• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOCIAL CAMPAIGN 2.0 PERAN MEDIA SOSIAL D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SOCIAL CAMPAIGN 2.0 PERAN MEDIA SOSIAL D"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SOCIAL CAMPAIGN 2.0: PERAN MEDIA SOSIAL

DALAM GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA

Inco Hary Perdana

Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara inco@umn.ac.id

Abstrak

Sejak maraknya penggunaan media sosial di Indonesia, social movement atau gerakan sosial mempunyai lahan yang subur untuk mengampanyekan gerakan tersebut. Gerakan sosial sendiri merupakan aktivitas yang terorganisasi dan bertujuan untuk mendorong atau mencegah terjadinya sebuah perubahan sosial (Macionis, 2014). Dalam paradigma lama, gerakan sosial dikondisikan dengan melibatkan aktivitas fisik secara nyata dari banyak orang atau organisasi. Namun demikian, melalui kehadiran media sosial kini gerakan sosial mendapat ruang baru di mana terjadi kolaborasi dan kontribusi tanpa melalui kehadiran secara fisik. Gerakan sosial melalui media sosial tidaklah hanya sebatas cyberprotest namun juga sebagai bentuk partisipasi dan kolaborasi publik. Saat ini, media sosial bukan hanya menjadi

new channel sebagai alat promosi kampanye sosial namun juga menjadi alat untuk berkomunikasi – kolaborasi dan koordinasi – antar anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya. Kajian pustaka ini akan membahas bagaimana peran framework media sosial Kanter dan Fine (2010) pada gerakan sosial di Indonesia. Dari analisis ditemukan hasil bahwa

framework media sosial Kanter dan Fine (2010) berperan dalam setiap tahapan gerakan sosial Macionis (2010) kecuali pada tahapan decline.

Kata Kunci: Social Movement, Social Campaign, Media Sosial

PENDAHULUAN

Sejak media sosial menjadi bagian komunikasi masyarakat sipil, perannya tidak hanya sebatas menjadi media komunikasi antarpribadi melainkan juga berkembang dalam level komunikasi publik. Media sosial kemudian menjadi sebuah bentuk virtual public space di mana terjadi pertukaran ide, gagasan, diskusi hingga debat publik.

Data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) sampai tahun 2015 jumlah pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta, dan 48 persen aktif menggunakannya setiap hari (Nistanto, 2015). Pengguna media sosial tercatat sebanyak 79 juta dengan 66 juta aktif menggunakannya melalui telepon seluler. Media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah BBM, Facebook, WhatsApp, Facebook Messenger, Google+, Line, Twitter, Instagram, WeChat dan Pinterest (Kemp, 2016).

Penggunaan media sosial dalam gerakan sosial mulai tampak sejak tahun 2009 saat terjadi perseteruan antara KPK dengan Polri. Hal tersebut tampak dalam munculnya sebuah “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” yang di pelopori oleh Usman Yasin dari Bengkulu. Dukungan itu muncul saat dua pimpinan KPK saat itu – Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto – ditangkap setelah diduga menerima suap dari pengusaha Anggodo Widjojo (Malau, 2010).

(2)

terhadap layanan rumah sakit tersebut dan kemudian email tersebut menyebar secara viral

(Wisnu and Wulandari, 2009).

Sejak itu, puluhan gerakan sosial yang menggunakan media sosial sebagai medium penyebarannya semakin banyak terjadi di Indonesia. Gerakan sosial tersebut tidak selalu merujuk kepada kondisi perpolitikan di Indonesia, melainkan merupakan bentuk ketidakpuasan publik terhadap kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Gerakan sosial dengan menggunakan media sosial ini mempunyai topik beragam mulai dari kesehatan, pendidikan sampai lingkungan (Fitri, 2015).

Kajian ini akan membahas bagaimana konsep gerakan sosial (social movement) dalam perkembangannya pada era media sosial. Konsep gerakan sosial yang telah dikenal sejak lama mengalami banyak pergeseran semenjak digunakannya media sosial sebagai medium penyebarannya. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran peran media sosial dalam gerakan sosial di Indonesia. Penggunakan media sosial dalam gerakan sosial selanjutnya akan disebut dengan Social Campaign 2.0 sebagai tanda masuknya Internet 2.0 pada socialmovement dalam konsep tradisional.

KAJIAN KONSEPTUAL

Dalam kajian ini akan digunakan dua konsep utama untuk membahas bagaimana peran media sosial dalam gerakan sosial di Indonesia. Kedua konsep tersebut adalah tahapan dalam gerakan sosial menurut Macionis (2014:686) dan framework penggunaan media sosial dalam

The Networked Nonprofit (Kanter dan Fine, 2010).

Terdapat empat tahapan dalam proses gerakan sosial yaitu: (1) Emergence; (2)

Coalescence; (3) Bureaucratization; dan (4) Decline. Masing-masing tahapan akan dijelaskan bagaimana Social Media Framework yang sesuai untuk tahapan tersebut. Kanter dan Fine (2010) menyebutkan ada sembilan framework dalam pengelolaan media sosial yaitu: (1)

Understanding Social Networks; (2) Creating a Social Culture; (3) Listening, Engaging and Building Relationships; (4) Building Trust Through Transparency; (5) Making Nonprofit Organization Simpler; (6) Working woth Crowds; (7) Learning Loops; (8) From Friending to Funding; dan (9) Governing Through Networks.

Gerakan Sosial (Social Movement)

Macionis (2014:677) mendefinisikan social movement sebagai aktivitas yang terorganisasi dan bertujuan untuk mendorong atau mencegah terjadinya sebuah perubahan sosial. Istilah

social movement yang dikenal saat ini sering merujuk pada “New Social Movement” di mana model ini tidak mengekploitasi dan terjebak pada diskursus ideologi seperti anti-kapitalisme dan revolusi kelas.

New Social Movement muncul pada era 1960-an sampai 1970-an dan membawa isu-isu yang lebih bersifat plural. Isu-isu-isu beragam mulai dari lingkungan hidup, pendidikan, kebebasan sipil, perdamaian, hak-hak binatang sampai dengan feminisme.

Di Indonesia sendiri, New Social Movement berkembang pasca runtuhnya Rezim Orde Baru 1998. Sebelumnya, berbagai gerakan sosial merupakan program-program pemerintah yang seringkali bersifat propaganda. Program ini tidak muncul dari masalah sosial yang ada di tengah masyarakat melainkan menjadi program yang bertujuan membantu Rezim Orde Baru melanggengkan kekuasaannya.

(3)

dirinya sendiri dan mengembangkan strategi bagaimana mencapai publiknya. Pemimpin dalam gerakan ini akan menentukan kebijakan, taktik yang digunakan, membangun moral ideal dan mengadakan perekrutan anggota. Dalam tahap ini terjadi demonstrasi untuk menarik publikasi dari media massa dan perhatian publik, serta adanya kemungkinan aliansi dengan kelompok-kelompok lain dengan kepentingan yang sama untuk mengoptimalkan sumber daya yang diperlukan; (3) Bureaucratization, pada tahapan ini akan dimatangkan sebuah sistem yang nantinya akan menggantikan kebergantungan terhadap kharisma kepemimpinan seseorang. Kemapanan gerakan akan ditentukan oleh bagaimana gerakan tersebut dapat mempunyai staf dan kader yang baik dan loyal; dan (4) Decline, ini merupakan tahapan terakhir dari sebuah gerakan sosial di mana ada lima alasan mengapa sebuah gerakan sosial mengalami kemunduran yaitu: (i) Gerakan sosial telah mencapai tujuannya; (ii) Terjadi pertentangan dalam internal organisasi; (iii) Kooptasi atas para pemimpin gerakan; (iv) Mengalami tekanan/represi dari pihak eksternal; dan (v) Gerakan tersebut masuk dalam kelembagaan arus-utama sehingga tidak ada tantangan dari status-quo.

Framework Media Sosial untuk Mendorong Perubahan

Kanter dan Fine (2010) menjelaskan bagaimana media sosial telah digunakan dalam

Networked Nonprofits. Gerakan sosial sendiri dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: (1) Pengoranisasian (Organized); (2) Pertimbangan (Deliberate); dan (3) Daya tahan (Enduring). Ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada NetworkedNonprofits sebagai sebuah gerakan sosial dikarenakan tujuan dari gerakan sosial adalah terjadinya sebuah perubahan sosial dan bukanlah keuntungan profit secara komersil.

Kanter dan Fine (2010) menyebutkan bahwa penggunaan media sosial merupakan sebuah proses integrasi dengan tiga kategori penggunaan sebagai berikut: (1) Conversation starters, memulai sebuah isu dan percakapan dengan menggunakan blog, Youtube dan Twitter; (2) Collaboration tools, menjadikan media sosial sebagai ajang kolaborasi seperti menggunakan Wikis, Google/Yahoo Groups dan juga WhatsApp atau Telegram Group; (3)

Network builders, membangun jaringan dengan pihak-pihak lain yang mempunyai minat dan kepentingan yang sama melalui Facebook dan Web Forum.

Secara garis besar, Kanter dan Fine (2010) membagi framework media sosial bagi

Networked Nonprofits menjadi dua bagian yaitu (1) “How to Become a Networked Nonprofit”

yang berfokus pada bagaimana sebuah organisasi menggunakan media sosial secara sukses dan efektif; dan (2) “What to Do as a Networked Nonprofit” menjelaskan bagaimana cara organisasi bekerja dengan struktur tersebut saat terjadi situasi dan kondisi dan tujuan tertentu.

Bagian Pertama “How to Become a Networked Nonprofit” mencakup lima framework

yaitu (1) Understanding Social Networks; (2) Creating a Social Culture; (3) Listening, Engaging and Building Relationships; (4) Building Trust Through Transparency; (5) Making Nonprofit Organization Simpler; sedangkan Bagian Kedua “What to Do as a Networked Nonprofit” mencakup (6) Working with Crowds; (7) Learning Loops; (8) From Friending to Funding; dan (9) Governing Through Networks.

(1) Understanding Social Networks; adalah bagaimana organisasi dapat memetakan pihak-pihak mana saja yang dapat mendukung dan membatasi tujuan dari sebuah gerakan sosial tercapai. Beberapa media sosial mempunyai fasilitas yang dapat membuat klasifikasi teman atau follower pada media sosial tersebut. Dengan demikian akan tercipta ekosistem virtual dalam media sosial organisasi. Hal itu berguna saat organisasi menyebarkan pesannya melalui media sosial, akan lebih memahami mana yang akan mendukung, menolak atau tidak mengacuhkan pesan tersebut.

(4)

negatif. Sebuah organisasi harus memahami katakteristik masing-masing media sosial sehingga mampu mengoptimalkannya untuk mengembangkan sebuah social culture.

(3) Listening, Engaging, and Building Relationships; merupakan cara untuk mengetahui isu apa yang sedang banyak beredar di media sosial, masuk dan terlibat dalam isu tersebut serta membangun hubungan dengan pihak pendukung, simpatisan dan organisasi lain yang memiliki minat yang sama dalam ekosistem virtual.

(4) Building Trust Through Transparancy; sebuah gerakan sosial penting untuk melakukan transparansi untuk membangun kepercayaan publik. Susunan kepengurusan, program kerja, serta aliran dana dari organisasi dapat diakses oleh publik agar publik dapat melihat tujuan dan perkembangan aktivitas organisasi.

(5) Making Nonprofit Organizations Simpler; media sosial dapat membuat alur komunikasi pada sebuah organisasi dengan lebih mudah. Penggunaan mailing list, Facebook Group, WhatsApp Group, dan tool lainnya membuat biaya operasional sebuah organisasi menjadi lebih murah. Perlu diperhatikan bentuk alur komunikasi grup dan alur komunikasi pribadi dalam organisasi untuk menghindari salahnya penyampaian pesan.

(6) Working with Crowds; media sosial dapat digunakan sebagai tool untuk mendapatkan feedback tentang organisasi dari publik dalam waktu singkat. Aktivitas crowd voting dan crowd funding juga dapat dilakukan secara online.

(7) Learning Loops; media sosial dapat digunakan untuk menganalisis pergerakan publik secara online. Organisasi dapat menggunakan berbagai alat pengukuran untuk mengukur isu-isu apa saja yang membuat publik tertarik dan bergabung.

(8) From Friending to Funding; sebuah gerakan sosial bagaimanapun memerlukan pendanaan. Media sosial dapat digunakan untuk menghimpun pendanaan melalui banyak cara. Organisasi juga dapat bekerja sama dengan operator seluler agar pendanaan dari publik dapat dihimpun melalui pemotongan pulsa.

(9) Governing Through Networks; pengaturan organisasi saat ini dimudahkan dengan penggunaan media sosial. Jadwal rapat dapat langsung diundang melalui email dan masuk dalam agenda pada smartphone.

METODE

Kajian ini dianalisis melalui studi literatur yang telah ditentukan pada bagian sebelumnya. Studi literatur merupakan teknik menganalisis sebuah kasus dengan menelusuri tulisan-tulisan atau data-data yang telah ada sebelumnya. Studi literatur tidak terbatas hanya dengan menggunakan data berupa teks namun juga dapat menggunakan jenis data lainnya seperti foto, gambar, video dan suara.

Bungin (2007) menyebutkan bahwa studi literatur adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data histori. Studi ini tidak menggunakan riset lapangan namun hanya menggunakan literatur sebagai bahan utama bahasan utama kajian.

(5)

HASIL ANALISIS

Bentuk komunikasi melalui Internet merupakan era ke-4 setelah komunikasi era tulis, era media cetak dan era media telekomunikasi (Sumadiria, 2014:236-237). Komunikasi ini memiliki lintas level dan dimensi – dapat merupakan komunikasi searah dan dua arah, serta dapat merupakan komunikasi antarpribadi hingga komunikasi massa.

Masyarakat dalam dunia maya disebut dengan netizenIntenet Citizen. Aktivitas komunikasi netizen mengubah konsep komunikasi konvensional dengan mempersingkat dimensi jarak, waktu dan tempat. Hal tersebut membuat isu-isu di sebuah tempat dengan cepat dapat menyebar ke berbagai penjuru dan belahan dunia lainnya. Isu-isu lokal dapat berubah dengan cepat menjadi isu global.

Isu-isu tersebut kemudian ditangkap oleh beberapa pihak sebagai suatu permasalahan sosial yang membutuhkan sebuah perubahan sosial. Untuk itulah kemudian beberapa pihak menginisiasi gerakan sosial dengan memanfaatkan media sosial sebagai bentuk penyebaran pesan serta kolaborasi dan koordinasi gerakan.

Dalam bagian ini akan dianalisis bagaimana sembilan framework media sosial dari Kanter dan Fine (2010) dapat dimanfaatkan dalam tahapan gerakan sosial berdasarkan Macionis (2014).

Peran Media Sosial Pada Tahapan Emergence

Pada tahapan ini gerakan sosial masih dalam tahap mengumpulkan isu-isu yang beredar di masyarakat. Pada media sosial, sebuah isu dapat ditemukan dengan melakukan search kata atau hashtag tertentu. Pada tahapan ini media sosial dapat menggunakan frameworkLearning Loops, sehingga media sosial dapat digunakan untuk menganalisis pergerakan publik secara

online. Saat ini organisasi biasanya belum terbentuk namun telah muncul isu yang mengerucut untuk kemudian dijadikan isu gerakan sosial.

Dalam aktivitas media sosial, sebuah isu juga dapat ditemukan melalui seberapa sering sebuah berita di-share atau retweet oleh publik. Dalam posting dapat dilihat bagaimana opini publik dalam menanggapi berita tersebut.

Pada tahapan ini, isu masih dalam kondisi bertebaran dalam berbagai media sosial dan belum mempunyai bentuk pergerakan yang jelas. Inisiator dari gerakan sosial dapat menggunakan framework Understanding Social Networks untuk memetakan dan melakukan klasifikasi pihak-pihak mana saja yang akan mendukung ataupun menolak isu tersebut. Pada saat tersebut dapat ditentukan bagaimana ekosistem virtual pada sebuah isu.

Sebagai contoh, sebuah posting di media sosial tentang penemuan anjing peliharaan yang banyak dibuang di jalan tol dapat menjadi viral dan kemudian menyebar menjadi isu. Pada saat itulah kemudian para aktivis hak-hak binatang kemudian melihat apakah isu tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah gerakan sosial seperti adopsi binatang atau penangkarang binatang terlantar. Peran media sosial dalam isu hak-hak binatang dapat ditemukan pada akun Twitter @gardasatwa dan http://animaldefenders.or.id

Peran Media Sosial Pada Tahapan Coalescence

Isu yang dikembangkan pada tahapan sebelumnya kemudian masuk dalam tahapan

Coalescence di mana pada tahapan ini gerakan sosial akan mendefinisikan dirinya sendiri dan mengembangkan strategi bagaimana mencapai publiknya. Pada tahapan ini dapat digunakan

framework Creating a Social Culture dan framework Listening, Engaging, and Building Relationships. Kedua framework ini dapat memetakan pihak-pihak mana yang dapat diajak berkolaborasi secara online, dan mana yang hanya dapat berkolaborasi secara offline.

(6)

Culture berguna untuk memetakan karakteristik masing-masing media sosial dan kegunaannya untuk gerakan sosial tersebut. Facebook dapat digunakan sebagai grup diskusi dan berbagi informasi. Twitter sebagai diskusi dan meng-update informasi secara cepat. Instagram sebagai media dokumentasi kegiatan. Pada framework ini juga dilihat media sosial mana yang aktif dan dapat membantu tumbuhnya gerakan sosial.

Framework Listening, Engaging, and Building Relationships digunakan untuk melakukan kolaborasi dengan gerakan sosial dengan isu-isu sejenis. Dalam isu pendidikan misalkan Indonesia Mengajar dapat berkolaborasi dengan Berbagi Buku sehingga gerakan sosial dapat berjalan lebih masif. Dengan menggunakan framework ini juga akan dapat diketahui bagaimana sesungguhnya ekosistem virtual dari gerakan sosial bahkan siapa-siapa saja pihak yang dapat menjadi hambatan gerakan sosial tersebut.

Nasrullah (2015:128) mengatakan bahwa media sosial memberikan ruang kepada pengguna untuk menyuarakan pikiran dan opininya dalam proses demokratisasi. Sebuah gerakan sosial dapat memantau dengan mendengarkan opini publik yang beredar secara

online tentang gerakan sosial tersebut. Dengan sangat maraknya penggunaan media sosial sangat mungkin sebuah gerakan sosial akan terkubur dengan gerakan sosial lainnya yang serupa namun mendapatkan tanggapan lebih baik dari publik.

Peran Media Sosial Pada Tahapan Bureaucratization

Pada tahapan ini sebuah gerakan sosial menjadi mapan baik secara organisasi maupun sistem pelaksanaannya. Gerakan sosial tidak lagi bergantung pada individu pemimpin melainkan mengacu pada sebuah sistem yang mampu menggerakkan organisasi, siapapun pemimpinnya. Sebagai contoh, ACT atau Aksi Cepat Tanggap merupakan sebuah organisasi kemanusiaan global yang saat telah memiliki sistem organisasi yang mapan. Pemantauan dari situs resmi ACT dapat dilihat bagaimana mekanisme publik yang ingin menjadi anggota atau donatur. ACT juga telah menggunakan berbagai jenis media sosial dalam aktivitas gerakan sosial mereka dan menjadi sebuah organisasi profesional yang mempekerjakan praktisi handal sesuai pada bidangnya.

Tahapan ini dapat menggunakan framework Building Trust Through Transparancy.

Sistem sebuah organisasi yang mapan dibutuhkan dalam penggunaan framework ini. Sebagai contoh, ACT memperlihatkan financial report dalam situsnya di http://act.id/id/about-us/financial-report. Hal tersebut penting untuk menjaga kredibilitas organisasi dan keberhasilan tujuan sebuah gerakan sosial. Media sosial digunakan sebagai pengumpan berbagai macam informasi yang merujuk pada transparansi organisasi.

Mapannya sebuah organisasi membuat organisasi menjadi semakin besar dan komplek. Oleh sebab itu tahapan ini memerlukan framework media sosial lainnya yaitu

Making Nonprofit Organizations Simpler, Working with Crowds, From Friending to Funding

dan Governing Through Networks. Pada ACT, situs resmi digunakan sebagai wadah dan pusat informasi tentang aktivitas organisasi, mulai dari perekrutan volunteers hingga pressroom

tentang aktivitas organisasi. Media sosial Facebook, Twitter, Google+, Youtube dan Instagram digunakan sesuai dengan karakteristik media sosial masing-masing.

Peran Media Sosial Pada Tahapan Decline

(7)

Keberhasilan sebuah gerakan sosial secara pelan-pelan akan memudarkan perbincangan tentang isu tersebut di media sosial. Namun demikian, hal tersebut dapat menjadi studi kasus jika terjadi isu serupa di kemudian hari dan sangat muncul diperbincangkan kembali di media sosial. Sebagai contoh, keberhasilan #CoinForPrita akhirnya membuat perbincangan isu tersebut di media sosial memudar. Namun netizen akan merujuk pada kasus Prita tersebut jika terjadi kasus yang merugikan konsumen.

Sangat mungkin sebuah sebuah gerakan sosial kemudian mengalami kemunduran karena gerakan tersebut terserap tujuannya ke dalam arus utama dan masuk dalam kelembagaan status-quo. Sebagai contoh gerakan sosial tentang anti-korupsi dan anti-narkoba yang kemudian menjadi lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Hal tersebut membuat peran dan penggunaan media sosial akan berubah pula. Namun demikian, sangat mungkin kemudian muncul gerakan sosial baru dalam organisasi-organisasi pengontrol yang menjadi watchdog lembaga negara tersebut.

DISKUSI

Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa media sosial mempunyai peran yang strategis dalam tahapan gerakan sosial di era Internet saat ini. Penggunaan tahapan gerakan sosial Macionis (2014) menunjukkan bahwa media sosial dapat digunakan pada semua tahapan gerakan sosial. Namun demikian pada tahapan terakhir justru peran media sosial juga ikut menurun seiring dengan hilang atau pudarnya isu tertentu. Pada tahapan decline, media sosial justru menjadi

watchdog saat gerakan sosial masuk dalam kelembagaan negara.

Abugaza (2013:103) menyebutkan bahwa media sosial menjadi pilar kelima demokrasi saat pilar eksekutif, legislatif dan yudikatif justru melakukan praktik politik dagang sapi atau tukar menukar kekuasaan. Media sebagai pilar keempat yang menjadi harapan makin kehilangan idealisme seiring dengan masuknya konglomerasi politik dalam media massa. Saat itulah media sosial merajut simpul-simpul individu untuk kemudian menjadi kekuatan baru dalam demokrasi digital.

KESIMPULAN

Dapat disimpulan bahwa seluruh framework Kanter dan Fine (2010) dapat digunakan dalam proses tahapan gerakan sosial. Framework tersebut tidak digunakan secara urut namun disesuaikan dengan kebutuhan dalam masing-masing tahapan. Media sosial tidak hanya menjadi sarana promosi sebuah gerakan sosial namun juga menjadi tool untuk melakukan kolaborasi dan koordinasi, baik internal maupun eksternal.

Yang perlu digarisbawahi bahwa sebuah gerakan sosial harus dapat terukur akuntabilitasnya. Oleh sebab itu framework Building Trust Through Transparancy menjadi satu framework terpenting guna membangun kepercayaan publik terhadap sebuah gerakan sosial. Kepercayaan publik menjadi dasar yang penting akan sebuah gerakan sosial dan merupakan modal agar gerakan sosial tersebut dapat berkembang dan mapan.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abugaza, Anwar. (2013). Social Media Politica: Gerak Massa Tanpa Lembaga. Tangerang Selatan: Penerbit Tali.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed ke-2. Jakarta: Kencana.

Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di antara Lima Pendekatan, Ed ke-3 (Terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(8)

Macionis, John J. (2014). Sociology, 15th Ed. New Jersey: Pearson.

Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sumadiria, Haris. (2014). Sosiologi Media Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sumber Online

Fitri, Mauren. (2015). “Online Social Movement Indonesia”. Diakses 30 Agustus 2016. http://www.ziliun.com/articlesziliun17-online-social-movement-indonesia/ Kemp, Simon. (2016). “Digital in 2016”. Diakses 29 Agustus 2016.

http://wearesocial.com/uk/special-reports/digital-in-2016

Malau, Ita Lismawati F. (2010). “Gerakan Facebookers Dukung Bibit-Chandra”. Diakses 29 Agustus 2016. http://politik.news.viva.co.id/news/read/146086-gerakan-facebookers-dukung-bibit-chandra

Nistanto, Reska K. (2015). “Pengguna Internet Indonesia Tembus 88 Juta”. Diakses 29 Agustus 2016.

http://tekno.kompas.com/read/2015/03/26/14053597/Pengguna.Internet.Indonesia.Temb us.88.Juta

Wisnu, Andra and Eny Wulandari. (2009). “Blame Game Starts Over Misuse of Law n Prita Mulyasari Case”. Diakses 29 Agustus 2009.

Referensi

Dokumen terkait

penelitian ini terlihat adanya peningkatan pada indikator nilai kreatif yaitu: menyusun suatu karya dari alat dan bahan yang ada di kelas meskipun belum maksimal karena

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

The traditional method assigns or allocates the factory's indirect costs to the items manufactured on the basis of volume such as the number of units produced, the

Lokasi kantor : Tasikmalaya (Jl.. Kapten

Untuk mengetahui perbedaan berpikir kritis peserta didik antara kelas yang. menggunakan metode Student Team Achievement Division dengan

dimaksud pada ayat (1) yang akan menduduki jabatan fungsional Pengendali Dampak Lingkungan ahli madya, diverifikasi oleh pimpinan unit kerja dan diajukan kepada Biro

Halaman Laporan digunakan untuk melihat hasil akhir dari proses perhitungan data inflasi dengan nilai peramalan terbaik berdasarkan nilai error terkecil yang diperoleh

'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Sila inilah yang sesungguhnya menjadi landasan ftlosofts dari pendeka- tan ekonomi kesejahteraan bagi Indonesia. Harus dipahami