• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seribu Langkah Ibu Studi Peran Istri pad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Seribu Langkah Ibu Studi Peran Istri pad"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurus Seribu Langkah Ibu

(Studi Peran Istri dalam Rumah Tangga yang Suaminya Merantau, Dusun Krajan, Desa Gunungsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang)

Alfisyahr Izzati

Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi 2012 Universitas Negeri Semarang

Sari

Migrasi atau merantau merupakan salah satu strategi livelihood pada masyarakat di pedesaan. Migrasi atau merantau merupakan strategi hidup yang penting. Biasanya, orang-orang yang melakukan migrasi merupakan orang-orang-orang-orang yang kurang atau tidak mendapatkan akses pekerjaan atau pendidikan yang bisa ia dapatkan di tempat asalnya. Banyak hal yang menjadi faktor penarik maupun pendorong bagi seseorang untuk melakukkan kegiatan migrasi. Faktor-faktor tersebut ada yang berasal dari dalam lingkungan desa ada pula yang berasal dari luar daerah tempat tinggal seseorang tersebut. Adapun golongan-golongan yang biasa melakukan migrasi atau merantau adalah berasal dari kalangan laki-laki usia produktif (usia 16–65 tahun).

Bagi seorang laki-laki yang telah menikah (suami), memiliki istri dan anak merupakan tanggung jawab yang sangat besar dan mereka berupaya untuk memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder dalam kehidupan rumah tangganya. Merantau sebagai suatu usaha untuk mencari kesempatan-kesempatan ekonomi yang dinilai di dunia luar terbuka lebih lebar. Bagi suami yang merantau, meninggalkan istri dan anak di kampung halaman menjadi pilihan yang terbaik. Istri dituntut untuk mampu mensubtitusi peran suami dan mengelola keuangan dalam rumah tangganya. Oleh sebab itu, saya tertarik untuk meneliti lebih dalam bagaimana peran istri dalam rumah tangga yang suaminya merantau. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai peran istri dalam rumah tangga yang suaminya merantau. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peran berganda pada para istri yang ditinggal suaminya merantau.

Metode dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik dalam pengumpulan data penelitian digunakan sistem wawancara, observasi partisipasi dan dokumentasi.

(2)

Pendahuluan

Artikel ini merupakan hasil dari studi lapangan yang penulis lakukan di dusun Krajan, desa Gunungsari, kabupaten Pemalang, provinsi Jawa Tengah. Studi lapangan dilakukan mulai tanggal 15 Januari 2014 dan berakhir sampai dengan 28 Januari 2014. Setelah beberapa hari tinggal dan menyatu dengan masyarakat, penulis menemukan fenomena yang menarik bagi penulis. Pertama kali memasuki desa Gunungsari dan sehari berada di sana, kesan pertama yang ditangkap penulis adalah seolah-olah desa ini isinya perempuan dan ibu-ibu semua, hingga penulis memberikan sebutan pada desa tersebut sebagai “desanya para ibu”. Hal tersebut cukup menarik bagi penulis, kemudian penulis ingin mengetahui bagaimana peran seorang istri dalam rumah tangga yang yang suaminya merantau. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai peran istri dalam rumah tangga yang suaminya merantau.

(3)

Selayang Pandang Desa Gunungsari dan Dusun Krajan

Desa Gunungsari adalah salah satu desa di kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data monografi desa semester satu yaitu data pada bulan Januari hingga Juni tahun 2013, desa Gunungsari memiliki luas wilayah administratif seluas 1.002 hektar. Desa Gunungsari berbatasan langsung dengan desa-desa lain di kecamatan Pulosari dan kabupaten lain di Jawa Tengah, berikut perinciannya;

Batas Utara : Desa Karangsari Batas Selatan : Kabupaten Banyumas Batas Barat : Desa Jurangmangu Batas Timur : Desa Penakir

Desa Gunungsari berada pada ketinggian terendah 1000 mdpl dan titik tertinggi berada 1.114 mdpl. Keberadaan desa tepat di kaki Gunung Api Slamet yang hingga kini masih aktif sehingga memiliki tanah yang subur. Tanah menjadi sumber daya alam yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Menurut penggunaannya, tanah digunakan sebagai ladang, tegalan, dan hutan. Desa Gunungsari memiliki luas tanah yang digunakan untuk perladangan dan tegalan seluas 350 ha dengan sistem pengairan tadah hujan. Selain itu terdapat tanah pekarangan seluas 70 ha dan sementara belum ada area khusus untuk perdangan seperti pasar. Jika masyarakat desa Gunungsari ingin pergi berbelanja, mereka bisa pergi ke pasar di desa Karangsari atau di kecamatan Moga. Namun, diketahui sejumlah 952 orang bekerja sebagai pedagang yang tersebar di dalam desa Gunungsari sendiri dan berbagai tempat di Pemalang juga di kota-kota besar terutama di Jakarta dan Semarang.

Seiring perkembangan keadaan, dan bertambahnya jumlah penduduk desa akibat perkawinan, warga pendatang, terdapat perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian, dan adanya kecendrungan naik dari tahun ke tahun. Perubahan fungsi lahan sawah yang paling menonjol adalah kepada fungsi perumahan. Tanah desa yang diperuntukan menjadi permukiman yaitu seluas 55, 250 hektar, kemudian tanah yang digunakan untuk bangunan milik publik seluas 1,5 hektar dan jalan desa sepanjang 12 kilometer.

(4)

memiliki total 1.146 kepala keluarga. Adapun rincian pembagian jumlah penduduk berdasarkan

Sumber : Data Monografi Desa Gunungsari 2013 (telah diolah)

Sementara jumlah penduduk menurut mobilitas atau mutasi penduduk yaitu kelahiran sejumlah 37 orang, kematian sejumlah 11 orang, warga yang masuk ke dalam desa Gunungsari sebanyak 17 orang dan warga yang pindah atau keluar dari desa Gunungsari sebanyak 25 orang. Terdapat 27 unit RT dan 4 unit RW di desa Gunungsari dengan 26 orang tim penggerak PKK dan 40 orang kader PKK yang tersebar seantero desa. Semua penduduk desa Gunungsari beragama Islam dengan enam kelompok majelis ta’lim yang beranggotakan 250 orang, juga enam kelompok remaja masjid yang beranggotakan 145 orang pemuda desa. Terdapat sarana peribadatan yaitu enam masjid dan dua puluh mushola yang tersebar di setiap dusun. Mayoritas penduduk desa Gunungsari bermatapencaharian sebagai buruh tani (1.586 orang), wiraswasta (952 orang) dan pertukangan (405 orang), sementara yang lainnya sejumlah 228 orang bekerja pada sektor pertanian yaitu sebagai tani, pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan, jasa, swasta dan pemulung.

(5)

Selama studi lapangan peneliti tinggal di dusun Krajan. Seorang tokoh masyarakat di desa Gunungsari dan sekarang menjadi kepala sekolah di SDN 03 Desa Gambuhan, Bapak H. Agus, bercerita tentang asal usul dusun Krajan. Dusun Krajan berasal dari kata “kerajaan” yang kemudian masyarakat menyebutnya “krajan” dulunya merupakan pusat pemerintahan di desa Gunungsari sebelum akhirnya pindah ke dusun Sipendil karena pergantian lurah. Dusun Krajan dianggap sebagai pusat pemerintahan karena dulu lurah pertama desa Gunungsari berasal dari orang dusun Krajan, yaitu mertuanya Pak H. Agus sendiri. Setelah 10 tahun memipin, mertua Pak H. Agus pensiun. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Pak H. Agus selama satu periode dan sekarang Pak Teteg Winanteya lah yang menjadi kepala desa di Gunungsari. Dusun Krajan memiliki tujuh rukun tetangga. Di dusun Krajan terdapat satu masjid yang bernama “Masjid Thorriqul Jannah” yang letaknya di tepi jalan utama desa Gunungsari. Masjid Thorriqul Jannah menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu di dusun Krajan untuk melaksanakan kegiatan pengajian rutin seminggu sekali yang diselenggarakan pada setiap hari Jumat, maupun pengajian ibu-ibu per-RT yang dilaksanakan pada hari yang berbeda. Tak jauh dari masjid Tharriqul Jannah terdapat bangunan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang mencakup Pos PAUD dan Posyandu.

Sebagian besar masyarakat dusun Krajan melakukan kegiatan mobilitas ke luar desa dengan merantau. Kebanyakan yang keluar desa untuk merantau adalah laki-laki. Ada sebanyak 125 orang laki-laki pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 yang pergi merantau, termasuk pemuda desa yang belum menikah dengan tujuan untuk bekerja dan melanjutkan belajar.

(6)

(perpaduan dari dua atau lebih warna) sehingga menarik pandangan mata. Hal ini menunjukkan bahwa hunian warga dusun Krajan sudah terpengaruh dengan gaya hunian dari perkotaan yang dibawa masuk oleh para perantau yang kembali ke desa. Sebagaimana diketahui, ada 405 orang warga desa Gunungsari yang tersebar di berbagai dusun mencari nafkah dalam bidang pertukangan. Ketika penulis mengikuti arisan ibu-ibu RT 05 dan RT 06, penulis sempat bertanya pada ibu-ibu yang menghadiri acara tersebut. Penulis mendapatkan informasi bahwa rata-rata suami para ibu yang hadir saat acara arisan tersebut sedang merantau ke Jakarta dan Bandung untuk bekerja sebagai tukang bangunan.

(7)

Peran Istri dalam Rumah Tangga yang Suaminya Merantau

Strategi nafkah dalam keluarga petani di pedesaan yang dominan dilaksanakan adalah perpindahan penduduk, baik itu bermigrasi, mobilisasi, transmigrasi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, banyak anggota rumah tangga petani yang melakukan migrasi ke beberapa kota besar. Sebagian besar pelaku perpindahan adalah laki-laki. Pelaku migrasi dan mobilitas pada umumnya masih berusia produktif, yaitu sekitar usia 16 tahun hingga 65 tahun. Rendahnya pendapatan menjadi salah satu alasan mereka untuk meninggalkan sektor pertanian yang selama ini turun-temurun digeluti oleh orang tua mereka.

“ekonomi disini agak sulit ya. Musiman, musiman tanamannya cengis (cabe), cengis tradisonal, artinya bukan budidaya cengis cuma mereka menanamnya itu banyak sekali dalam satu lahan. Itu banyak sekali tanaman yang ada. Jadi ibaratnya bukan pertanian khusus seperti di daerah Guci yang orang nanam bawang tropong semua. Orang disini itu pengennya itu semuanya menghasilkan, hahaha... cengisnya hasil, kopinya hasil, jagungnya hasil, makanya disini termasuk pertanian tradisional. Ngaritnya juga, kepinginnya ternaknya juga hasil. Tetapi ya memang rata-rata mereka ke Jakarta, jadi yang bertani dan berternak disini rata-rata ibu-ibunya. Bapak-bapaknya banyak yang pergi merantau, baik jadi tukang, jadi penjual, ya pedagang lah… kalo sini mayoritas pedagangnya sate, bakso, dan mie, nasi goreng pun nggih. Itu… tapi kalo secara umum saya lihat Gunungsari perekonomiannya bagus, artinya gini, njenengan silahkan survey, rumah di Gunungsari dengan rumah di daerah Moga yang sebelah selatan itu lebih baik sini, seperti itu. Jadi… kesulitannya itu kalau mau berusaha artinya mau berindustri, misalnya sini mau membuat makanan nah kemudian kita pemasarannya yang belum bergerak, belum bagus. Pemasarannya… Disini kan banyak gori, pisang ya, tetapi itu pisang keluarnya mentah semua, artinya pisangnya yang dipotong di tegalan ya, harganya satu pohon pisang hanya Rp 7000,-, tujuh ribu ya. Rata-rata 10 pohon kan pitung puluh ewu, paling pol yo wolung puluh ewu gitu lah. Seandainya bisa diolah kan mungkin nilai jualnya akan lebih tinggi. Lah ini memang selama ini , bakul pisang, bakul gori, itu semuanya keluarnya mentah. Jadi kita jual, petani itu menjualnya 10 batang = Rp 70.000,-. Batangnya sudah dihitung, jantungnya juga ya dihitung, ji, ro, lu, pat…tapi nebangnya nanti kalau sudah tua” jelas bu Nunik Moyowati, seorang kepala urusan keuangan desa Gunungsari yang penulis temui di Kantor Balai Desa Gunungsari.

(wawancara Selasa, 21 Januari 2014)

(8)

untuk pindah dan menetap disana. Hal ini ditunjukkan oleh sepenggal pernyataan Bu Nunik di atas, “tetapi ya memang rata-rata mereka ke Jakarta, jadi yang bertani dan berternak disini rata-rata ibu-ibunya”. Yang dimaksud dengan “mereka” adalah para suami yang merantau dan meninggalkan istri serta anak-anaknya (keluarganya) dan harta bendanya di kampung (sawah atau ladang dan ternak). Sebelum memutuskan untuk merantau, kepala rumah tangga (suami) dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang patut dipertimbangkan. Pilihan-pilihan tersebut meliputi; apakah mereka memang benar-benar butuh pergi merantau, apakah kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarganya akan terpenuhi, dan tak kalah penting adalah ketika mereka memikirkan apakah mereka akan memboyong keluarga untuk ikut pergi ke daerah rantauan atau tidak. Keputusan terhadap berbagai pilihan yang tersaji tidaklah diputuskan sendiri, namun selalu dimusyawarahkan bersama istri dan anak-anak yang dianggap sudah dewasa. Berikut penuturan salah satu informan yang bernama Ibu Wemi yang suaminya saat itu suaminya, Pak Tabah, sedang berada di Jakarta;

“suaminya saya baru aja pergi ke Jakarta lagi waktu si mbaknya datang ke sini. Ya kalo sekarang ikut kerja di pembangunan. Dulu ya sudah pernah ikut juga, habis lebaran, terus dua bulan selesai ya pulang. Sebelum berangkat pasti ada omong-omongan dulu, pamit sama keluarga. Setiap seminggu atau dua minggu ya ngirim ke rumah, nitip sama orang yang pulang. Sekarang ikut kontraktor lagi. Lah kalo di rumah kerjaan sih ada, kadang dipanggil orang bersihkan alas ya datang. Kalo gak ada bapak, saya yang berangkat, tapi kalo bapak capek ya saya juga yang datang, bapak ya momong anak bisa. Di rumah paling seminggu, terus berangkat lagi. Orang desa sini rancogan mbak, apa-apa bisa…hahaha… cuma bapak paling ora bisa ngumbahi pakaian.”

(9)

“mulai merantau tahun lalu, baru satu tahun berarti. Dulu ya belum merantau, dulu kerjanya di rumah. Dulu di rumah kan jualan sayur mbak. Jualan sayur, terus motornya rusak terus dijual, bangkrut. Motornya rusak satu minggu, didandani, habis 300, 200… Jual sayurnya keliling, di Randudongkal, dekat Moga…”

(wawancara Sabtu, 25 Januari 2014)

Keputusan untuk mengikuti teman yang dianggap sudah sukses ketika merantau merupakan pilihan yang rasional, terlebih pilihan ini diambil dalam keadaan dimana seseorang tidak lagi punya pilihan yang lebih baik. Pak Tabah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Meskipun keluarga Bu Weni merasa kebutuhan begitu banyak, namun tekanan dari kebutuhan hidup tersebut masih dapat ditolerir. Terlebih keluarga Bu Weni masih memiliki kebun dan beberapa ekor kambing sebagai pegangan, sehingga keluarga Bu Weni tidak perlu ikut merantau. Di perantauan, Pak Tabah tinggal bersama teman yang membawanya merantau. Berikut bagan yang menggambarkan hubungan kebutuhan dengan pola mobilitas penduduk;

Sumber: Mantra (2000)

Dapat dilihat dari bagan di atas bahwa perpindahan penduduk berawal dari dorongan kebutuhan dalam kehidupan (baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder). Pada dasarnya kebutuhan setiap individu berbeda-beda dan kebutuhan hidup itulah yang dapat memberikan tekanan dalam diri seseorang. Jika seseorang merasa di tempat tinggalnya ia

Kebutuhan dan Aspirasi

Terpenuhi Tidak Terpenuhi

Dalam batas toleransi

Menginap atau mondok Ulang-alik

(Ing: Commuters; Jawa: ngelaju)

Mobilitas Non permanen Tidak pindah

Pindah Di luar batas

(10)

sudah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, maka seseorang cenderung bertahan di tempat tersebut, tidak melakukan perpindahan. Di sisi lain, jika seseorang mulai merasa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga di tempat asalnya, maka ada kecenderungan seseorang melakukan perpindahan. Mereka mencari tempat lain yang sekiranya dapat membukakan kesempatan kerja yang lebih luas kepada mereka. Selanjutnya, para pelaku mobilitas ini dihadapkan lagi dengan pilihan, apakah kebutuhan yang tidak terpenuhi itu masih bisa ditolerir atau tidak? Jika kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi masih dalam batas wajar, maka mereka memilih untuk tidak melakukan perpindahan. Mereka memilih untuk meninggalkan keluarga bertahan di kampung halaman, sementara mereka pergi ke tempat lain untuk mengumpulkan uang dan dikirim ke kampung. Jenis perpindahan tersebut hanya sebatas mobilitas penduduk. Namun, jika kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sudah tidak bisa di tolerir, di kampung juga tidak memiliki pegangan apa-apa seperti sawah, ladang dan ternak, maka mereka akan membawa keluarga mereka untuk pindah. Perpindahan inilah yang disebut migrasi termasuk didalamnya program transmigrasi.

(11)

Strategi keuangan yang ditempuh sudah jelas, suami merantau, sementara istri dan anak ditinggal di kampung halaman. Ternyata strategi ini memiliki manfaat bagi perekonomian keluarga. Ketika para suami merantau dan mengumpulkan uang, mereka mengirimkan uang tersebut kepada istri di kampung halaman. Uang yang dikirimkan suami dipakai sesuai dengan kebutuhan saja. Menurut informan, pengaturan keuangan yang disesuaikan kebutuhan di desa membuat mereka bisa sedikit demi sedikit menyisihkan uang. Uang tersebut akan digunakan untuk keperluan mendadak saja, seperti sakit atau untuk sumbangan orang hajatan. Seandainya saja mereka ikut suami merantau ke kota besar, mengontrak rumah dan beli makanan, mungkin pengeluaran akan lebih besar lagi. Para ibu sangat bersyukur tinggal di desa. Meskipun demikian ada suatu pengeluaran besar (bahkan bisa disebut terbesar) yang tidak dapat dielakkan, yaitu pengeluaran untuk tradisi nyumbang. Nyumbang merupakan tradisi atau kebiasaan memberi sumbangan kepada orang yang sedang memiliki hajat, entah itu orang membangun rumah, menikah, melahirkan anak, khitan dan sakit.

Selama dua minggu penulis tinggal di dusun Krajan, penulis sempat mendatangi hajatan orang menikah atau kondangan di dusun Kecepit kecamatan Randudongkal, melihat bayi yang baru lahir di dusun Silegok dan ikut menjenguk kolega yang sakit di RSUD Dr. Ashari di Pemalang. Selain itu, setiap berapa hari sekali, para ibu di dusun Krajan juga harus memberikan sumbangan berupa makanan dan minuman untuk para pekerja yang membangun mushola dan untuk pekerja yang membangun rumah tetangganya secara bergiliran.

“…disini kebutuhan banyak mbak, gak cuma makan doang. Ada orang mbangun, ada apa lah gitu… kondangan…iya buat nyumbang orang, bukan buat makan doang. Kalo buat makan doang sih gampang, uang satu juta cukup berapa bulan. Tapi yang nggak tau kan itu, orang mbangun rumah, orang sakit, ada bayi, orang nikah gitu.” Ungkap Bu Iin

“Kalau anaknya baru satu ya kebutuhannya ora banyak, kalo saya anak dua udah harus dibagi dua, tiga malah… pulsa seminggu aja udah sepuluh ribu, itu (nunjuk sepeda motor) harus diisi, mau kemana-mana harus diisi, bensin, listrik. Listrik iuran Rp 20.000,-, kadang Rp 24.000,-, kadang juga Rp 18. 000,- per bulan. Ditambah lagi nyaur buat kondangan. Iya beban, beban hidup mbak… hahaha…ya kadang ngasih Rp 25.000,-, kalo datang berempat ya kasihnya Rp 40.000,-,iuran Rp 10.000,- satu orang”

(12)

Mereka lebih memilih berhutang kepada kerabat daripada tetangga lain yang tidak mempunyai hubungan darah.

Keputusan meninggalkan istri dan mempercayakan uang hasil jerih payah di rantau, kebun dan ternak dikelola oleh istri menunjukkan suatu pandangan bahwa istri dinilai pandai mengelola urusan dari dalam rumah tangga. Intinya suami tidak mengharuskan istri bekerja lebih keras daripada diri mereka. Namun, pada kenyataannya istri juga melakukan pekerjaan yang tidak kalah berat dengan menggantikan peran suami, seperti mengurus ladang dan mengurus ternak.

Menurut Friedrich Engels (1884, dalam Ferrante; 2011), “…distinguishes between productive and reproductive work. Productive work involves the actual manufacture of food, clothing, and shelter and the tools necessary to produce them. Reproductive work involves bearing children, caregiving, managing households, and educating children. Both are work: bearing children and caregiving activities are fundamental to the perpetuation of society However, reproductive work is disproportionately performed by women, whether or not pay is involved”

(13)

Setali tiga uang, Lehmann dalam bukunya yang berjudul Durkheim and Woman menyebutkan, “The specific process by which sexual differentiation emerges and advances is the gradual development of men, combined with the stagnation or regression of women. Men and women begin history equivalently, as simple, primitive, instinctual, natural creatures. Men diverges from women to become something different, to become social, mental, and moral human beings. Men become social and society become male in the same movement, a movement in which women do not and cannot participate. Men envolved into men, become civilized and humanized, leaving women behind in species limbo as primitive.” (Lehmann, 1994; 39).

Jadi menurut Lehmann berdasarkan kajiannya terhadap pemikiran Emile Durkheim dalam naskah “The Division of Labor”, secara historis ada proses yang spesifik dimana perbedaan seksualitas muncul dan merupakan suatu kemajuan dimana pengembangan secara bertahap dari laki-laki, dikombinasikan dengan stagnasi atau regresi dari perempuan. Pria dan wanita memulai sejarah kesetaraan yang sederhana, primitif, mengikuti insting, makhluk yang masih alamiah. Pria menyimpang dari perempuan untuk menjadi sesuatu yang berbeda, menjadi manusia sosial, mental dan moral. Pria yang kemudian menjadi sosok yang berjiwa sosial dan masyarakat menjadi laki-laki dalam pergeseran yang sama, sebuah pergeseran dimana wanita tidak dapat melakukan apa-apa dan tidak bisa berpartisipasi. Pria harus menjadi pria, menjadi beradab dan manusiawi, meninggalkan wanita di belakang, tertinggal menjadi spesies limbo yang primitif. Oleh sebab itu, hingga kini seorang pria lebih dikenal dengan sikap sosialnya dan pemikirannya yang berdasarkan logika. Sementara seorang wanita selalu dianggap menjadi orang nomor dua.

Dalam kenyataannya, yang terjadi pada masyarakat dusun Krajan pun demikian. Kesadaran bahwa perempuan selalu berada di belakang laki-laki tercermin dari ucapan-ucapan para ibu yang ketika penulis bertanya, “mengapa ibu pergi ke kebun, kemudian menjual hasilnya dan mengurus ternak?”, kemudian mereka menjawab, “ya untuk membantu suami saja mbak…”. Demikianlah jawaban yang terlontar dari informan dan ibu-ibu lainnya. Para ibu selalu menomorduakan dirinya dan hasil pekerjaan atau hasil karyanya. Sikap dan pemikiran seperti ini memang sudah menjadi suatu yang wajar bagi masyarakat.

(14)

ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang tidak penting dalam keputusan politik, pembentuk gender stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Mansour Fakih, 2012). Berbekal konsepsi double burden seperti yang dijelaskan Prof. Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender” inilah penulis mengakaji fenomena sosial budaya masyarakat dusun Krjan terkait dengan peran istri dalam rumah tangga yang suaminya merantau. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Perempuan yang telah berstatus istri dari seorang pria sekaligus ibu bagi anak-anaknya memiliki beban berganda, terlebih disaat suaminya pergi meninggalkan keluarga untuk sementara demi mencari nafkah dengan merantau. Mereka harus pergi ke ladang untuk “mengarit” atau memotong rumput, baik itu di ladang maupun di hutan dan memberikan rumput tersebut kepada hewan ternak yang juga mereka pelihara sendiri. Sosok istri yang ideal sebagaimana dikonstruksikan masyarakat, memiliki seabreg pekerjaan di dalam rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan seorang istri di dalam rumah tangga antara lain seperti memasak makanan enak bagi suami dan anak-anaknya, memberikan tempat yang nyaman (membersihkan dan menjaga rumah), mencuci pakaian suami, anak dan dirinya sendiri, disaat musim kemarau, seorang ibu mau tidak mau harus mengambil dan “mengangsu” air dalam jerigen sejauh minimal satu kilometer (bisa juga lebih) dari penampungan air menuju ke rumahnya, pergi-pulang. Kedua pekerjaan ini harus ditangani oleh istri dengan strategi manajemen waktu yang luar biasa. Secara sederhana Suwondo (1981; 266) mengemukakan;

a. Sebagai warga Negara dalam hubungannya dengan hak-hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern.

b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern.

(15)

dengan baik, maka kehidupan akan berjalan tidak seimbang, sehingga mau tidak mau, istri harus bijak membuat pilihan dengan mengorbankan salah satu diantaranya.

Penulis menemukan pandangan lain tentang para istri yang bekerja menjadi tenaga pendidik atau guru. Pada dasarnya mereka memang memiliki peran ganda yang mengharuskan mereka setiap pagi berangkat ke sekolah dan mendidik anak orang lain, namun mereka juga dapat menjalankan peran mereka sebagai ibu rumah tangga sekaligus. Menjadi seorang guru PAUD atau SD dengan jam kerja mulai pukul setengah tujuh pagi hingga pukul sepuluh atau sebelas siang memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk mengurus segala urusan dalam rumah tangga. Sebelum berangkat mengajar, mereka sempat memasak air untuk minum dan untuk mandi anak-anak, sempat pula mencuci pakaian, mencuci piring, masak, membersihkan rumah dan menyiapkan anak-anak mereka yang juga bersekolah. Dengan jurus seribu langkahnya, entah bagaimana seorang ibu mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan begitu cepat, begitu cekatan. Sepulang mengajar, mereka sempat menyetrika pakaian untuk dipakai esok hari atau untuk pergi ke acara tertentu, sempat mengajar anak mereka mengerjakan pekerjaan rumah (pr), sempat berbenah-benah rumah dan tak lupa mereka selalu sempat bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Hari libur atau tanggal merah menjadi bonus tersendiri bagi mereka, para ibu guru, mereka bisa mengerjakan ladang, mengambil rumput untuk pakan kambing dan pokoknya ada saja kegiatan yang dapat mereka lakukan. Tak lupa, mereka pun memiliki waktu istirahat yang cukup baik, masih bisa tidur siang dan di malam hari dapat tidur dengan cepat.

(16)

bahan lauk atau camilan dan kerupuk di bakul sayur keliling. Pada saat penulis tinggal di desa Gunungsari, cuaca kurang mendukung. Hujan turun sepanjang hari selama dua minggu. Jadi kegiatan ibu-ibu tidak begitu padat. Yang pasti jika hujan reda di pagi hari, para ibu sudah keluar rumah dan pergi ke ladang dengan membawa arit serta karung beras ukuran besar. Menjelang siang, mereka sudah kembali ke rumah dan meletakkan “rumput gajah” (suatu jenis rumput) segar untuk persediaan pakan kambing hingga beberapa hari kedepan.

(17)

Simpulan

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender and Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Ferrante, Joan. 2011. Seeing Sociology : An Introduction. Northern Kentucky University

Laporan Monografi Desa Gunungsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah pada Semester Satu Tahun 2013

Lehmann, Jennifer M. 1994. Durkheim and Woman. Chapter 2: Descriptions of Women. University of Nebraska Press: Lincoln and London

Mantra, I.B. 2000., Demografi Umum. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka kegiatan Sertifikasi Guru dalam Jabatan untuk guru-guru di lingkungan Kementerian Agama, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 15 telah melaksanakan Pendidikan dan

Jalur langsung adalah jalur yang memiliki jalur khusus berupa trotoar yang menghubungkan langsung antar gedung asal dengan gedung yang menjadi tujuan pejalan

Di samping Barus, kota atau daerah lain di Sumatera Utara yang menjadi pusat budaya maritim pada era klasik adalah sejumlah terras dan reinos di pantai

Hasil perbandingan dari beberapa fungsi-fungsi pada Sumber Daya Proyek yang tidak siap menjadi siap dengan menggunakan metode Analisis SWOT sebagai alat untuk

musim panas di dalam ruangan (negara 2 musim).. b) Bloated stage terjadi dalam 2-3 hari. c) Active decay stage terjadi dalam 4-8 hari. d) Post decay stage terjadi dalam 8-12

Abdurrahman Khudlori yang diterapkan melalui pengembangan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam, sedikit demi sedikit minat dan kesadaran masyarakat akan arti

Metode penetapan kadar α-mangostin dalam larutan oral ekstrak kulit buah manggis secara kromatografi cair kinerja tinggi fase balik menggunakan fase diam

Oleh karenanya aktor dapat menentukan apakah sebuah struktur itu akan membatasi (constraining) atau justru menjadi kemungkinan peluang (enabling). Dengan berdasarkan pada