• Tidak ada hasil yang ditemukan

K 13 antara Idealisme dan Realitas (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "K 13 antara Idealisme dan Realitas (1)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Kurikulum 2013; antara Idealisme dan Realitas Oleh : Suparmanto*

Perdebatan tentang revisi UU MD3, pembahasan RUU Pilkada, kenaikan harga BBM, agenda pelantikan anggota DPR RI dan peralihan kepemimpinan nasional dari SBY-Budiono ke Jokowi-JK memang sedang menjadi tema utama dalam pembicaraan dan perdebatan di media massa. Namun, issu seksi tersebut tidaklah kemudian

mengurangi konsen kita (terutama bagi para pendidik) untuk sedikit mencurahkan pemikiran kita pada dunia pendidikan kita. Semua sepakat dengan asumsi yang menyatakan bahwa pendidikan yang baik akan membantu terbentuknya manusia Indonesia yang mampu secara optimal mengembangkan potensi dirinya secara utuh sehingga siap menghadapi setiap perubahan jaman yang terjadi. Pendidikan juga

merupakan sarana vital dalam proses pengembangan sumber daya manusia dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Slameto (2010: 01) menyatakan bahwa proses pendidikan di sekolah (kegiatan pembelajaran) merupakan kegiatan paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.

Kurikulum 2013 (selanjutnya disingkat K-13) sebagai kelanjutan (pengganti) kurikulum sebelumnya (KTSP) merupakan salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional yang secara serentak (harus) diterapkan diseluruh Indonesia mulai tahun pelajaran 2014 – 2015. Namun pada satu sisi K-13 diakui ataupun tidak telah menimbulkan perdebatan dan polemik yang panjang dari dan oleh para pelaku serta pengamat dunia pendidikan Indonesia. Masa transisi (dalam dunia apapun) memang seringkali menimbulkan gonjang – ganjing agar kemudian bisa menemukan bentuk yang masif dan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Penerimaan implementasi K-13 dari pelaku pendidikan (karena tidak ada pilihan lain), terbentur dengan kondisi riil dilapangan yang belum punya kompetensi utuh untuk menerapkan K-13.

Pada K-13 pelajaran matematika merupakan pelajaran wajib yang diikuti oleh seluruh peserta didik pada setiap satuan atau jenjang pendidikan. Penempatan matematika sebagai salah satu pelajaran wajib, secara logis bisa diterima karena matematika sebagai salah satu ilmu dasar baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Ini berarti bahwa sampai pada batas tertentu matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia, baik penerapannya maupun pola pikirnya (Suparni, 2011). Selain itu di dalam dunia yang terus berubah, mereka yang memahami dan dapat mengerjakan matematika akan memiliki kesempatan dan pilihan yang lebih banyak dalam menentukan masa depannya. Kemampuan dalam matematika akan membuka pintu untuk masa depan yang produktif. Lemah dalam matematika membiarkan pintu tersebut tertutup. Semua siswa harus memiliki kesempatan dan dukungan yang

diperlukan untuk belajar matematika secara mendalam dan dengan pemahaman (NCTM, 2000: 50 dalam Van de Walle, 2008: 1).

Pembelajaran matematika merujuk pada K-13 secara filosofis berkiblat pada paham

konstruktivisme. Teori belajar konstruktivisme akhir-akhir ini telah mendapatkan perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains dan matematika. Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997:49).

Idealisme yang diusung oleh K-13 diatas ternyata berbenturan dengan berbagai kendala ketika diterapkan pada wilayah praksis pembelajaran matematika dikelas. Memang banyak alternatif

(2)

yang lain. Namun cita-cita ideal yang diimpikan oleh para praktisi penyusun dan pendukung K-13 ternyata masih belum bisa bersinergi dengan fakta dilapangan.

Konsep ideal K-13 hasil pemikiran para ahli pendidikan, merupakan hasil refleksi dari kurikulum sebelumnya (baik KBK maupun KTSP). Banyak faktor yang turut andil pada berhasil dan tidaknya suatu kurikukulum pendidikan. Namun faktor pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) yang merupakan “korban” utama atas diberlakukannya K-13, menurut hemat penulis memegang peranan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah.

Pertama, faktor pendidik (guru). Pendidik (guru) merupakan aktor pertama dan utama yang berperan sebagai pengemban(g) kurikulum disamping harus memiliki kompetensi pedagogik dan

kompetensi profesional seorang pendidik juga dituntut mengetahui dan memahami karakter peserta didik dengan baik dan menyeluruh. Fakta dilapangan menunjukkan banyak dari para guru (terutama guru baru) yang “terkejut” dengan tuntutan dari K-13 yang bercita-cita ideal namun (konon) terlalu absurd untuk bisa secara maksimal bisa diterapkan diseluruh pelosok negeri ini. Keterkejutan guru merupakan konsekuensi logis dari kurangnya kesiapan dari pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam membekali (baca: mempersiapkan) para guru sebelum benar-benar memberlakukan K-13 secara serentak diseluruh Indonesia. Pelatihan yang masih belum menyentuh semua guru, sedangkan sharing dengan beberapa guru yang telah mengikuti pelatihan K-13 kurang maksimal menjadi penyebab utama

ketidakpahaman para guru tentang K-13 sehingga dengan sangat “terpaksa” guru harus meng-K13-kan setiap proses pembelajaran.

Kedua, faktor peserta didik (siswa). Penulis sepakat bahwa tidak ada siswa yang bodoh, dan setiap individu punya kecerdasan masing-masing yang unik dan genuine. K-13 dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat serta berpusat pada potensi, perkembangan,

kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Pada K-13 peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar. Multiple intellegences ala Howard Gardner mendapatkan tempat yang tinggi dalam pandangan K-13. Kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika , kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal , kecerdasan musikal, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, atau kecerdasan alamiah (naturalis) yang melekat pada individu siswa penting untuk dihormati dan ditumbuhkembangkan oleh guru.

Disinilah kontradiksi muncul. Pada wilayah praksis, dimana penulis mengampu mata pelajaran matematika di SMK, sering berhadapan dengan kondisi riil yang menuntut pemikiran lebih mendalam untuk menemukan resep yang mujarab agar konsep ideal K-13 bisa diterjemahkan secara baik dalam setiap proses pembelajaran matematika. Bagi sebagian siswa SMK mata pelajaran pilihan semacam matematika, IPA, dan atau bahasa inggris merupakan mata pelajaran yang kurang diminati bila dibandingkan dengan mata pelajaran vokasional, sehingga seringkali menghambat proses pembelajaran yang menekankan bahwa pembelajaran harus berpusat pada peserta didik menggantikan proses

pembelajaran yang berpusat pada guru.

Pada sebuah pembelajaran materi nilai mutlak misalnya penulis memberikan persoalan

matematika. Misalkan x bilangan real, didefinisikan |x| sama dengan x jika x ≥0 dan sama dengan −x jika x<0 , dengan mengacu pada definisi nilai mutlak didepan, siswa kita berikan latihan untuk mendefinisikan |ax+b| dan didiskusikan dengan kelompoknya. Fakta menunjukkan terjadi

kemandegan diskusi ketika siswa dijadikan pusat pembelajaran dan diberikan kelonggaran untuk

membangun pemahaman berdasarkan fakta yang ada. Meskipun disatu sisi penulis mengamini pernyataan penganut konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal maupun sosial dan pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa. Bahkan Van de Walle (2008: xv) juga mengemukakan bahwa pemahaman dan ketrampilan paling baik dikembangkan ketika siswa diizinkan untuk bergulat dengan ide-ide baru, membuat dan mempertahankan penyelesaian soal, dan berpartisipasi di dalam komunitas pelajar matematika. Namun, ternyata realitas tidak seindah idealisme yang tercatat dalam lembaran karya-karya ilmiah para pakar.

Selain itu berpijak dari asumsi yang mengatakan bahwa tidak ada siswa yang bodoh, maka seorang guru harus cerdik untuk menggali kecerdasan masing-masing individu siswa. Ketika seorang siswa lemah dalam pelajaran matematika, maka “haram” hukumnya seorang guru matematika

(3)

dalam kelas apakah hal tersebut menunjukkan siswa tersebut memiliki kecerdasan musikal yang tinggi? Atau jika ada siswa yang keluar masuk kelas dengan dalih ijin ke kamar kecil atau ada siswa yang melempar temannya dengan gulungan kertas dan mereka kurang bergairah mengikuti diskusi yang membahas materi matematika, bisakah siswa tersebut kita anggap memiliki kecerdasan kinestetik lebih baik dari pada yang lain? Dan kemudian kita puji bahwa siswa tersebut akan menjadi seorang Lionel Messi (bintang klub sepakbola Barcelona) atau Lebron Raymone James (bintang klub basket Cleveland Cavaliers) karena memiliki gerakan fisik yang melebihi teman sekelasnya?

Fakta dilapangan semacam inilah yang menunjukkan bahwa upaya untuk memampukan siswa merekonstruksi konsep dan prinsip matematika melalui penyelesaian masalah terpental oleh kondisi sosio-kultural yang menganggap bahwa pelajaran wajib semacam matemati “kurang penting” bagi sebagian siswa di sekolah kejuruan. Maka harapan dari pembelajaran matematika untuk menghasilkan lulusan dengan standar kompetensi lulus (SKL) ideal seperti yang dimimpikan oelh K-13 tampaknya harus ditunda untuk beberapa waktu yang akan datang sampai semua unsur benar-benar siap berproses dalam koridor K-13.

Untuk sekedar refleksi, tampaknya implementasi K-13 di Kota Balikpapan dapat dijadikan parameter dalam mengukur tingkat keberhasilan penerapan K-13 bagi daerah lain di Kalimantan Timur. Ketua Dewan Pendidikan Balikpapan Subianto secara terang mengakui bahwa K-13 terlalu dipaksakan, sehingga hasilnya tidak terlalu baik bahkan masih karut-marut (Kaltim Post, 2/9). Jika kota sebesar Balikpapan saja masih amburadul dalam menterjemahkan K-13 pada wilayah praksis, lalu bagaimana dengan daerah lain yang notabene pendidikannya masih belum semaju Balikpapan?

Akan tetapi, meski realitas menunjukkan masih banyak kendala dan terjadi kesemrawutan dimana-mana tentang pelaksanaan K-13 namun cita-cita ideal K-13 harus tetap dan terus diperjuangkan oleh seluruh stakeholder yang peduli akan kemajuan pendidikan di Indonesia . Bagi penulis (pengampu matematika) jikalau secara akademik ada siswa yang tidak paham akan materi matematika yang

dipelajari, maka harapan minimal dari penulis adalah akan terbentuk siswa yang secara individu memiliki sikap beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi serta secara sosial memiliki rasa toleransi, jiwa gotong royong, kerjasama, dan mengedepankan musyawarah/mufakat dalam menyelesaikan setiap persoalan dalam kehidupan. Wallahu ‘alam.

*Suparmanto, Pendidik di SMKN 2 PPU.

Referensi

Dokumen terkait

Halo pecinta coding, kali ini saya akan membuat program untuk menghitung berapa banyak SKS yang harus dibayarkan dalam satu semester, bagi para mahasiswa, ini sangat membantu

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh warna umpan buatan terhadap hasil tangkapan ikan dan mengidentifi- kasi jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan

[r]

Data primer dalam penelitian pada Jasa persewaan mobil “Rent Car Putra Mandiri” Semarang dapat dicontohkan dengan bukti pendapatan tiap setoran, bukti

Progressive die adalah merupakan metode pemotongan yang paling lengkap, yaitu suatu metode untuk membuat produk dengan dua tahap pengerjaan atau lebih dalam suatu proses

Setelah selesai makan, semua siswa diberikan alat menyikat gigi (sikat dan cangkir plastik) dan pasta gigi yang kemudian dipersilahkan untuk menyikat gigi. Urutan menyikat gigi

Interkoneksi antar daerah dalam wilayah Bandung Raya diperkirakan akan dapat meningkatkan taraf hidup puluhan juta warga yang mendiami wilayah tersebut dimana aktifitas

Untuk meningkatkan hasil belajar maka mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Riau perlu meningkatkan minat membaca sehingga secara tidak