• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positivisme dan Pasca positivisme (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Positivisme dan Pasca positivisme (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

P O S I T I V I S M E D A N P A S C A P O S I T I V I S M E

A. POSITIVISME

Kebanyakan orang ketika mendengar kata sains (science), mereka selalu

memikirkan tentang seorang ilmuwan yang sedang melakukan percobaan di dalam

laboratorium dengan berbagai macam alat-alat berteknologi tinggi dan

bahan-bahan kimia berwarna-warni. Kebanyakan orang selalu beranggapan bahwa sains

merupakan sesuatu yang membosankan dan kaku, serta kebanyakan orang juga

berpendapa bahwa ilmuwan adalah orang yang berpikiran sempit, kaku, dan kolot.

Anggapan-anggapan yang muncul dari sains itu kebanyakan muncul dari sebuah

periode di mana sains didominasi oleh suatu pandangan filosofis yaitu

positivisme. Yang mana positivisme itu sendiri cenderung mendukung

anggapan-anggapan skeptis tersebut. (Trochim, Web).

Pada abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat

positivisme. Dalam sejarah filsafat barat, orang sering menyatakan bahwa abad

ke-19 merupakan Abad Positivisme, yaitu suatu abad yang ditandai oleh peranan

yang sangat menentukan dari pikiran-pikiran ilmiah. Pada abad ini kebenaran atau

kenyataan dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, yang mana

menekankan pada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan

manusia. (Wibisono 1983:1). Positivisme yang muncul pada abad ke-19 ini

bermula ketika para pemikir Pencerahan (Aufklärung) memandang dunia sosial ini

sebagai bagian dari jagat raya alami: bahkan, banyak yang sampai pada

kesimpulan bahwa ilmu alam dan ilmu sosial bisa digunakan untuk kemajuan

manusia (Ritzer dan Smart 2001:54).

Sehingga dalam arti yang luas pengertian dari positivisme adalah

penolakan pada metafisika. Positivisme menganggap bahwa tujuan ilmu

pengetahuan adalah hanya untuk menjelaskan fenomena yang kita alami. Selain

itu, tujuan dari sains adalah hanya untuk berpegang pada apa yang bisa kita amati

dan ukur. Oleh karena itu, pengetahuan yang tidak bisa kita amati dan ukur

(2)

Dalam pandangan positivistik, sains dilihat sebagai sebuah alat untuk

mendapatkan sebuah kebenaran, yang mana untuk memahami

fenomena-fenomena yang ada dengan baik sehingga pada akhirnya kita dapat memprediksi

dan mengendalikan fenomena-fenomena tersebut. Positivisme menganggap bahwa

hal-hal yang ada di dunia atau alam semesta ini bersifat deterministik;

dioperasikan oleh hukum-hukum sebab akibat yang dapat kita lihat dengan jelas

perbedaannya jika kita menerapkan pendekatan-pendekatan yang berbeda dari

metode ilmiah yang ada. Sehingga positivisme memiliki hubungan yang sangat

erat dengan empirisme; adalah sebuah gagasan bahwa observasi dan eksperimen

adalah inti dari sebuah metode ilmiah. (Ibid). Dengan demikian segala sesuatunya

di dalam positivisme adalah harus empiris agar dapat dibuktikan kebenarannya.

Pendiri dari aliran filsafat positivisme ini adalah Auguste Comte yang

mana telah sangat terkenal menyampaikan tentang hukum tiga tahapnya, law of

three stages. Melalui hukum ini Comte menyatakan bahwa sejarah umat manusia,

secara individu maupun secara keseluruhan, berkembang melalui tiga tahap yaitu

teologi, metafisik, dan positif. Di sini Comte menjelaskan bahwa arti istilah

“positif” yang digunakan sebagai nama bagi aliran filsafatnya ini adalah sesuatu

yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.

Comte juga menjelaskan bahwa pengertian dari “perkembangan” sejarah umat

manusia merupakan sesuatu yang positif di mana diartikan sebagai suatu gerak

yang menuju ke arah tingkat yang lebih tinggi atau lebih maju. (Wibisono

1983:1-2).

Asal-usul Kelahiran Aliran Positivisme Auguste Comte

Auguste Comte merupakan salah satu pelajar pada jaman aufklärung, yaitu

khususnya Revolusi Ilmiah, yang mana mulai memberikan harapan bahwa sains

bisa digunakan atas nama kemajuan umat manusia. Tulisan Comte muda ini

banyak dipengaruhi oleh semangat moral para filsuf Prancis yang berpandangan

bahwa sains dapat menjadi alat untuk mengkonstruksi masyarakat dengan cara

yang lebih manusiawi dan adil. (Ritzer dan Smart 2001:54). Pada saat aufklärung

ini Sir Francis Bacon (1561-1626) adalah tokoh pertama yang mengekspresikan

(3)

pada sains yang menolak metode deduksi pada saat itu. (Jakobsen, Web). Namun

hukum gravitasi Newton yang memberikan visi tentang bagaimana observasi atau

penyelidikan ilmiah itu. Hal ini membuat Comte lambat laun mengakui sains

sebagai sarana mencapai kemajuan manusia (Ritzer dan Smart 2001:55).

Sintesis dari gagasan Comte misalnya mengenai pencarian akan hukum,

hierarki sains, dan pergerakan masyarakat ditemukan dalam karya Charles

Montesquieu (1689-1755). Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1748)

menjelaskan analisis yang menunjukkan kemungkinan tentang adanya ilmu

pengetahuan mengenai masyarakat yang menyerupai hukum Newton. Pemikir

selanjutnya seperti Jacques Turgot (1727-1781) dan Jean Condoreet (1743-1784)

memperkenalkan pada Comte lebih lanjut tentang kemajuan umat manusia

melalui tahapan, khususnya pergerakan sistem-sistem gagasan. Dengan demikian,

ilmu pengetahuan tentang masyarakat tidak hanya mungkin, namun dari segi

Pencerahan, ilmu ini harus digunakan untuk membangun masyarakat yang lebih

baik dan memajukan umat manusia. (Ibid)

Selanjutnya Comte bekerja sama dengan Claude Henri de Saint-Simon

(1760-1825) setelah keluar dari Ecole Polythechnique. Awalnya, Comte bekerja

sebagai sekretaris Saint-Simon dan selanjutnya sebagai mitra yunior. Selama

bekerja sama dengan Saint-Simon inilah sebagian besar gagasan yang muncul

dalam The Course of Positive Philosophy ini mulai memiliki bentuk yang pasti.

Karya-karya Saint-Simon yang memberikan landasan bagi filsafat positivisme

Comte. Hal ini tidak lain karena,

 Saint-Simon yang menggunakan istilah ilmu pengetahuan ‘positif’ untuk menerangkan sebuah studi tentang umat manusia dan masyarakat

berdasarkan pengamatan empiris;

 Saint-Simon yang mendalilkan hukum sejarah yang bergerak dari landasan religius menuju positivistik;

 dan Saint-Simon yang memahami bahwa positivisme menetrasi ilmu pengetahuan dengan kecepatan yang berbeda-beda (pertama ke dalam

(4)

Dari sini terlihat jelas bahwa banyak sekali landasan positivisme Comte yang

diambil dari mentornya, Saint-Simon. (Ibid 55-56).

Sehingga pada tahun 1822, Auguste Comte menerbitkan pernyataan

pertamanya yang jelas mengenai filsafat positifnya dalam sebuah artikel berjudul

Plan of Sciencetific Operation Necessary for Reorganizing Society. Pada saat

inilah secara resmi Comte membangun filsafat positivisme nya. Bagi Comte

sangat penting untuk menciptakan ‘sains positif’ yang didasarkan pada

pengamatan empirik yang akan digunakan untuk menghasilkan dan menguji

hukum-hukum abstrak mengenai organisasi manusia. Yang mana ilmu

pengetahuan ini diberi mana fisika sosial (sosial physics) untuk menentukan dan

merumuskan hukum organisasi manusia yang selanjutnya hukum ini harus

digunakan untuk mengarahkan tata kerja masyarakat. Esai pertama Comte yang

ditulis dengan Saint-Simon ini menjelaskan jabaran umum dari karya Comte

selanjutnya, yaitu The Course of Positive Philosophy. (Ibid 57).

Tujuan dari The Course of Positive Philosophy adalah untuk menyatukan

semua ilmu pengetahuan, yang juga untuk mengusulkan dan memberi tempat bagi

sosiologi di antara ilmu pengetahuan lain. Buku ini merupakan sejarah ilmu

pengetahuan melalui prisma hukum tiga tahap dan upaya untuk menyusun ilmu

pengetahuan baru mengenai masyarakat yang berhubungan dengan teori, metode,

substansi, dan advokasi. (Ibid 57). Sayangnya pada tahun 1824 terjadi perpecahan

antara Comte dan Saint-Simon yang menyebabkan Comte menjadi terkucil secara

intelektual. Yang hal ini menyebabkan pada saat volume terakhir dari Positive

Philosophy diterbitkan, tidak ada satu ulasan pun mengenai buku ini dalam pers

Prancis. (Ibid 56).

Tokoh-tokoh Positivisme

Claude Henri de Saint-Simon (1760-1825)

Claude Henri de Rouvroy, comte de Saint- Simon, yang lebih sering

disebut sebagai Henri de Simon lahir pada tanggal 17 Oktober 1760.

Saint-Simon adalah seorang ahli sosial Prancis dan pendiri dari sosialisme Prancis.

(5)

perorganisasian masyarakat baru dan positif yang dikendalikan oleh industri,

dengan para ilmuwan yang berperan sebagai pengontrolnya. Tujuan dari

masyarakat baru ini adalah untuk menghasilkan hal berguna untuk kehidupan

manusia, sehingga perdamaian akan dapat diwujudkan secara universal. Ilmu

pengetahuan masyarakat yang di bentuk oleh Saint-Simon mempengaruhi

terbentuknya sosiologi dan ekonomi sebagai bidang studi ilmiah. Visi dari

Saint-Simon inilah yang banyak mempengaruhi Prancis dan masyarakat Eropa

sepanjang abad kesembilan belas. (New World Encyclopedia, Web). Yang mana

karya-karya Saint-Simon ini sangat mempengaruhi murid-muridnya yang

kemudian lebih mempopulerkan, mensistematisasi, dan juga membentuk ide-ide

mengenai ilmu pengetahuan tentang masyarakat, khususnya Auguste Comte yang

merupakan anak didiknya, sehingga karya-karya Comte tentang sosiologi dan

filsafat sedikit banyak mengambil dari Simon. (Encyclopedia.com,

Saint-Simon).

Signifikansi utama dari Saint-Simon dalam sains sosial ada tiga. Pertama,

Saint-Simon adalah orang pertama yang dapat memahami implikasi dari

industrialisasi pada institusi tradisional dan moralitas serta

mengkonseptualisasikan sistem industri sebagai suatu jenis yang berbeda. Kedua,

Saint-Simon termasuk salah satu yang paling awal dalam mengajukan ilmu

pengetahuan naturalisme dari masyarakat sebagai panduan rasional untuk

rekonstruksi sosial. Ketiga, Saint-Simon merupakan perumus teori “organik

evolusi” yang paling penting, yang mana pengaruhnya dapat dilihat dalam

doktrin-doktrin evolusi sosial dari Herbet Spencer, Lester Ward, dan Karl Marx.

Selanjutnya, Saint-Simon juga secara langsung mempengaruhi terbentuknya aliran

“positivisme organik” yang diwakili oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim.

(Ibid).

Auguste Comte (1798 - 1857)

Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte lahir pada tanggal 19

Januari 1798 di Montpellier, Prancis (Wibisono 1983:1). Comte lahir dari seorang

ayah, Louis Comte yang merupakan seorang pegawai pajak dan ibu, Rosalie

(6)

patuh dan mereka menolak Republikan dan skeptisisme yang melanda Prancis

setelah Revolusi Prancis. Sedangkan Comte sendiri menolak pandangan

keluarganya tersebut, bahkan lebih lanjut, Comte kehilangan kepercayaannya

pada agama. (Encyclopedia of Marxism, Web).

Comte juga menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat

negatif dari revolusi Prancis khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan

pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung

bersama bangsanya itu, memotivasi dirinya untuk memberikan alternatif dan

solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi

sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini

menjadi berkembang dengan subur karena didukung oleh para elit-ilmiah dan

maraknya era industrialisasi saat itu. (Satria, Web).

Pada tahun 1814, Comte memasuki salah satu perguruan tinggi bergengsi

di Prancis yaitu Ecole Polythechnique, dan menetap di Paris. Pada saat menjadi

mahasiswa Comte banyak membaca tentang filsafat dan sejarah yang khususnya

tertarik pada pemikir-pemikir yang mulai melihat dan melacak sejarah organisasi

sosial manusia, misalnya, Montesquieu, Condorcet, Turgot, dan Joseph de

Maistre. (Encyclopedia of Marxism, Web).

Saint-Simon adalah salah satu kenalan penting Comte, yang mana ide-ide

Comte sangat mirip dengan Saint-Simon, lebih-lebih artikel pertama dari Comte

muncul di dalam publikasi Saint-Simon. Tetapi karena perbedaan sudut pandang,

akhirnya Comte berpisah dengan Saint-Simon. Yang pada tahun 1826 Comte

memulai serangkaian kuliah tertutup tentang sistem filsafat positifnya. Pada tahun

berikutnya Comte menyampaikan kembali kuliah-kuliahnya tersebut di Royal

Anthenaeum. Yang dua belas tahun berikutnya (1830-1842) Comte habiskan

untuk menyelesaikan The Course of Positive Philosophy. (Ibid).

Selama hidupnya Comte hidup dari sumbangan-sumbangan pengikut

aliran filsafatnya, seperti John Stuart Mill dan muridnya Maxximillien Littré yang

seorang lexicographer. Pada tahun 1825 Comte menikah dengan Caroline Massin,

(7)

menjalin hubungan dengan Clotilde de Vaux yang banyak sekali mempengaruhi

karya-karya Comte selanjutnya, yaitu System of Positive Polity (1851-1854).

Karyanya ini berisi tentang moralitas dan kemajuan moral sebagai pusat

pengetahuan manusia serta menekankan pada pentingnya organisasi politik dan

pemerintahan. Comte hidup cukup lama untuk melihat karya-karyanya banyak

digunakan di seluruh Eropa. Banyak para intelektual Inggris yang terpengaruh

oleh filsafat positivisme dan menerjemahkan karya Comte. Para pengikutnya di

Prancis pun meningkat, dan terbentuknya aliran positivisme di seluruh dunia.

Comte meninggal dunia pada tahun 1857 karena penyakit kanker. (Ibid).

Filsafat Positivisme Auguste Comte

Comte menerangkan bahwa dalam perkembangan jiwa manusia, pada

suatu batas tertentu manusia tidak lagi akan merasa puas dengan hal-hal yang

abstrak. Manusia merasa lebih puas dengan hal-hal yang dapat diterangkan

melalui pengamatan yang dapat dijelaskan secara deskriptif. Pada saat inilah

perkembangan jiwa manusia tiba pada tahapnya yang paling akhir, yaitu

tahap positif diatas pandangan ilmiah yang matang. (Wibisono 1983:15).

Sedangkan pengertian positif itu sendiri dalam filsafat Comte adalah

sebagai berikut:

o Sebagai kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka diartikan

sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Objek kajian yang dibahas

didasarkan pada kemampuan akal.

o Sebagai kebalikan sesuatu yang tidak bermanfaat, yang segala sesuatu

harus diarahkan pada pencapaian kemajuan.

o Sebagai kebalikan sesuatu yang meragukan, diartikan sebagai

pensifatan segala sesuatu yang sudah pasti. Hal ini karena filsafat

harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa

kebaikan bagi setiap individu masyarakat.

o Sebagai kebalikan sesuatu yang kabur, diartikan sebagai pensifatan

sesuatu yang jelas atau tepat. Karena dalam pemikiran filsafati, kita

(8)

o Sebagai kebalikan sesuatu yang negatif, yang dipergunakan untuk

menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya yang selalu menuju ke

arah penataan atau penertiban.

(Ibid 37-38).

Hukum Tiga Tahap Auguste Comte

Telah kita ketahui bahwa pada tahap positif merupakan tahap di mana

jiwa manusia sampai pada pengetahuan yang tidak lagi abstrak, tetapi pasti,

jelas, dan bermanfaat (Ibid 15). Sehingga, Comte melihat tahap positif

sebagai tahap perkembangan masyarakat pada industrialisasi sudah dapat

dikembangkan, yang disertai peranan kaum ilmuwan dan industrialis yang

bersama-sama mengatur masyarakat secara ilmiah (Ibid 16).

Hukum tiga tahap dari Comte antara lain:

1. Tahap Teologi → Pada tahap ini manusia bergantung pada penjelasan

supranatural untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat mereka

jelaskan. Tahap teologi ini yang merupakan pemikiran yang orisinal

dan spontan, yang menganggap gejala-gejala alam yang ada diatur

oleh suatu kekuatan imajiner tunggal yang tidak terlihat yaitu

dewa-dewa. (Landow dan Everett, Web).

2. Tahap Metafisik → pada tahap ini manusia sudah dapat

menghubungkan gejala-gejala alam yang terjadi dengan yang abstrak

tetapi masih belum dapat memahami apa yang menyebabkan hal

tersebut. Manusia sudah tidak lagi menganggap dewa yang

menyebabkan terjadinya gejala-gejala alam yang ada, tetapi kekuatan

atau daya dari benda-benda atau alam memeliki kekuatannya sendiri.

(Ibid).

3. Tahap Positif → pada tahap ini manusia telah mengerti hukum-hukum

alam yang mengatur dunia ini. Pada tahap ini pengertian

“menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan

suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap

positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah

(9)

Metode Positivisme Auguste Comte

Tujuan positivisme yang untuk membangun hukum organisasi

manusia, yang mana cara atau metode yang digunakan adalah pengamatan,

percobaan, perbandingan, dan analisis historis (Ritzer dan Smart 2001:60).

Comte menggunakan empat metode ini untuk meneliti fisika sosialnya; empat

metode digunakan karena fisika sosial adalah ilmu pengetahuan yang

tertinggi dan yang paling kompleks.

1. Pengamatan → metode ini digunakan karena dalam setiap ilmu

pengetahuan selalu dibutuhkan pembuktian (Wibisono 1983:43).

2. Percobaan → metode ini baru diterapkan apabila perkembangan suatu

gejala karena suatu sebab mengalami hambatan alamiah atau buatan.

Metode percobaan ini tidak perlu dilakukan ke dalam ilmu sosial

apabila terlalu sulit diadakan di tengah-tengah kompleksnya

gejala-gejala yang dihadapi. (Wibisono 1983:44).

3. Perbandingan → dalam metode ini digunakan perbandingan dengan

“inferior animals”. Dan dengan mengkaji petunjuk-petunjuk yang

diperoleh melalui analisis sejarah, metode perbandingan ini dapat

mengisi kekurangan yang masih ada. (Wibisono 1983:44-45).

4. Analisis Historis → metode ini dilakukan karena berdasarkan hukum

tiga tahap Comte yang mengkaji perkembangan gagasan dan susunan

struktur yang terkait sepanjang sejarah (Ritzer dan Smart 2001:61).

B. PASCA POSITIVISME

Dari positivisme, yang kemudian dikukuhkan oleh kelompok kajian

filsafat Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang beraliran neo-postivisme atau

positivisme logis yang membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat, baik ilmu

fenomena alam maupun sosial. (Afandi, Web). Diantara para anggota Lingkaran

Wina filsuf yang menarik perhatian adalah Rudolf Carnap. Ia seorang pemikir

yang sistematis dan orisinal. Sebagai penganut positivisme, secara umum

Lingkaran Wina berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman,

(10)

menolak perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, mereka menganggap

pernyataan-pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris, seperti estetika,

etika, agama, metafisika, sebagai nonsense, berusaha menyatukan semua ilmu

pengetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal (Unified Science), dan

memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau

pernyataan-pernyataan. (Rose, Web).

Lingkaran Wina menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat

diverifikasi secara empiris, seperti etika, estetika, agama, metafisika, sebagai

nonsense atau meaningless. Kelompok ini membuat garis pemisah antara

pernyataan yang bermakna (meaningful) dan yang tidak bermakna (meaningless).

Disebut bermakna jika dapat dibuktikan secara empiris-positive dengan metode

induktif-verifikatif. Pada akhirnya mereka menyatakan bahwa dikatakan ilmiah

jika bermakna, dan jika tidak bermakna maka tidak ilmiah. Kemudian pada awal

abad 20 telah muncul pemikir yang mencoba mendobrak dominasi ini dengan

memunculkan filsafat baru yaitu Pasca Positivisme. Seperti Karl Popper

mengembangkan ”filsafat falsifikasi” yang menolak dengan tegas pemikiran kaum

Positivisme Logis, kemudian disusul oleh Thomas S. Kuhn dengan ”revolusi ilmu

dan paradigma”. (Afandi, Web)

Tokoh – Tokoh Pasca Positivisme

Karl Popper (1902 – 1994)

Sir Karl Raimund Popper dilahirkan di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli

1902, yang pada saat itu diklaim sebagai pusat kebudayaan dunia Barat. Ayahnya,

Dr. Simon Siegmund Carl Popper, seorang Yahudi yang bekerja sebagai

pengacara Professional, dan ibunya,Jenny Schiff. Sejak berusia tujuh belas tahun,

Popper menganut komunisme, namun hal ini hanya berjalan selama beberapa

tahun. Sebab, setelah Popper mendapati para pengikut aliran politik ini menerima

begitu saja doktrin-doktrin yang dengan tidak kritis. Pasca Perang Dunia I ia

masuk Universitas Wina sekaligus bekerja di berbagai bidang. Di sinilah karier

(11)

beberapa tempat di Inggris. Pada tahun 1937 Popper mengajar di Selandia Baru.

(Thornton, Web).

Popper merupakan salah satu filsuf yang cukup berpengaruh bagi filsafat

ilmu pengetahuan abad dua puluh. Sumbangan terbesar Popper dalam filsafat ilmu

adalah pemikirannya mengenai konjektur dan falsifikasi. Dalam bukunya tersebut,

Karl Popper melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa

itu yang didominasi oleh Positivisme. Positivisme adalah sebuah aliran filsafat

yang bahkan sampai detik ini masih berjaya dan dianggap sebagai aksioma oleh

para ilmuwan maupun masyarakat umum.

Teori Falsifikasi Karl Popper

Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Popper merupakan

bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak

dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya seperti Francis Bacon

(1561-1626) yang kemudian dikemas ulang oleh Jhon Stuart Mill (1806-1873)

dengan mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran sebuah

teori. Sebuah teori akan dianggap benar jika cara penarikan kesimpulan

berdasarkan kepada metode induksi. Metode ini bertitik pangkal pada

pemeriksaan (eksperimen) yang teliti mengenai data-data spesifik yang

selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atau generalisasi. (Afandi,

Web).

Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran teori

lewat fakta-fakta. Menurut Popper, proses verifikasi sangatlah lemah.

Verifikasi hanyalah bekerja melalui logika induksi. Logika induksi adalah

penyimpulan suatu teori umum dari pembuktian fakta-fakta partikular. Popper

lebih condong untuk menggunakan falsifikasi. Jadi fokus penelitian sains

bukanlah pembuktian positif, namun pembuktian negatif. Artinya fokus

penelitian adalah untuk membuktikan bahwa suatu teori umum adalah salah

dengan menyodorkan sebuah bukti yang membuktikan bahwa ia salah. Hal ini

membuat penelitian ilmiah lebih efisien karena teori langsung dapat

(12)

Menurut Popper, pengetahuan dibangun berdasarkan rasio. Dari

prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia.

Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak

dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman empiris

bergantung pada prinsip-prinsip ini. Dengan demikian, pengetahuan muncul

dalam diri seseorang atau dari insight individual (pengetahuan terdalam

seseorang). Sehingga dengan demikian pengetahuan dalam tataran teologis,

metafisik bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan

(pengetahuan) yang bermakna (meaningful). (Afandi, Web).

Popper mengajukan kriteria ilmiah tidaknya pengetahuan adalah

kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji; bisa diuji (testability), bisa

disalahkan (falsibility) dan bisa disangkal (refutability). Maka apabila teori

dapat diuji dan memenuhi komponen untuk disangkal maka ia telah

memenuhi syarat keilmuan. Tes terhadap teori bukan berorientasi mencari

pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip

falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori

tersebut. Maka dilakukanlah rangkaian tes berisi komponen-komponen

penolakan terhadap teori tersebut, yang disebut hipotesa (dugaan sementara),

yang akan secara terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati oleh Popper

sehingga akan tercapailah kebenaran yang sejati. (Ibid).

Karena bagi Popper, perkembangan ilmu adalah bergerak secara

evolusioner; dari problem (P1) diikuti oleh artikulasi suatu teori tentatif (TT)

yang terbuka bagi falsifikasi (EE) yang mana akan memunculkan problem

baru (P2),

P1-TT-EE-P2

Semakin tahan suatu teori tentatif terhadap eliminasi kesalahan (error

elimination) maka teori tersebut akan semakin mendekati kebenaran.

(Santoso, Pasca Positivisme 2007).

Dalam filsafat ilmu Popper, selama suatu teori belum bisa

difalsifikasi, maka ia akan dianggap benar. Artinya, keyakinan kebenaran

terhadap teori tersebut adalah tidak mutlak, hanya merupakan keyakinan yang

(13)

maka hal tersebut akan menimbulkan keyakinan mutlak bahwa teori tersebut

salah. Artinya yang akan memberikan keyakinan mutlak adalah falsifikasi,

bukan verifikasi. Hal ini berbeda dengan positivisme yang akan meyakini

kebenaran mutlak suatu teori selama ia telah mengalami proses verifikasi

sesuai standar ilmiah positivisme. (Rahmandana, Web).

Thomas Kuhn (1922 – 1996)

Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cicinnati, Ohio,

Amerika Serikat. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L. Kuhn, yang merupakan

seorang Insinyur industri dan Minette Stroock Kuhn. Kuhn mendapat gelar B.S di

dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun

1946. Khun belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah

mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Selama tiga tahun dalam

kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow, adalah tahun-tahun yang

sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah dan

filsafat ilmu. Kuhn kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada

pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James

Conant. Pada tahun 1961 Kuhn menjadi professor sejarah ilmu di Universitas

Berkeley di California. Di Berkeley ini Kuhn menuliskan dan menerbitkan

bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962.

Pada tahun 1964-1979 Kuhn menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di

Princeton. Kemudian, pada tahun berikutnya Kuhn mengajar sebagai profesor

filsafat di MIT. (Encyclopedia.com, Kuhn)

Buku karangan Kuhn yang berjudul The Structure of Scientific Revolution

tahun 1962 yang berisi tentang pernyataan adanya kesalahan-kesalahan

fundamental tentang image atau konsep ilmu terutama ilmu sains yang telah

dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan

membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan

Rasionalisme klasik. Sebagai seorang filsuf sains, Kuhn dengan tepat mencatat

bahwa diperlukan revolusi untuk merubah teori-teori sains karena para ilmuwan

(14)

Pandangan Kuhn mengenai ilmu banyak mengubah persepsi orang

mengenai apa yang dinamakan ilmu. Menurut Kuhn, ilmu bergerak melalui

tahapan-tahapan yang akan berpuncak pada kondisi normal dan kemudian akan

digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Gagasan Thomas Kuhn ini sekaligus

merupakan tanggapan terhadap pendekatan Popper pada filsafat ilmu

pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper memutar balikkan kenyataan dengan terlebih

dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul

dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru menempatkan sejarah ilmu

pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya, Hal ini sangat bertolak

belakang dengan pola pikir Kuhn yang lebih mengutamakan sejarah ilmu sebagai

titik awal segala penyelidikan. Dengan demikian filsafat ilmu diharapkan bisa

semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.

Menurut Kuhn bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner,

bukan maju secara kumulatif. (Ibid).

Paradigma Thomas Kuhn

Kuhn menyatakan bahwa ilmu bukan merupakan upaya untuk

menemukan objektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya

pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku. Kuhn

memakai istilah ”paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang

mendasari upaya pemecahan masalah di dalam ilmu. Kuhn menjelaskan

paradigma dalam dua pengertian. Pertama, paradigma berarti keseluruhan

rangkaian kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota

masyarakat ilmiah tertentu. Kedua, paradigma menunjukkan sejenis unsur

pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan sebagai model, pola,

atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai

menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang

belum tuntas. (Afandi, Web).

Paradigma merupakan elemen utama dalam perkembangan sains.

Seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori

ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui paradigma ilmuwan

dapat memecahkan kesulitan-kesulitan dalam kerangka ilmunya, sampai

(15)

kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap

ilmu tersebut. Revolusi paradigmatic ini menggunakan sejarah sebagai

dasarnya untuk membantu menemukan rangkaian fakta, teori, dan

metode-metode yang tersimpan di dalam buku-buku teks sains. (Ibid). Analisis Kuhn

tentang sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa praktek

ilmu melalui beberapa fase yakni:

P1 – Ns – A – K – R – P2

1. paradigma awal sains (P1) telah berkembang dalam suatu masyarakat

sains, yang sedemikian eksisnya sehingga ia menjadi suatu paradigma

yang membatasi kepercayaan dan usaha-usaha untuk mencari dan

menemukan alternatif-alternatif baru yang dapat menggantinya (Ibid);

2. Selanjutnya paradigma awal (P1) tersebut berkembang menjadi

”Normal Science” (Ns) sebagai hasil dari akumulasi ilmu

pengetahuan, di mana ilmuwan-ilmuwan berorientasi dan memegang

teguh paradigma pendahulunya itu (P1) (Ibid);

3. Gejala-gejala baru muncul yang akan menjadi sebab runtuhnya

paradigma itu, sehingga dibutuhkan penjelajahan-penjelajahan baru

yang dapat menanggapi gejala-gejala itu. Fase ini disebut sebagai fase

anomali (A) (Ibid);

4. Fase krisis (C) merupakan akumulasi fakta-fakta anomali (A) yang

membuat keabsahan suatu paradgima menjadi goyah;

5. Fase ini memaksa komunitas ilmu mempertanyakan kemabli secara

radikal (R) dasar ontologis, metodologis, dan nilai yang dipakainya;

6. Krisis kemudian melahirkan paradigma baru (P2) yang berbeda

dengan paradigma sebelumnya (P1).

(16)

DAFTAR PUSTAKA

“Comte, Auguste.” MIA: Encyclopedia of Marxism: Glossary of People. Encyclopedia of Marxism. Web. 8 Desember 2014. 5:31 AM < https://www.marxists.org/glossary/people/c/o.htm>

"Kuhn, Thomas Samuel." Complete Dictionary of Scientific Biography. 2008. Encyclopedia.com. Web. 8 Desember 2014. 3:11 AM <

http://www.encyclopedia.com/topic/Thomas_Samuel_Kuhn.aspx>

“Saint-Simon, Henri de.” Newworldencyclopedia.org: Organizing Knowledge For Happiness, Prosperity, And World Peace. Newworldencyclopedia.org. 27 Juni 2009. Web. 9 Desember 2014. 12:01 AM

<http://www.newworldencyclopedia.org/entry/New_World_Encyclopedi a:Terms_of_Use>

"Saint-Simon." International Encyclopedia of the Social Sciences. 1968. Encyclopedia.com. 8 Desember 2014. 12:00 AM <

http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3045001087.html>

Afandi. “Filsafat Sains (Reinterpretasi Pandangan Karl Popper, Thomas Kuhn Dan Imre Lakatos).” Pandi.FKIP.UNTAN. Wordpress.com. 10 Desember 2013. Web. 9 Desember 2014. 1:53 AM <

http://pandifkipuntan.wordpress.com/2013/12/01/filsafat-sains-reinterpretasi-pandangan-karl-popper-thomas-Kuhn-dan-imre-lakatos-2/>

Jakobsen, Tor G. “Theory of Science – What is Positivism?” Popular Social Science – Bringing The Gap. PopularSocialScience.com. 15 February 2013. Web. 8 Desember 2014. 5:28 AM <

http://www.popularsocialscience.com/2013/02/15/theory-of-science-what-is-positivism/>

Landow, George P, dan Glenn Everett. “Auguste Comte, Positivism, and the Religion of Humanity”. Literature, History, and Culture In The Age of Victoria. The Victorian Web. 10 September 2014. Web. 8 Desember 2014. 5:28 AM <http://www.victorianweb.org/philosophy/comte.html>

Rahmandana, Panji Krisna. “Teori Falsifikasi Karl Popper”. Isi Otak Panji: Blog Adalah Jendela Dunia Maya. Wordpress.com. Web. 9 Desember 2014. 2:51 AM <http://panjikeris.wordpress.com/2012/03/22/teori-falsifikasi-karl-popper/>

(17)

Roose, Amrina. “Teori Falsifikasi Karl Raimund Poppr Dan Verifikasi Vienna Circle”. Blogspot.in. 27 April 2013. Web. 9 Desember 2014. 1:59 AM <amrinaroose.blogspot.in/2013/04/teori-falsifikasi-karl-raimund-popper.html?m=1>

Santoso, Listiyono. 2007. Pasca Positivisme by Listiyono. PPT. 27 November 2007.

Satria, Ferlian. “Auguste Comte Dan Aliran Positivisme”. blogspot.com. 26 September 2011. Web. 8 Desember 2014. 5:44 AM

<http://kishi-kun.blogspot.com/2011/09/auguste-comte-dan-aliran-positivisme.html>

Thornton, Stephen. “Karl Popper”. stanford.edu. 5 Februari 2013. Web. 9 Desember 2014. 2:19 AM <http://plato.stanford.edu/entries/popper/>

Trocim William M.K. “Positivism & Post-Positivism”.

Socialresearchmethods.net. 20 Oktober 2006. Web. 7 Desember 2014. 10:03 PM <http://www.socialresearchmethods.net/kb/positvsm.php>

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang pengolahan limbah cair industry penyamakan kulit dengan memanfatkan teknik fitoremediasi di dalam constructed wetland belum banyak

Pengertian dari saluran distribusi atau perantara distribusi adalah orang atau lembaga yang kegiatannya menyalurkan barang dari produsen sampai ke tangan konsumen dengan tujuan

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh profitabilitas dengan menggunakan ROE, profitabilitas dengan menggunakan ROE , interest coverage ratio, retained

FAKULTAS SYARIAH DAN DAKWAH JURUSAN.

Based on the results of the research done on the average return and the risk of conventional stock mutual funds, found that the average rate of return and

Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata efisiensi penggunaan modal kerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan

The objectives of this research are to examine the influence of company characteristics includes age of company, size, leverage, profitability, liquidity and growth

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Profit distribution management Perbankan syariah pada laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di Bank indonesia 2012-2015