• Tidak ada hasil yang ditemukan

07 KAJIAN POETIKA SASTRA LISAN ACADEMIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "07 KAJIAN POETIKA SASTRA LISAN ACADEMIA."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KAJIAN POETIKA DAN RETORIKA

DALAM STUDI SASTRA LISAN

Yoseph Yapi Taum*)

1. Pengantar

Theodor H. Gaster (1984: 129) mengungkapkan bahwa dalam kisah-kisah mitologis pada

jaman primitif, hubungan paralel intrinsik antara kenyataan dan bayangan diungkapkan secara

eksplisit oleh hubungan konstan antara kata dan tindakan di dalam ritus pemujaan.1 Kaitan antara

kata dan tindakan di dalam ritus pemujaan dengan narasi-narasi primitif senantiasa menarik

perhatian para ahli sastra, yang termasuk dalam bidang kajian poetika. Hal itu dapat ditelusuri

melalui proses penciptaan. Proses penciptaan sastra lisan menjadi sebuah bidang kajian yang amat

kaya, yang dapat mengungkap poetika dan retorika yang digunakan oleh para penutur sastra lisan.

Salah satu bidang kajian yang penting dalam studi sastra adalah kajian poetika dan

unsur-unsur retorikanya. Beberapa peneliti sastra lisan menunjukkan bahwa komposisi lisan dibangun

dengan perangkat-perangkat tertentu yang khas pada sastra lisan. Uraian dalam bab ini secara

khusus mengemukakan beberapa bagian penting dari pembahasan tentang retorika sastra lisan.

Retorika merupakan kepandaian menuangkan gagasan atau teknik pemakaian bahasa sebagai seni,

baik untuk berbicara maupun untuk menulis (Keraf, 1985: 1-3).

Istilah poetika memiliki makna yang sempit dan luas. Dalam makna sempit, poetika adalah

penelitian mengenai puisi dari sudut pandang linguistik (KKBI, 2008: 1086). Dengan kata lain,

puitika berarti menggunakan metode linguistik untuk mengupas karya sastra, terutama puisi

(Crystal 1991 dalam Kadarisman, 2010). Dalam arti luas, poetika adalah kajian terhadap fungsi

puitis, yakni menonjolkan bentuk bahasa demi dampak estetis. Fungsi puitis dalam konteks ini

sejajar dengan sifat-sifat kesastraan.

Dari sudut pandang kaum formalis, sifat kesastraan (literaturnost) muncul sebagai akibat penyusunan dan penggubahan ‘bahasa’ yang semula bersifat netral (Taum, 1997: 33). Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, yakni teknik membuat teks menjadi aneh

dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Sjklovski untuk menyebut teknik bercerita

*) Tulisan Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ini merupakan Bab VII dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 193-218).

(3)

dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Proses defamiliarisasi itu

mengubah tanggapan kita terhadap dunia.

Pada awal perkembangannya, penelitian poetika tidak bisa dibedakan dari penelitian

retorika. Dalam perkembangannya kemudian, kedua bidang kajian ini memiliki perbedaan,

meskipun subjek kajiannya sama, yaitu bahasa dalam karya-karya sastra. Untuk kepentingan kajian

sastra lisan, kedua bidang ini akan dibedakan untuk memungkinkan keluasan dan kedalaman

penelitian.

2. Kajian Poetika

Poetika adalah salah satu tema sentral dalam karya-karya Roman Jakobson,2 khususnya

dalam karya klasiknya berjudul Linguistics and Poetics (1960). Tema ini muncul dari

pandangannya yang bersifat struktural fungsional terhadap bahasa. Menurutnya, ada enam fungsi

bahasa yang memiliki fokus yang berbeda-beda (lihat Kadarisman, 2010). Keenam fungsi itu

adalah: 1) Fungsi referensial) yang berfokus pada isi tuturan atau makna denotatif. (misalnya,

Harga BBM naik terus). (2) Fungsi emotif/ekspresif berfokus pada sikap atau perasaan penutur

terhadap isi tuturannya. (misalnya, Wah, hebat!) (3) Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan

lazimnya muncul sebagai kalimat perintah. (misalnya, Masuklah, Yan; (4) Fungsi fatis berfokus

pada upaya memelihara keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. (misalnya, Ya,

ya). (5) Fungsi metalingual berfokus pada penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa.

(misalnya, Terbantun itu apa artinya?), dan (6) Fungsi puitis, berfokus pada bahasa itu sendiri, atau

menonjolkan bentuk bahasa demi dampak estetis.

Kajian terhadap sastra lisan perlu mengungkap fungsi puitis dengan sasaran mengungkap

dampak estetis penggunaan bahasa tutur.

2.1 Sejarah Kajian Poetika

2 Roman Jakobson (1896-1982) adalah seorang linguist, ahli semiotika, dan teori sastra Rusia. Dialah pelopor analisis struktural bahasa yang sangat berpengaruh dalam linguistik abad ke-20. Dipengaruhi karya-karya Ferdinand de Saussure, Jakobson bersama Nikolai Trubetzkoi mengembangkan teknik-teknik analisis sistem bunyi dalam disiplin fonologi. Teknik-teknik analisisnya juga diterapkan pada kajian morfologi, sintaksis, dan semantik. Dia pun mengembangkan metode pengkajian puisi, musik, seni visual, dan sinema karena terinspirasi oleh Charles Sanders

(4)

Istilah poetika pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles (tahun 335 SM) dalam karyanya

berjudul Estetika yang meliputi Poetika dan Retorika yang menjadi bagian dalam teori sastra

(Wikipedia, 2010). Dalam Poetika, Aristoteles mengungkapkan apa yang dimaksud dengan puisi3

(poetry), yang dalam bahasa Yunani berarti “membuat”. Dalam pandangan Aristoteles, poetika

lebih berkaitan dengan drama, khususnya tragedi dan komedi.

Untuk membuat sebuah wacana tragedi, Aristoteles mengajukan enam bagian penting yang

harus diperhatikan secara khusus. Keenam hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dasar sebuah ‘poetika drama tragedi”. Keenam hal tersebut sebagai berikut. 1) Alur (plot atau mythos) utama tragedi adalah pembalikan, pengenalan dan penderitaan. Alur yang baik adalah yang bersifat

kompleks, yang merepresentasi tindakan-tindakan yang menakutkan. Ketika nasib seorang tokoh

tidak beruntung (peripeteia), dia pertama-tama merasakan penderitaan (pathos), kemudian

menyadari (anagnorisis) sebab penderitaannya atau cara melepaskan diri dari penderitaannya. Alur

sebaiknya lebih kompleks sehingga penonton dapat belajar berbagai kemungkinan jalan keluarnya.

2) Penokohan (ethos). Akan lebih baik apabila kejadian-kejadian tragis menimpa tokoh utama

(hero) karena kesalahan yang dibuatnya (hamartia). Penonton akan lebih tergerak akan hal ini.

Tokoh utama dapat saja sudah mengetahui nasibnya (misalnya dalam Medea) atau belum

mengetahuinya (Oedipus). Bagi Aristoteles, tokoh utama sebaiknya berkarakter: baik, layak, dan

konsisten karena penonton tidak menyukai tokoh jahat yang beruntung keluar dari kemalangannya.

3) Pemikiran (dianoia) – tuturan argumen watak manusia dapat menjelaskan tokoh-tokoh atau latar

belakang cerita. 4) Pilihan kata (lexis). 5) Melodi (melos). Koor yang mengiringi pementasan harus

dipertimbangkan sebagai salah satu actor. Koor harus menjadi bagian integral dari keseluruhan

pementasan. 6) Kelayakan sebagai tontonan (opsis). Sebuah drama hendaknya dipertimbangkan

kelayakannya sebagai sebuah tontonan. Misalnya sebuah drama mempunyai kostum yang indah

tetapi memiliki cerita yang buruk dengan pemain-pemain yang buruk maka pasti ada yang salah

dengan tontonan tersebut.

Dalam perkembangannya, kajian poetika, terutama yang dikembangkan oleh Jakobson,

lebih ditujukan untuk menemukan ciri-ciri utama atau struktur khas dari seni-bahasa (verbal art),

yang membedakannya dari ungkapan verbal lainnya. Jakobson mengajukan pertanyaan pokok,

“Apa yang membuat sebuah pesan verbal sebagai sebuah karya seni?” Bagi dia, fungsi poetik

(5)

selalu memproyeksikan prinsip keseimbangan dari poros seleksi ke poros kombinasi. Definisi ini

memiliki tiga implikasi (lihat Kadarisman, 2010). Pertama, adanya kebebasan kreatif dalam diri

penutur bahasa sebagai pencipta: ia bisa memilih bentuk maupun makna yang tak terbatas pada

poros paradigmatik (lajur mental lexicon), untuk kemudian diproyeksikan pada poros sintagmatik

(phonotactic and syntactic plane). Kedua, ketika memproyeksikan pilihan bentuk dan makna pada

poros paradigmatik, ia dibimbing oleh prinsip keseimbangan (the princple of equivalence). Secara

struktural, hasil proyeksi tersebut muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif. Pada tataran

fonologis, muncul aliterasi dan asonansi atau rima; pada tataran sintaktis muncul paralelisme

struktur; dan pada tataran semantis muncul paralelisme makna. Ketiga, hasil konkret dari proyeksi

tersebut adalah bahasa puitis, yakni bahasa yang bentuknya ditonjolkan demi dampak estetis.

Warisan terpenting dari teori poetika Roman Jakobson adalah: (a) prinsip keseimbangan dan

kekuatan analisis struktural, dan (b) upaya menyibak misteri makna puitis (Kadarisman, 2010).

Bagi para pemula, kajian poetika sastra lisan dapat dilakukan secara struktural, yang

mencakup kajian penggunaan bahasa pada tataran fonologis, tataran sintaksis, dan tataran semantik.

Penelusuran kreativitas pengarang yang mengkombinasikan bahasa pada poros paradigmatik dan

poros sintagmatik tentu dapat menjadi sebuah penemuan yang penting, yang memberikan

sumbangan pada penyusunan sebuah poetika lisan dari sebuah komunitas bahasa daerah tertentu.

2.2 Kajian Poetika James J. Fox

James J Fox merupakan pelopor pengkajian poetika sastra lisan yang menerapkan teori

poetika Roman Jakobson.4 Gejala linguistik yang oleh Roman Jakobson digambarkan sebagai “paralelisme kanonik dan meresap” (canonical, pervasive parallelism) ditemukan Fox dalam bahasa ritual Roti yang disebut bini. Bahasa ritual Roti adalah bentuk puisi lisan yang bercirikan

penyepasangan wajib pada semua unsur semantiknya. Bahasanya formal, mengikuti aturan-aturan,

dan paralelistik. Unsur-unsur semantik terdiri dari perangkat diad yang sudah ditetapkan. Perangkat

ini tersusun dalam ungkapan-ungkapan yang mengikuti aturan-aturan. Hasilnya adalah komposisi

berupa larik-larik puitis yang paralel.

Orang Roti membanggakan dirinya sebagai sebuah suku yang fasih atau suka berdebat dan

suka bicara (Fox, 1986: 74). Bahasa ritualnya disebut bini, yaitu sajak, mantra. Sekalipun hampir

4 James J. Fox, 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti.

Jakarta: Djambatan. Dalam Bab VI “Roman Jakobson dan Studi Perbandingan tentang Paralelisme” Fox secara khusus

(6)

semua orang dapat mendaraskan bini, di Pulau Roti dikenal penyair atau penyusun bini yang mahir

yang disebut manahelo. Bini dipergunakan dalam semua pertemuan resmi. Karena itu ada bini

khusus untuk menyambut tamu, perpisahan, ritual perkawinan, upacara potong rambut,

pengangkatan kepala suku, pembangunan rumah, pesta-pesta tahunan, dan pekuburan. Bini

penguburan memiliki format umum. Si mati dibandingkan dengan seorang tokoh bini, dan

kemudian silsilah dan jalan hidup yang stereotip tokoh bini ini diceritakan. Dalam kebanyakan

naskah, bini-bini ini menjelaskan alasan dan keadaan kematian si tokoh bini. Dalam beberapa bini,

si tokoh bini menggambarkan sakitnya atau memberi peringatan kepada keturunannya. Kebanyakan

bini berakhir dengan duka cita dan penguburan si tokoh bini.

Dalam tulisan berjudul “Paralelisme Semantik dalam Bahasa Ritual Roti,” Fox menyajikan sebuah teks bini panjang (234 bait) berjudul “Dela Kolik Ma Seko Bunak”. Bini ini dipergunakan

dalam upacara penguburan seorang anak pertama dari keluarga ningrat dari wilayah Termanu, yang

meninggal pada usia kira-kira tiga bulan. Anak itu disamakan dengan tokoh bini Dela Kolik dan

Seko Bunak. Secara garis besar, bini tersebut mengisahkan enam peristiwa penting sebagai berikut.

1) Perkawinan si wanita Pinga Pasa dan Soe Leli dengan si lelaki Kolik Faenama dan Bunak

Tunulama. 2) Permulaan kehamilan Pinga Pasa dan Soe Leli dan berbagai idamannya (ngidam)

yang berpuncak pada pencurian sebutir telur rajawali dan elang, Tetema Taoama dan Balapua

Loniama. 3) Kelahiran Dela Kolik dan Seko Bunak dan penculikannya secara cepat oleh rajawali

dan elang. 4) Pencarian rajawali dan elang oleh Pinga Pasa dan Soe Leli, mula-mula ke bagian

timur Roti, dan kemudian ke bagian paling barat pulau itu, Delha. 5) Larinya rajawali dan elang kea

rah laut, kemudian ke atas kea rah matahari dan bulan, dengan demikian berakhirlah kemungkinan

pencarian selanjutnya; dan akhirnya, 6) Kembalinya rajawali dan elang dan berkumpulnya

orang-orang dari penguburan jenasah Dela Kolik dan Seko Bunak.

Melalui pengkajian struktural yang cermat, yang membedakan antara ekspresi perangkat

diad dalam sajak paralel dan susunan semantik yang mendasari unsur-unsur perangkat tersebut, Fox

sampai pada upaya menyibak misteri makna puitis bini “Dela Kolik Ma Seko Bunak.” Menurut

Fox, bini itu menyarankan bahwa mula-mula mayat dibiarkan dimakan burung-burung pemakan

bangkai, dan baru sesudah itu tulang-tulang si mati dikuburkan. Meskipun menurut laporan

kebiasaan serupa terdapat juga di beberapa pulau tetangga Roti, tidak ada bukti tentang cara

penguburan seperti itu dari etnografi Pulau Roti. Hal ini, menurut Fox, mengacu pada kebibiasaan

(7)

Untuk mendapatkan gambaran mengenai teks bini, berikut ini dikutip 10 bait teks bini 8. Dan mulutnya berliur menginginkan

rupa-rupa makanan.

9. Lidahnya mengidamkan hati kambing 10.Dan mulutnya berliur menginginkan

paru-paru kerbau.

Dari ke-10 dari 234 bait bini ini, dapat diungkapkan perangkat-perangkat diad (kata-kata

berpasangan) yang meliputi kata kerja membawa//mengangkat, mengawini//menikah,

mengidamkan//menginginkan, kata benda rahim//tetek, lidah//mulut. Bahasa-bahasa ritual ini

sepenuhnya bersifat puitis dan metaforis yang secara sistematis disusun dan dikendalikan oleh

struktur diad. Struktur semantisnya, sebagaimana dalam semua bahasa, menimbulkan masalah

polisemi, homonimi, dan sinonimi. Bahasa ritual ini, bagaimanapun, menyajikan pikiran-pikiran

pribumi yang tersusun rapi.

3. Retorika

Yang dimaksudkan dengan retorika adalah kajian tentang pemakaian bahasa secara efektif

dalam karang-mengarang (KKBI, 2008: 1171). Menurut kamus Merriam-Webster Online, Retorika

memiliki tiga arti, yaitu: 1) seni bicara atau menulis yang efektif, sebagai (a) kajian mengenai

prinsip-prinsip dan aturan komposisi yang dirumuskan oleh para kritikus kuno; (b) studi tentang

bicara atau menulis sebagai sarana komunikasi atau persuasi; 2) ketrampilan bicara yang efektif; 3)

komunikasi verbal sebagai wacana. Retorika bertujuan melibatkan tiga perhatian pendengar, yaitu

logos, pathos, dan ethos, serta lima standar retorika, yaitu penemuan, pengaturan, gaya, ingatan,

dan penyampaian. Retorika, tata bahasa, dan logika merupakan tiga seni wacana dari masa sebelum

(8)

Pada awal perkembangannya, teknik seni wacana ini ditekankan pada 'oratori' atau seni

berpidato yang berisi dasar-dasar penyusunan (komposisi) pidato. Sekalipun kepandaian retorika

kini diaplikasikan pula ke dalam seni menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, retorika pada

prinsipnya termasuk ke dalam kebudayaan yang didominasi oleh situasi kelisanan (Teeuw, 1988b:

446).

Hal itu disebabkan karena retorika melangsungkan pemikiran partisipatoris, yakni sikap

peran serta, identifikasi, dan sikap sambutan kolektif dalam kebudayaan lisan lama.

Variasi-variasi teks dapat dicermati dengan meneliti horison harapan penutur teks-teks itu. Pemahaman

yang mendalam terhadap unsur-unsur retorika dalam komposisi sastra lisan diperlukan agar

dapat pula diidentifikasi ciri-ciri struktural sastra lisan beserta efek-efek yang diakibatkannya.

Pemahaman retorika sastra lisan ini berkaitan erat, baik dengan proses penciptaan sastra lisan

maupun dengan pandangan dunia yang dikandungnya.

3.1 Fungsi Retorika Sastra Lisan

Teknik-teknik retorika beserta pengetahuan yang mendasarinya selalu diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan atau fungsi-fungsi tertentu. Teknik dan fungsi retorika dalam kebudayaan

modern berbeda dengan yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan tradisional. Di dalam

kebudayaan modern, kedudukan sastra dan bahasa telah dibedakan dengan jelas. Para ilmuwan

sastra membedakan penggunaan bahasa sastra, bahasa ilmiah, dan bahasa percakapan

sehari-hari-hari. Para ahli bahasa membedakan fungsi-fungsi bahasa, dan fungsi emotif dikategorikan sebagai

bahasa sastra (Taum, 1994: 208).

Dalam hal penikmatan estetik, terdapat pembedaan antara dulce et utile, menyenangkan dan

berguna. Kedua konsep ini bahkan seringkali dipertentangkan secara tajam (Teeuw, 1988a:

443-444). Beberapa penelitian terhadap kebudayaan tradisional, khususnya mengenai masyarakat

niraksara mengungkapkan pandangan bahwa penikmatan estetik murni sesungguhnya belum

dikenal. Dalam hal sastra lisan, mungkin saja wadah (bahasa) yang diciptakan oleh tukang cerita

lisan itu memberikan efek estetis, tetapi fungsi utamanya adalah mengamankan sistem nilai

(nomoi and athea) dalam masyarakat tersebut secara turun-temurun (Teeuw, 1988a: 444). dalam

rangka mengamankan sistem nilai masyarakat itulah penggunaan formula dan ungkapan

(9)

47). Baik formula maupun ungkapan formulaik merupakan unsur-unsur yang siap pakai

(stock-in-trade) setiap kali tukang cerita atau penyair lisan bercerita. menjadi sangat menonjol.

Formula adalah kelompok-kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam

kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide pokok. Ungkapan formulaik adalah

larik atau paruh larik yang disusun berdasarkan formula. Unsur-unsur itu biasanya dihafal,

sehingga wacana lisan sangat tergantung kepada ungkapan-ungkapan baku, dalam bentuk

bergaya, misalnya dalam bentuk peribahasa dan kata-kata adat lainnya (Sweeney, 1987: 96-97).

Dalam penyusunan cerita, orientasi lisan terutama tampak pada perangkaian

potongan-potongan formula menjadi akumulasi formula. Dengan demikian, cerita lebih menyerupai

perakitan formula. Unsur-unsur formula itu, baik puitis maupun naratif berakar dalam kehidupan

sosial serta mempengaruhi seluruh sistem nilai masyarakat bersangkutan.Penciptaan sastra lisan

selalu berarti meneladan kenyataan dan/atau meniru konvensi pencipta-pencipta sebelumnya

lewat pemakaian bahasa formulaik dan konvensional yang tersedia dan siap dipakai.

Dalam masyarakat niraksara, karya sastra selalu bersifat komunal dan disebarkan dalam

bentuk yang relatif tetap. Fungsi sastra lisan, seperti telah disebutkan di atas, terutama sebagai

penyimpan informasi dan sistem nilai yang relevan untuk masyarakat bersangkutan. Dengan

perkataan lain, sastra lisan lebih mengutamakan fungsi tile daripada dulce. Oleh karena itu dapat

dipahami bahwa teknik-teknik retorika sastra lisan umumnya bersifat baku dan stereotipe.

3.2 Teknik-teknik Retorika Sastra Lisan

Telah disebutkan bahwa tujuan utama penggunaan bahasa dalam sastra lisan adalah

'berguna' utile) bagi kepentingan identifikasi sistem nilai kolektif, sekalipun sarana itu

sendiri dapat pula menimbulkan kenikmatan estetis (dulce). Retorika pada prinsipnya bersifat

pragmatis: mendorong sidang pendengar yang nyata untuk mengambil keputusan yang nyata

pula dalam dunia eksistensial (Teeuw, 1988a: 446). Dengan demikian studi retorika sastra lisan

berkaitan dengan penelitian mengenai sarana bahasa yang dimanfaatkan oleh tukang cerita untuk

mencapai efek maksimal terhadap pendengar yang hendak diyakikannya. Sarana-sarana bahasa

sastra itu diharapkan dapat dikaji setepat, selengkap, dan secermat mungkin, khususnya yang

(10)

Cerita-cerita (khususnya epos) cenderung dipahami sebagai cara pertama manusia menata

pengalaman dan pengetahuannya (Sweeney, 1987: 202-205). Manusia memandang seolah-olah

dirinya mengalami kejadian-kejadian dalam suatu rangkaian waktu tertentu: satu peristiwa

mengikuti peristiwa lainnya dalam satu rangkaian. Dalam rangka membuat cerita itu menjadi satu

rangkaian yang bulat dan utuh, penyair lisan menggunakan berbagai metode seperti:

penambahan peristiwa dalam cerita, penghilangan peristiwa, dan pergeseran peristiwa

(Abdullah, 1991: 1050). Penambahan peristiwa ditandai dengan teknik penjajaran tindakan,

penjajaran frase perangkai, dan penggunaan kata penghubung tertentu.

Dalam karya sastra bergaya (seperti puisi, kata adat, pemeo, atau pantun), teknik

pembaitan dan panjang-pendeknya frase disesuaikan dengan melodi atau ritme lagu yang diperkuat

oleh sarana-sarana pengingat (seperti: paralelisme, asonansi, aliterasi, dll) yang mengharuskan

penyair lisan itu memilih kata-kata tertentu yang spesifik atau menciptakan penggunaan

bahasa baru tetapi dengan pola yang sudah ada (Sweeney, 1987: 221-222). Masing-masing teknik

dan sarana retorika itu biasanya diikuti secara ketat dan teratur.

Dalam wacana yang tidak bergaya (seperti kisah-kisah naratif dongeng, legenda, epos,

dll), patut diperhatikan perbedaan yang menyolok antara tukang cerita yang buta huruf

(illiterate) dan semi-buta huruf (semi-illiterate) di satu pihak dan tukang cerita yang terpelajar

(uread habitually) di pihak lain. Tukang cerita yang terpelajar biasanya mampu

mencampur-baurkan cara lisan dan cara tulisan sesuai dengan kepentingan dan situasi pendengarnya. Ketika

dia berhadapan dengan pendengar yang buta huruf, pola pemikiran niraksaranya masih tampak.

Sementara itu seorang tukang cerita yang buta huruf biasanya kurang mampu memberi variasi

pada ceritanya. Dia cenderung menggunakan gaya penambahan secara eksklusif (misalnya: 'dia

berkata') dan ceritanya pun biasanya lebih dramatik. Perbedaan antara tukang cerita terpelajar dan

buta huruf hanya berkisar pada pemilihan kata (diksi) saja, bukan pada alur cerita.

Dapat dikatakan bahwa salah satu ciri retorika sastra lisan adalah pemanfaatan formula

dan ungkapan-ungkapan formulaik yang konvensional dan siap pakai. Ciri ini dapat dipandang

sebagai sebuah sistem sastra lisan. Termasuk dalam sistem ini sejumlah elemen paralelisme,

struktur diad, pola jumlah kata, pola pembaitan, bahasa kiasan dan sarana-sarana retorika

seperti metafora, hiperbola, repetisi dan enumerasi, dan lain-lain (Taum, 1995: 261-263).

Sistem ini merupakan kaidah-kaidah estetika (berdasarkan poetika) sastra lisan yang sedapat

(11)

Dengan istilah resepsi, bacaan-bacaan dalam sebuah teks sastra lisan mengharapkan

hadirnya sejumlah kaidah tersebut. Kepatuhan kepada kaidah-kaidah estetika ini diperlukan

untuk memudahkan penghafalan pada tukang cerita dan pengenalan kembali pada pihak

pendengar. Sastra dalam masyarakat tradisional dianggap sebagai sarana yang sangat penting

untuk mempertahankan model dunia yang sesuai dengan adat-istiadat dan pandangan dunia

konvensional dan sebagai alat menanamkan nilai-nilai tersebut kepada angkatan muda. Karya

sastra yang merombak norma-norma dan konvensi-konvensi tradisional cenderung tidak diakui

sebagai karya sastra karena tidak sesuai dengan kebiasaan bersastra yang berakar dalam sistem

kebudayaannya.

Jurij Lotman (Teeuw, 1983: 8-9) menyebutkan bahwa dalam kebudayaan-kebudayaan

tradisional biasanya terdapat "Asthetik der Identitat" (estetika identitas atau estetika persamaan),

sedangkan dalam kebudayaan-kebudayaan modern terdapat "Asthetik der Gegenuberstellung"

(estetika perlawanan) yang lebih mementingkan keorisinalan dan kreativitas. Estetika identitas

mengutamakan kepatuhan kepada kaidah-kaidah estetik yang berakar dalam sistem

kebudayaan tertentu, sekalipun harus diakui bahwa dalam karya-karya sastra tradisional banyak

dijumpai unsur-unsur perlawanan terhadap sistem konvensi.

3.3 Tema-tema Siap Pakai

Jika dipandang bahwa dalam sastra lisan terdapat kesatuan formal dan semantik, maka

kaidah-kaidah formal yang diuraian di atas dapat menjadi salah satu petunjuk untuk menemukan

arti dan makna teksnya. Lord (1981: 68) mengungkapkan bahwa formula dan

ungkapan-ungkapan formulaik hanya menjadi sarana penyampaian cerita. Dalam ungkapan-ungkapan Lord sendiri, "The

tale's the thing"; cerita atau kisah itulah pokoknya.

Dalam sastra lisan, Lord (1981: 70) menyebutkan bahwa ada sejumlah ide atau

kelompok-kelompok ide yang secara teratur digunakan dalam penceritaan, khususnya dalam cerita-cerita

bergaya formulaik. Kelompok-kelompok ide itu oleh Lord disebut sebagai "themes." Istilah

'Tema' yang oleh Lord diartikan sebagai kelompok-kelompok ide siap pakai, barangkali dapat

disejajarkan dengan pandangan Sweeney (1980: 33) tentang 'komposisi skematis' sebagai sebuah

cara membangun komposisi cerita berdasarkan suatu kerangka jalan cerita yang dihafal

(tema-tema yang juga siap dipakai oleh tukang cerita). Kesimpulan ini ditarik berdasarkan penelitiannya.

(12)

yang sama dari beberapa penyair menunjukkan bahwa tema-tema tertentu seringkali muncul

dalam cerita tersebut. Demikian pula jika kita mendengarkan sebuah kisah yang sama dari

penyair yang sama dalam kesempatan-kesempatan berbeda, tema-tema itu sering kali dimunculkan

kembali.

Berdasarkan kenyataan itu, Lord mengungkapkan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk

menyatakan bahwa sebuah cerita hanya memiliki satu tema saja. Dengan kata lain, tema sebuah

cerita tidak dapat diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian kata-kata saja. Sebaliknya tema

harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasan berdasarkan perbandingan terhadap

variasi-variasi teks. Tema-tema itu dapat berupa adegan-adegan siap pakai ataupun deskripsi

bagian-bagian cerita yang tersedia dalam konvensi dan sesuai dengan horizon harapan

penikmatnya.

Untuk mengungkapkan tema-tema yang terdapat dalam sebuah karya sastra (lisan),

seorang peneliti harus membandingkan versi-versi sebuah cerita yang sama ataupun beberapa

cerita yang berbeda untuk menunjukkan manakah 'adegan-adegan siap pakai' ataupun 'deskripsi

bagian-bagian cerita yang disiapkan dalam konvensi'. Dalam penelitian sastra lisan, selain

formula dan ungkapan-ungkapan formulaik yang dianalisis dalam struktur formal teks, perlu

dicermati pula berbagai adegan siap pakai dan deskripsi bagian-bagian cerita yang disiapkan

dalam konvensi kebudayaan masyarakat pendukung sastra lisan tersebut.

3.4 Penciptaan Sastra Lisan

Masalah penciptaan sastra lisan menjadi bidang perhatian utama dua ahli bahasa Yunani,

Milman Parry dan Albert B. Lord. Kedua peneliti ini memberikan sumbangan berharga bagi

penelitian sastra lisan dari segi metode penelitian dan konsep teori umum. Menurut teori mereka,

proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari cara mereka memanfaatkan persediaan

formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi sastra yang berlaku. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan di Yugoslavia, Parry & Lord membuktikan bahwa struktur sastra lisan selalu

berubah-ubah, lincah dan hidup karena selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan

daya cipta pembawa maupun penikmatnya (Teeuw, 1988b: 299).

Teknik-teknik penciptaan dan cara tradisi itu diturunkan penyair lisan (di Yugoslavia

disebut Guslar) kepada para murid-murid/pengikutnya menarik perhatian kedua peneliti ini.

(13)

dibawakan, teksnya diciptakan kembali secara spontan dan disesuaikan dengan minat pendengar,

keadaan pembawaannya, dan waktu yang disediakan. Yang tetap pada cerita-cerita lisan bukan

alur cerita melainkan kelompok-kelompok ide yang disediakan oleh konvensi. Dengan bantuan

formula dan ungkapan-ungkapan formulaik yang baku, kelompok-kelompok ide (themes) itu

dirakit menjadi sebuah bentuk yang utuh.

Prosedur pewarisan teknik bercerita dari seorang penyair Yugoslavia (guslar) kepada

muridnya dilaksana-kan melalui semacam sistem pendidikan 'formal' (lihat Abdullah, 1991: 68).

Pelajaran pertama bagi calon guslar adalah mendengarkan gurunya menyanyikan satu bagian

cerita, yang disusul atau diulangi oleh muridnya. Masa berguru ini mencapai waktu rata-rata tiga

tahun lamanya, yakni sampai calon mampu menyanyikan sebuah cerita secara utuh. Sebagai

pelajaran terakhir, si calon menemani gurunya mengadakan pertunjukkan. Dalam setiap

kesempatan ini ia diberi waktu oleh gurunya melanjutkan cerita selama beberapa menit ketika

gurunya beristirahat. Prosedur ini mirip dengan proses pewarisan sastra lisan Minangkabau

(tukang sijobang) (Philips, 1981) dan penyair lisan Aceh (Abdullah, 1991). Kemiripan ini

dapat dipahami karena penceritaan dilakukan sebagai semacam kegiatan profesional.

Di daerah-daerah lain, mungkin saja penuturan sastra lisan tidak dilakukan sebagai

sebuah kegiatan profesi, dalam arti si penutur sastra lisan mengikuti proses pendidikan tertentu.

Masyarakat Flores Timur, misalnya, mengenal tradisi puisi lisan (yang disebut Koda Knalan

atau Koda Klaken) dengan sistem dan kaidah-kaidah poetika yang diikuti secara ketat dan teratur,

akan tetapi proses menjadi seorang pembawa puisi lisan yang mahir tidak melalui pola yang

demikian (Taum, 1995: 46-51). Kemampuan dan kemahiran menggunakan bahasa sastra 'koda

knalan' umumnya dipercaya sebagai suatu rahmat atau karunia ('kurnia') Tuhan. Dalam istilah

mereka, kemampuan itu diakibatkan "mnuno buno" (mnuno = bintang; buno = jatuh, menukik),

yaitu orang-oarang tertentu yang 'kejatuhan bintang'.5 Ada keyakinan bahwa selalu ada salah

seorang anak dari keluarga tua adat yang muncul dengan kemampuan bersastra. Di wilayah

Tanjung Bunga, ada kepercayaan bahwa pada waktu seseorang bercerita, dia didatangi dan

didampingi oleh Sili Gokok yaitu seekor burung elang yang memberinya kemampuan bersastra

itu.

5 Konsep tentang mnuno buno atau kejatuhan bintang ini mirip dengan pandangan orang Jawa tentang

(14)

Penelitian mengenai proses penciptaan sastra lisan dapat pula menjangkau sumber-sumber

bahan penceritaan. Abdullah (1991: 68-72) mengungkapkan bahwa penciptaan hikayat dalam

tradisi Aceh umumnya bersumber pada cerita-cerita haba, saduran dari sumber luar terutama

dari dunia Melayu, dan sejarah atau peristiwa aktual lainnya yang terjadi dalam masyarakat

Aceh sendiri. Dalam hal ini, peneliti sastra lisan dapat mengungkap aspek-aspek intertekstual

sebuah teks sastra.

3.5 Retorika dan Pandangan Dunia

Interpretasi dan penelitian terhadap unsur-unsur retorika sastra lisan menunjukkan bahwa

komposisi lisan dibangun atau dirakit berdasarkan formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan

tema-tema baku yang disediakan oleh konvensi sistem budaya masyarakatnya. Persoalan yang

perlu dibahas dalam kaitan dengan sistem poetika ini adalah kaitan dan hubungannya dengan

pandangan dunia. Menginterpretasi tradisi lisan berarti pula memahami pandangan dunia

(worldview) (Vansina, 1985: 90).

Telah ditunjukkan di atas bahwa dalam sastra lisan, formula, ungkapan-ungpakan

formulaik, ataupun kelompok-kelompok ide dan deskripsi bagian-bagian cerita dalam alur

mengacu kepada berbagai realitas. Formula-formula itu sering kali diulang-ulang dalam sebuah

korpus kebudayaan. Formula-formula itu dapat ditemukan dalam berbagai genre cerita dalam

berbagai kebudayaan. Apakah artinya ini? Jika kita menerima pandangan bahwa fungsi sastra

lisan dalam masyarakat tradisional lebih kuat tekanannya pada unsur 'utile' (berguna), dapat

dikatakan bahwa formula-formula itu hanyalah sarana atau instrumen untuk menyampaikan

sistem nilai atau unsur-unsur didaktik sesuai dengan pandangan dunia konvensional. Dengan

demikian, sesungguhnya formula-formula itu merupakan simplifikasi gagasan-gagasan yang

kompleks, yang dalam arti tertentu bersifat simbolik.

Dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya, tema atau motif 'kompleks Oedipus'‚ Istilah 'kompleks Oedipus' terutama diperkenalkan oleh tokoh psikoanalisis Sigmund Freud untuk

menyebut cinta seksual anak kepada orangtuanya yang berbeda jenis kelaminnya (misalnya anak

perempuan kepada ayahnya, atau anak laki-laki kepada ibunya). Rasa cinta ini seringkali ditekan

ke alam bawah sadar karena dianggap sebagai 'dosa'. Menurut ahli-ahli psikologi,

kecemburuan anak kepada orang tua lawan jenisnya itu seringkali muncul dalam berbagai cerita

(15)

mengherankan dapat ditemukan. Di Indonesia motif Oedipus dapat dijumpai dalam berbagai

cerita. Menurut Rusyana (1993), motif semacam itu antara lain dijumpai dalam (1) cerita

Sangkuriang di Sunda, (2) cerita terjadinya orang Kalang di Pekalongan, (3) cerita Watu

Gunung dan Dewi Sinto dalam Babad Tanah Jawa, (4) cerita Gunung Darapung masyarakat

Bone, (5) cerita Kebo Mundar dari masyarakat Bali, (6) cerita Gua batu Sepong dalam

masyarakat Bone, dan (7) cerita perkawinan ibu dengan anak laki-lakinya di Nias.

Bertahannya tema-tema semacam itu menarik untuk ditelusuri makna dan terutama fungsi

cerita itu bagi masyarakat pendukungnya. Ada sebagian ahli (terutama para ahli psikoanalisis)

yang menganggap bahwa kisah-kisah itu menunjukkan alam bawah sadar manusia yang dapat

diterima kebenarannya sesuai dengan ungkapan bahasanya, apa adanya. Kisah Oedipus,

misalnya, menunjukkan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat cinta seksual kepada orang

tuanya yang berlainan jenis kelaminnya. Oedipus membunuh ayahnya dan mengawini ibunya

sendiri secara tegas menunjukkan pergolakan bawah sadar manusia itu. Dengan demikian, cerita

itu diterima sebagai sebuah 'kebenaran ilmiah'. Sebagian ahli lainnya seperti Whellwright (1965)

dan Malinovsky (lihat Cairns, 1944) menganggap bahwa penafsiran terhadap tema-tema

semacam itu perlu dikaitkan dengan data-data historis suatu masyarakat karena cerita-cerita

rakyat seringkali memiliki makna diaphoris dengan tradisi suku-suku tertentu. Dengan lain

perkataan, motif-motif yang sama dapat saja memiliki makna berbeda sesuai dengan pengalaman

sejarah masing-masing kebudayaan.

Levi-Strauss (1958) mengungkapkan perspektif yang berbeda tentang fungsi

formula-formula tersebut, terutama dalam masyarakat primitif. Menurut dia, cerita-cerita rakyat

(khususnya mitologi-mitologinya) merupakan alat logika yang digunakan untuk memecahkan

kontradiksi-kontradiksi yang berkaitan dengan masalah-masalah mendasar (situasi batas manusia)

yang dialami dalam kehidupannya. Cerita-cerita itu menawarkan suatu model pemahaman yang

sedapat mungkin masuk akal terhadap hal-hal yang secara sepintas tampak kontradiktif. Cerita

Oedipus, menurut Levi-Strauss, merupakan jawaban manusia terhadap pertanyaan mendasar

'Bagaimana mungkin manusia (one) dapat dilahirkan dari pria dan wanita (two)? Mengapa kita

tidak diturunkan dari seorang pencipta saja?"

Bagi para peneliti sastra lisan, berbagai metode dan teknik-teknik penelitian yang dikenal

dalam ilmu sastra dan ilmu kritik teks dapat dijadikan pedoman untuk menafsirkan

(16)

Dengan demikian, pendekatan sastra dapat leluasa menafsirkan tema-tema itu tanpa terikat pada

satu makna tunggal.

4. Rangkuman

Berbagai gaya retorika dalam komposisi sastra lisan menunjukkan ciri-ciri formulaik,

baik dalam tataran struktur formalnya maupun dalam tataran semantisnya. Ciri-ciri formulaik

itu dapat dipahami dalam konteks fungsi sastra lisan sebagai sarana bagi penyimpanan,

penyampaian dan pewarisan berbagai norma, konvensi, dan sistem nilai dalam lingkup suatu

kebudayaan tertentu. Variasi-variasi teks dapat dikaji dalam hubungannya dengan aspek

tanggapan (resepsi) penutur cerita terhadap norma konvensional tersebut, entah

norma-norma kesusastraan maupun norma-norma-norma-norma sosial kemasyarakatan. Menurut paham resepsi

sastra, pergeseran unsur-unsur teks berkaitan erat dengan horison harapan penutur terhadap

sistem konvensi tersebut. Acapkali perubahan-perubahan kemasyarakatan mengakibatkan

munculnya variasi-variasi suatu teks tertentu.

Penciptaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat adanya formula,

ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai. Pencipta sastra lisan bertugas merakit

formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian, sastra lisan tampak sebagai

akumulasi formula-formula. Meskipun demikian, struktur sastra lisan sesungguhnya tidak beku

karena setiap kali diceritakan, teks itu diciptakan secara baru dan spontan sesuai dengan

situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun keadaan si penggubah sendiri.

Dalam kebudayaan tertentu, seorang sastrawan (penyair lisan atau tukang cerita)

adalah seorang profesional yang mencapai status tersebut melalui sistem pendidikan tertentu

yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain, seorang sastrawan lisan tidak mengikuti

sistem pendidikan tertentu. Jika dilacak lebih jauh mengenai sumber-sumber cerita, dapat dijumpai

berbagai aspek intertekstualitas dalam sebuah teks. Kajian terhadap hal ini dapat menjelaskan

migrasi dan difusi sebuah bentuk kebudayaan. Pada akhirnya retorika sastra lisan dengan

berbagai kaidah poetikanya yang demikian itu mengandung pandangan dunia tertentu. Dari sudut

teori sastra, khususnya teori-teori resepsi, unsur-unsur formula, ungkapan-ungkapan formulaik,

dan tema-tema siap pakai dapat mengacu kepada berbagai kemungkinan arti. Menjadi tugas

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: PT Intermasa.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Kepel Press.

____________________, 2010. “Strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia 2009”. http://kunci.or.id/public-culture-series/strukturalisme-levi-strauss-di- indonesia-2009-oleh-heddy-shri-ahimsa-putra/. Diunduh tanggal 16 Maret 2010.

Baroroh-Baried, Siti, Siti Chamamah Soeratno, Sawoe, Sulastin-Sutrisno, Moh. Syakir. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Depdikbud.

Bascom, William. 1984. "The Forms of Folklore: Prose Narratives" dalam Allan Dundes (ed.) Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth.

California: University of California Press.

Bertens, K., 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis. Jakarta: Gramedia.

Butcher, S. H., 2010. Aristotle’s Poetics. Diunduh tanggal 23 April 2010 dari http://www.leeds.ac.uk/ classics/resources/poetics/poettran.htm

Braginsky, V. Y., 1975. Some Remarks on the Structure of the 'Sya'ir Perahu' By Hamzah Fansuri dalam KITLV, 131.

Carvalho-Neto, Paulo de. 1985. Concept of Folklore (Terjemahan Jacques M.P. Wilson). Coral Gables, Florida: University of Miami Press.

Chase, Richard. 1969. "Notes on the Study of Myth" dalam John B. Vickery Myth and Literature. Lincoln: University of Nebraska Press.

Chavalier, Jean and Alain Gheerbrant, 1982. The Penguin Dictionary of Symbols. London: Penguin Books Ltd.

Culler, Jonathan. 1977. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. London: Routledge & Kegan Paul.

____________. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

(18)

Jakarta: Depdikbud.

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain- lain. Jakarta: Grafiti Press.

Dhavamony, Mariasusai, 1997. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius.

Djamaris, Edward, et.al., 1993. Nilai Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah Sumatera. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud.

Djawanai, Stephanus A. 1980. A Study of the Ngadha Text Tradition: A Linguistic Investigation of the Collective Mind of the Ngadha People on the Island of Flores, Indonesia. Ann Arbor: The University of Michigan (Disertasi).

Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana University Press.

--- 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.

Fernandez Ozias, Stephanus, 1991. Kebijaksanaan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan Kini. Maumere: STFTK Ledalero.

Frenz, Horst. 1990. “Seni Terjemahan” dalam Newton P. Stallhecht dan Horst Frenz (Eds). Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933 – 1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: P. T. Djambatan.

Gaster, Theodor H. 1984. "Myth and Story" dalam Sacred Narrative: Readings in

the Theory of Myth. (Alan Dundes, ed.) California: University of California Press.

Guillen, Claudio. 1971. Literature as System: Essays toward Theory of Literary History. Princeton University Press.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1984. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

(19)

____________. 1989. “Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia” dalam Prisma, nomor 1 Tahun XVIII – 1989.

Hicks, David, 1985. Roh Orang Tetum di Timor Timur. Penerjemah Tim PSH. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

________________. 1993. “Yang Tak Abadi adalah Yang Abadi: Transformasi Cerita Sarahwulan” Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.

____________. 1999. “Filologi Lisan dalam Kaitan Pembentukan Wacana

Kebudayaan” Makalah Seminar Keberagaman Budaya dalam Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Translated from Germany by Timothy Bahti. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Geertz, Clifford, 1996. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hartoko, Dick. 1991. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

Kadarisman, 2010. “Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring Makna Simbolik”. Makalah. Tanpa tahun.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kleden, Ignas. 1987. “Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan” dalam Prisma Nomor 5 Tahun XVI – 1987.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.

Kuntara Wiryamartana, I. 1991. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

(20)

Growth, Relevance, and Transmission. Aseen/Amsterdam: Van Gorcum.

Levi-Strauss, Claude. 1958. "The Structural Study of Myth" dalam Thomas A. Sebeok (ed.) Myth: A Symposium. Bloomington: Indiana University Press.

Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press.

Luxemburg, Jan van, dkk., 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Mangunwijaya, Y. B., 1986. “Sastra dan Bentuk Hidup” dalam Basis, No. XXXVIII. Yogyakarta: Andi Offset.

Meij, Dick, van der dan Yvonne van Genugten. 1993. “Penelitian Awal Mengenai Sastra Lisan Nusantara: Gambaran Sementara” Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Merriam-Webster Online Dictionary. 2010. Merriam-Webster Online. Diunduh 25 April 2010 dari <http://www.merriam-webster.com/dictionary/rhetorics>

Mukarovsky, Jan. 1978. Structure, Sign, and Function. Diterjemahkan oleh John Burbank & Peter Steiner. New Haven: Yale University Press.

Muskens, M.P.M., 1979. Partner in National Building: The chatolic Church in Indonesia. Aachen: Missio Aktuell Verlag

Noerhadi, Toety Herati, 1986. “Kata Pengantar” buku Metodologi Ilmu Pengetahuan karya A. B. Shah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Parera, ADM, 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Phillips, Nigel. 1981. Si Jobang: Sung Narratives Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridgre University Press.

Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin, London: University of Texas Press.

Pudentia, MPSS. 2002. “Dinamika Tradisi Lisan Nusantara” Makalah Seminar Nasional Dinamika Budaya Lokal dalam Wacana Global Dies Natalis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 5 Maret 2002.

Reynolds L.D. and N.G. Wilson. 1975. Scribes and Scholars: A Guide to the

Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press.

Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

(21)

Publication.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rutherford, Danilyn dan Sam Kapissa. 1996. “Barang Rampasan dari ‘Sup Amber’: Wor Biak sebagai Alat Transformasi” dalam Warta ATL Edisi II/Maret/1996.

Rusyana, Yus. 1993. "Cerita Sangkuriang: Daya Kembara Cerita Lama Lintas Media, Genre, dan Bahasa dari Zaman ke Zaman" Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.

Sebeok, Thomas A. 1968. Style in Language, 2nd Paperback Printing (First Ed. 1960). Cambridge, Massachusets: The M.I.T Press.

Selden, Raman, 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Semi, Atar, 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari buku The

Ethnographic Interview oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Soebadio, Haryati. 1991. "Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu" dalam Lembaran Sastra Nomor Khusus: 12/01. Depok: Fakultas Sastra Univ. Indonesia.

Sudardi, Bani. 2001. “Muatan Tradisi Lisan dalam Kurikulum di Perguruan

Tinggi” Makalah Semiloka Tradisi Lisan: Pembuka Wawasan Pluralitas.

Bogor: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sukada, Made, 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi.Bandung: Angkasa.

Sulastin-Sutrisno. 1981. Relevansi Studi Filologi: Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Yogyakarta: FS-UGM.

Sutrisno, F.X. Mudji., 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.

(22)

Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Taufik Abdullah. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.

Taum, Yoseph Yapi. 1994. "Tradisi dan Transformasi Cerita 'Wato Wele-Lia Nurat' dalam Cerita Rakyat Flores Timur". Tesis Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.

_________________. 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat Dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan (ISBN Nomor : 979 - 461 – 256 - 1) .

________________. 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.

_________________. 1999. “Sastra dan Bahasa Ritual Masyarakat Flores Timur”

dalam Kaswanti Purwo dan B. Rahmanto (Ed). Memahami Sastra Lisan. Jakarta:

Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.

________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

_________. "Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan" (dua karangan) dalam BASIS No. XXXVII-11 dan XXXVIII-12. Yogyakarta: Andi Offset.

________. 1988b. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya - Giri Mukti Pasaka.

________. 1991. "The Text" dalam J.J. Ras dan S.O. Robson (eds.) Variation, Transformation andMeaning: Studies on Indonesian Literatures in Honour of A. Teeuw. Leiden: KITLV Press.

Thompson, Stith. 1966. Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval

Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends. California: University of California Press.

Thompson, Stith. 1977. The Folktale. California: University of California Press.

Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra.Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

(23)

Diterjemahkan oleh Akhadiati Ikhram. Jakarta: Intermasa.

Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. Harmondsworth: Penguin Books.

__________. 1985. Oral Tradition as History. Madison: The University of Wisconsin Press.

Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker Im Tropischen Holland oleh SD Sjah. Ende: Nusa Indah.

Vickery, John B. 1982. "Literature and Myth" dalam Jean-Pierre Barricelli & Joseph Gibaldi (eds.) Interrelations of Literature. New York: The Modern Language Association of America.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Whellwright, Philip. 1965. "The Semantic Approach of Myth" dalam Thomas A. Sebeok (ed.)

Myth: A Symposium. Bloomington and London: Indiana University Press.

Zaimar, Okke K. S., 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermasa.

Referensi

Dokumen terkait

The accuracy of classification obtained using TFPC is, however, relatively sensitive to the choice of support and confidence thresholds used when mining the classification rules.. We

so long as the above are in compliance with the standards defined by the specific decrees pursuant to article 5, 3 rd of act no. 66-48 of May 27, 1966, or otherwise, by the

Bunyi atau suara adalah salah satu unsur pembentuk suatu kawasan yang bersifat non fisik, yang selama ini kurang diperhatikan, terutama jika dibandingkan dengan unsur fisik

Kita dipanggil untuk tidak berpusat pada diri sendiri dengan berusaha sedemikian rupa mencapai berbagai kategori-kategori politis atas tubuh dan kemudian merendahkan mereka

Perbedaan hasil belajar ini dapat disebabkan karena dalam proses pembelajaran di kelas yang menerapakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, siswa terlihat

Desa Pasar Binanga, warga bernama Tamin Hasibuan, umur 50 tahun, pekerjaan tani dan beralamat di Pasar Binanga, Kecamatan Barumun Tengah, Padang Lawas, menerangkan bahwa

This happens because Sprouts make breathing by involving oxygen gas (O2) as an ingredient is absorbed/required and generate carbon dioxide gas (CO2), water (H2O) and a number of

Dengan adanya penyimpanan data-data mengenai pembelian, penjualan tiket dan paket tour dalam database maka akan mempermudah pihak manajer dapat memanfaatkan laporan informasi