• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Peran Sekolah dalam Penguat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revitalisasi Peran Sekolah dalam Penguat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

REVITALISASI PERAN SEKOLAH DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN DAN PEMBIASAAN AKHLAK MULIA BAGI ANAK

(Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)1

Mulyawan Safwandy Nugraha

Dosen STAI Sukabumi

mulyawan77@yahoo.co.id

Abstrak

Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan nilai tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan kurang memiliki mental kepribadian yang baik pula. Sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan bagi peserta didiknya.

Sejak tahun 2008, Bupati Sukabumi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah. Ada 10 program pembiasaan akhlak mulia di sekolah dan madrasah. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Sukabumi meresmikan program Diniyah Takmiliyah Alawiyah (DTA), yaitu program penambahan mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi 6 jam.

Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya hasil evaluasi pelaksanaan program-program tersebut akibat dari dukungan dari berbagai unsur, terutama dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara maksimal; (3) orang tua masih terlalu menyimpan beban besar kepada sekolah untuk mewujudkan anak yang cerdas dan soleh.

Kata-kata Kunci: peran sekolah, pembiasaan akhlak mulia, pendidikan agama

1

Bahan prosiding untuk International Conference On Helping Profession On Child Abuse And

(2)

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan sebuah indikator yang menentukan keberhasilan suatu daerah untuk mencapai taraf yang maju dan dapat membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Maju mundurnya sutu bangsa, negara dan masyarakatnya tergantung kepada pendidikan itu sendiri. Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari Sekolah dan Madrasah.

Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan nilai tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan kurang memiliki mental kepribadian yang baik pula.

Sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan bagi peserta didiknya. Melalui sekolah, Masyarakat masih menyimpan harapan bahwa di sekolah, akhlak mulia akan terjaga. Walaupun saat ini perilaku menyimpang justru terjadi di sekolah. Menurut Hadi Supeno (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI 2007-2010) bahwa berdasarkan data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus

kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600

kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41% di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41% lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7%, terkait tindak perdagangan anak, 3% kasus pembunuhan, 7% tindak

penganiayaan, sisanya tidak diketahui.

Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaa n, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3% dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18%. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 %, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.

Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Uraian tersebut menunjukan bahwa sekolah bukanlah tempat yang aman bagi anak. Hal ini menimbulkan masalah tentang bagaimana sekolah dapat mengantisipasi hal tersebut. Perlu upaya merevitalisasi sekolah dalam memainkan perannya. Termasuk perlunya pemerintah daerah turun tangan dengan melahirkan regulasi yang menjaga sekolah agar tujuan mewujudkan siswa yang berpendidikan dan berakhlak mulia.

(3)

sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.

Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembiasaan Akhlak Mulia di lembaga pendidikan telah berhasil menanamkan akhlak mulia di kalangan siswa di lembaga pendidikan.

Peraturan Bupati Sukabumi ini menarik untuk diteliti karena Pemerintah Daerah berupaya untk merevitalisasi pendidikan di sekolah dengan membiasakan hal-hal yang dianggap kecil dan biasanya luput dari perhatian pengelola pendidikan itu sendiri. Adapun isi dari dari peraturan itu adalah membiasakan siswa di sekolah untuk:

1) Berbakti pada orang tua dan guru 2) Berbusana muslim

3) Memelihara adab belajar sesuai dengan tuntunan agama islam, yaitu: a. Membaca salam ketika masuk kelas; b. Berdo`a diawal dan diakhir pelajaran; c. Musofahah (bersalaman) kepada guru

4) Membaca dan menghapal alqur`an; a. Membaca Al-qur`an sebelum memulai pelajaran pertama secara berkesinambungan; b.Membaca Al- qur`an dan hadits sesuai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) pada setiap mata pelajaran; Menghapal Al-quran sekurang kurangnya juz „Amma, juz pertama dan juz kedua bagi SMP/MTs. Juz

„Amma, juz pertama dan kedua bagi SMA/SMK/dan MA

5) Memelihara kebersihan diri dan lingkungan dengan melaksanakan kegiatan operasi bersih, baik dibimbingoleh guru maupun sendiri- sendiri

6) Mendirikan sholat fardu dan sunat: a. Mendirikan sholat dhuha pada waktu kegiatan istirahat pertama; b. Mendirikan sholat dzuhur dan ashar berjamaah yang diteruskan dengan berdzikir bersama yang disesuaikan dengan pelaksanaa pembelajaran; c. Qiamul lail sekurang kurangnya dilaksanakan sekali dalam sebulan sesuai kondisi.

7) Melaksanakan ta`lim dan ceramah keagamaan diantaranya melibatkan unsur KAUA, MUI dan kyai atau ulama setempat minimal satukali dalam sebulan.

8) Terbiasa melaksanakan infaq sejak dini baik yang insidentilmauoun rutin melalui unit pengumpul zakat (UPZ) disetiap satuan pendidikan

9) Melaksanakan shaum wajib dan saum sunat

10)“cinta tanah air” dengan melaksanakan kegiatan kegiatan untuk mewujudkan kecintaan terhadap tanah air di antaranya melalui kegiatan PRAMUKA IQOMAH dan kegiatan ekstra kurikuler dan budaya Islam lainya.

Penelitian ini ingin mengelaborasi khusus tentang tentang revitalisasi sekolah dengan penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.

B. Kajian Teoretis

(4)

tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1. Selanjutnya, di pasal 3, Undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara yuridis undang-undang tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan harus menjadikan peserta didiknya memiliki akhlak yang mulia, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut aspek afektif dan psikomotor.

Dengan demikian, budi pekerti luhur atau akhlak karimah merupakan sasaran yang akan dibangun bangsa Indonesia sebagai landasan ideal dan operasional bagi dunia pendidikan kita. Tujuan pendidikan di atas secara makro berlaku pada semua institusi formal maupun nonformal, dan tujuan tersebut berlaku pada semua aktivitas pendidikan di negeri ini, dan dituntut untuk mengimplementasikan rumusan tujuan di atas secara operasional pada masing-masing unit lembaga pendidikan.

Dalam konteks kedaerahan, bahwa sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan lahirnya PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, menjadikan daerah dapat lebih inovatif dalam melaksanakan pendidikan keagaaman dalam rangka mewujudkan masyarakat yang memiliki kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik dengan landasan iman dan takwa serta akhlak mulia atau berbudi luhur.

Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya: Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; dan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal-pasal dari Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tersebut berbunyi:

Pasal 8 menyebutkan:

1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

(5)

prinsip pendidikan keagamaan, yaitu prinsip preparation (mempersiapkan) dan prinsip formulation (pembentukan). Prinsip pertama menghendaki bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama; dan prinsip kedua menghendaki bahwa tujuan pendidikan keagamaan adalah untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Adapun program pendidikan keagamaan, sesuai dengan pasal 9 di atas, adalah bahwa pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mengkonsentrasikan pada pembelajaran bidang-bidang keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pendidikan ini diselenggarakan melalui tiga jalur penyelenggaraan, yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan keagamaan jalur formal dilaksanakan dalam suasana pembelajaran keagamaan yang berlangsung secara formal/resmi dengan regulasi langsung dari pemerintah, dan biasanya komunitas belajar berada di dalam sebuah kelas yang secara sengaja didesain untuk kepentingan pembelajaran. Pendidikan keagamaan jalur non-formal diselenggarakan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga di luar pemerintah, dan secara khusus tidak berada di bawah regulasi langsung pemerintah. Lembaga-lembaga itu secara otonom menentukan dan membuat kebijakannya sendiri-sendiri tanpa bergantung pada kebijakan pemerintah. Jalur ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan non-formal.

Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan di bidang pendidikan keagamaan adalah terutama diarahkan untuk membina dan meningkatkan akhlak, keimanan, ketakwaan umat beragama sehingga lahir masyarakat dengan perilaku yang baik dengan dilandasi akhlak mulia di tengah kompleksitas perubahan sosial budaya. Di samping itu juga untuk membina dan meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dengan meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ibadah menurut syariat agamanya masing-masing, serta mempermudah umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.

(6)

Aksara dan pandai Baca Al-Qur‟an dalam Wilayah Kabupaten Maros, Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1/2006 tentang Madrasah diniyah Awwaliyah, dan lain sebagainya.

Ada hal yang cukup menarik, bahwa peraturan perundang-undangan di daerah yang dikutip di atas, lahir sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan. Asumsinya, yang menjadi dasar dasar lahirnya peraturan di daerah tersebut karena lebih cenderung pada upaya pemerintah daerah untuk membina masyarakat agar berakhlak mulia melalui jalur pendidikan sesuai dengan visi, misi, strategi dan program tiap-tiap kepala daerah. Konsekuensi logis dari pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas, adalah urgensi manajemen kebijakan publik bidang pendidikan keagamaan dalam lingkup nasional maupun lokal. Hal ini dilakukan dalam upaya menanggulangi persoalan kompleksitas perubahan sosial-budaya yang terjadi.

Since the 1990s, a number of scholars and policy analysts began to stress the moral function of global pedagogy. For instance, Jacques Delors (1996:13) in his report to UNESCO of International Commission on Education for the Twenty-First Century, Learning: The Treasure Within, believed that education had an important role to play in promoting tolerance and peace globally: „In confronting the many challenges that the future holds in store, humankind sees in education an indispensable asset in its attempt to attain the ideals of peace, freedom and social justice.‟

A similar concern with a moral dimension in education is present in Bindé (2002:391) in

„What Education for the Twenty-First Century? where it is suggested that a new paradigm shift in education should be aiming to „humanize globalization‟ (see also Bindé, 2000).

At the same time, he reminds us that one of education‟s future major challenges will be

„to use the new information and communication technologies to disseminate knowledge and

skills‟ (Bindé 2002:393; see also Zajda 2009).

C. Metodologi Penelitian

Penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan berusaha mendapatkan hasil yang menyeluruh melalui pengamatan yang mendalam. Data, baik emik atau etik, diperoleh dari Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan mengambil ide tentang pembiasaan akhlak mulia bagi siswa dengan mengoptimalkan fungsi sekolah melalui penerapan kebijakan publik tentang Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah dan Peraturan tentang Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dalam penelitian ini langkah-langkahnya secara bertahap, yaitu: 1) mengklasifikasikan gejala secara rinci; 2) memeriksa media yang tepat untuk pengamatan; 3) mengkategorikan fungsi gejala; 4) pembuatan perencanaan sampling untuk memiliki tepat target; 5) menentukan kode menjadi diterapkan secara konsisten; dan 6) membuat analisis data. Prosedur pengumpulan data yang observasi, wawancara, coding, penamaan, manajemen data dan interpretasi.

D. Temuan dan Pembahasan 1. Temuan

Di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat, program pendidikan budaya dan karakter

(7)

pembangunan yang telah diraih pada periode sebelumnya dan tantangan pembangunan yang masih dihadapi, maka dalam kurun waktu periode 2010 – 2015 mendatang VISI Pembangunan Kabupaten Sukabumi adalah: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Sukabumi yang Berakhlaq Mulia, Maju, dan Sejahtera”. Akhlaq Mulia merupakan kualitas sumber daya manusia dengan perilaku tertinggi dan terhormat, yang merujuk pada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang memiliki 4 (empat) sifat utama yaitu:

a. Shiddiq yang berarti Jujur. Setiap keputusan dipertimbangkan dengan pemikiran yang

benar dan jernih (kognitif, afektif, dan spiritual /komunikasi ketuhanan).

b. Amanah yang berarti Terpercaya/Jujur/Aspiratif. Mampu memahami segala situasi,

berkomunikasi dengan tepat sehingga semua pihak menerimanya.

c. Fathonah yang berarti Cerdas/inovatif. Mampu memecahkan segala persoalan probadi,

keluarga, masyarakat, bangsa, Negara bahkan di dunia dalam semua aspek kehidupan. d. Tabligh yang berarti membina / komunikatif / motivator / menyampaikan /

mentransformasikan. Terus melakukan pembinaan dengan program yang jelas, organisasi yang mapan, kerja keras yang terarah dengan kontrol yang baik.

Dengan pencapaian kualitas perilaku tertinggi dan terhormat tersebut, diharapkan masyarakat dan stakeholders di Kabupaten Sukabumi dapat mewujudkan kesatuan gerak langkah sehingga terwujud masyarakat yang berakhlak mulia, yaitu masyarakat yang berperilaku lurus dan jujur, saling percaya, cerdas, dan saling mengingatkan untuk berlomba dalam kebaikan dan kemajuan.

a. Pembiasan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah

Berdasarkan kajian terhadap Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah, diketahui bahwa ada 10 aspek yang menjadi titik tekan perilaku dan akhlak mulia yang ingin dibiasakan di sekolah dan madrasah.

Kepala Sekolah/Madrasah, Dewan Guru, Komite,Orang Tua Siswa dan seluruh siswa segera merespon peraturan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Melaksanakan Rapat Koordinasi untuk mempelajari dan memahami peraturan tersebut.

2) Mensosialisasikan kepada Siswa dan Orang tua / Wali siswa tentang peraturan tersebut.

3) Menyusun Program kegiatan pembiasaan Akhlak siswa di sekolah dan lingkungan keluarga.

4) Melaksanakan Program Pembiasaan 10 akhlak mulia secara berkesinambungan. 5) Melaksanakan monitoring kegiatan secara berkala dan routine

6) Menerima tim penilai pembiasaan 10 akhlak mulia 7) Melaporkan hasil program pembiasaan 10 Akhlak mulia. 8) Tindak lanjut penguatan program.

10 pembiasaan yang dilaksanakan di sekolah dan madrasah tersebut tergambar secara jelas dalam tabel di bawah ini.

(8)

Uraian 10 Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah

KOMPETENSI PEMBIASAAN AKHLAK MULIA

INDIKATOR DESKRIPSI KEGIATAN

/ TEMPAT PENILAIAN

(9)

KOMPETENSI PEMBIASAAN AKHLAK MULIA

INDIKATOR DESKRIPSI KEGIATAN

(10)

KOMPETENSI PEMBIASAAN AKHLAK MULIA

INDIKATOR DESKRIPSI KEGIATAN

/ TEMPAT PENILAIAN

b. Peresmian Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)

Diniyah Takmiliyah Wustho atau disingkat DTW merupakan inisiatif Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk mengantisipasi jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah formal yang masih dianggap kurang. Dalam seminggu, rata-rata sekolah hanya memberikan alokasi dua jam saka. Hal ini pemerintah menganggap sebagai persoalan yang serius untuk dipecahkan. Dengan program DTW ini, sekolah formal tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan menerima jatah enam jam untuk PAI, di antaranya Alquran, Hadits, Aqidah Akhlak,Bahasa Arab, Tarikh, serta Fiqih. Program ini dikenalkan untuk pertama kalinya pada tahun pelajaran 2012/2013.

Dalam penjelasannya, Sukmawijaya selaku Bupati Sukabumi periode 2010-2015, menjelaskan bahwa:

Kebijakan penerapan DTW ditetapkan Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 451/Kep.690-BK/2012 tertanggal 8 November 2012 lalu. Program DTW ini merupakan program tambahan mata pelajaran untuk memperkuat aqidah siswa. Peruntukannya saat ini sebatas SMP. Program ini merupakan gagasan dari inisiatif di mana saat ini jam pelajaran di sekolah masih dianggap rendah untuk sekolah formal, yang hanya diberikan dua jam saja seminggu. Padahal jika dilihat dari sisi kebutuhan, ilmu agama itu untuk bekal aqidah yang fungsinya sebanagai penyeimbang ilmu dunia.

(11)

biasanya usai jam sekolah formal berakhir. Ruangan yang ada dilanjutkan dengan pelajar agama (Madrasah Dinyah) yang setiap hari berjalan.

Kriteria kedua, DTW terintegritas, yang dilaunching pada tanggal 14 Juli 2012 di SMPN 3 Cibadak Kabupaten Sukabumi. DTW jenis ini sistem pendidikannya menyelipkan pelajaran agama untuk sekolah formal dengan jatah satu jam pelajaran yang diselang seling dengan mata pelajaran utama. Untuk tahun 2012/2013 jumlah sekolah yang sudah mengikuti DTW terintegritas ini antara lain 20 SMP Negeri dan 28 SMP PGRI dari jumlah total 272 SMP Negeri dan swasta di Kabupaten Sukabumi.

Dalam wawancaranya, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sukabumi Zaenal Mutaqin (Periode 2011-2013), menjelaskan bahwa untuk tahap awal baru sebanyak 48 SMP yang menerapkan DTW, yang lain akan menyusul pada 2013. Dengan adanya penambahan setiap minggunya jam PAI menjadi enam jam. Dengan dilaksanakannya DTW, setiap sekolah harus mempunyai berbagai persiapan, di antaranya ketersediaan tenaga pengajar agama Islam, pembiayaan operasional, sarana dan prasarana penunjang lainnya. Dalam penerapan DTW ini memang masih ada sejumlah sekolah yang masih kekurangan jumlah guru Pendidikan Agama Islam. Namun, ada juga sekolah yang ternyata memiliki guru agama yang melebihi jumlah kebutuhan.

Penyelenggaraan DTW mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Terlebih penyelenggaraan DTW melibatkan berbagai pihak antara lain Bagian Keagamaan Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Disdik Kabupaten Sukabumi, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada 2013 seluruh SMP dapat menerapkan pendidikan DTW. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi jumlah SMP seluruhnya sekitar 272 sekolah.

Dalam evaluasi program DTW, penambahan jam untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) belum seluruhnya dilaksanakan. Dari jumlah 260 sekolah tingkat SMP, sebanyak 114 sekolah yang sudah melaksanakan penambahan jam mata pelajaran PAI yang awalnya hanya tiga jam menjadi lima jam. Belum meratanya pelaksanaan program ini sebab tergantung dari anggaran.

Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi (2011-2015), Adjo Sarjono, menjelaskan bahwa dari 260 sekolah tingkat SMP di Kabupaten Sukabumi baru 114 sekolah yang sudah melaksanakan. Sekolah lain pun akan menyusul dan menyesuaikan sesuai dengan alokasi anggaran dan kebutuhan lainnya.

Dijelaskan Adjo, bahwa penambahan jam belajar PAI tersebut atas izin dan diakui oleh Kementerian Agama. Untuk pelaksanaanya membutuhkan tenaga pengajar atau guru yang memang khusus mengajar PAI, karena bertambah maka bagi para guru mendapat tambahan tunjangan. Dengan bertambahnya jam belajar itu, lanjut Adjo, harus dibarengi dengan kebutuhan pengajar dan teknis pembelajaran yang efektif.

Untuk itu diadakan bimbingan teknis supaya guru tak bingung dalam mengajar, nantinya para guru pun terkonsep dan terarah. Pemateri dalam bimtek ini pun dari beberapa pengajar yang profesional yang akan mengisi selama dua hari. Mereka yang mengikuti bimbingan teknis akan mendapatkan sertifikasi dari Kemenag Kabupaten Sukabumi.

Secara terpisah, Kepala Bagian Keagamaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, Ali Iskandar, menjelaskan:

(12)

Sukabumi. Untuk mewujudkan masyarakat Sukabumi yang berakhlakul karimah, ini jelas perlu dipersiapkan dari mulai generasi muda terutama pelajar. Sehingga mereka mampu dan memiliki bekal dasar-dasar nilai agama yang kokoh. Program ini sejatinya sudah dilaksanakan di tingkat SD, yaitu dengan adanya dukungan dengan sekolah Diniyah Takmiliyah. Sehingga hal serupa ingin dilaksanakan di tingkat SMP.

Sementara itu, Kepala Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sukabumi, Hilmy Rifai menambahkan, bahwa :

“Pihaknya sangat merespon dan siap mendukung dalam mewujudkan program tersebut. Termasuk bimtek terhadap guru juga jelas merupakan modal yang paling mendasar. Pengembangan PAI di SMP mewujudkan kualitas dan kapasitas pembelajaran pendidikan agama Islam di Kabupaten Sukabumi menuju pribadi siswa yang berakhlak mulia.”

2. Pembahasan

Bentuk-bentuk akhlak mulia, sesuai dengan Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2008 Standar Isi Program Pengembangan Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan Madrasah tentang tercermin dalam indikator-indikator perilaku (dikategorisasi berdasarkan dimensi ibadah ritual dan sosial), sebagai berikut:

Dimesi Ibadah Sosial Dimensi Ibadah Ritual

a. Berbakti kepada orangtua dan guru. b. Berbusana muslim pada setiap aktivitas

pembelajaran, masuk kelas diawali

dengan salam, berdo‟a diawal dan

diakhir pelajaran serta mushpahah kepada guru sebelum keluar dari kelas. c. Memelihara kebersihan dari dan

lingkungan.

a. Sebelum memulai pelajaran pertama diawali dengan membaca Al-Quran bersama sekurang-kurangnya 15 menit dan setiap mata pelajaran diawali dengan membaca ayat/hadits yang terkait.

b. Di setiap jam istirahat diawali dengan shalat dhuha bersama.

c. melaksanakan sholat Dzuhur bersama dan dzikir, bagi sekolah yang belajarnya siang atau sore maka berjamaahnya shalat ashar, magrib dan isya.

d. Melaksanakan Ta‟lim dan ceramah keagamaan

e. Membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) dan melaksanakannya

f. Qiyamul lail sekurang-kurangnya seminggu sekali secara bergilir sesuai kondisi dan membentuk Pramuka Iqomah (Ikatan Penggerak Qoryah Mubarokah).

g. Pembiasaan shaum-shaum sunnat dan rutinitas budaya Islami lainnya.

(13)

membiasakan akhlak mulia. Hal ini sesuai dengan pendapat Wuradji (1988: 31-42) yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. Sejalan dengan hal itu, Ballantine (1983:5-7) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial.

Apa yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi sesuai dengan Spencer, et.al (1982:8-9) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.

Lebih jelas, Cummings (2008:4-5) menyatakan:

Schools may reproduce, even reinforce, the inequalities of the larger society, or they may challenge them, or work to overcome the marginalization of excluded, vulnerable, and “invisible” children so that all have access to education. The word “marginalized” is used preferentially to emphasize the stance adopted here that schools play a more or less active role in determining the marginal or mainstream status of children. At a minimum, we would argue, schools have a responsibility to respond to the marginalization of children under their care.

Dalam hal ini, di Kabupaten Sukabumi, sekolah diharapkan mampu mensosialisasikan, mendidik dan melakukan perubahan sosial yang secara terencana dilakukan dengan dukungan kebijakan publik. Selama berjalannya regulasi tersebut (sejak 2008 sampai dengan sekarang tahun 2015), proses implementasi di lapangan menemui beberapa kendala dan tantangan. Tantangan ini bersifat internal dan eksternal. Penyediaan tenaga pengajar agama Islam, pembiayaan operasional, sarana dan prasarana menjadi faktor-faktor tersebut.

Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam mendidik anak. Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berpikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan.

(14)

Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akhiratnya.

Dengan kebijakan penambahan jam pelajaran Pendidikan Agama Islam sebanyak 6 jam, memberikan warna tersendiri terhadap pola pendidikan agama di sekolah. Hal ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Namun jika ditinjau lebih mendalam, kepedulian Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi terhadap penguatan Pendidikan melalui pendidikan agama islam disebabkan keyakinan bahwa dengan hanya dengan pendidikan agama yang komprehensif, anak dapat diselamatkan dari perilaku dan moral yang menyimpang. Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Cummings, ketika melihat perubahan yang terjadi di masyarakat harus direspon dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan dan sekolah itu sendiri.

Cummings, (2008: ix-x), propositions on the process of change

1. Improving quality requires a different approach to the management of education systems and to the change process than does improving access alone.

2. The dichotomization of change strategies as either top-down or bottom-up is not the most useful way to think about reform.

3. A measure of the effectiveness of a country’s efforts to educate all is the extent to which that system reaches and educates children on the margin.

4. Policies and strategies effective for reaching children and youth at the margin are likely to differ from those appropriate for reaching children in the center.

5. Children and youth at the margin are likely to require a substantially greater range of “supports” than are children in the center.

In these ways, we continue to maintain, the approach and strategy used to promote reform are as salient as the content of reform. The centralized, command-and-control approaches to planning and management that many systems have inherited and which may work moderately well for small systems with relatively homogenous and well-supported student populations are unlikely to serve well in fostering sustainable improvements in quality in the context of working for education of all.

A number of perspectives dealing with social and technological change in the future were developed by Alvin Toffler (1970, 1980). He is one of the most prolific futurists, and is widely known for his works discussing social, economic, organisationaland technological transformations affecting societies around the world. However, one of the forerunners of schooling for tomorrow was Ivan Illich (1981) and in his book Deschooling Society, he advocated a number of radical policy proposals for changing schools and pedagogy. Illich argued that schools had to be transformed, and in particular, he was a visionary in foreseeing the use of decentralised schooling and the use of information technology in educational settings in the future. He came to believe that information technology had a potential to create decentralized

„learning webs‟, which would generate quality learning for all:

(15)

Similarly, Postman and Weingartner (1969) were equally critical of traditional schools and proposed a new model in pedagogy based on inquiry learning, one of the cornerstones of schooling for tomorrow, where such concepts as critical literacy and reflection would become essential learning tools. Works by John Holt (1964, 1967, 1972, and 1976) offered a new approach for classroom learning and teaching, based on humanistic and child-centred pedagogy.

Since the 1980s, numerous books have been published, dealing with various visions of schools for tomorrow (see Faure 1972; Beare and Slaughter 1993; Power 1995; Delors 1996). Most seemed to be addressing economically and technologically driven, as well as standards-driven, education reforms, as a result of various social and cultural transformations, brought on by forces of globalisation (Zajda, 2009). Colin Power (1995) observed that the world was

undergoing „profound scientific and technological revolutions‟ and education had to play a key

role in preparing young adults for life and work in the twenty-first century: Education must prepare the citizens of today to live and work in the world of tomorrow, a world in which the only constant will be change. Yet, if the technological revolution is the most visible sign of the times, political, social and economic changes are also imposing new challenges and responsibilities upon education systems. Certainly, the most urgent of these is that of constructing a culture of peace and tolerance in which differences and diversities are viewed as a

source of richness and not as a threat to one‟s own values and being. Our very survival may

ultimately depend upon our success in confronting this challenge. (http://www.unesco.org/education/educprog/brochure/003.html)

Some of the policy and pedagogy issues in education for tomorrow include „new forms of governance and policy-making‟ to prepare our schools for the twenty-first century (Johansson 2003:148). An innovative approach to governance and education policy is based on long-term thinking, where policy-makers are engaged in a proactive process of constant learning Policy-making, not just students, teachers and schools, must be in a process of constant learning. For this, methods and strategies for long-term thinking are needed. Despite the fact that education is

par excellence about long-term investment and change, forwardthinking methodologies are woefully under-developed in our field.

Johansson (2003: 151) also argues that schools play a significant role in cultural transformation:

In sum, schools have been very important and, in many respects, successful institutions. They were integral to the transformation from agrarian to industrial societies. They represent a very important investment for our countries in making the further transformation from industrial to the knowledge-based societies of today and tomorrow, but for this they must be revitalised and dynamic.

At its 57th session in December 2002, the United Nations General Assembly proclaimed the years from 2005 to 2014 the Decade of Education for Sustainable Development. The need to act, with reference to education for sustainable development (EfS), is the result of a growing international concern about the social, economic and environmental challenges facing the world

and the need for „improved quality of life, ecological protection, social justice and economic

equity‟ (http:// www.environment.gov.au/education/publications/caring.html).

Dampak dari Peraturan Daerah berorientasi Pembiasaan Akhlak Mulia.

(16)

berprestasi dalam memberikan kontribusi dan perhatian besar terhadap pendidikan agama dan keagamaan. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali pada acara tasyakuran Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke-64 di Jakarta, Senin (4/1/2011) kemarin.

“Bagi saya sendiri, penghargaan ini merupakan tantangan terutama dalam upaya

mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, maju menuju Kabupaten Sukabumi sejahtera,”

kata Sukmawijaya.

Menurutnya, membentuk akhlak mulia bangsa bukanlah langkah mudah. Banyak tantangan yang dihadapi. Bergesernya nilai-nilai agama, karena derasnya perkembangan teknologi informasi yang membawa nilai-nilai baru globalisme merupakan tantangan yang harus

dijawab. “Setiap jenjang waktu, masalah pembangunan akhlak memiliki dimensinya sendiri -sendiri, sehingga diperlukan kreativitas dinamis peran kita sesuai perkembangan yang

ada,”terangnya.

Sukmawijaya mengatakan, penghargaan yang diberikan kementerian agama bukan semata-mata sebagai penghargaan, tetapi lebih dari itu berfungsi sebagai pemberi motivasi dan strategi untuk terus meningkatkan peran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan

pendidikan agama di daerah. “Penghargaan ini sebagai motivasi dan sekaligus strategi untuk

terus meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam rangka pelaksanaan

pendidikan keagamaan,”imbuhnya.

Kepala Tata Usaha (TU) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, Hasen Chandra menjelaskan bahwa Penghargaan diberikan berdasarkan program dan kebijakan pemerintah daerah (pemda) yang mendukung pengembangan madrasah. Salah satunya program pemda yang memiliki keberpihakan dengan menganggarkan untuk pengembangan madrasah-madrasah dan pemberian intensif bagi guru-guru madrasah-madrasah honorer. Regulasi-regulasi yang pro-pada pendidikan Islam dan penanaman akhlak mulia, di antaranya:

1. Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Program Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan.

2. Instruksi Bupati Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan.

3. Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Kurikulum Madrasah Diniyyah Awaliyyah.

4. Instruksi Bupati Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Monitoring, Evaluasi dan Fasilitas pelaksanaan program wajib belajar pendidikan keagamaan.

5. Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2007 tentang Akreditasi Madrasah Diniyyah (MD). 6. Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 Tentang Standar Isi Program Pengembangan

Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan Madrasah.

7. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan Islam.

E. Simpulan

(17)

umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja; c) Kebiasaan bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar; d) Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama.

Revitalisasi peran sekolah dalam penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia bagi anak di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat merupakan suatu inovasi dan mendesak untuk dilakukan dalam mengantisipasi perubahan sosial dan teknologi serta dampak negatif dari Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak. Pembiasaan 10 akhlak mulia di sekolah dan madrasah, ditambah dengan program Diniyah Takmiliyah Wusto (DTW) merupakan sebagian inovasi yang berupaya agar anak lebih fokus di sekolah agar menjadi siswa yang cerdas dan berkahlak mulia.

Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya dukungan dari berbagai unsur, terutama dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara maksimal; (3) orang tua masih terlalu menyimpan beban besar kepada sekolah untuk mewujudkan anak yang cerdas dan soleh.

F. Rekomendasi

Memfungsikan sekolah sebagai tempat yang penting bagi pengembangan diri, mental, sikap dan kepribadian siswa harus didukung oleh peraturan pemerintah yang mendukung. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dalam pandangan penulis, memberikan dampak yang luas dan menyebar ke segala aspek. Hal ini penting untuk dievaluasi dan dibenahi agar faktor yang menghambat program ini bisa dikurangi.

(18)

Daftar Pustaka

Ballantine, Jeane H. (1983).The Sociology Of Education : A Systematic Analysis. Englewood

Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Bindé, Jérôme. (2000). Toward an ethics of the future. Public Culture, 12(1), 51–72.

Bindé, Jérôme. (2002). What education for the twenty-first century? Prospects, 32(4), 391403. Cummings, William K. and James H. Williams (Eds.). (2008). Policy-Making for Education

Reform in Developing Countries Policy Options and Strategies. Rowman & Littlefield Education: New York.

Delors, J. (1996). Learning: The treasure within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-First Century. Paris: UNESCO.

Holt, J. (1964). How children fail. New York: Pitman. Holt, J. (1967). How children learn. New York: Pitman.

Holt, J. (1972). Freedom and beyond. New York: Elsevier North-Holland. Holt, J. (1976). Instead of education. New York: Delacorte.

http://beta.radarsukabumi.com/?p=126

http://jejaknews.blogspot.co.id/2011/01/bupati-sukabumi-terima-penghargaan.html http://www.unesco.org/education/educprog/brochure/003.html

http://www.environment.gov.au/education/publications/caring.html Illich, I. (1981). Shadow work. Boston, MA: Marion Boyars.

Johansson, Y. (2003). Schooling for tomorrow principles and directions for policy. In networks of innovation: Towards new models for managing schools and systems. Paris: OECD. MacGilchrist, B., Mortimore, P., Savage, J. and Beresford, C. (1995) Planning Matters:

The Impact of Development Planning in Primary Schools, London: Paul Chapman Publishing.

Power, C. (1995). Education and the future.

www.unesco.org/education/educprog/brochure/004.html.

Spencer, Metta and Alex Inkeles.(1982). Foundations of Modern Sociology. Canada: Prentice-Hall.

Toffler, A. (1970). Future shock. New York: Bantam Books. Toffler, A. (1980). The third wave. New York: Bantam Books.

Weingartner, C. (1969). Teaching as a subversive activity. New York: Dell. Wuradji. (1988) Sosiologi Pendidikan. Jakarta : P2LPTK.

Zajda, J. (2009). Global pedagogies for democracy, tolerance and peace. In Daun, H., Iram, Y. and Zajda, J. (Eds.), Global values education: Teaching democracy and peace. Dordrecht, The Netherlands: Springer.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, terkait dengan peningkatan pemahaman guru-guru Bahasa Inggris SMP di Kabupaten Bengkulu Selatan, maka guru-guru Bahasa Inggris memberikan persepsi bahwa pengetahuan

Dalam pelaksanaan kegiatan ini, dosen dibantu oleh pegawai administrasi dan dibantu juga oleh 2 orang mahasiswa Fakultas Teknik Program Studi PTIK UNIMA. Metode yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : pemberian susu pengganti, penggunaan level yang lebih tinggi dari susu skim dan tepung ikan, serta kombinasi penggunaan emulsifier dengan vit

digunakan dalam setiap proses pembuatan aplikasi, seperti halnya konfigurasi dan pembuatan antarmuka, penggunaan marker, penggunaan navigasi, penampilan objek 3d,

Kepada panita pengadaan Kabupaten Subang : Mengingat ini adalah Lelang Ulang, apakah Surat Dukungan, Brosur dan Jaminan Penawaran yang lama masih bisa digunakan kembali?...

Media sosial dapat digunakan dengan sebaik mungkin oleh siswi MTsN 2 Kota Malang, bahkan dengan adanya instagram, youtube dan whatsapp memberikan kemudaham

Namun, hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tikollah, dkk (2006) dan Lucyanda (2013). Beberapa penelitian mengenai

Berdasarkan penelitian, dengan menggunakan metode EOQ model Q untuk manajemen persediaan bahan baku kayu pada industri furnitur dapat mengefisiensikan total biaya