yang disebut sebagai heteroseksualitas yang bukan
merupakan keharusan (Tong, 2010: 103) Feminis radikal libertarian juga
menambahkan bahwa sebenarnya dalam hubungan seksual perempuan tidak bergantung pada tubuh laki-laki dalam mencapai orgasme. Di samping itu, perempuan tidak seharusnya terlibat di dalam hubungan seksual dengan seorang laki-laki, kecuali jika ia menginginkannya.
Dari perspektif feminis radikal libertarian ini sedikit membingungkan bagi pemikiran saya yang notabennya telah dibentuk oleh ideologi bahwa ketika vagina dan penis merupakan sumber puncak orgasme antara perempuan dan laki-laki, sedemikian sehingga saya tidak cukup pengetahuan untuk mengeksplorasi hal tersebut. Namun, masuk akal bagi saya bahwa tidak hanya vagina yang menjadi titik puncak orgasme perempuan, melainkan juga stimulasi klitoris dalam hubungan seksual. Oleh karena itu, apabila stimulasi klitoris diposisikan sebagai orgasme utama perempuan, maka hubungan seksual tidak menjadi keharusan dan tubuh laki-laki dapat tersingkirkan secara seksual. Akan tetapi, hal ini berpotens juga bagi perempuan untuk memilih tubuh perempuan dalam mencapai orgasme tersebut sesuai dengan alasan
psikologis.
Hal berbeda di sampaikan oleh perspektif feminis radikal-kultural bahwa tidak ada alasan psikologis bagi perempuan untuk berhubungan seksual dengan laki-laki, tidak ada alasan
lesbian. Oleh sebab itu, Rich
mengatakan bahwa lesbian existence berpotensi membebaskan seluruh perempuan.
3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang saya uraikan di atas bahwa heteroseksual yang selama ini dianggap sebagai takdir dan biologis tidak sepenuhnya menjadi kebenaran mutlak, akan tetapi hal itu justru dibentuk oleh norma agama, budaya, dan sejarah yang berperan besar serta bertahan dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mencermati kembali apakah selama ini menjadi sebuah keharusan dan takdir ternyata
merupakan suatu produk yang dibentuk oleh budaya sekitar. Tidak hanya itu, pembedaan seks dan gender juga merupakan cara kerja yang efektif dalam memetakan opresi yang terjadi pada perempuan dan
laki-laki.Sedemikian sehingga heteroseksual normatif juga akhirnya menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang bias dan seksis, misalnya mengatur cara berpakaian perempuan, diskriminasi, stereotipe, stigmatisasi terhadap gender dan identitas gender tertentu,
pengkriminalisasi orientasi seks dan identitas gender diluar aturan heterosentris.
4. Bibliograpghy
Dyer, Richard (1997). Heterosexuality in Medhurst (Andy & Munt, Sally, Editor.). Lesbian and Gay Studies: A Critical Introduction.
Foucault, Michel.(2008). Ingin Tahu Sejarah Seksualitas. (Hidayat. Rahayu S, Trans). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Prabasmoro, A.P. (2006). Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Rich, Adrienne. (2003). Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence. Journal of Women’s History: Vol. 15. No. 3.