• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positivisme dan Pos Modernisme Dinamik (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Positivisme dan Pos Modernisme Dinamik (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Reza Akbar Felayati – 071311233075 – Analisis HI – Notulensi Materi 12 & 13 (Week 13 & 14)

Positivisme dan Pos - Modernisme: Dinamika Diskursus Baru dalam Hubungan Internasional

Dalam perkembangannya, ilmu Hubungan Internasional seringkali mengalami perdebatan besar yang menyebabkan ilmu ini kaya akan berbagai macam asumsi dan pandangan. Salah satu perdebatan tersebut hadir diantara kaum tradisionalis dan kaum behavioralis. Seperti namanya, kaum tradisionalis masih meyakini hal-hal yang bersifat tradisional dan tidak dapat menerima perkembangan dan perubahan pada tatanan yang ada. Dalam hal ini, kaum tradisionalis masih meyakini bahwa Hubungan Internasional merupakan cabang ilmu yang lebih menekankan pada wisdom dan art. Berlawanan dengan hal tersebut, kaum behavioralis menawarkan pemikiran yang berbeda yakni ilmu Hubungan Internasional dapat menjadi bagian dari scientific knowledge yang dapat diverifikasi dan dikaji secara metodologis. Dari perkembangan pemikiran kaum behavioralis inilah kemudian positivisme lahir dan menawarkan sesuatu yang berbeda di dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Jackson dan Sorensen (2009: 294) menjelaskan bahwa sebenarnya positivisme dianggap sebagai warisan behavioralisme karena menerapkan sebagian besar asumsi dan sikap kaum behavioral, namun caranya dinilai jauh lebih rumit.

Mark A. Neufeld (1997: 165) mengatakan bahwa positivisme hadir untuk menentang dogma ilmu pengetahuan yang telah di gariskan oleh gereja kala itu. August Comte sebagai salah satu penggeraknya meyakini bahwa ilmu pengetahuan haruslah mengalami kemajuan, yakni masuk ke dalama moderenitas dan linear. Hal ini berarti lmu pengetahuan yang berkembang haruslah bisa di observasi sebab tujuan dari ilmu pengetahuan tersebut yakni untuk mencari kebenaran ilmiah, bukan mencari kebenaran absolut seperti yang telah di dogma oleh gereja kala itu. Lebih lanjut, Comte berharap dengan adanya positivis, maka akan terbentuk sebuah masyarakat yang adil. Dalam pemikiran kaum positivis, semua ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu Hubungan Internasional dan ilmu sosial politik, secara pasti memiliki keajegan dan pola-pola yang dapat dijelaskan apabila metodologinya diterapkan secara tepat (Jackson & Sorensen, 2009: 294). Metodologi Positivisme sendiri mengandalkan pada observasi dan pengalaman dalam membangun dan menilai teori-teori ilmiah serta menekankan sentralitas dari proposisi empiris (Jackson & Sorensen, 2005: 294). Perlu digarisbawahi, alasan mengapa positivisme disebut “positif” sebenarnya merujuk pada tiga pembagian waktu perkembangan ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Comte, yakni: theological stage;metaphysical stage; dan positivism stage (Turner, 2001).

(2)

melalui nature atau alam dalam mencai jawaban berbagai fenomena empiris. Kemudian yang terkhir adalah ketika individu memasuki tahap positivisme, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam tatanan sistematis yang merupakan buah dari empirical observation demi menghasilkan general law (Turner, 2001: 36).

Adapun hal yang ditekankan di dalam positivisme ini yakni di dalam penelitian haruslah bebas nilai (Neufeld, 1997: 170). Maka dari itu jika seorang peneliti ingin meneliti harus meneliti di luar objek yang ia teliti. Tetapi hal ini menimbulkan persoalan sebab di dalam ilmu sosial meneliti dengan tidak terlibat langsung sulit dilakukan, jika peneliti terlibat langsung dengan objek yang ia teliti kemungkinan besar peneliti tidak akan bersifat obejketif. Misalnya saja peneliti ingin meneliti mengenai tingkah laku tradisional etnis tertentu, jika ia terlibat langsung dengan kehidupan etnis tersebut terkadang objek penelitian memberikan perlakuan-perlakuan yang membuat si peneliti tidak objektif di dalam penelitiannya. Maka dari itu di dalam positivisme di buat perangkat metodologi yang si rancang sedemikian rupa dimana peneliti diharapkan bisa bebas nilai. Tetapi tidak dipungkiri keberadaan positivisme memiliki kelemahannya tersendiri. Positivisme hanya dapat menjelaskan persoalan secara epistemologi, tetapi tidak mampu menjelaskan persoalan secara ontologi maupun axiologi. Epistemologi disini berarti bahwa positivisme menjawab pertanyaan manusia mengenai “how do we come to know?” atau bagaimana kita tahu mengenai sesuatu, namun hanya pada tatanan konseptual semata.

Lebih lanjut, kelemahan positivisme ini ternyata diperhatikan oleh para pemikir kritis. Menurut mereka, teori tidak bebas nilai seperti asumsi dasar yang selalu dijunjung oleh kaum positivis karena teori memiliki motif-motif tertentu dibaliknya yang juga harus diperhatikan (Half Penny, 2001: 379). Ilmu pengetahuan tidaklah bersifat universal tetapi partikular. Sementara itu, kaum feminism hadir untuk mengkritik positivisme yang terlalu mengdepankan kepentingan kaum laki-laki sehingga positivisme kemudian dianggap tidak dapat menjelaskan gender. Kemudian, adanya keyakinan positivisme terhadap phenomenalism menyebabkan scientific realism turun tangan untuk mengkritisi hal tersebut. Pasalnya, apabila ilmu pengetahuan hanya berdasar pada penangkapan panca indera, maka nilai-nilai realisme-nya tidak akan tertangkap. Terakhir, posmodernisme hadir unruk mengkritisi positivisme mengenai pengetahuan yang sebenarnya memiliki hubungan dengan kekuasaan dominan sehingga penting untuk membongkar pengetahuan dengan struktur-struktur yang ada (Half Penny, 2001: 379).

(3)

according to which particular claims to truth or value are legitimated or rejected” (Griffiths & O’Callaghan, 2002:251). Pos-moderinitas lebih jauh melihat fenomena yang terjadi di masyarakat moderen ini bahwa ternyata tidak semua mayarakat bersifat moderen di era moderenisasi ini. Sehingga penting sekiranya bagi penganut pos-moderenisme untuk meruntuhkan dominasi pemikiran yang mainstream dalam hal ini positivisme sebagai pemikiran yang mainstream.

Di sisi lain, Joko Susanto (2015) melihat bahwa pos-modernisme, sebagaimana dijelaskan oleh Michel Foucault, berkaitan dengan diskursus yang mencari hubungan antara power dan pengetahuan. Bahwa sebenarnya dalam sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh individu tidak lepas dari power yang mengkonstruksinya. Oleh karena itu, pengetahuan sendiri memiliki dua sisi layaknya mata koin. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh mereka yang memiliki power, dan pengetahuan dari mereka yang menolak, atau bahkan melawan konstruksi power tersebut. Hal ini juga serupa dengan apa yang dikatakan oleh Michel Foucault, “When there is power, there is resistance”. Lebih jauh lagi, Joko Susanto (2015) juga mengemukakan bahwa pos-modernisme ini sejatinya tidak labih dari pecahan atau cabang dari sebuah konsep yang lebih besar, yaitu pos-positivisme. Pos-positivisme sendiri merupakan sebuah diskursus yang berupaya untuk mencari celah – celah yang menjadi kelemahan positivisme sebagai diskursus dan mengembangkannya menjadi sebuah kritik dan perspektif tersendiri. Pos-positivisme tidak sama dengan konsep anti-positivisme yang menolak diskursus positivisme, namun Pos-positivisme lebih melihat dirinya sebagai satu wadah yang membuka kelemahan – kelemahan positivisme dan memberikan alternatif cara pandang yang baru. Ada empat cabang dari pos-positivisme yang dominan menurut Joko Susanto (2015), yaitu pos-modernisme -seperti yang telah dijelaskan sebelumnya-, kemudian ada feminisme, teori kritis, dan konstruktivisme. Keempat cabang diskursus tersebut memiliki kesamaan, yaitu menolak adanya dominasi satu diskursus, yang dianggap memiliki tendensi dogmatis. Selain itu, keempat pandangan ini juga menekankan pada konsep konstruksi pengetahuan yang dibangun oleh subjektivitas, dan menolak adanya objektivitas dalam sebuah pengetahuan.

(4)

Pemikiran dan kritik dari pos-modernisme terhadap pemikiran mainstream seakan menggebrak ilmu Hubungan Internasional terutama fokus pada ilmu pengetahuan. Konsep – konsep di dalamnya yang dianggap sempurna dan “given” mulai dipertanyakan kembali asal usulnya. Sebab pos-modernisme percaya bahwa pengetahuan di produksi oleh yang berkuasa kala itu sehingga meneliti tidak di luar obejek penelitian tetapi terjun ke dalam objek menjadi penting. Pos-modernisme kemudian memperkenalkan genelogi sebagai sebuah metode di dalam melakukan penyelidikan atau penelitian. Genealogi digunakan untuk menunjukkan sesuatu dan terutama pihak yang dibaikan dalam cerita – cerita sejarah sehingga mengingkari adanya penceritaan sejarah “...genealogy is to be distinguished from tracing the origin of the identity of essence of human behavior...” (Smith, 1995: 4). Adanya genealogi ini memungkinkan penelitian dilakukan dengan melihat dari aktor yang kemudian tidak banyak diekspos dalam hal ini kaum yang termarjinalkan. Sebab posmodernisme melihat dengan meneliti ke dalam aktor yang terkait jauh dengan fenomena yang ada justru akan mengungkapkan bagiaman fenomena tersebut bekerja. Maka dari itu posmodernisme mengakomodasi hal-hal yang bersifat anti-mainstream.

Dari uraian di atas, kita bisa melihat bahwa positivisme memberikan sumbangsih penting di dalam ilmu Hubungan Internasional. Ilmu pengetahuan sosial dapat menjadi sebauh ilmu yang diteliti secaa empiris. Ilmu sosial yang dianggap tidak bisa diteliti kemudian bisa menjadi bagian dari scientifict knowledge karena ia dianggap bebas nilai. Positisme lebih jauh hingga menyiapkan perangkat yang mendukung agar penelitian terhadao ilmu sosial menjadi sebuah penelitian yang bebas nilai. Tetapi kemudian kehadiran positivisme tidak dipungkiri memiliki kontranya tersendiri. Sebab faktanya peneliti tidak mungkin bisa bebas nilai, hal ini peneliti sebagai manusia tentunya memiliki kepentingan tersendiri di dalam penelitiannya. Hal ini membuat positivisme menuai kritik bahwa ilmu itu tidaklah bersifat universal tetapi tergantung wilayah mana kebenaran itu terjadi. Tidak bisa serta merta bisa digeneralisir. Hal ini lebih kanjut mengantarkan fakta bahwa kebenaran itu bersifat majemuk yakni ada dimana-mana. Selain itu, posmodernisme sendiri merupakan semangat yakni bagaiamana pemikiran seorang penulis dalam tulisannya mencoba mendekonstruksi, mengkritik dan membuka sebuah kasus atau penelitian yang akan diangkat. Sehingga ia digunakan sebagai sebuah semangat dan alur berfikir dalam melakukan penelitian ilmiah. Adapun yang menjadi fokus kajian pomoderenisme disini yakni kaum yang termarjinalkan. Sebab di dalam aktor yang terlupakan justru terkadang muncul jawaban sebenarnya dari sebuah fenomena.

(5)

Referensi:

Griffiths, Martin dan O’callaghan, Terry. (2002) International Relations: The Key Concepts. London:Newyork Routledge

Half Penny, Peter. (2001). “Positivism in Twentieth Century”, dalam George Ritzer and Barry Smart, Handbook of Social Theory, London, Sage Publication, pp. 371-385.

Jackson, R. & Sorensen, G. (2009). “Introduction to International Relations”, Oxford University Press.

Neufeld Mark A. (1997), The Restructuring of International Relations Theory. Cambridge: Cambridge University Press

Smith, Steven. (1995). “The Self-Images of a Discipline: A Genealogy of International Relations Theory”dalam Ken Booth dan Steve Smith (ed.), International Relations Theory Today. Cambridge: Polity Press, hal 1-37

Susanto, J (2015) Posivisme dan Pos-Positivme. SOH301 Analisis Hubungan Internasional, Semester 5, 2015, Universitas Airlangga.

Referensi

Dokumen terkait