• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa pesisir Mandiri Implematasi Strateg (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desa pesisir Mandiri Implematasi Strateg (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Desa pesisir Mandiri, Implematasi Strategi dan Aksi

*Moh Nur Nawawi

Desa pesisir memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa di wilayah pedalaman. Perbedaan tersebut tidak semata pada aspek geografis-ekologis, tetapi juga pada karakteristik ekonomi dan sosial-budaya. Secara geografis, desa pesisir berada di perbatasan antara daratan dan lautan. Desa pesisir memiliki akses langsung pada ekosistem pantai (pasir atau berbatu), mangrove, estuaria, padang lamun, serta ekosistem terumbu karang.

Kondisi geografis-ekologis desa pesisir mempengaruhi aktivitas-aktivitas ekonomi di dalamnya. Kegiatan ekonomi di desa pesisir dicirikan oleh aktivitas pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Aktivitas ekonomi mencakup perikanan, perdagangan, wisata bahari, dan transportasi (Kusumastanto,2003).

Kondisi Desa pesisir.

Karakteristik ekologi bersama-sama dengan karakteristik ekonomi desa pesisir membentuk karakteristik sosial-budaya. Cara berbicara yang lugas, terbuka, dan keberanian mengambil resiko adalah bagian dari ciri masyarakat pesisir. Karakteristik ekonomi yang penuh ketidakpastian, seperti penangkapan ikan, juga mendorong terciptanya struktur sosial yang bersifat patron-klien.

Hubungan patron-klien disebut dalam istilah yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Sulsel, patron-klien dikenal dengan istilah punggawa-sawi,. di Tangerang ada istilah langam, dandi Aceh ada toke bangku.. Sebagai sebuah institusi, patron-klien mampu mengatasi masalah ketidakpastian usaha para nelayan. Namun demikian, pola patron-klien itu sendiri juga memiliki tingkat keragaman yang tinggi, tergantung dari tingkat hubungan emosional antara patron-klien dan tingkat surplus transfer dalam arus hubungan dari patron ke klien dan sebaliknya (Kusumastanto,2006).

Kebanyakan masyarakat pesisir Indonesia, terkhusus masyarakat nelayan ternyata masih belum mendapatkan nilai lebih dari potensi kekayaan sumber daya laut Indonesia. Masyarakat nelayan umumnya masih jauh dari sejahtera yang ditunjukkan dari pendidikan keluarga nelayan yang rendah dan tidak dapat memenuhi standar kesehatan maupun kebutuhan sehari-hari. Ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (lowlevel-security), dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan(voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang (Mulyadi,2005).

Isu Kritis Desa Pesisir

Terdapat sejumlah isu kritis dalam pembangunan desa pesisir, yang dapat terbagi ke dalam lima ranah: ekologi, sosial, ekonomi, agraria, dan geopolitik.

(2)

Selama ini yang bisa dilakukan hanyalah upaya meminimalkan dampak dari bencana alam tersebut.

Kerusakan ekologis secara antropogenik adalah kerusakan ekologis akibat ulah manusia baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Contoh kerusakan ekologis yang bersifat langsung antara lain seperti pengeboman ikan dan praktek perikanan destruktif lainnya, pencemaran, serta erosi pantai akibat pembabatan mangrove. Sedangkan contoh kerusakan ekologis yang bersifat tidak langsung misal seperti sedimentasi akibat aktivitas hulu yang tidak ramah lingkungan.

Kedua, isu sosial terkait dengan struktur sosial, budaya, dan politik. Seperti dijelaskan di muka, bahwa struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan oleh pola hubungan patron-klien. Scott (1993) melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi, yang berarti ada arus dari patron ke klien dan sebaliknya, yang mencakup: (1) penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa pemasaran, dan bantuan teknis, (2) jaminan krisis subsistensi, berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, (3) perlindungan, berupa perlindungan terhadap klien baik dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, pemungut pajak, dsb), (4) memberikan jasa kolektif, berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, jalan, dsb). Sementara itu arus dari klien ke patron menurut Scott (1993) sulit untuk dikategorisasi. Karena klien adalah “orangnya” patron, yang menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya, seperti jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga patron, jasa domestik pribadi, dan juga klien merupakan anggota setia dari faksi lokal patron tersebut.

Meskipun apa yang digambarkan Scott tersebut merupakan hasil kajiannya berdasarkan konteks sosial agraris, namun gambarannya tentang hubungan patron-klien dapat membantu untuk menggambarkan kondisi masyarakat pesisir (Satria, 2002). Berdasarkan tata hubungan di atas jelas bahwa memang antara nelayan dengan patronnya menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih besar daripada nelayan. Karena ketidaksamaan penguasaan sumberdaya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Isu kritis yang muncul umumnya terkait dengan hubungan yang bersifat eksploitatif. Kisah di Pasuruan, misalnya, patron dianggap mengeksploitasi nelayan karena menekan harga jual ikan nelayan.

Ketiga, isu ekonomi umumnya terkait aktivitas ekonomi masyarakatnya yang bergantung pada sumberdaya pesisir. Aktivitas ekonomi di desa pesisir mencakup perikanan (tangkap, budidaya, pengolahan), ekstraktif (pasir laut), pariwisata, industri garam, pelabuhan dan transportasi, dan perdagangan. Potensi sumberdaya tersebut seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, namun karena berbagai masalah masyarakat pesisir yang belum terselesaikan baik oleh pemangku kebijakan maupun oleh masyarakat sendiri sehingga pembangunan masyarakat pesisir belum menunjukkan keberpihakan pada pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya pesisir dan lautan maka peluang tersebut masih belum berkembang.

(3)

Desa pesisir di pulau-pulau besar memiliki sejumlah isu-isu kritis baik di tanah maupun air. Pada sumber agraria tanah, isu yang muncul adalah tentang : (a) status lahan pemukiman, (b) pola penguasaan areal pertambakan, (c) pola penguasaan lahan untuk produksi garam, dan (d) mangrove. Permasalahan utama dalam isu tersebut adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan-lahan tersebut. Masalah berikutnya adalah masalah reklamasi dan konflik spasial, umumnya juga terkait siapa yang diuntungkan di dalamnya. Sementara itu relokasi nelayan, terkait dengan adaptasi sosial-ekologis dari nelayan pendatang.

Adapun di wilayah perairan, isu agraria terkait dengan pola produksi perikanan yang merusak, pencemaran, dan hak-hak pengelolaan pesisir oleh nelayan. Pola produksi perikanan yang merusak memang sering dilakukan nelayan. Pencemaran akibat aktivitas non-perikanan yang dilakukan baik di darat maupun air namun berpengaruh terhadap pencemaran air. Masyarakat seringkali kurang diuntungkan oleh sejumlah produk perundangan yang hingga saat ini belum mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya pesisir.

Kelima, isu geopolitik. Desa pesisir merupakan wilayah daratan terdepan yang berhadapan dengan wilayah perbatasan. Oleh karena itu desa pesisir rentan terhadap gangguan keamanan, baik secara politik maupun ekonomi. Secara politik, desa pesisir, khususnya di pulau kecil perbatasan, sangat rentan terhadap masuknya pengaruh asing yang dapat mempengaruhi nasionalisme. Kasus di Miangas, menggambarkan pengaruh budaya dan spirit kebangsaan Filipina sudah mulai terjadi. Secara ekonomi, gangguan terlihat dalam berbagai aktivitas ilegal baik dalam pertambangan, perikanan, maupun perdagangan.

Tantangan Desa Pesisir kedepan

Setelah mencermati sejumlah isu kritis di atas, maka visi desa pesisir kedepan dapat diformulasikan dalam bingkai kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, energi, kesehatan, dan pendidikan. Konsep kemandirian tersebut tidaklah berarti desa pesisir terlepas kesaling-tergantungannya dengan desa atau wilayah lain. Konsep kemandirian tersebut mengacu pada konsep “net-benefit” yang dihasilkan dari pertukaran dengan daerah lain. Hal ini sekaligus untuk mengatasi problem surplus transfer dari desa ke kota yang selama ini terjadi.

Konsep kemandirian tersebut selanjutnya dapat menjadi spirit dalam pembangunan berkelanjutan. Charles (2001) menekankan aspek-aspek keberlanjutan, yang mencakup: (a) keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), (b) keberlanjutan sosial ekonomi (socioeconomic sustainability), (c) keberlanjutan komunitas (community sustainability), dan (d) keberlanjutan institusi (institutional sustainability). Meski kerangka Charles tersebut sebenarnya untuk konteks perikanan, namun prinsip-prinsip pokoknya bisa dipinjam untuk desain pembangunan desa pesisir.

Keberlanjutan ekologis terwujud dari praktek perikanan yang tidak merusak lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak melebihi daya dukung lingkungan. Keyword

(4)

terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan, dan akses masyarakat pada sumberdaya baik untuk kepentingan pemanfaatan maupun pengelolaan.

Disisi lain keberlanjutan institusi merupakan prasyarat bagi tercapainya tiga dimensi keberlanjutan pengelolaan desa pesisir. Keberlanjutan institusi mencakup institusi politik (kapabilitas birokrasi desa), institusi sosial-ekonomi (seperti institusi keuangan desa, pasar), dan institusi sumberdaya (institusi pengelola sumberdaya). Dalam konteks pembangunan desa pesisir yang lebih spesifik dapat tercermin dari sejauh mana aturan-aturan pengelolaan sumberdaya pesisir ditegakkan dan sejauh mana kapasitas organisasi pengelola sumberdaya diperkuat.

Dengan berpedoman pada beberapa hal di atas, maka karakteristik desa pesisir kedepan adalah memiliki ke khasan sebagai berikut (Kusumastanto,2006):

1. mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar: pangan, kesehatan, pendidikan, air bersih dan energi

2. mampu mengembangkan perencanaan desa (potensi, rencana strategis, tataruang wilayah darat dan perairan, rencana pengelolaan, rencana aksi) serta implementasinya secara dinamis dan partisipatif.

3. memiliki sistem produksi untuk mendaya-gunakan sumberdaya lokal dengan produktivitas yang tinggi dan mampu menyediakan lapangan kerja

4. masyarakatnya mampu mengorganisasi diri baik untuk kepentingan ekonomi, sosial, maupun pengelolaan sumberdaya pesisir,

5. mampu mengelola sumberdaya maupun lingkungan pesisir dan lautan serta daerah aliran sungai terkait, dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan yang berpusat pada kekuatan masyarakat dan bersumber dari kombinasi pengetahuan lokal dan sains

6. masih terjaganya budaya dan nilai-nilai lokal yang positif yang menjadi dasar pengembangan kehidupan masyarakat

7. kapabilitas pemerintahan desa memadai untuk menggerakkan roda pembangunan desa dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya pesisir

8. berkembangnya aktivitas ekonomi berbasis kelautan yang mapu bersaing dalam pasar lokal, regional dan global serta dapat diandalkan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan.

Strategi pemberdayaan Desa Pesisir

Untuk mewujudkan visi diatas harusnya dibuat sebuat desain pengelolaan desa pesisir dengan merumuskan strategi-strategi sebagai berikut:

Pertama, Adanya Maping Desa Pesisir, hal ini dapat dilakukan beberapa tahapan seperti : (a) penyusunan indeks, (b) pembuatan tipologi, dan (c) analisis tipologi. Saat ini desa pesisir berkembang secara alamiah tanpa sebuah desain yang sistematik. Ini terjadi karena belum adanya instrumen untuk memetakan desa pesisir, sehingga tipologi desa pesisir juga belum pernah dirumuskan berbasis pada berbagai atribut yang komprehensif.

Kedua, Strategi Transformasi Desa Pesisir yang mencakup tiga wilayah kebijakan yaitu Pusat, daerah, dan Masyarakat pesisir. Strategi tersebut dengan mengedepankan pendekatan:

a. Berpusat pada rakyat (people-centered): merupakan prinsip yang mengutamakan rakyat sebagai sasaran maupun subyek pembangunan desa pesisir.

(5)

pembangunan desa pesisir tetap bertumpu pada kekayaan budaya dan kearifan lokal untuk menghadapi derasnya arus budaya global dan populer,

c. Fokus pada keberlanjutan (sustainability) : merupakan prinsip yang mengutamakan hasil pembangunan yang dapat dinikmati secara terus menerus dan memikirkan dampak dalam jangka panjang,

d. Holistik: merupakan prinsip yang menekankan perlunya menyentuh seluruh aspek kehidupan yang terkait satu sama lain,

e. Kemitraan : merupakan prinsip yang mementingkan adanya kerjasama antar pelaku yang terkait dengan pembangunan desa pesisir, baik masyarakat, pemerintah, dan swasta,

f. Keterkaitan antara proses mikro dan makro: merupakan prinsip yang menekankan keharmonisan antara proses yang berlangsung secara makro baik di tingkat nasional dengan proses mikro di daerah maupun desa,

g. Dinamis : merupakan prinsip yang mementingkan kemampuan desa untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi di luar, termasuk di dalamnya kemampuan beradaptasi tanpa harus tercerabut dari akar budaya lokalnya,

h. Ramah lingkungan : merupakan prinsip yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan pesisir dalam setiap kegiatan pembangunan desa (Satria, 2006).

Ketiga, Strategi operasioanl pemberdayaan desa pesisir, dengan melaksanakan beberapa langkah (1) proses identifikasi potensi lokal, (2) melakukan analisis kebutuhan masyarakat, (3) perencanaan desa yang dilakukan secara partisipatif untuk merumuskan sejumlah program pembangunan sosial, ekonomi, budaya, dan pengelolaan sumberdaya alam, (4) penataan ruang desa secara partisipatif, (5) pengembangan kapasitas organisasi sosial dan organisasi pemerintahan desa. Organisasi sosial diperlukan sebagai alat untuk pencapaian tujuan tertentu sesuai dengan misi organisasi tersebut.

Kebijakan pemerintah

Dalam rangka pemberdayaan desa pesisir memutus rantai kemiskinan masyarakat pesisir pemerintah didorong harus mampu melaksanakan program-program dengan maksimal dengan terus:

1. Mengoptimalkan peralihan alat tangkap perikanan yang ramah lingkungan bagi nelayan kecil eks pengguna pukat hela dan pukat tarik, dengan mempertimbangkan kebutuhan Nelayan dan kondisi geografis desa pesisir, serta pro-aktif melakukan sosialisasi di 10.666 desa pesisir;

2. Mengevaluasi program pengadaan dan distribusi kapal perikanan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat nelayan untuk menghindari pemakaian anggaran negara yang terbuang percuma;

3. Sungguh-sungguh memprioritaskan anggaran untuk pemberian asuransi kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang No.7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam;

(6)

5. Meningkatkan kerja sama lintas kementerian di bidang perizinan kapal agar kemandirian bisnis perikanan nasional bisa bangkit, mulai dari skala kecil, menengah hingga skala besar;

6. Memerintahkan BUMN Perikanan untuk bekerja sama dengan organisasi nelayan dalam rangka pemberdayaan dan meningkatkan nilai tambah produk perikanan yang dihasilkan di desa-desa pesisir;

7. Memprioritaskan investasi gotong-royong yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan menghidupkan kopersi pesisir dan badan usaha milik desa (BUMDes Pesisir),

8. Mengoptimalkan distribusi bantuan kepada masyarakat pesisir, dengan skema jemput bola oleh pemerintah dan menghindari pengajuan proposal oleh masyarakat yang banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang mengambil keuntungan, pemerintah harus berkoordinasi dengan perangkat desa pesisir atau lewat koperasi dan BUMDes pesisir yang ada.; dan

9. Meningkatkan serapan anggaran kelautan dan perikanan yang diperuntukkan bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat pesisir (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir).

Penutup

Desa pesisir adalah wilayah terdepan sebuah peradaban manusia, daerah pesisir harus berdaya saing yang tinggi agar masyarakat pesisir bisa lebih sejahtera, pembangunan nasional seyogyanya dimulai dari desa pesisir. Dengan melihat berbagai permasalan diatas dan dengan berusaha disiplin menerpakan beberapa strategi pembangunan desa pesisir baik oleh pemangku kebijakan maupun oleh masyarakat diharapkan mampu mewujudkan Desa pesisir masa depan yang madani, sejahtera dan menjadi pintu gerbang kemajuan peradaban Nasional.

Daftar Pustaka :

Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Kusumastanto, T. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics). PKSPL-IPB Press. Bogor

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang/ organisasi dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk atau jasa setelah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan dianggap sebagai budaya asli Indonesia ( indigenous ) serta memiliki akar yang sangat kuat dalam

Sulitnya mencari pekerjaan serta banyaknya PHK saat ini membuat tingginya pengangguran terutama di Batam yang awalnya dikenal dengan tempat yang mudah untuk

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) rata-rata skor kemampuan Mahasiswa Pendidikan Fisika FMIPA UNM menyelesaikan soal UN Mata Pelajaran

Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing

Sistem tersebut dikenal dengan istilah sistem informasi akademik. Sistem informasi akademik itu sendiri merupakan sebuah sistem informasi yang dibangun melalui

Siaran kearifan lokal dalam penelitian ini yaitu bentuk program acara pada radio komunitas baik berupa hiburan, berita, program bahasa, melalui pendekatan bahasa dan

Masalah kesehatan pada lansia tentu saja berbeda dengan jenjang umur yang lain karena pada penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat