• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PENGANUT AGAMA LOKAL DI KABUPATEN CILACAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PENGANUT AGAMA LOKAL DI KABUPATEN CILACAP"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PENGANUT

AGAMA LOKAL DI KABUPATEN CILACAP

LAPORAN PENELITIAN

Oleh

Ahmad Muttaqin

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

CILACAP

KERJASAMA DENGAN

(2)

EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP PENGANUT AGAMA LOKAL Oleh Ahmad Muttaqin

Pengantar

Secara sosiologis, agama muncul sebagai alternatif solutif atas persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan dan teknologi manusia. Sepanjang hidupnya, manusia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membutuhkan solusi. Secara faktual, upaya solutif menggunakan pengetahuan dan teknologi.1 Namun demikian, pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu mengalami hambatan dan tidak berfungsi memberikan solusi atas persoalan yang dihadapi. Dari situasi inilah kemudian manusia mencari solusi selain keduanya. Agama muncul sebagai alternatif pada saat pengetahuan dan teknologi tidak berfungsi bagi manusia mengatasi masalah. Agama dipilih karena memiliki nilai-nilai transendental yang dianggap mampu mengatasi hambatan empirisisme pengetahuan dan teknologi.

Melalui proses ini, kemunculan agama bagi manusia merupakan titik puncak kesadaran atas dunia empiris yang dialaminya. Agama memberi jaminan absolutisme di tengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan manusia atas kekuatan empiris yang mengitarinya. Agama menjadi refleksi atas eksistensi manusia yang terancam oleh situasi fisik di luarnya. Sebagai refleksi, agama bersifat murni dan fundamental bagi para pelakunya. Pada proses membangun kesadaran reflektif, setiap individu memiliki kebebasan subyektif dalam mengkonstruksi segala sesuatu yang menjadi obyek termasuk dalam hal agama.

Melalui proses reflektif tersebut, konstruksi agama pada individu bersifat privat, unik, dan genuin. Sifat inilah yang menjadikan orientasi agama bersifat menyeluruh dan merepresentasikan eksistensi nilai-nilai kemanusiaan para pemeluknya. Dengan kata lain, tidak ada konstruksi agama yang berorientasi membentuk kekacauan dan mempromosikan dehumanitas nilai-nilai kemanusiaan. Persoalan kemudian muncul pada saat agama genuin tersebut mengalami perkembangan melalui bertambahnya penganut dan struktur-struktur kelembagaannya. Saat agama mengalami pelembagaan atau formalisasi, ajaran dan nilai-nilai yang sebelumnya diproduksi dan direproduksi oleh para penganutnya tidak bisa diakses secara bebas. Individu sebagai pemilik nilai dan ajaran agama harus melalui pihak lain yang dianggap memiliki kewenangan lebih. Pihak ini yang disebut dengan elite agama. Kelompok ini menjadi pihak yang

1 James G Frazer melalui teori batas akal dan M. Crawly dengan teori krisis memiliki

(3)

memiliki otoritas keagamaan dan menjadi aktor kunci bagi praktik-praktik keagamaan yang berlangsung.2

Nilai dan ajaran agama tidak lagi diproduksi dan direproduksi oleh penganut secara partisipatif melainkan oleh elite. Ruang privilage yang dimiliki oleh elite ini berpotensi memunculkan masalah terutama dalam konstruksi nilai dan ajaran agama. Elite memiliki kepentingan tertentu yang berpengaruh signifikan terhadap proses produksi nilai dan ajaran agama. Pada saat kepentingan ini dominan maka konstruksi yang terbangun bersifat bias dan berorientasi kepada kepentingan elitis. Situasi inilah yang berdampak pada pelemahan komunitas-komunitas keagamaan. Nilai dan ajaran agama tidak lagi mendorong kepada spiritualitas tinggi untuk melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan, tetapi sebaliknya mengarahkan komunitas pada perilaku-perilaku naif dan tidak produktif.

Di Indonesia, terdapat dikotomi antara agama dan kepercayaan. Artinya kepercayaan dikategorikan bukan sebagai agama. Selama ini, agama diasosiasikan kepada bentuk-bentuk ritualitas atau aspek eksoteris yang tampak dari perilaku peribadatan. Dengan demikian maka pada saat terdapat ritualitas yang berbeda dengan kebanyakan akan dianggap bukan menjadi bagian agama. Ritual tersebut akan dianggap sebagai kepercayaan yang secara tidak langsung melabeli pelakunya sebagai orang yang tidak beragama atau tindakan yang tidak bisa dibenarkan melalui terminologi agama seperti musyrik, primitif, atau mistis. Pandangan terhadap pelaku ritual kepercayaan bersifat sumir dan stereotype.

Dikotomi antara kepercayaan dan agama berlanjut dalam bidang-bidang lain. Dalam proses interaksi sosial misalnya pelaku ritual kepercayaan dipandang berbeda dengan masyarakat agama pada umumnya. Karena dianggap berbeda maka penganut kepercayaan mengalami hambatan-hambatan dalam proses sosial yang berlangsung. Dalam kata lain, penganut kepercayaan sering dianggap sebagai orang atau kelompok yang sakit secara sosial atau patologis.3 Indikator

2 Saat agama mengalami pelembagaan atau formalisasi, ia memiliki resiko yang cukup

besar. Hal ini karena sesungguhnya kemunculan agama secara sosiologis merupakan kreasi atau konstruksi manusia. Karena prosesnya bersifat sosiologis, keterkaitan hubungan antara agama dengan pemeluknya bersifat sangat intim. Ketika agama menjelma menjadi sebuah lembaga, intimitas itu terputus. Hubungan antara pemeluk dengan agama terbatasi oleh pihak yang dianggap memiliki otoritas lebih yang disebut dengan agamawan. Kelompok ini yang kemudian menjadi representasi agama dalam berbagai hal termasuk memutus apakah perilaku tertentu sah atau tidak dalam perspektif agama. Kinerja agamawan yang cenderung elitis ini berpotensi mereduksi nilai-nilai agama. Motif orang beragama berubah dari spiritualisme menjadi ketertundukan atau ketakutan. Kondisi ini menjadikan orang beragama tidak manusiawi.

3 Seseorang atau kelompok akan dianggap patologis apabila berperilaku atau

(4)

patologisnya adalah diferentiatif dalam kepercayaan dan deviatif dalam perilaku keagamaan.

Selain itu, perlakuan berbeda juga diterima oleh penganut kepercayaan ini dalam hal pelayanan publik dasar. Penganut kepercayaan tidak memperoleh akses yang sama dengan orang lain misalnya pendidikan, perkawinan, dan kependudukan. Perbedaan layanan ini menunjukkan bahwa pemerintah menjadi salah satu pihak yang melakukan eksklusi sosial terhadap pengant agama lokal.

Profile Penghayat Kepercayaan di Cilacap

Secara kelembagaan, penghayat kepercayaan sesungguhnya tidak secara formal berada dalam satu institusi. Hal ini karena masing-masing penghayat memiliki watak dan karakteristik unik terutama dalam konsep ketuhanan dan transformasinya dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang berimplikasi terhadap tidak adanya lembaga tunggal yang secara organisatoris menjadi representasi kelompok-kelompok penghayat kepercayaan.

Beberapa lembaga yang merepresentasikan penghayat kepercayaan selama ini sesungguhnya bersifat parsial. Artinya tidak semua pengahat kepercayaan bersedia yang menjadi bagian dari organisasi asosiatif tersebut. Organisasi asosiatif itu hanya merepresentasikan secara politis kelompok-kelompok pengahayat kepercayaan yang menjadi anggotanya. Sementara itu, kelompok penghayat yang berda di luar organisasi asosiatif relatif lebih banyak yang tersebar pada beberapa wilayah dan komunitas di Kabupaten Cilacap.

Organisasi asosiatif pertama yang berada di Kabupaten Cilacap bernama Himpunan Pengahat Kepercayaan (HPK). Organisasi ini berbasis kepada pengorganisasian yang bersifat politis-administratif yang dilakukan oleh pemerintah untuk memetakan masyarakat berdasar pemeluk agama. Masyarakat yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan agama mainstream kemudian dikelompokkan pada satu wadah organisasi HPK. Tujuan pengorganisasi pada organisasi tunggal ini adalah; pertama, kontrol pemerintah terhadap aktivitas keagamaan warga. Pemerintah memiliki kepentingan besar untuk mengetahui dan mengontrol kegiatan keagamaan warganya. Hal ini terutama dimaksudkan sebagai basis bagi pemerintah memolakan kegiatan keagamaan dalam rangka penertiban dan pengendalian. Pengawasan dan kontrol di atas penting bagi pemerintah terkait dengan isu terorisme di Indonesia yang diidentifikasi sebagai bagian dari gerakan keagamaan. Aktivitas keagamaan baik yang bersifat mainstream maupun tidak diawasi dan dikendalikan secara sistematis melalui misalnya pembatan ruang dan geraknya.

(5)

Penyederhanaan ini dilakukan semata-mata untuk memudahkan proses pelayanan publik dasar.

Ketiga, HPK dilembagakan untuk membedakan dengan masyarakat yang berkeyakinan terhadap agama mainstream. Melalui pembedaan ini, proses kontrol dan pengawasan relatif menjadi lebih mudah. HPK akan terlokalisir pada wilayah atau isu tertentu yang apabila terjadi persoalan misalnya terorisme yang cenderung didientifikasikan menjadi sempalan gerakan Islam, maka HPK dengan sekian banyak penganutnya terposisikan sebagai kelompok luar. Sebaliknya ketika

ada persoalan yang terkait dengan misalnya isu tentang perilaku “musyrik” atau

hal-hal mistis lainnya maka kelompok HPK menjadi salah satu yang menjadi sumber informasinya.

Pada tahun 2012, pemerintah nasional kemudian membentuk sebuah organisasai sebagai wadah tunggal penghayat kepercayaan dengan nama Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI). Sebagai wadah nasional, MLKI kemudian membentuk kepengurusan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Secara administratif, MLKI berfungsi sebagai representasi tunggal yang dijadikan oleh pemerintah sebagai media berkomunikasi dengan masyarakat penghayat kepercayaan. Aliran dan lembaga-lembaga kepercayaan yang ada di Indonesia diharapkan bergabung dengan MLKI.

(6)
(7)

23

Jl.Versut no. Kec. Cilacap Selatan

Jl.Kemuning Rt.02/02 Ds.Tritih Lor

Jl.Kapiworo No. Dsn Dawuhan Ds.Ayamalas Kec.Kroya

Selain lembaga penghayat kepercayaan di atas, terdapat beberapa organisasi dan paguyuban yang tidak tergabung dengan MLKI. Tidak bergabungnya organisasi dan paguyuban ini disebabkan oleh persoalan teknis dan prinsip. Beberapa persoalan teknis tersebut adalah terkait jumlah atau identitas anggota. Pada beberapa paguyuban dan organisasi penghayat kepercayaan, keanggotaan bersifat sukarela dan didasarkan atas kepercayaan yang bersifat transendental. Keterlibatan seseorang pada aktivitas organisasi kepercayaan bersifat kebatinan dan akan menjadi pengikat yang kuat. Dengan pendekatan ini, beberapa paguyuban dan organisasi kepercayaan tidak mengembangkan hal-hal teknis terkait administrasi keanggotaan. Atas alasan ini beberapa paguyuban dan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belum bergabung dengan MLKI.

(8)

Adat Tradisi Anak Putu (ATAP) Desa Kalikudi

Adat Tradisi Anak Putu (ATAP) merupakan organisasi penghayat kepercayaan yang diinisiasi oleh masyarakat Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. ATAP mengakomodasi kelompok, komunitas atau paguyuban yang memiliki laku dan pandangan spiritual yang sama tentang Tuhan Yang Maha Esa dan tata kehidupan sehari-hari. Secara organisasi, ATAP bersifat terbuka terhadap kelompok dan komunitas di luar Kalikudi sepanjang memiliki pandangan dunia (world view) yang sama.

ATAP secara formal terbentuk pada tahun 2014. Sebelumnya, sejak tahu 2006, ATAP Rasa Sejati menjadi bagian dari Paguyuban Resik Kubur Jero Tengah (PRKJ). PRKJ memiliki basis anggota di Desa Pekuncen Kecamatan Kroya dan saat ini menjadi bagian dari organisasi MLKI Kabupaten Cilacap.

Salah satu paguyuban yang berada dalam payung ATAP adalah Paguyuban Resik Kubur Rasa Sejati (RKRS). Paguyuban RKRS merupakan salah satu kelompok sosial yang dibangun melalui solidaritas berbasis hubungan kekerabatan.4 Paguyuban RKRS secara eksklusif memobilisasi individu-individu dalam satu keturunan tertentu pada satu organisasi kelompok sosial yang memiliki aktifitas sosial-spiritual yang terpola. Individu-individu tersebut terikat secara moral – sosial dan berlangsung turun temurun.

Paguyuban RKRS berasal dari kelompok lokal adat yang eksistensinya sudah dimulai sejak Desa Kalikudi muncul. Hal ini karena sesungguhnya desa Kalikudi awalnya dibuka oleh leluhur yang diyakini merupakan generasi awal paguyuban RKRS di Kalikudi.

Pimpinan tertinggi dalam struktur Paguyuban RKRS adalah ”Bundele

Adat”. Dalam menjalankan aktivitas spiritualnya, Bundele Adat memberi

kewenangan penuh kepada ”kunci”. Kunci sebagai pelaksana aktivitas dibantu oleh 2 orang yang menempati posisi bahu tengen (kanan) dan bahu kiwe (kiri). Struktur ini bersifat tetap dan individu-individu dalam struktur tertentu mewariskan posisinya kepada keturunan langsung di bawahnya.

Dalam struktur paguyuban RKRS, terdapat 3 (tiga) pandangan yang menjadi dasar bagi ketatatertiban kehidupan manusia, yaitu tata batin, tata lahir, dan sejarah.5 Tiga pandangan ini harus dijalani dan ditaati oleh setiap orang agar keberlangsungan hidup dapat harmois. Tata batin, tata lahir, dan sejarah termanifestasikan dalam struktur paguyuban melalui pembagian fungsi masing-masing keturunan yang terwariskan secara turun temurun. Artinya adalah bahwa individu yang memiliki fungsi sebagai pengolah tata batin, tata lahir, dan sejarah akan mewariskan fungsinya kepada keturunan langsung di bawahnya dan tidak bisa dipertukarkan. Pertama, tata batin, yaitu suatu struktur dasar spiritual yang

4 Kekerabatan dimaknai sebagai hubungan pertalian darah atau nasab yang didasarkan

pada seseorang yang diposisikan paling tinggi. Pertalian darah ini dalam istilah jawa lebih populer

dikenal dengan “anak - putu” (anak – cucu). Hubungan berdasar anak cucu ini direproduksi melalui kegiatan-kegiatan baik yang bersifat sosial maupun spiritual yang diproyeksikan untuk

memperkuat eksistensi seseorang sebagai “pusat” anak – putu. Proyeksi memperkuat eksistensi

“pusat” anak – putu ini menjadi alat untuk solidaritas individu-individu yang terhubungkan secara nasab. Model penguatan sosial seperti ini disebut dengan solidaritas mekanis. Doyle Paul Johnson,

Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 182.

(9)

harus dimiliki oleh setiap anggota paguyuban. Tata batin terdiri dari beberapa tahap yang masing-masing saling berkoneksi dan memproyeksikan satu ketatatertiban spiritual yang holistik. Fungsi tata batin diperankan oleh anggota-anggota yang menempati posisi struktur bahu tengen.

Kedua, sejarah. Dalam pandangan paguyuban RKRS, sejarah manusia telah terstruktur rapi termasuk perubahan-perubahan yang terjadi. Manusia saat ini sesungguhnya hanya menjalani struktur yang telah terbentuk melalui proses panjang masyarakat sebelumnya melalui kalkulasi-kalkulasi unik yang didasarkan pada hitungan jawa. Struktur sejarah ini bersifat determinatif dalam pengertian menentukan semua arah aktifitas manusia di dunia. Struktur yang bersifat ajeg ini disusun berdasarkan indikator-indikator yang dimiliki manusia seperti pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing), mangsa (musim), dll. Indikator-indikator ini mempunyai hubungan spesifik dan membentuk ketertiban dalam mengatur kehidupan manusia. Kemampuan mengkoneksikan indikator-indikator ini membentuk struktur dasar tata tertib kehidupan manusia.6

Ketiga, tata lahir, yaitu ketentuan-ketentuan bertindak dan berperilaku yang harus dijalani oleh setiap anggota paguyuban. Setiap anggota terikat untuk melakukan tindakan dan perilaku yang secara massal diproduksi oleh paguyuban yang secara bertingkat terdapat 2 (dua) tata perilaku utama, yaitu punggahan dan pudunan.7 Punggahan adalah tata perilaku yang dilakukan untuk mempersiapkan

anggota-anggota paguyuban mengahadapi bulan puasa (Ramadlan). Punggahan

yang populer disebut ”nyadran” (bulan Sya’ban) merupakan perilaku yang

didesain massal dan diikuti oleh anggota paguyuban. Perilaku punggahan berupa

”mlaku” (jalan) dari Kalikudi ke 2 (dua) tempat utama sebagai sumber nilai

spiritualitas paguyuban yaitu Daun Lumbung di Cilacap dan Ki Bonokeling di Pakuncen, Jatilawang, Banyumas.

Sebaliknya pudunan adalah perilaku massal paguyuban pasca pelaksanaan puasa di bulan Ramadlan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, pudunan adalah bentuk syukur paguyuban setelah menjalankan ritual puasa sebulan penuh.

Pelaksanaan pudunan adalah bulan Syawal berupa ”mlaku” (jalan) dari desa

Kalikudi menuju Daun Lumbung di Cilacap dan Ki Bonokeling di Pekuncen, Jatilawang, Banyumas.

Selain Punggahan dan Pudunan, sumber perilaku juga diambil dari aktivitas spiritual lainnya seperti Resik Kubur Desa pada setiap hari Kamis pasaran wage. Ritual ini memberi referensi bagi anggota paguyuban RKRS terkait dengan cakal-bakal wilayah yang sampai saat ini ditempati. Resik kubur sebagai wahana bagi paguyuban untuk mentransformasikan moral dan etika pendahulu terhadap generasi kekinian. Melalui laku spiritual, transformasi diharapkan tercapai melalui perwujudan perilaku etik dan estetik.

6 Wawancara dengan Sunardi pada tanggal 17 September 2015.

7 Ritualitas yang terpola dalam tata lahir paguyuban sesungguhnya sangat banyak. Selain

yang terjadwal menyesuaikan momen tertentu seperti bulan Syura, Ruwah (Sya’ban), dan Syawal,

terdapat juga kegiatan yang secara sengaja didesain seebagai upaya memupuk solidaritas atau guyub rukun antaranggota paguyuban. Waktu yag biasa diguakan adalah lapanan (35 hari) dengan

(10)

Ritual resik kubur (membersihkan makam) ini kemudian ditindaklanjuti

pada malam harinya (malam Jum’at Kliwon) dengan menggelar sungkeman dan

setralan (pembahasan masalah-masalah aktual di komunitas). Setralan menjadi forum interaktif antaranggota paguyuban RKRS untuk memperbincangkan berbagai hal yang terkait dengan hajat hidup bersama. Pada forum setralan, pihak-pihak yang menjadi narasumber adalah bundele adat, kunci, bahu tengen, dan bahu kiwe. Masing-masing memberi penjelasan dan informasi sebagaimana fungsi struktur yang dilekatkan kepada mereka. Ritual ini kemudian ditutp dengan dzikir dan puji yang secara transendental diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pandangan paguyuban, 3 (tiga) struktur utama tersebut harus dijalani secara seimbang oleh setiap individu anggota paguyuban. Tindakan dan perilaku seseorang harus terjadi penyesuaian antara batin, lahir, dan sejarah sebagai track yag tidak bisa dihindari. Tata batin dan tata lahir merupakan 2 (dua) hal yang diupayakan dan direproduksi oleh paguyuban secara terus-menerus melalui proses pewarisan. Track yang digunakan dalam proses reproduksi tata lahir dan tata batin adalah sejarah. Di sinilah signifikansi sejarah sebagai struktur ajek dan representasi pandangan dunia paguyuban ATAP Rasa Sejati terhadap hidup dan ketatatertiban dunia manusia.

Ketiga fungsi utama di atas, individu yang menempati posisi struktur tertentu (kunci, bahu tengen, bahu kiwe, sejarah) menjadi referensi utama perilaku dan keputusan-keputusan kelompok sesuai persoalan yag berkembang. Dalam hal politik misalnya, keputusan anggota kelompok mutlak didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan individu yang menempati struktur dalam fungsi sejarah. Hal ini karena anggota memiliki kesadaran struktur yang menyejarah dan berjalan dalam jalur tertentu. Dengan mendasarkan pada pertimbangan individu pada struktur fungsi sejarah, tahapan-tahapan manusia menjalani sejarah tidak rusak. Dalam konteks keterjagaan sejarah inilah sesungguhnya inti dari pandangan kemanusiaan paguyuban ATAP Rasa Sejati.

Eksklusi Sosial terhadap Penghayat Kepercayaan

Salah satu isu krusial terkait eksistesi agama lokal adalah administrasi kependudukan. Dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia, agama merupakan unsur yang melekat pada setiap individu warga negara. Seemua warga negara harus mencantumkan identitas keagamaannya pada kolom yang disediakan, bahkan untuk warga yang belum cakap melakukan tindakan hukum seperti anak kecil atau orang yang sedang mendapat gangguan kejiawaan.

(11)

Dalam bidang perkawinan misalnya, pelayanan bagi umat Islam diselenggarakan melalui Kantor Urusan Agama (KUA), untuk agama lain melalui catatan sipil. Sementara itu, para pelaku dan penghayat kepercayaan memiliki ritual dan tata tersendiri dalam penyelenggaraan perkawinan. Padahal, pencatatan administrasi baik oleh KUA ataupun catatan sipil berpedoman pada prosesi perkawinan sesuai ajaran atau syari’at agama sesuai dengan data kependudukan calon mempelai. Administrasi model seperti ini dalam banyak kasus menjadi tersendiri karena terkait dengan keyakinan paling mendasar pada setiap orang.

Situasi di atas mulai terjadi perubahan sejak UU No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan diundangkan. Bagi warga negara yang memiliki keyakinan berbeda dengan agama-agama resmi diakomodasi untuk mengosongkan kolom pada data kependudukan. Di Kabupaten Cilacap, jumlah warga yang terekap tidak mencantumkan identitas keagamaan dalam KTP dan data kependudukan lainnya sebanyak 1.768 jiwa. Persebarannya dapat dilihat dalam tabel berikut:

No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah

Laki-Laki Perempuan

1 Binangun 33 36 69

2 Nusawungu 49 54 103

3 Kroya 11 7 18

4 Adipala 49 50 99

5 Kesugihan 19 18 37

6 Maos 31 12 43

7 Sampang 8 3 11

8 Jeruklegi 8 8 16

9 Kawunganten 78 71 149

10 Bantar Sari 110 126 236

11 Gandrungmangu 128 118 246

12 Karang Pucung 1 0 1

13 Sidareja 75 74 149

14 Kedungreja 22 24 46

15 Patimuan 11 15 26

16 Cipaari 89 83 172

17 Majenang 11 9 20

18 Cimanggu 7 8 15

19 Wanareja 101 108 209

20 Dayeuh Luhur 3 2 5

21 Kampung Laut 7 10 17

22 Cilacap Selatan 12 3 15

23 Cilacap Tengah 29 21 50

24 Cilacap Utara 7 9 16

Jumlah 899 869 1.768

(12)

Tabel 2

Kartu Penduduk Tanpa Identitas Agama

Jumlah penduduk dengan tanpa identitas agama dalam KTP apabila dikomparasikan dengan jumlah penganut kepercaayaan sebagaimana data MLKI prosentasenya masih sangat sedikit. Berdasar data MLKI Kabupaten Cilacap, jumlah penduduk yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha yang berbeda dengan agama-gama resmi sebanyak 99.000 jiwa. Jumlah ini akan bertambah karena masih banyak kelompok atau komunitas penganut kepercayaa yang belum tergabung dalam MLKI.

Dengan masih rendahnya prosentase penganut kepercayaan tercatat dengan sebenarnya dalam administrasi kependudukan maka potensi terhadap hilangnya hak-hak dasar publik yang memiliki keterkaitan dengan data kependudukan relatif tinggi. Beberapa hak dasar tersebut adalah pendidikan, perkawinan, penyelenggaraan peribadatan, dan aspek teknis lainnya. Hilangnya hak-hak dasar publik misalnya dapat dilihat dari data perkawinan di Kabupaten Cilacap yang mendasarkan pada agama lokal masih sangat minim. Data tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:

No Tahun Nama Komunitas Penghayat

Kepercayaan Jumlah

1 2012 Paguyuban Budaya bangsa 5 (lima) pasang 2 2013 Paguyuban Budaya Bangsa 4 (empat) pasang 3 2014 Paguyuban Budaya Bangsa &

Resik Kubur

4 (empat) pasang

Data Dinas Pendudukan dan Capil Kabupaten Cilacap

Tabel 3

Daftar Perkawinan dengan Agama Lokal

Dengan data ini dapat dipastikan bahwa anggota penghayat kepercayaan melaksanakan perkawinan menggunakan basis agama yang tercatat dalam identitas kependudukannya. Situasi yang paling minimal pada praktik perkawinan anggota penghayat kepercayaan adalah menggunakan 2 (dua) model, yaitu model sesuai dengan agama dalam administrasi kependudukan dan model asli sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Model sesuai agama administratif semata-mata dilakukan untuk memperoleh pelayanan legalitas dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau KUA. Proses ganda ini pada banyak hal memberi dampak psikologis dan sosiologis bagi pelaku-pelakunya.

(13)

adalah masyarakat yang sejak era orde baru disimplifikasi dalam 5 (lima) agama bertahan dengan administrasi yang ada.

Kedua, komunitas penganut kepercayaan memiliki kekhawatiran ketika mereka mengadministrasikan kependuduknnya sesuai dengan keyakinan yang dimiliki akan berdampak pada terbatasnya akses-akses terhadap pelyanan publik. Hal ini terjadi karena tidak ada lembaga di bawah struktur pemerintah yang dibentuk dan didesain untuk memberi pelayanan kepada masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dengan yang ditetapkan pemerintah. Dalam bidang pendidikan misalnya, guru agama pada sekolah-sekolah hanya disediakan untuk agama-agama resmi. Sementara untuk guru agama bagi penganut kepercayaan tidak difaasilitasi pemerintah.

Ketiga, persepsi sosial yang masih menganggap pelaku penghayat kepercayaan sebagai pelaku spiritual yang patologis. Persepsi ini berpengaruh terhadap proses interaksi yang terjadi terutama apabila terkait dengan proses-proses keagamaan dalam masyarakat. Pada sisi lain, keberadaan penganut

kepercayaan sebagai perilaku patologis dianggap sebagai sebuah “tontonan”

dalam kesadaran rekreatif masyarakat. Dalam konteks ini, keberbedaan dan deviasi penganut kepercayaan menjadi komoditas tertentu bagi masyarakat yang berperilaku keagamaan mainstream sekedar sebagai pemandangan yang dilihat secara fisik dan faktual.

Selain persoalan administrasi yang berpotensi menjadi basis bagi praktik eksklusi dan penghilangan hak-hak dasar komunitas, hal lain yang krusial adalah pandangan-pandangan dari kelompok agama. Bagi kelompok agama yang berorientasi kepada purifikasi keagamaan, komunitas penganut kepercayaan adalah musyrik. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan dalil dan teks keagamaan yang bersifat absolut. Bagaimana bersikap terhadap kelompok musyrik, kelompok purifikasi agama juga menggunakan dalil dan teks keagamaan. Artinya bertindak yang diarahkan kepada penganut kepercayaan yang didefinisikan musyrik juga memiliki panduan pasti dalam agama.

Mengembalikan kelompok penganut kepercayaan kepada syari’at agama

adalah keharusan dan menjadi kewajiban setiap individu beragama. Perilaku penghayat kepercayaan yang tidak menjalankan syari’at agama tertentu dianggap sebagai kesalahan yang harus diperbaiki. Persoalan yang kemudian menjadi kritis adalah pilihan metode-metode pendekatan yang antarkelompok agamma berbeda. Beberapa menggunakan pendekatan yang soft, sementara yang lain memilih pendekatan yang lebih hard.

Pandangan yang berbeda dimiliki oleh Nahdlatul Ulama (NU). Bagi NU, setiap individu yang mengakui keesaan Allah SWT maka ia secara transendental memiliki jaminan absolut di hari kemudian. Bahwa saat ini tidak menjalankan

syari’at agama, terutama Islam bukan menjadi alasan untuk memusuhinya. NU

menempatkan kelompok penganut kepercayaan sebagai sasaran dakwah yang

tidak selalu berorientasi kepada praktik ibadah atau syari’at yang bersifat mahdloh (murni).8

8 Disarikann dari wawancara dengan sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama

(14)

Dakwah NU terhadap kelompok penganut kepercayaan bersifat humanistik dengan tujuan utama menjaga agar prinsip-prinsip kemanusiaan tetap berlangsung. Dakwah humanistik disasar kepada hal-hal dasar yang menjadi kebutuhan asasi manusia seperti hak-hak memperoleh pendidikan yang layak, pelayanan administrasi yang tidak diskriminatif, dan kelayakan berekonomi dan berusaha. 3 (tiga) area dakwah humanistik inilah yang menjadi pedoman NU menjalankan aktivitas transformasi Islam terhadap masyarakat termasuk kelompok penganut kepercayaan.

Inisiatif Memperluas Penerimaan Sosial

Selain persoalan administrasi kependudukan, eksklusi sosial terhadap penganut kepercayaan sesungguhnya didasarkan atas persepsi yang tidak utuh dari pihak-pihak ekskluder (pingak yang mengucilkan). Persepsi tersebut antara lain pertama, bahwa penganut kepercayaan merupakan kelompok patologis dalam keagamaan karena memiliki keykinan yang diferentiatif dan deviatif dengan yang umum. Karena itum, kelompok ini dianggap aneh dan menyimpang yang berlanjut pada identifikasi dalam bentuk term-term yang tidak bisa diterima oleh kognisi sosial seperti musyrik, pelaku takhayul, magis, dll.

Kedua, dalam perspektif keagamaan yang cenderung purifikatif, penganut kepercayaan dikategorikan sebagai manusia tidak sempurna dan pelaku dosa. Bagi paham ini, setiap pelaku dosa harus disadarkan dengan pendekatan yang keras dan tidk ada alternatif untuk mengakomodasinya. Melalui perspektif ini, penganut kepercayaan adalah kelompok sasaran yang harus dipaksa mengikuti ajaran-ajaran sesuai dengan agama tertentu. Dalam bahasa lain, penganut kepercayaan menjadi bentuk dari kelompok-kelompok manusia yang tersesat.

Ketiga, keberbedaan yang dimiliki penganut kepercayaan dianggap sebagai keunikan yang bisa dijadikan komoditas. Perspektif ini memposisikan penganut kepercayaan bissa menjadi sumber komersialisasi dalam bentuk pertunjukan dan obyek wisata. Dalam konteks ini, ironi dialami oleh penganut kepercayaan di mana dalam satu sisi secara sosial dianggap patologis, sementara di sisi lain menjadi sumber keuntungan melalui komersialisasi pertunjukan.

Atas situasi ini, persoalan yang krusial dihadapi kelompok penganut kepercayaan adalah rendahnya resepsi sosial yang bersumber pada asumsi-asumsi patologis. Perubahan pada asumsi-asumsi patologis ini menjadi titk masuk (entry pointi) bagi upaya meningkatkan resepsi sosial terhadap penganut kepercyaan. Dalam rangka merubah asumsi-asumsi patologis, beberapa inisiatif dilakukan oleh masyarakat. NU melalui perangkat organisasinya, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) melakukan program kepedulian yang secara strategis berada dalam 3 (tiga) ranah utama, yaitu rekognisi, distingsi, dan transformasi sosial.

(15)

sangat mungkin berbeda dengan bentuk yang ditampilkan oleh orang atau pihak lain. Namun demikian, aspek esoteris keagamaan tentang misalnya dzat Tuhan Yang Maha Esa antara satu dengan yang lain adalah sama. Dengan demikian rekognisi sosial ini diarahkan untuk memahami secara esesial dari bentuk-bentuk keagamaan penganut kepercaayaan.

Distingsi merupakan kesadaran bahwa masing-masing kelompok keagamaan memiliki keunikan, perbedaan, dan kecenderungan yang berbeda. Atas perbedaan tersebut masing-masing kelompok keagamaan didorong memiliki kesadaran inklusif. Melalui kesadaran ini, sikap dan perilaku yang diarahkan pada kelompok pengahayat kepercayaan tidak menggunakan standar subyektif. Sebaliknya, standar yang digunakan menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku pada kelompok sasaran sebagai sifat dan karakter distingtif.

Transformasi sosial menjadi pendekatan strategis yang berorientasi untuk mendinamisasi hubungan-hubungan sosial antara penganut kepercayaan dengan masyarakat umum. Hubungan sosial selama ini terbangun dalam situasi ketegangan (tention) yang apabila dibiarkan bisa menjadi sumber-sumber konflik.

Inisiatif memperluas penerimaan sosial bagi penganut kepercayaan menjadi agenda yang terus berlangsung (on going process). Proses ini sesungguhnya tidak berujung karena kemanusiaan tidak memiliki bentuk yang standar dan ajeg. Artinya sebagai proses memanusiakan manusia, penerimaan sosial terhadap kelompok penganut kepercayaan menjadi agenda yang terus dilakukan dan menjadi tugas setiap manusia mewujudkan cita-cita risalah agama. Meningkatkan tingkat penerimaan sosial kelompok penganut kepercayaan adalah tugs kemanusiaan. Sama halnya seorang utusan yang senantiasa melaksanakan tugas profetisnya mewujudkan kemanusiaan melalui transformasi ajaran-ajarannya.

Daftar Bacaan

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Rosda, 2000.

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah MZ. Lawang, Jakarta: Gramedia, 1988.

Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 1996.

Heru Nugroho, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Iman Budhi Santosa, Spiritualisme Jawa, Sejarah, Laku dan Intisari Ajaran,

Yogyakarta: Memayu Publishing, 2012.

Mark Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LkiS, 2008.

Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Gambar

Tabel 1 Daftar Nama Penghayat Kepercayaan MLKI
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Ali fikri (2015) yang berjudul pengaruh penerapan standar akuntansi pemerintahan, kompetensi aparatur dan peran audit internal terhadap kualitas informasi laporan

Perubahan besar dan ketara telah berlaku dalam bidang pengajaran dan pembelajaran bahasa iaitu pembelajaran berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat

Suatu negara itu perlu melakukan tindakan untuk mengetahui peningkatan suatu perolehan pendapatan agar masyarakat bisa menyambung hidup khususnya untuk Usaha Kecil,

Hasil penelitian yang pertama adalah tentang upaya guru pendidikan agama islam dalam membina akhlak siswa SMA Taruna Dra Zuleha yang diperoleh dari wawancara kepada guru

Sumber: Data dari hasil pengolahan SPSS Dari itabel i4 idiatas imenunjukkan ibahwa inilai ikoefisien ikorelasi iberganda ipada ipenelitian iini isebesar i0.933 iatau imendekati

Membentuk Tim Terpadu Percepatan Penyelesaian Pengalihan Personel, Pendanaan, Sarana dan Prasarana serta Dokumen (P3D) Pelabuhan Pengumpan Regional dan Pelabuhan

Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh