BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Perbankan 2.1.1.1 Pengertian Bank
Bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali dalam berbagai alternatif investasi. Sehubungan dengan
fungsi penghimpun dana ini, bank sering juga disebut dengan lembaga kepercayaan.
Berbeda halnya dengan perusahaan lain, transaksi usaha bank senantiasa berkaitan
dengan uang, karena memang usaha komoditi bank adalah uang. Sejalan dengan
karakteristik usahanya tersebut, maka bank merupakan suatu segmen usaha yang
kegiatannya banyak diatur oleh pemerintah.
Pengertian Bank menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang perbankan yang kemudian dikembangkan oleh Undang-Undang Nomor 10
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
2. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya dapat memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2.1.1.2Fungsi Bank
Secara umum, fungsi utama bank (dalam Triandaru, et al. 2006 : 9) adalah
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat
untuk berbagai tujuan. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of
trust, agent of development, dan agent of services.
1. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal menghimpun dana maupun menyalurkan dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsure kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalah gunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapay ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitor atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsure kepercayaan, debitor akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitor akan mempunyai kemampuan untuk membayar pinjaman pada saat jatuh tempo, dan debitor mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo.
2. Agent of development
memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
3. Agent of services
Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
Ketiga fungsi bank ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan
lengkap mengenai fungsi bank dalam perekonomian, sehingga bank tidah hanya dapat
diartikan sebagai lembaga perantara keuangan.
2.1.1.3Jenis Bank
Dalam praktik perbankan di Indonesia saat ini terdapat beberapa jenis
perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Perbedaan jenis perbankan
dapat dilihat dari segi fungsi bank serta kepemilikan bank. Dari segi fungsi bank
perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang
ditawarkan maupun jangkauan wilayah operasinya. Sedangkan kepemilikan
perusahaan dilihat dari segi pemilikan saham yang ada serta akte pendiriannya.
Perbedaan lainnya adalah dilihat dari segi siapa nasabah yang mereka layani apakah
masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu. Jenis perbankan dibagi ke
Dilihat dari segi fungsinya bank dibedakan atas (1) Bank Sentral (2) Bank
Umum (3) Bank Perkreditan Rakyat. Jenis bank berdasarkan kepemilikannya
dibedakan atas (1) Bank milik pemerintah (2) Bank milik swasta nasional (3) bank
milik asing. Apabila dilihat dari segi cara menentukan harga bank dibedakan atas (1)
Bank Konvensional (2) Bank Syariah.
2.1.2 Bank Konvensional
2.1.2.1 Pengertian Bank Konvensional
Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang
berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa
Indonesia dimana asal mula bank Indonesia dibawa oleh koloni belanda.
Menurut pedoman Bank Indonesia (Sastradipoera, 2004: 138), sebuah bank
disebut bank konvensional apabila didalam aktivitasnya baik dalam usaha
memobilisasi maupun dalam investasi dananya, memberikan dan mengenakan bunga
(yaitu, pengganti kerugian yang disebabkan oleh hilangnya likuiditas, atau balas jasa
yang diterima atas uang yang dipinjamkan, biasanya dinyatakan dalam persentase).
Bank konvensional yaitu bank yang dalam aktivitasnya, baik menghimpun
dana ataupun dalam meyalurkan dananya memberikan dan mengenakan imbalan
dalam persentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu. Keuntungan utama
dari bisnis perbankan yang berdasarkan prinsip konvensional diperoleh dari selisih
bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan dengan bunga pinjaman atau
spread based. Apabila suatu bank mengalami kerugian dari selisih bunga, dimana
suku bunga simpanan lebih besar daripada suku bunga kredit, maka istilah ini dikenal
dengan negative spread.
2.1.2.2 Sumber Dana Bank
Sumber dana bank (Kasmir, 2004:19) adalah usaha bank dalam memperoleh
dana untuk membiayai kegiatan operasinya. Untuk menopang kegiatan bank sebagai
penjual uang (pemberi pinjaman) bank terlebih dahulu harus membeli uang
(menghimpun dana) sehingga dengan selisih bunga tersebut bank mendapat
keuntungan. Jenis-jenis sumber dana bank antara lain sebagai berikut:
1. Dana bersumber dari bank itu sendiri (modal sendiri) yaitu setoran
modal dari para pemilik atau bank menjual saham baru kepada pemilik
baru atau cadangan laba yang belum digunakan.
2. Dana berasal dari masyarakat luas seperti simpanan tabungan,
rekening giro dan deposito.
3. Dana berasal dari lembaga lain yaitu likuiditas dari Bank Indonesia,
pinjaman antar bank, pinjaman dari bank luar negri, dan Surat Berharga
2.1.2.3 Kegiatan Usaha Perbankan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai lembaga keuangan,
kegiatan bank sehari-hari tidak akan lepas dari bidang keuangan. Adapun
kegiatan-kegiatan perbankan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Mengimpun dana dari masyarakat (funding) dalam bentuk: a. Simpanan Giro (Demand Deposit)
b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit) c. Simpanan Deposito (Time Deposit)
2. Menyalurkan dana ke masyarakat (Lending) dalam bentuk: a. Kredit investasi
b. Kredit modal kerja c. Kredit perdagangan
3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya (services) seperti: a. Transfer (Kiriman Uang)
b. Inkaso (Collection) c. Kliring (Clearing)
d. Safe deposito box
e. Bank Card
k. Cek Wisata (Travelers Cheque) l. Jual beli surat-surat berharga
m. Menerima setoran-setoran seperti pembayaran pajak, telepon, air, dan uang kuliah
n. Melayani pembayaran-pembayaran seperti:
gaji/pensiun/honorarium, dividen, kupon dan bonus/hadiah. o. Dan jasa-jasa lainnya.
2.1.3 Bank Syariah
2.1.3.1Pengertian Bank Syariah
Menururt Siamat (2005:407), Perbankan syariah pada dasarnya adalah
syariah Islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Maksud dari sistem
yang sesuai dengan syariah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan
syariah islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan
menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur riba dan melakukan kegiatan
investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan sedangkan kegiatan usaha dengan
mengacu pada Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dimaksudkan beroperasi mengikuti
larangan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul Muhammad
SAW.
Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dalam UU No.7 Tahun 1992
tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah termasuk unit usaha syariah
dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Sedangkan yang dimaksud dalam Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara pihak bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau penyimpanan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya
yang sesuai dengan syariah, antara lain:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah);
d. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilhan (ijarah);
atau
e. Dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
2.1.3.2 Kegiatan Usaha Bank Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 62/24/PBI/2004 tentang
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Penghimpun dana (funding)
2. Penyalur dana dan pembiayaan (financing)
3. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank service)
1. Penghimpun Dana
Penghimpun dana atau disebut juga funding adalah kegiatan penarikan dana
atau penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi
berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan penghimpun dana, dalam prinsip
syariah dibedakan antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan simpanan
yang memberikan imbalan.
Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah dapat disebutkan
sebagai berikut: (Simorangkir, 2000: 42)
b. Tabungan berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah dan atau Al Mudharabah; atau
c. Deposito Berjangka berdasarkan prinsip Al-Mudharabah;
a. Prinsip Al-Wadi’ah
Produk pendanaan pada Bank Syariah pada prinsipnya tidak berbeda dengan
produk pendanaan bank konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan
prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk pendanaan, misalnya bahwa
giro dan tabungan pada dasarnya dilakukan dengan prinsip Al-Wadi’ah. Giro
Al-Wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-duanya dapat ditarik
sewaktu-waktu. Prinsip titipan atau simpanan dalam fiqhi dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah
berarti titipan murni dari nasabah kepada pihak bank atau pihak lain yang harus
dijaga dan dikembalikan kepada penitip (penabung) kapan saja dia inginkan.
b. Prinsip Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana
untuk melakukan kegiatan usaha tertantu, dengan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak dengan nisbah yang disepakati sebelumnya. Sementara Antonio
(2001) dalam Triandaru (2006) mendefinisikan Al-Mudharabah adalah Tabungan dan
Deposito Berjangka. Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak
pemilik dana (penabung), prinsip Al-Mudharabah dapat dibedakan dalam 2 (dua)
1) Mudharabah Muthlaqah; dan
2) Mudharabah Muqayyadah.
1) Mudharabah Muthlaqah
Mudharabah Muthlaqah adalah kerjasama antara pemilik dana (shahibul
maa) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan wilayah bisnis. Artinya, pemilik dana memberikan
kepada pihak bank kekuasaan yang sangat besar dalam penggunanaan dana
simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip
Mudharabah Muthlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening Tabungan dan
Deposito Berjangka. Ini menyebabkan kemungkinan 2 (dua) jenis penghimpunan
dana berdasarkan prinsip syariah yaitu: Tabungan Al-Mudharabah dan Deposito
Berjangka Al-Mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi pihak
bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
2) Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah merupakan simpanan dana khusus (restricted
investment) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti
oleh bank. Mudharabah Muqayyadah merupakan kebalikan dari Mudharabah
2. Penyaluran Dana
Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank Syariah tetap berpedoman
kepada prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, bank
diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan
azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang dilakukan Bank
Syariah dalam melaksanakan operasinya secara garis besar dapat dibedakan kedalam
4 (empat) kelompok sebagai berikut:
a. Prinsip jual beli (Bai’)
b. Prinsip bagi hasil
c. Prinsip sewa menyewa
d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh
a. Prinsip jual beli (Bai’)
Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 (tiga) jenis prinsip jual beli (bai’)
yang banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan
modal kerja dan produksi, yaitu sebagai berikut: (Karim, 2004: 97)
1) Bai’ al murabahah
2) Bai’ as-salam
3) Bai’ al-Istis
Bai’ al murabahah pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh
nasabahnya, bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang
yang dipesan atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual barang tersebut
kepada nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang telah disepakati.
Nasabah dalam hal ini dapat membeli jenis transaksi tunai, cicilan atau tangguhan.
Umumnya nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan.
2. Bai’ as-salam
Bai’ as-salam adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya (delivery)
dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka secara tunai.
Bai’ as-salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka
pendek untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri lainnya.
Barang yang dibeli harus diketahui secara jelas jenis, macam, ukuran, mutu dan
jumlahnya. Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad dan tidak
boleh berubah selama berlakunya akad. Apabila barang atau hasil produksi yang
diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka penjual dan produsen harus
bertanggung jawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau
mengganti dengan barang yang sesuai dengan pesanan.
c. Bai’ Al-Istishna’
Bai’ Al-Istishna’ pada dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli
dan pembuat barang dengan pembayaran dimuka, baik secara tunai, cicilan, atau
pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja
membuat barang yang dipesan atau dibeli sesuai dengan spesifikasi pesanan yang
dilakukan dalam kontrak kemudian menjualnya kepada pembeli. Prinsip bai’
Al-Istishna’ ini merupakan bai’ as-salam namun dalam istishna’ pembayaran dapat
dilakukan dimuka, dicicil atau ditangguhkan. Sementara dalam bai’ as-salam
dilakukan secara tunai.
b. Prinsip Bagi Hasil
Prinsip kedua dalam penyaluran dana adalah prinsip bagi hasil. Bagi hasil atau
profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari empat jenis
akad, yaitu: al-Mudarabah, al-Musyarakah, al-Muzara’ah, dan al-Musaqah. Namun
yang paling banyak diimplementasikan dalam perbankan syariah adalah dua prinsip
bagi hasil pertama, yaitu al-Mudarabah dan al-Musyarakah sementara yang dua
terakhir umumnya digunakan dalam rangka plantation financing.
1. Al-Musyarakah
Bank Indonesia mendefenisikan Al-Musyarakah sebagai suatu perjanjian
diantara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka
pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan diantara pemilik
dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Musyarakah dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan
proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
perdagangan (trading asset), property, equipment, atau intangible asset
(seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat
dinilai dengan uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek
musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut
serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana
proyek.
2. Al-Mudharabah
Al-Mudharabah pada dasarnya adalah perjanjian kerja sama antara dua
pihak atau lebih dimana salah satu pihak lainnya menyediakan tenaga atau
keahlian. Beberapa ahli fiqih berpendapat bahwa Al-Mudharabah tidak
dikelompokkan kedalam prinsip Al-Musyarakah.
c. Prinsip Sewa Menyewa
Prinsip ketiga dalam penyaluran dana Bank Syariah adalah sewa menyewa.
Sewa menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna usaha atau leasing.
Oleh karena itu, sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam bentuk
sewa guna usaha dengan hak opsi atau financial lease dan sewa guna usaha tanpa hak
opsi atau operating lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini dibedakan
berdasarkan akad, yaitu: al-ijarah, al-muntahiya bit tamlik.
1. Al-Ijarah
Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu
pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Bank Indonesia
mendefinisikan ijarah sebagai perjanjian sewa menyewa suatu barang dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri.
2. Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik
Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik adalah akad atau perjanjian yang
merupakan kombinasi antara jual beli dan sewa menyewa suatu barang antara
bank dengan nasabah dimana nasabah (penyewa) diberi hak untuk memiliki
atau membeli objek sewa pada akhir akad. Dalam transaksi sewa guna usaha
(leasing), perjanjian ini disebut sale andleaseback. Harga sewa dan harga beli
ditetpkan bersama diawal perjanjian. Objek sewa harus bermanfaat,
dibenarkan oleh syariah dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan atau
diukur. Pada umumnya bank-bank syariah lebih memilih perjanjian sewa-beli
seperti ini (Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik) karena lebih mudah
pembukuannya dan tidak memerlukan perawatan terhadap aset yang
sewa-beli.
d. Prinsip Pinjam Meminjam Berdasarkan Akad Al-Qardh
Prinsip keempat dalam penyaluran dana Bank Syariah yaitu prinsip pinjam
meminjam berdasarkan qardh. Bank Indonesia mendefinisikan Al-Qardh sebagai
penyedia dana atau tagihan antar Bank Syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus atau secara cicilan
sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dengan kata lain Qardh meminjam tanpa mengharapkan imbalan.
2.1.4 Perbedaan Bank Konvensional Dengan Bank Syariah
Menurut Triandaru, et.al (2006:156), perbedaan yang mendasar antara bank
konvensional dan bank syariah, antara lain:
1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok pada bank konvensional dan bank syariah terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank Syariah tidak melaksanakan sistem
bunga dalam keseluruhan aktivitasnya. Sedangkan bank konvensional justru
kebalikan dari bank syariah. Pada dasarnya semua transaksi perniagaan
melalui bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga
(riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound
interest yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya
kewajiban salah satu pihak.
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan
maupun investasi. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah
membutuhkan bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan
disalurkan kedalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada
nasabah.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar zakat, menghimpun mengadministrasikannya, dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infaq dan sedekah).
4. Struktur Organisasi
Didalam strukutur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya
Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas
bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh
Dewan Pengawas Syariah Nasional (DPSN).
Secara singkat perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah dapat
Tabel 2.1
Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
No Bank Syariah Bank Konvensional
1 Berinvestasi pada usaha yang
halal Bebas nilai
2 Atas dasar bagi hasil, margin
keuntungan dan fee Sistem bunga
3 Besaran bagi hasil berubah-ubah
tergantung kinerja usaha Besaraanya tetap 4
Profit falah oriented Profit oriented
5
Pola hubungan kemitraan Hubungan debitur kreditur
6
Ada dewan pengawas syariah Tidak ada lembaga sejenis
Sumber: Triandaru, et.al (2006:157)
Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering kali menjadi bahan
pertanyaan dan selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan
konvensional. Untuk menjelaskan keduanya, pada Tabel 2.2 berikut ini
Tabel 2.2
Perbandingan Sistem Bagi Hasil dan Sistem Bunga
No Sistem bunga Sistem bagi hasil
1 Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank
Penentuan besarnya risiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi 2 Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya risiko (nisbah) bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh 3 Tidak tergantung pada kinerja
usaha jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai peningkatan bagi hasil.
4
Eksistensi bunga diragukan kehalalanya oleh semua agama termasuk agama islam
Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil
5 Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa
pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak Sumber: Triandaru, et.al (2006:157)
2.1.5 Risiko finansial
Risiko adalah peluang (kemungkinan) terjadinya bencana. Oleh karena itu,
risiko dari sudut pandang bank didefinisikan sebagai peluang dari kemungkinan
terjadinya situasi yang memburuk (Masyhud, 2006:3)
Menurut Idroes (2008:4), “Risiko merupakan bahaya: risiko adalah ancaman
berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai.” “Risiko juga merupakan peluang:
risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan.”
Banyak teori yang tersedia untuk mendefinisikan jenis-jenis risiko dalam
menjalankan bisnis perbankan. Pada dasarnya jenis-jenis yang dihadapi dapat dibagi
dua kelompok besar yaitu risiko finansial dan risiko nonfinansial. Risiko finansial
terkait dengan kerugian langsung berupa hilangnya sejumlah uang akibat risiko yang
terjadi. Pada sisi lain dampak risiko nonfinansial tidak langsung dapat dirasakan.
Kasus seperti ketika kehilangan nasabah dan kehilangan bisnis akibat risiko yang
terjadi tidak langsung membuat bank menjadi rugi. Namun pada gilirannya, risiko
nonfinansial berpotensi untuk menimbulkan kerugian finansial. (Idroes, 2008: 22)
Jenis-jenis risiko yang dihadapi oleh perbankan adalah risiko kredit, risiko
pasar, risiko operasional, risiko konsentrasi kredit, risiko suku bunga, risiko bisnis,
risiko strategik, serta risiko reputasional. Sedangkan yang termasuk dalam risiko
finansial adalah: risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, konsentrasi kredit serta
risiko suku bunga. (Idroes, 2008: 22)
Dengan penjelsana risiko keuangan bank, maka untuk mengukur tinggi
rendahnya risiko suatu bank tersebut, maka diperlukan metode analisis. Adapun
metode analisis yang digunakan untuk mengukur risiko keuangan bank tersebut
adalah analisis rasio dan mengukur tingkat kebangkrutan bank tersebut digunakan
2.1.6 Pengukuran Rasio Keuangan Perbankan
Untuk melihat kondisi keuangan suatu bank maka dapat dilihat dari laporan
keuangan yang disajikan oleh suatu bank secara periodik. Berdasarkan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP Tanggal 14 Desember 2011 tentang Pedoman
Perhitungan Rasio Keuangan Perbankan, suatu bank dapat dinilai dari rasio-rasio
CAMEL yaitu Capital, Asset, Management, Earning, dan Liquidity. Rasio tersebut
terdiri dari:
1. Permodalan (capital)
Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi bank dalam rangka
mengembangkan usaha dan menopang risiko kerugian yang mungkin
timbul dari penanaman dana dalam aktiva-aktiva produktif yang
mengandung risiko serta untuk membiayai penanaman dalam aktiva
lainnya.
Rasio-rasio dari aspek permodalan yaitu:
a. Capital Adequacy Ratio (CAR), merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk
menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko.
CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah
seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan,
surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal
sendiri disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
CAR =
b. Rasio Aktiva Tetap terhadap Modal (ATTM). Rasio ini mengukur
kemampuan manajemen bank dalam menentukan besarnya aktiva
tetap dan inventaris yang dimiliki bank yang bersangkutan terhadap
modal. Semakin tinggi rasio ini artinya modal yang dimiliki bank
kurang mencukupi dalam menunjang aktiva tetap dan inventaris
sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan
semakin besar.
ATTM =
2. Kualitas Aktiva Produktif (Asset)
Kualitas aktiva produktif adalah semua aktiva dalam rupiah atau valas
yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk memperoleh penghasilan
sesuai dengan fungsinya, yaitu: pemberian kredit, kepemilikan surat-surat
berharga, dan penempatan dana kepada bank lain baik dari dalam maupun
luar negeri terkecuali penanaman dana dalam bentuk giro atau
penyertaan.
Keadaan kualitas aktiva produktif akan terus dipantau oleh pihak bank
karena kualitas aktiva produktif dalam neraca bank akan mempengaruhi
yang dilakukan dalam aktiva produktif akan dinilai kualitasnya dengan
menentukan kolektibilitas dari aktiva yang bersangkutan.
3. Kualitas Manajemen (Management)
Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tigkat kesehatan bank
dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap
bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan
menggunakan status kuesioner yang dikelompokan dalam dua kelompok
besar, yaitu kuesioner kelompok manajemen umum dan kuesioner
manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya
dibagi dalam subkelompok pertanyaan yang berkaitan dengan (1) strategi,
(2) struktur, (3) sistem, (4) sumber daya manusia, (5) kepemimpianan, (6)
budaya kerja, sementara itu, untuk kuesioner manajemen resiko dibagi
dalam subkelompok yang berkaitan dengan (1) risiko likuiditas, (2) risiko
pasar, (3) risiko kredit, (4) risiko operasional, (5) risiko hokum, dan (6)
risiko pemilik dan pengurus.
4. Rentabilitas (Earning)
Penilaian rentabilitas penting karena menyangkut kemampuan bank
dalam memperoleh laba. Dengan laba yang kuat bank akan dapat
berkembang dengan baik. Rentabilitas digunakan untuk menilai
keberhasilan bank dalam menghasilkan laba sebelum pajak melalui
berdasarkan kemampuan bank manghasilkan laba setelah pajak
berdasarkan modal yang dimiliki. Selain itu, rentabilitas juga dapat dilihat
dari pendapatan bunga bersih yang mampu dihasilkan pihak bank bila
dibandingkan dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh pihak bank.
Rentabilitas juga dinilai berdasarkan total beban operasional yang
ditanggung oleh pihak bank dibandingkan dengan kemampuan bank
dalam menghasilkan pendapatan operasional.
a. Return on Asset (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba
sebelum pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total aset bank yang
bersangkutan. Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat
keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank
dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Laba sebelum pajak
adalah laba bersih dari kegiatan operasional sebelum pajak.
Sedangkan rata-rata total aset adalah rata-rata volume usaha atau
aktiva.
ROA =
b. Return on Equity (ROE) Rasio ini digunakan untuk mengukur
kinerja manajemen bank dalam mengelolah modal yang tersedia
untuk menghasilkan laba setelah pajak. Semakin besar ROE,
kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.
Laba setelah pajak adalah laba bersih dari kegiatan operasional
setelah dikurangi pajak sedangkan rata-rata total ekuitas adalah
rata-rata modal inti yang dimiliki bank, perhitungan modal inti
dilakukan berdasarkan ketentuan kewajiban modal minimum yang
berlaku.
ROE =
c. Net Interest Margin (NIM), Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya
untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga
bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga.
Semakin besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas
aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan suatu
bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.
NIM =
d. Beban Operasi Terhadap Pendapatan Operasi (BOPO), Rasio yang
sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya
operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio
yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam
kondisi bermasalah semakin kecil. Biaya operasional dihitung
berdasarkan penjumlahan dari total beban bunga dan total beban
operasional lainnya. Pendapatan operasional adalah penjumlahan
dari total pendapatan bunga dan total pendapatan operasional
lainnya.
BOPO =
5. Likuiditas
Likuiditas diukur dengan kemampuan perusahaan memenuhi
kebutuhannya, misalnya untuk rasio lancar (quick ratio) digunakan untuk
mengukur kemampuan aktiva lancar dalam menjamin hutang lancar
perusahaan.
LDR (Loan to Deposit Ratio), Rasio ini digunakan untuk menilai
likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi jumlah kredit yang
diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin tinggi
rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang
bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak
termasuk kredit kepada bank lain, sedangkan untuk dana pihak
ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposit
LDR =
2.1.7 Analisis Diskriminan Z-Score
Rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari
suatu perusahaan. Keterbatasan analisis rasio timbul dari kenyataan bahwa
metodologinya pada dasarnya bersifat univariate, yang artinya setiap rasio diuji
secara terpisah. Pengaruh kombinasi dari beberapa rasio hanya didasarkan pada
pertimbangan para analis keuangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan
analisis rasio digunakan analisis diskiminan. Analisis diskriminan menghasilkan
suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari
beberapa pengelompokan yang bersifat a priori (Sawir, 2005:22)
Analisis Z-Score dikembangkan oleh Prof. Edward Altman dengan tujuan
untuk mendeteksi apakah suatu perusahaan diambang kebangkrutan (financial
distress). Metode ini disebut juga dengan Multiple Discriminant Analysis (MDA).
Oleh karena itu analisis ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuangan suatu
Bentuk dari fungsi analisis ini adalah sebagai berikut:
X4 = Nilai pasar ekuitas/ nilai buku dari total kewajiban
X5 = Penjualan/ total aktiva
Z = Indeks secara keseluruhan
Untuk menganalisis hasil perhitungan model Z-Score, digunakan angka
interpretasi yang dikembangkan oleh Prof. Edward Altman, yang akan
mendiskriminasi posisi suatu perusahaan apakah akan bangkrut atau tidak yang dapat
dilihat sebagai berikut
Tabel 2.3
Kriteria Analisis Z-Score
Score Prediction
Z > 2.99 Dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat sehat sehingga tidak mengalami kesulitan keuangan
1.81 Z 2.99 Berada di daerah abu-abu sehingga dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan, namun mungkin terselamatkan dan kemungkinan juga bangkrut sama besarnya, tergantung dari kebijaksanaan manajemen perusahaan sebagai pengambil keputusan
Nilai Z yang semakin besar, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan tidak
mengalami kegagalan usaha. Hasil penelitian ini, hanya signifikan untuk prediksi
selama dua tahun ke depan. Formula Altman Z-Score merupakan kombinasi dari
beberapa rasio keuangan yang dianggap dapat memprediksi kesehatan dan terjadinya
kebangkrutan pada sebuah perusahaan.
1. Modal Keja/Total Aktiva (X1)
Merupakan rasio yang mendekteksi likuiditas dari total aktiva dan posisi
modal kerja (netto), dimana modal kerja diperoleh dari selisih antara aktiva
lancar dengan hutang lancar. Jika diakitkan dengan indikator–indikator
internal seperti ketidakcukupan kas, hutang dagang membengkak, utilitas
modal (harta kekayaan) menurun, penambahan hutang yang tak terkendali dan
beberapa indikator lainnya
Perusahaan mengalami kesulitan keuangan pada umumnya modal kerjanya
akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun
(Sawir, 2005:25). Selisih antara sumber dana dan penggunaan dana akan
menunjukkan modal kerja perusahaan itu bertambah atau berkurang. Jika
terjadi sumber dana lebih besar daripada penggunaan dana, maka akan terjadi
surplus yang berarti modal kerja bertambah, demikian pula sebaliknya akan
terjadi defisit (modal kerja berkurang) apabila sumber dana lebih kecil
daripada penggunaan dana. Modal kerja bertambah karena penjualan aktiva
berkurang karena pembilang aktiva tetap, hutang jangka panjang, dan modal
sendiri.
2. Laba Ditahan/Total Aktiva (X2)
Merupakan rasio – rasio profitabilitas yang mendeteksi kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Rasio Laba Ditahan/Total
Aktiva akan mengukur besarnya kemampuan suatu perusahaan dalam
memperoleh keuntungan, ditinjau dari kemampuan perusahaan yang
bersangkutan dalam memperoleh laba dibandingkan dengan kecepatan
perputaran operating aset sebagai ukuran efisiensi usaha. Bila perusahaan
mulai merugi, tentu saja nilai awal laba ditahan mulai turun. Bagi banyak
perusahan, nilai dari rasio Laba Ditahan/Total Aktiva akan menjadi negatif
(Sawir,2005:25).
3. Laba Sebelum Bunga dan Pajak/ Total Aktiva (X3)
Merupakan rasio yang mengukur kemampuan dari modal yang diinvestasikan
dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi semua
investor termasuk pemegang saham dan obligasi. Beberapa indikator yang
dapat digunakan dalam mendeteksi adanya masalah pada kemampuan
profitabilitas perusahaan diantaranya adalah : piutang dagang meningkat, rugi
terus menerus dalam beberapa semester, pendapatan menurun, terlambatnya
hasil penagihan piutang, kredibilitas perusahaan berkurang, serta kesediaan
memberi kredit pada konsumen yang tak dapat membayar pada waktu yang
Rasio ini dapat digunakan sebagai ukuran seberapa produktifitas penggunaan
dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar daripada rata – rata tingkat
bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang lebih
banyak daripada bunga pinjaman (Sawir, 2005:25)
4. Nilai Pasar Modal Sendiri (Modal Sendiri)/Total Hutang (X4)
Merupakan rasio yang mengukur aktivitas perusahaan. Rasio ini juga
digunakan dalam bentuk persamaan net worth/total debt. Rasio ini mengukur
kemampuan perusahaan dalam memberikan jaminan kepada setiap hutangnya
melalui modalnya sendiri. Umumnya perusahaan yang gagal adalah
perusahaan yang mengkonsumsi lebih banyak hutang dibandingkan modal
sendiri. Semakin tinggi rasio ini menunjukan perusahaan semakin dipercaya,
artinya nilai perusahaan menjadi lebih tinggi. Rasio ini kebalikan dari debt
equity ratio yang dikenal di dalam rasio keuangan (Sawir, 2005:25)
5. Penjualan / Total Aktiva (X5)
Rasio Penjualan/Total aktiva merupakan rasio yang mendeteksi kemampuan
perusahaan yang tertanam dalam keseluruhan aktiva berputar dalam satu
periode tertentu. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai rasio yang mengukur
kemampuan modal yang diinvestasikan oleh perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan (revenue). Semakin besar perputaran total aktiva semakin efektif
perusahaan mengelola aktivanya
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah
di atas: pangsa pasar menurun, berpindahnya penguasaan pasar pada pesaing, modal
kerja menurun, kepercayaan konsumen berkurang dan beberapa indikator lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat terlihat rasio-rasio yang digunakan dalam
metode Altman Z–Score tidak hanya terfokus pada bagian-bagian keuangan
perusahaan saja tetapi juga dapat dikorelasikan dengan beberapa indikator yang
mungkin dapat mempengaruh rasio-rasio tersebut. Hal ini berarti bahwa
implementasinya motede Altman Z-Score pada perusahaan di samping akan
mendekteksi terjadinya kemungkinan kebangkrutan, juga akan mengarahkan
perusahaan yang sedang mengalami masalah dengan memperhatikan indikator yang
berkaitan dengan likuiditas, profitabilitas dan aktivitas perusahaan. Metode Altman
Z-Score pertama kali dikembangkan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan.
Pada dasarnya tujuan perhitungan nilai Z adalah untuk mengingatkan akan masalah
keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan menyediakan petunjuk
untuk bertindak. Bila nilai Z perusahaan lebih rendah daripada yang dikehendaki
manajemen. Maka harus diamati laporan keuangan untuk mencari penyebab mengapa
terjadi begitu. Hal yang menarik mengenai Altman Z-Score adalah keandalannya
sebagai alat analisis tanpa memperhatikan bagaimana ukuran perusahaan. Meskipun
perusahaan sangat makmur, tapi bila nilai Z mulai turun dengan tajam, perusahaan
harus segera waspada dan mengambil langkah tepat untuk memperbaiki kinerjanya
Pengamatan dimulai dengan menghitung nilai Z dari periode ke periode
sebelumnya dan dibandingkan dengan nilai Z sekarang. Bila kecenderungan
yang menyebabkan skor jatuh. Memantau kecenderungan nilai Z akan membantu
mengevaluasi perubahan keuangan perusahaan.
2.2 Penelitian Terdahulu
1. Umar Hamdan dan Adi Wijaya (2006)
Hamdan dan Wijaya (2006) melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Komparatif Risiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvensional dan
BPR Syariah”, Penelitian ini dilakukan pada BPR di Sumatera Selatan. Tujuan
penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan menganalisis tingkat risiko
BPR Konvensional dan BPR Syariah. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis diskriminan dan analisis rasio keuangan yang terdiri
dari:
a. Rasio likuiditas dengan indikator: Asset to Loan Ratio, Cash Ratio, dan Loan to
Deposit Ratio.
b. Rasio solvabilitas dengan indikator: Capital Ratio, Capital Risk dan Capital
Adequacy Ratio.
c. Rasio rentabilitas dengan indikator: Gross Profit Margin, Net Profit Margin,
Return on Equity dan Return on Asset.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa:
1. Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR syariah “F” relatif lebih baik
2. Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukan kondisi sehat. Rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR diatas ketentuan
minimum BI (8%). CAR pada BPR konvensional “S” tahun 2003 sebesar
23,95% dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92% dari angka tersebut ternyata
rasio solvabilitas BPR syariah “F” relatif lebih baik dibandingkan dengan
rasio solvabilitas BPR konvensional “S”.
3. Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positif. Laba bersih terhadap
pendapatan operasi (NPM) yang cukup baik, dimana pada BPR konvensional
“S” sebesar 39,73% dan pada BPR syariah “F” sebesar 35,37% pada tahun
2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba
yang wajar, walaupun NPM BPR syariah “F” relatif lebih rendah dibanding
dengan BPR konvensional “S”.
4. Perbandingan tingkat risiko keuangan berdasarkan hasil analisis diskriminan
(Z-Score) menunjukkan kedua BPR pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR
syariah “F” relatif lebih tinggi dibanding BPR konvensional “S”, yang berarti
risiko BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibandingkan BPR konvensional
“S”.
2 Sudartanto (2012)
Sudartanto melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Komparatif Risiko
Keuangan Pada Bank konvensional dan Bank Syariah (Studi Kasus pada Bank
Rakyat Indonesia dan Bank Muamalat Indonesia)”. Tujuan dilakukannya penelitian
konvensional dengan bank syariah. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menganalisis data laporan keuangan masing-masing bank pada
tahun 2008-2010 menggunakan metode uji diskriminan Z-Score (Altman).
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tingkat risiko Bank Rakyat
Indonesia masuk kategori tinggi karena mempunyai nilai Z-score sebesar 0,52
(z<1,81), sedangkan Bank Muamalat Indonesia juga termasuk dalam tingkat risiko
tinggi karena nilai Z-score sebesar 0,sekian (z<1,81). Perbandingan tingkat risiko
keuangan hasil analisis diskriminan Z-score menunjukkan kedua bank pada tingkat
risiko yang tinggi. Namun nilai Z-score Bank Muamalat Indonesia lebih tinggi
dibanding Bank Rakyat Indonesia, sehingga risiko Bank Muamalat Indonesia lebih
rendah dibandingkan Bank Rakyat Indonesia. Rendahnya nilai Z-score
mengindikasikan bahwa kedua bank pada bisnis berisiko tinggi, sehingga diharapkan
dengan diketahuinya risiko keuangan maka perbankan dapat membuat pengelolaan
bisnis untuk meminimalisir risiko keuangan tersebut dan menghindari kepailitan.
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah model konseptual tetang bagaimana teori yang
digunakan dihubungkan dengan berbagai faktor-faktor penting yang telah diketahui
dalam suatu masalah. Pada dasarnya jenis risiko yang dihadapi terdiri dari risiko
finansial dan risiko nonfinansial. Risiko finansial terkait dengan kerugian langsung
berupa hilangnya sejumlah uang akibat risiko yang terjadi. Pada sisi lain risiko
nonfinansial berpotensi untuk menimbulkan risiko finansial. Yang termasuk dalam
risiko finansial adalah: risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko
konsentrasi kredit serta risiko suku bunga (Idroes, 2008:22).
Risiko finansial atau risiko keuangan dapat diukur melalui analisis rasio
keuangan dan analisis diskriminan Z-Score. Menurut Dendawijaya (2003: 116-124)
rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagai tolak ukur kinerja suatu bank adalah
rasio permodalan, rasio rentabilitas dan rasio likuiditas. Serta menurut Kasmir (2008:
216) rasio-rasio keuangan perbankan yang dianggap penting adalah rasio permodalan,
rasio rentabilitas dan rasio likuiditas.
Oleh karena itu, pada penelitian ini rasio keuangan yang digunakan adalah
aspek permodalan yang terdiri dari Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Aktiva Tetap
Terhadap Modal (ATTM), aspek Rentabilitas yang terdiri dari: Return on Asset
(ROA), Return on Equity (ROE), Net Interest Margin (NIM), dan Beban Operasi
terhadap Pendapatan Operasi (BOPO) serta aspek likuiditas yang dinilai dengan Loan
to Deposit Ratio (LDR).
Perbedaan pokok antara bank syariah dengan bank konvensional terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga
dalam aktivitasnya, melainkan sistem bagi hasil. Sedangkan bank konvensional justru
kebalikannya. (Triadaru, et.al 2006:158). Hal ini tentunya akan berpengaruh pada
pemberian suku bunga pinjaman, pemberian kredit dan selanjutnya akan
mempengaruhi laba perusahaan dan juga akan dihadapkan pada tingkat risiko yang
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan diatas, maka digambarkan kerangka
≠
Gambar 2.1: Kerangka Konseptual
Bank Mandiri Konvensional Bank Syariah Mandiri
Rasio- rasio keuangan :
a. Rasio Likuiditas
1. modal kerja / total aktiva
2. laba ditahan / total aktiva
3. laba operasional / total
aktiva
4. nilai pasar ekuitas / total
hutang
5. penjualan / total aktiva
Rasio- rasio keuangan :
a. Rasio Likuiditas
1. modal kerja / total aktiva
2. laba ditahan / total aktiva
3. laba operasional / total
aktiva
4. nilai pasar ekuitas / total
hutang
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah: “ada perbedaan risiko keuangan antara Bank