• Tidak ada hasil yang ditemukan

LA CHENILLE QUI VOULAIT VOIR LA MER ULAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LA CHENILLE QUI VOULAIT VOIR LA MER ULAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

`LA CHENILLE QUI VOULAIT VOIR LA MER'

(ULAT YANG LNGIN MELIHAT LAUT)

RETORIKA VISUAL DARI KEREMEHTEMEHAN SEBUAH NARASI KECIL

Kiki Rizky Soetisna Putri

Program Studi Seni Rupa Murni, STISI Telkom

e-mail :

kiki@stisitelkom.ac.id

dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.1 2012

Abstract

A short film lasted four minutes and forty-nine seconds, entitled 'La Chenille Qui Voulait Voir La

Mer' from France, tells about a caterpillar who wanted to see the sea. It was begun when the

caterpillar found a piece of old newspaper on the ground as he was having lunch, newsprint was

joined by her partially eaten, and after the caterpillar was aware that he was chewing it, he

later rose to the top of a small tree trunk and he saw a sea scene in the last scrapt of the

newsprint. Since then the caterpillar and the adventure began, a long journey, full of

determination to the sea.

The film is very interesting to watch, a three-dimensional animated film which does not use

verbal language at all, therefore the visualization in this film has one hundred percent portion.

When verbal language is reduced, then automatically the visual power is very reliable, and this

film has answered all the questions, that the visual without verbal elements can even convey a

meaning effectively. When verbal is eliminated then our attention Into a visual display is not

impaired. The film consists of a series of frames which makes the moving picture is complete,

each frame captures the elements of a specific way. In each frame, we can interpret the

caterpillar's life as a collection of visual text, which is a bigger scale in a story series.

So this paper will discuss a film with visual rhetoric approach, and its metaphoric elements that

build up an idea in a small unimportant narrative. And in some scenes, a single frame will be

discussed partially since the frame part shows precisely the complete elements of visual rhetoric.

(2)

2 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

dunia nyata. Animasi menjadi sebuah wahana fantasi tak berbatas. Manusia, sebagai kreator bisa dengan sangat leluasa menciptakan sebuah situasi yang ganjil, bahkan ajaib, atau mustahil sekalipun. Saat ini animasi juga sering kali digunakan dalam film pada umumnya, untuk menampilkan efek-efek tertentu seperti dramatisasi dalam film action misalnya. Adapula film yang memang menyadur dari cerita dalam komik atau sejenisnya, kerap menggunakan animasi sebagai sebuah cara untuk merealisasikan gagasan dalam komik yang notabene jauh dari kenyataan menjadi tampak nyata dalam film.

Animasi dimaknai sebagai sebuah ilusi optikal dari rentetan imaji-imaji baik itu dua dimensional maupun tiga, yang diputar secara cepat menjadi sebuah gambar bergerak.Animasi pertama ditemukan pada lukisan gua, berupa tahap demi tahap rentetan gambar yang menunjukan sebuah suasana atau kegiatan. Perkembangan animasipun telah sampai pada campur tangan komputer sehingga hasilnya bisa kita saksikan hari-hari ini. Mengenai animasi sebagai sebuah ide untuk menciptakan realitas yang hyper, dalam hal ini menciptakan sesautu keadaan yang

mengurangi.

Rentetan gambar tersebut juga dapat dimaknai sebagai sebuah komposisi teks yang disusun sedemikian rupa menjadi sebuah dialog dalam upayanya untuk menyampaikan pesan. Pada tugas akhir semester kali ini penulis memilih obyek kajian sebuah film semi animasi pendek. Sebuah film yang menggabungkan animasi tiga dimensi dengan landscape nyata. Animasi dalam hal ini dijadikan semacam cara untuk dapat mengandirkan situasi yang di luar kebiasaan.

2. Isi

(3)

3 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

Gbr.1 Gbr. 2 Gbr. 3 Gbr.4

Gbr.5 Gbr. 6 Gbr.7 Gbr.8

Gbr.9 Gbr.10 Gbr.11 Gbr.12

Gbr.13 Gbr.14 Gbr.15 Gbr.16

Gbr.17 Gbr. 18 Gbr. 19 Gbr. 20

Gbr. 21 Gbr.22 Gbr. 23 Gbr. 24

(4)

4 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

Gbr.29 Gbr.30 Gbr.31 Gbr.32

Gbr. 33 Gbr. 34 Gbr. 35 Gbr.36

Gbr. 37 Gbr. 38 Gbr. 39 Gbr. 40

Gbr. 41 Gbr. 42 Gbr. 43 Gbr.44

Gbr. 45 Gbr. 46 Gbr. 47 Gbr.48

Gbr. 49 Gbr. 50 Gbr. 51 Gbr. 52

(5)

5 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

Gbr.57

Jika kita perhatikan tiap-tiap frame adegan dalam film tersebut, merupakan sebuah bahasa visual yang terkonstruksikan dari teks-teks yang pada akhirnya di baca sebagai sebuah cerita atau pesan. Setiap

pesannya kemudian menyusun pula

menjadi sebuah kalimat besar, berupa rangkaian film secara utuh. Film begitu pula karya seni lainnya adalah sebuah ladang bagi 'kata-kata' visual, yang oleh Julia Kisteva disebuat sebagai lntertekstualitas. Karya seni (dalam hal ini pula film) tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai landasan atau kriteria dalam dirinya sendiri, tidak otonom1. Dalam hal ini, ia akan saling merujuk pada sesuatu yang lain, sebagai contoh, film ini.

Dalam film ini kita akan menemukan sebuah petualangan dari seekor ulat yang ingin melihat pantai, ia otomatis mendapatkan sebuah rujukan dari misalkan kisah mengenai kegigihan.

Film tersebut terdiri dari tiga pembabakan, pertama adalah bagian pembuka, dimana si ulat sebagai tokoh utama dalam film tersebut menemukan sebuah foto pantai yang ia temukan pada sobekan kertas koran, hal tersebut kemudian menjadi cikal bakal sang ulat terobsesi untuk melihat

1

Dalam hipersemiotikadijelaskan bahwa istilah intertekstualitas pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, pemikir poststruktualis perancis.

pantai yang sesungguhnya. Bagian kedua, berupa sebuah perjalanan panjang si ulat dalam rangka mencapai tujuannya tersebut, dan terakhir adalah keberhasilan si ulat mencapai tujuannya.

Selanjutnya sang ulat meneruskan perjalanannya, hingga malam tiba, saat itulah ia kemudian makan malam dengan lahapnya dan setelah itu ia kembali menghayalkan pantai yang ia lihat di helaian koran tadi siang, dan hal itu membuatnya

semakin bersemangat dan kembali

melanjutkan perjalanannya tanpa mengenal lelah.2Sampai bagian ini, kita telah mendapatkan sebuah gambaran jelas, bahwa ulat bukanlah sekedar ulat secara alami, yang menggeliat-geliat di atas daun sepanjang hari, melainkan digunakan sebuagai alat penyampai makna, tidak lagi atonom sebagai ulat tetapi kompleks beserta sifat-sifat artifisialnya. Retorika visual adalah merupakan sebuah cara penyampaian pesan, mempersuasi dengan cara 'mengarang' (fabricate) tuturan yang salah atau bukan semestinya. Si ulat dijadikan bahasa retoris, mendistorsi realitas dan kemudian membuatnya seperti apa adanya.

Setelah semalaman berjalan tanpa lelah hingga keesokan harinya, pada adegan selanjutnya ia dihadapkan dengan rintangan

2

(6)

6 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012 dari sebuah pohon kecil, ia meringkuk menyelamatkan dirinya dari hujan3.

Segera setelah hujan reda ulat kemudian melanjutkan perjanannya, kali ini melalui jalur sungai dengan menaiki sebuah batang pohon sebagai perahunya4, untuk

selanjutnya meneruskan dengan

menumpang sebuah kapal nelayan sampai ke pantai, ia berdiri dengan gagahnya di geladak kapal tersebut, seperti akan menyongsong sesuatu yang besar5. Ada hal yang menarik ketika ia berjalan mengendap-endap di hadapan seekor burung camar yang sedang berada di dermaga, berusaha menghindari agar tidak tertangkap dan akhirnya dimangsa oleh sang camar, sehingga akhirnya ia sampai dengan selamat di pantai yang ia idam-idamkan tersebut6

3

lht gambar no. 41

4

lht gambar no.45 sampai dengan 47

5

lht gambar no. 48 sampai dengan 51

6

Lht gambar no. 52 sampai dengan 57

penuh dangan kejutan. Film ini

menganalogikan semua itu dengan cara yang sangat cerdas, kita dipaksa untuk merasakan sebuah tegangan antara apa

yang disebut dengan petualangan

menantang maut yang selama ini kita pahami dengan sesuatu yang sesungguhnya bisa dibilang bukan apa-apa (nothingness). Bukan apa-apa, tetapi jika kita renungkan, melewati seekor burung camar bagi ulat kecil bisa jadi lebih dari menantang maut, tegangan antara melihat hal tersebut sebagai yang bukan apa-apa dan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya pada saat yang sama. Persepsi, perasaan sekaligus pengalaman kita dicampuradukan ke dalam permainan bahasa film ini.

(7)

7 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012 rupa sehingga menjadikannya bernilai sentimental. Setiap frame dalam film ini menyuguhkan sebuah komposisi teks yang sangat kaya. 9

Ending cerita menampilkan pemandangan

pantai yang sama persis dengan yang ditampilkan saat awal film, pada helaian koran. Kecuali kali ini pantai tersebut terlihat diliputi lembayung matahari sore. Saat inilah, pada akhir film, kita disuguhi sebuah kejutan yang mengharukan, sebuah, kembali bahasa visual yang menampilkan bukan hanya sekedar kursi yang di letakan di depan pantai pada sore hari, melainkan

digabungkan dengan memori dan

pengalaman kita sebelumnya. Digabungkan dengan sebuah petualangan seekor ulat kecil yang pantang menyerah, maka sebuah komposisi visual yang kemudian telah disisipi nilai-nilai tadi menjadi sesuatu yang

extraordinary. Sebuah gambar atau citra

visual seringkali lebih efektif dalam

menyampaikan sebuah pesan dibandingkan ribuan kata. Karena sebuah unsur visual membukan bermacam alternatif tafsir, melibatkan pengalaman, juga persepsi, apersepsi, dan nilai-nilai yang dibangun terhadapnya. Tetapi walau demikian ,

sebuah pesan akan tetap dapat

disampaikan, karena unsur-unsur visual tadi digiring pada satu makna tertentu dengan sangat cerdas dan menarik.

3. Kesimpulan dan Penutup

Retorika Visual dari Sebuah Narasi Kecil Runtuhan modernisme menimbulkan efek yang serius pada dunia seni pada umumnya begitu pula termasuk di dalamnya film. Kode-kode yang semula dikonstruksikan menjadi chaos, seakan sebuah eforia atas

suatu kebebasan. Kaidah-kaidah

konvensional modern ikut runtuh, seni film, dan lain sebagainya menjadi sesuatu yang

playful, pencampuradukan masa lalu, masa

kini dalam semangat yang fun, serta

penghargaan terhadap narasi-narasi kecil7. Film 'La Chenille Qui Voulait La Mer' merupakan sebuah bentuk penghargaan

7

(8)

8 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012 sekali. Tetapi secara mengejutkan ia mendapatkan sebuah situasi yang justru bertolak belakang, sebuah narasi kecil yang disisipi oleh pesan megenai kegigihan dan perjuangan pantang menyerah dari seekor ulat daun. Sebuah narasi kecil yang mengalami sebuah proses dilebih¬lebihkan,

atau bahkan dikurang-kurangi pada

beberapa bagiannya, sebuah retorika visual yang nyata di depan mata.

Seekor ulat daun dalam hal ini tokoh utama, mendapatkan nilai-nilai yang dipindahkan dari sesuatu yang lain, ia tidak menjadi ulat sebagaimana mestinya, tetapi memilik

sifat-sifat yang dipindahkan

(transfer:replacement, substitusi,

translasi) padanya, sifat-sifat manusia, diantaranya akal, perasaan, kegigihan dan sebagainya. Si ulat mengalami petualangan yang dramatis, penuh keberanian, gigh,

sekaligus mengharukan (similiarity:

iconicity, analogy, likeness). Film `La Chenille Qui Voulait Voir La Mer', memiliki hampir semua unsur dalam sebuah proses retorika visual, bukan itu raja, sebagai sebuah film yang digarap dalam era postmodern, ia membawa nilai¬nilai yang

dihubung-hubungkan dengan

kecenderungan diskursus postmodern itu sendiri. Perayaan terhadap narasi kecil,

retorik, diantarany juga metaforik,

hiperbola, dan yang pasti tentu saja fun,

serta playful tadi. Semua mengenai

permukaan, bagaimana visual dapat dengan sangat suka-suka diolah, yang padanya terdapat pula aspek nilai.

exchange and use value"8

Bagaimana film dimaknai sebagai 'cultural commodity of difference'9, sebuah

komoditas budaya dari keberbedaan.

Bagaimana proses globalisasi, menjadikan sebuah kebudayaan dalam hal ini juga film tidak lagi memiliki pusat yang tetap, tetapi plural dan menyebar. Film-film di luar mainstream, menjadi sebuah alternatif lain yang menyegarkan, salah satunya film ini,

sebuah film garapan Perancis (non

Hollywood) yang menampilkan sebuah

sudut pandang lain dari kehidupan,

kegigihan, perjuangan, dan nilai-nilai

mengenai kebudayaan, yang terbangun dari sebuah narasi kecil, yang serba remeh temeh.

8

Lht The Nature of Postmodern Cinema, the Rouledge, companion to postmodern, Eited by Stuart Sim, Routledge, New York, 2008

9

(9)

9 Jurnal Seni Rupa & Design Vol.1 No.1 2012

DAFTAR PUSTAKA

Piliang, Yasraf. A, Hipersemiotika, Jalasutra, Yogyakarta, 2003

Sim, Stuart, The Routledge Companion to Postmodern, Routledge, New York, 1998

Sugihato, Bambang, Postmodernisme:

Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Jogjakarta, 1996

Cooper, D, A Companion to Aesthetics, Blackwell, Massachusetts, 1992

Giddens, Anthony, Modern-Postmodern,

New German Critique No.22, Sage, London, 1981

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh untuk Gampong Lamteh Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar dan Gampong Pande Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh,

wawancara dari penerapan media kartu angka untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak di PAUD Yapis Konda bahwa guru: Memilih tema yang ingin dicapai sesuai program

Aktivitas lain yang dapat dilakukan oleh humas adalah mengunjungi kantor/redaksi media massa, membuat siaran pers (press realese), memberikan kesempatan wawancara pers,

44 Tahun 2009 di berikan penjabaran tentang kewajiban pasien ini meliputi mematuhi ketentuan yang berlaku dalam rumah sakit, memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Gaya Hidup, Produk, Harga, Promosi, Lokasi, Proses, dan Lingkungan fisik Terhadap Keputusan Pembelian Pelanggan Cafe Tialif Medan”.

Fokus kajian ialah generasi muda etnik Kadazandusun dan penggunaan dialek Melayu Sabah sebagai bahasa komunikasi, kata bahasa Melayu yang diserap kekal dalam kosa kata

Diharapkan Bahan Kajian Pembelajaran Bentuk Kriteria Penilaian Bobot Nilai. 4

Dan yang terakhir sektor Jasa Perorangan dan Rumah Tangga adalah sektor terbaik kelima dengan nilai backwardnya 2,86 yang artinya distribusi manfaat dari pengembangan sektor