• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARMONISASI KESADARAN KEBERTUBUHAN rista novia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HARMONISASI KESADARAN KEBERTUBUHAN rista novia "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

Telaah Pemikiran Transpersonal Ibn ‘Arabi

Harista Hidayah Syaifuddin (13

.2.00.0.02.01.0090)

haristahidayah@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini merupakan studi komparasi yang mencoba mengadu pemikiran dunia

barat dan dunia Islam dalam konsep kesadaran kebertubuhan. Michel Foucault, Jean

Paul Sartre, dan Merleau Ponty dinilai penulis mampu memberikan gambaran

konsep kebertubuhan dalam dunia barat. Sementara dalam dunia Islam gagasan

al-Ghazali dan Ibn Sina yang digunakan untuk menjelaskan konsep kebertubuhan.

Nyatanya sebuah kesimbangan yang mampu menjembatani dunia barat dan Islam

adalah teori transpersonal Ibn Arabi. Jadi kesimpulan besar penelitian ini adalah

semakin tinggi kesadaran manusia akan fungsi kebertubuhannya maka semakin

harmoni kondisi kesadaran jiwanya.

kata kunci: kebertubuhan, transpersonal, Ibn ‘Arabi .

A. Pendahuluan

Panggung filsafat mengisahkan suatu kerapian status pemikiran manusia. Di sela-sela lembaran pemikiran itu lokus epistemologi menjadi bab yang tak terlewatkan untuk dikaji. Catatan penting yang dikandung oleh epistemologi ialah pemaparan kaidah-kaidah yang diungkapkan rasionalisme dan empirisme. Meskipun kedua aliran ini berjalan pada koridor yang berbeda, namun terdapat sebuah acuan pemikiran yang sama-sama diungkapkan di dalamnya. Acuan pemikiran itu adalah posisi kesadaran serta posisi tubuh dalam menyikapi realitas.

Berbagai penafsiran telah dilakukan oleh tokoh-tokoh filsuf untuk menanggapi acuan pemikiran tersebut. Upaya penafsiran itu memunculkan paham-paham yang semakin memperlebar perbedaan antara rasionalisme dan empirisme semacam penafsiran yang tewujud dalam paham idealisme dan positivisme.1 Sementara ada pula yang mencoba mempersatukan keduanya sebagaimana yang telah dilakukan oleh Immanuel Kant dan Edmund Husserl.

Terlepas dari pergolakan sintesa dan anti tesa yang terjadi dalam rasionalisme dan empirisme, penelitian ini memiliki maksud tersendiri dalam menanggapi kedua hal tersebut. Apabila acuan pemikiran yang melandasi rasionalisme dan empirisme ialah posisi kesadaran dan posisi tubuh dalam menyikapi realitas. Maka dua tanda tanya besar penelitian ini adalah apakah para sarjana barat telah berhasil menjelaskan konsep kebertubuhan yang harmoni dengan kesadaran? Dan bagaimana konsep kebertubuhan yang ditawarkan dalam Islam? Kedua pertanyaan tersebut hendak dijawab penulis dalam sudut pandang kerapian filsafat atas teori transpersonal Ibn ‘Arabi.

1Henry D. Aiken, Abad Ideologi (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2005),

(2)

B. Kebertubuhan Menurut Definisi Barat

Secara harfiah definisi tubuh adalah keseluruhan jasad manusia atau binatang yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut.2 Definisi tubuh dalam anggapan umum cenderung mengacu pada sifat-sifat biologis. Sifat-sifat biologis itu mengantarkan tubuh atas bagian-bagian penyusunnya mulai dari yang terkecil yakni sel, jaringan, organ, sistem organ, dan organisme.

Pengertian tubuh yang lebih dekat dengan sifat biologis menempatkan tubuh pada simpangan yang jauh dalam tataran sosial. Dengan kata lain manusia sebagai tubuh akan berbeda maknanya dengan manusia sebagai individu. Manusia sebagai tubuh merupakan manusia yang terwujud atas keniscayaan biologis yang dimilikinya. Sementara manusia sebagai individu adalah manusia yang terhimpun dengan persinggungannya terhadap kondisi sosial.

Kesenjangan yang tercipta itu menjadi rumit manakala dihadapkan dengan problematika yang secara langsung menempatkan posisi manusia sebagai tubuh dan manusia sebagai individu. Tersebutlah kasus rasisme dan seksisme. Rasisme yang memiliki anak cabang berupa kolonialisme dan anarkisme. Sedangkan seksisme yang erat kaitannya dengan ketimpangan gender.

Pada kasus rasisme manusia dilihat melalui latar belakang ras atau suku kebangsaannya. Adanya perbedaan ciri-ciri tubuh seperti perbedaan warna kulit, bentuk rambut, warna bola mata, dan ukuran tinggi pendek menjadi catatan tersendiri dalam pergaulan sosial. Dunia menjadi saksi bisu manakala rezim Jim Crow menetapkan pembersihan warga kulit hitam di Amerika Selatan. Sementara kekejaman apartheid atas bangsa kulit putih menggurita di Afrika Selatan.3 Pendek kata rasisme terjadi sebab terdapat anggapan bahwa tubuh dengan ciri-ciri fisik tertentu memiliki superioritas yang lebih disbanding dengan tubuh-tubuh yang lain. Yang juga acap kali didiskusikan adalah kasus-kasus seputar seksisme yang meliputi feminisme, kesetaraan gender, serta kaum gay dan lesbian. Seksisme yang berarti diskriminasi dan/atau kebencian terhadap seseorang yang bergantung terhadap seks (diferensiasi jenis kelamin individu).4 Seksisme turut mengetengahkan posisi tubuh dalam kancah pergaulan sosial. Pada kondisi ekstrim bahkan terbentuk golongan misoginis yakni golongan yang sangat anti terhadap perempuan, serta golongan misandria yang merupakan kebalikannya yaitu golongan anti laki-laki.

Kesenjangan yang dikandung dalam definisi tubuh sebagai pembawa sifat fisis-biologis dan individu manusia sebagai komponen dari makhluk sosial akan termentahkan jika dibandingkan dengan kasus-kasus di atas. Pasalnya pada ranah sosial wujud dari kondisi tubuh turut memainkan peran yang penting. Perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin, dan segala perbedaan yang melekat pada sisi ‚tubuh‛ akan membawa implikasi pada taraf sosial.

2www.artikata.com/arti-355221-tubuh.html. (diunduh pada 12 November 2014). 3George M. Fedrickson, Rasisme Sejarah Singkat, ( Yogyakarta: Bentang Pustaka,

2005)

4Dirk Voorhof, ‚Seksismewet: Sterk Symbool, Beperkte Impact,‛ De

(3)

Di antara filsuf yang menggulirkan wacana seputar hakikat tubuh dalam tatanan sosial kiranya Michel Foucault merupakan penggagas yang paling komprehensif.5 Pada saat Rene Descartes menduakan tubuh dan realitas dalam penggambaran diagram cartesius. Kemudian Nietzsche membahasakan malleability

of body yang berarti lunaknya tubuh untuk dibentuk oleh rezim yang ada. Dan juga

Sigmund Freud mengenai perbedaan feminin dan maskulin. Maka Foucoult tampil dengan ulasannya yang apik dan tajam mengenai tubuh. Gagasan Foucault itu meliputi hubungan antara tubuh dan politik kekuasaan serta hakikat tubuh dalam konotasi seksual.

Dengan mengamati realita sosial yang terjadi di penjara-penjara Eropa sejak abad ke-16 sampai abad ke-18, Foucault menemukan fakta mengenai hakikat tubuh. Foucault menyatakan bahwa tubuh secara integral menjadi lokus dan medium penyebaran kekuasaan atau dengan kata lain badan manusia merupakan komponen yang esensial bagi pertumbuhan kekuasaan.6

Pada bukunya yang bertajuk

the Discipline and Punish,

Foucault menunjukkan teks bertahun 1670 mengenai aturan-aturan penghukuman manusia.7 Pada kisaran tahun itu penjara belum digolongkan sebagai jenis penghukum yang serius. Penghukuman semacam pemenggalan leher, gantung diri, penyaliban, maupun hukuman lain yang langsung menyentuh tubuh manusia adalah cara menghukum yang utama saat itu. Jenis cara menghukum ini diistilahkan dengan penghukuman monarkial.

Selanjutnya Foucault kembali mencatat pada awal masa modern kaum reformis mengusulkan praktek penghukuman dengan cara

public-work (bakti

sosial). Teknik

public-work merupakan bentuk hukuman yang paling ideal karena

dianggap dapat memberikan efek moral pada masyarakat luas.8 Namun Foucault meramalkan bahwa jenis hukuman ini tidak akan bertahan lama.

Tak lama setelah itu seperti yang diungkapkan Foucault penjara pada akhirnya menjadi alat hukum yang terpopuler. Hal ini tidak terlepas dari impian masyarakat Barat akan terbentuknya kota yang steril dari ‚kuman‛ yang mengotori kota. Kuman pada artian awal adalah kuman dalam arti yang sesungguhnya atau kuman sebagai penyakit yang mengganggu kesehatan tubuh. Pada masa itu masyarakat Barat memang sedang dihantui oleh wabah penyakit kusta. Sehingga muncul impian untuk menyingkirkan mereka yang telah terjangkit kusta pada suatu daerah dengan sistem isolasi agar kesehatan kota dapat terjamin.

Hopital general

begitulah istilah yang diberikan oleh masyarakat Barat atas impiannya itu.

Di sisi lain para pelaku kiminal serta pelanggar peraturan yang telah ditetapkan pemerintah tak ubahnya dengan pengertian ‚kuman‛ yang menganggu kehidupan masyarakat. Oleh karenanya untuk menbersihkan lingkungan dari kuman tersebut dibuatlah penjara. Dari situlah maka penjara menjadi pilihan yang paling tepat sebagai alat hukum.

5Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), 14. 6 Seno Joko Suyono, Tubuh yang Rasis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 326. 7Seno Joko Suoyno………327

(4)

Dengan mengamati sejarah lahirnya penghukuman yang terjadi di Barat, Foucault sampai pada suatu kesimpulan bahwa sistem-sistem penghukuman senantiasa dikondisikan pada suatu kepentingan politik dan ekonomi tertentu mengenai tubuh. Kekuasaan dalam arti luas sebagai pemerintahan dan kekuasaan dalam arti sempit selaku keinginan dapat diimplikasikan atau di-keluar-kan pada wujud tubuh. Tubuh dapat menempa hukuman apabila terjangkit kuman baik kuman secara etimologis maupun terminologis.

Mengenai tubuh dalam konotasi seksual dapat dicermati melalui tulisan Foucault dalam The History of Sexuality. Buku yang terdiri dari beberapa jilid itu mempunyai isi yang senama dengan judulnya yaitu sejarah perkembangan seksualitas di dunia Barat. Foucault mengawali dengan keadaan yang terjadi pada abad pertengahan.9

Pada masa itu para pastur menganggap tubuh manusia adalah sebagai fallen

bodies and sin. Tubuh semata-mata sebagai sumber penyegala hawa nafsu yang

durja. Hal ini tidak terlepas dari kejahatan yang diakibatkan dari adanya hubungan seksual yang melibatkan badan manusia secara langsung. Disebutkan juga pada masa itu bahwa asketisme merupakan inferioritas atas tubuh yang sifatnya lebih mulia secara teologis. Alhasil kegiatan seks (baca:ke-bersetubuh-an) menjadi kegiatan yang bernuansa dosa.

Selanjutnya pada kisaran abad ke-17 dan ke-18 pasca terjadinya revolusi atas pemikiran yang

nota bene didominasi oleh dogma-dogma agama, prosesi

seksualitas atas tubuh turut mengalami pergeseran. Berbalik arah dengan anggapan bahwa seks merupakan sebuah dosa, maka pada masa ini kegiatan seks menjadi sesuatu yang hadir secara alamiah sama halnya dengan adanya tubuh yang juga ada secara alami.

Baru kemudian yang menjadi catatan Foucault ialah apa yang terjadi pada awal abad ke-19. Pada masa ini penabuan seks yang terjadi di abad pertengahan terasa berulang. Jika abad pertengahan menyoal hal-hal yang bersifat teologis, maka di awal abad ke-19 pembatasan kegiatan seks lebih didasari oleh alasan-alasan medis.

Pasca mewabahnya jenis penyakit yang mudah menular dari kontak fisik semacam AIDS dan kusta, maka pemerintah turut mengambil bagian dalam membatasi kegiatan seks. Terlebih lagi dengan alasan menjaga populasi umat manusia, pemerintah juga melakukan peraturan akan jumlah keturunan. Demi alasan-alasan yang terjadi itu kemudian Foucault memberikan label terhadap masa itu dengan sebutan

the new pastoral confession. Foucault menyebut demikian

semata-mata karena pelarangan yang terjadi pada masa modern ini tidak kurang dan tidak lebih sama dengan apa yang terjadi pada era pertengahan.10

Sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa Foucault mengartikan tubuh sebagai lokus dan medium penyebaran kekuasaan. Oleh karena itu prosesi

9Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1 (New York: Random House,

1990), 15-17.

10Edward F. Mc Gushin, Focault’s Askesin: An Introduction to the Philosophical

(5)

yang ada pada alat hukuman maupun kegiatan seksual yang mengaitkan tubuh secara langsung merupakan wujud dari kebesaran tangan-tangan kekuasaan.

Penguasa dapat menggunakan kekuasaannya dengan cara menguasai tubuh-tubuh manusia. Penguasaan terhadap tubuh-tubuh manusia dapat terwujud pada hukuman-hukuman fisik sampai dengan pembatasan kegiatan fisik yang melanggengkan lahirnya manusia atau yang disebut dengan kegiatan seksual.11

Di luar konteks yang dipaparkan oleh Foucault, dewasa ini hal-hal yang terkait dengan tubuh manusia mengalami kejadian yang lebih kompleks. Tolak ukur era kontemporer yang tak dapat dielak adalah barometernya terhadap situasi yang terjadi dalam narasi media masa. Dalam hal ini yang disebut media massa tidak hanya berarti koran melainkan juga keseluruhan media elektronika yang disuguhkan setiap waktu pada manusia.

Meminjam istilah Jean Baudrillard yakni

implosion

yang berarti proses penyatuan umat manusia yang meledakkan batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi, dan kelas yang dilakukan oleh media massa.12 Dalam prosesi

implosion

manusia dibombardir terus menerus agar senantiasa takluk pada aturan-aturan media. Aturan-aturan dalam media ini lebih sering dikenal dengan sebutan trend.

Berbagai

trend tersebut erat kaitannya dengan pengarahan tubuh manusia

agar mengikuti keinginan media massa. Sebagai contoh penggunaan produk-produk perawatan tubuh semisal shampo, sabun, serta alat-alat kosmetik yang menjadi keniscayaan pada tubuh manusia. Apabila tubuh manusia tidak mengikuti aturan yang ditetapkan media massa tersebut, sudah barang tentu membawa akibat bagi kelangsungan hidupnya dalam pergaulan sosial. Implikasi atas tubuh sebagai wujud fisik dan sebagai penyerta dalam konteks sosial kembali mengena pada kasus ini.

Sebuah ungkapan menarik mengenai kondisi tubuh pada era kontemporer dapat disaksikan dalam kutipan berikut:

Poked, probed, sliced, prosthetically enhanced and surgically diminished, transplanted, and artificially stimulated, the body in contemporary culture is the volatile subject of both textual and material fascination. The explosion of technologies and methodologies that claim to give us better access to ‚the truth‛ of the body have made the body more visible and yet more elusive.13

Apa yang diulas dalam penggalan buku filsafat aksiologi di atas mengisyaratkan tentang pembentukan tubuh semacam suntikan silikon sebagai penambahan bagian tubuh, transplantasi selaku pencangkokan, dan pengirisan organ tubuh sebagai pengurangan merupakan hal yang kerap terjadi pada era kontemporer. Kebenaran yang dikandung tubuh sebagai pengemban sifat-sifat biologis-genetis dikaburkan oleh kepentingan kedirian manusia dalam kehidupan di ranah sosialnya.

11Michel Foucault, Madness and Civilizations A History of Insanity in the Age of

Reason (USA: Random House, 1988), 117-120.

12Dominic Strinati, Popular Culture (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 14. 13Jeffrey Jerome Cohen, Thinking The Limits of The Body (USA:University of

(6)

Dalam menaggapi realitas ini salah seorang maestro postmodernisme Prancis, Jean Francois Lyotard menggulirkan gagasan mengenai lahirnya teknologi Nirmanusia.14 Meskipun kemunculan nirmanusia ini muncul sebagai konsekuensi logis dari terjadinya gelora humanisme pada awal masa modern, namun nirmanusia menjadi penting manakala ditilik dari signifikansi hubungan tubuh manusia terhadap teknologi.

Tubuh manusia yang dibentuk oleh aturan-aturan media sesungguhnya menjadi tubuh yang semi-humanis bahkan mendekati nirmanusia. Eksploitasi besar-besaran pada tubuh selanjutnya menjadikan unggulnya teknologi di atas hakikat kebertubuhan manusia.

Dari keseluruhan narasi mengenai tubuh yang telah dipaparkan di atas hakikat dari tubuh dapat disaripatikan. Tubuh yang mengemban secara total sifat biologis yang meliputi sifat-sifat genetis yang merupakan

natural given adalah

suatu media yang mengantarkan manusia untuk menyelami dunia. Dunia yang diselami oleh tubuh tidak lain ialah dunia yang berarti diri manusia dalam aspek-aspek sosial.

Setelah diketahui hakikat tubuh pada seorang manusia, selanjutnya yang harus dilacak adalah peran dan fungsi tubuh. Peran dan fungsi tubuh seyogyanya merupakan bentuk untuk mengatasi dan mengadanya tubuh dari manusia oleh lingkungannya.

Garis besar yang digunakan untuk memandang peran dan fungsi tubuh pada bagian ini adalah dengan menampilkan anggapan eksistensialisme serta fenomenologi. Alasan mengapa eksistensialisme yang menjaid rujukan adalah karena secara kasat mata eksistensialisme sangat mengakui kehadiran manusia secara utuh. Keutuhan manusia itu tentu saja meliputi seluruh aspek dalam ke-diri-annya. Sementara fenomenologi lebih dipandang sebagai benang merah yang menjembatani fanatisme rasionalis dan empirisis.

Jika mengumbar tema eksistensialisme sudah barang tentu Jean Paul Sartre adalah mata tombak penggiatnya. Filsuf berkebangsaan Prancis ini dikenal sebagai komandan eksistensialisme memiliki pandangan yang khas terhadap posisi tubuh. Gagasan-gagasan yang dituangkan Sartre tentu tidak jauh dari jalur eksistensialisme-nya. Mengenai pemaknaan posisi tubuh Sartre menghadapkannya dengan keberadaan ‚hasrat‛.15

Hasrat dalam konteks Sartre lebih dikhususkan pada artian hasrat seksual. Hasrat yang timbul pada diri manusia merupakan akibat dari adanya sikap-sikap dasar yang menunjukkan tata perilaku akan Ada-bagi-Orang-Lain

(Being-for-Others). Tata perilaku itu kerap diartikan oleh ahli psikologi sebagai bentuk

kesadaran akan keberadaan organ-organ seksual.

Di luar keberadaan organ-organ seksual yang bekerja secara alami, terdapat suatu kebetulan yang terjadi pada tiap-tiap organ tubuh lain. Kebetulan itu merupakan fungsi-fungsi yang berbeda pada masing-masing organ, sebagai contoh

14Stuart Sim, Lyotard dan Nirmanusia, terjemahan Sigit Djatmiko (Yogyakarta:

Jendela, 2003), 23-43.

15Jean Paul Sartre, The Philoshophy of Existentialism Selected Essay (New York:

(7)

hasrat keibuan secara kebetulan berada pada wilayah rahim, indung telur, dan lain sebagainya. Sehingga fungsi berbeda pada tiap organ tubuh merupakan kebetulan yang berada di luar kesadaran.16

Dengan alasan adanya kebetulan itu Sartre mengemukakan bahwa hasrat juga merupakan fungsi yang bersifat kebetulan dari kehidupan psikis manusia.17 Kembali Sartre menegaskan pandangannya tersebut dengan suatu permisalan. Apabila lelaki didefinisikan sebagai ‚makhluk seksual karena dia memiliki organ seksual‛, kemudian definisi tersebut dibalik menjadi ‚lelaki hanya akan memiliki suatu organ seksual karena dia adalah makhluk yang eksis di dunia dalam hubungannya dengan manusia lain‛.

Untuk meyakinkan pembalikan definisi tersebut Sartre mengungkapkan fakta dengan menyatakan bahwa pada diri lelaki yang masih kanak-kanak dapat ditemukan seksualitas dalam taraf permulaan padahal pada diri kanak-kanak itu belum didapati kematangan fisiologis organ-organ seksual. Sementara pada diri seorang pendeta yang menghentikan aktifitas seksualnya sesungguhnya ia memiliki kematangan organ seksual namun pendeta tidak menghadirkan fungsi tersebut secara eksis di dunia. Oleh karenanya terdapat hubungan yang menarik antara penghadiran hasrat dan kondisi tubuh itu sendiri.

Cara kerja hasrat dalam kaca mata Sartre selanjutnya tidak lebih dari perwujudan Ada-bagi-Diri-Sendiri (Being-for-Itself) yakni menghadirkan fungsi-fungsi alamiah organ seksual. Penghadiran fungsi-fungsi itu lantas diikuti dengan ada-bagi-orang-lain dengan menyadari kehadiran fungsi alamiah organ seksual objek lain. Meskipun tidak serta merta diiringi dengan penyatuan organ-organ genital tersebut, namun perwujudan penghadiran fungsi-fungsi alamiah organ seksual merupakan hakikat eksistensi keberadaan manusia.

Mengenai fungsi tubuh dengan adanya hasrat Sartre melanjutkan kiranya tubuh pada kasus ini merupakan objek material murni yang berada pada situasi ketika manusia ingin mengeksiskan hasratnya. Jadi kesadaran manusia untuk menggunakan tubuhnya dan tubuh manusia lain yang merupakan objek material murni untuk mewujudkan terjadinya hasrat. Dengan simpulan ini serta merta Sartre memberikan fungsi perantara bagi tubuh sebagai penyalur hasrat.

Dengan ciri khas eksistensialisme, Sartre memberi porsi kental atas adidaya subjek. Bahwasanya kehadiran subjek untuk menggunakan tubuhnya dan menghadirkan keberadaan tubuh lain merupakan syarat mutlak terbentuknya hasrat. Tentu saja kaidah adanya kekuasaan pada subjek merupakan kebalikan dari aturan Levi Strauss dengan undang-undangnya yang berbunyi

Une pensée sans sujet atau

tidak adanya subjek.18

Di sisi lain jika dihadapkan dengan Strukturalisme Levi Strauss maka simpulan Sartre tersebut menjadi termentahkan. Pada konotasi ini Levi Strauss

16Jonathan Webber, The Existentialism of Jean Paul Sartre (New York: Routledge,

2009), 16-20.

17Jean Paul Sartre, Seks dan Revolusi, terjemahan Silvester G. Sukur (Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 2002), 4.

18Karthleen Virginia Wider, The Bodily Nature of Consciousness: Sartre and

(8)

akan menyebutkan bahwa terjadinya hasrat semata-mata sebagai pematuhan manusia terhadap peraturan ‚ke-hasrat-an‛. Sama halnya ketika manusia secara tidak sadar mematuhi aturan-aturan berbahasa, maka terdapat sesuatu yang tersembunyi dibalik kehendak manusia itu sendiri yang memainkan perwujudan hasrat.

Namun masih dapat dihadirkan benang merah yang dapat dirajut antara eksistensialisme Sartre dan strukturalisme Levi Strauss pada kasus ini. Bukanlah pada proses terjadinya hasrat (baca:epistemologi) yang menjadi sisi persuasif pada kedua aras pemikiran tersebut. Akan tetapi persinggungan yang terjadi lebih mengacu pada fungsi tubuh itu sendiri. Apabila eksistensialisme mengemukakan bahwa tubuh merupakan alat untuk menyalurkan hasrat, maka secara tidak langsung Sartre memberikan porsi yang besar atas tubuh. Adalah tubuh yang dapat mengeksiskan hasrat. Sementara Levi Strauss mengedepankan fungsi tubuh pun sebagai wujud dari kepatuhan manusia atas struktur-struktur kehasratan.

Di sisi lain seorang tokoh fenomenologi yang berani mengungkapkan posisi dan fungsi tubuh adalah Merleau Ponty. Seperti yang diketahui bahwa bibit kemunculan fenomenologi telah lama terendus sejak masa Immanuel Kant yang berupaya untuk menyatukan pertentangan sengit idealisme dan realisme. Ciri khas yang dimiliki oleh fenomenologi itu juga tampak pada filsafat Merleau Ponty. Meski secara umum filsafat yang dikemukakan Merleau Ponty senantiasa terkait dengan rasionalisme Descrates.19

Merleau Ponty mempunyai rumusan tersendiri untuk menghalau ekstrimisme yang terjadi dalam realisme maupun idealisme. Rumusan itu dituangkannya dalam argumen mengenai persepsi. Berpersepsi sama halnya dengan mengamati atau percaya pada dunia. Dengan berpersepsi maka manusia telah berelasi dengan dunia atau manusia berposisi sebagai yang berada-dalam-dunia (etre-au-monde).20

Sementara itu yang terjadi dalam realisme adalah persepsi tidak lebih dinyatakan sebgai kejadian yang sifatnya objektif saja. Persepsi merupakan penyerapan dari adanya rangsangan di luar diri manusia. Oleh karenanya menurut Merleau Ponty anggapan realisme tentang persepsi tersebut serta merta memutuskan pertalian erat yang terjadi antara subyek-yang-berpersepsi dengan dunia.21

Sedangkan dalam kacamata idealisme dunia dihadapkan langsung dengan subyek. Dan suatu persepsi malah dianggap sebagai sesuatu yang kabur atau sebagai hal yang kurang sempurna dibanding dengan proses berpikir. Oleh karena itu menurut Merleau Ponty kedua aliran tersebut sama-sama tidak mengakui adanya subyektivitas manusia sebagai berada-dalam-dunia.

Untuk mengatasi kebuntuan itu Merleau Ponty memberikan kaitan antara persepsi dan tubuh. Kaitan ini dapat dipahami sebab terjadinya persepsi tidak dapat dilepaskan dengan tubuh. Persepsi terjadi di dalam dan melalui tubuh. Menurut

19K. Bertens, Filsafat Kontemporer, Jilid 2 (Jakarta: Erlangga, 2001), 137. 20Maurice Merleau Ponty, Sense and Non-Sense (USA: Northwestern University

Press, 1964), 41.

(9)

Merleau Ponty, tubuh yang mengetahui lebih banyak dari pada diri kita sendiri. Persepsi yang terbentuk dari suatu hubungan antara subyek dengan dunia menjadikan tubuh sebagai subyek itu sendiri. Dengan kata lain tubuh merupakan subyek dari suatu persepsi.

Posisi tubuh bagi Merleau Ponty bukanlah sebagai sebuah alat. Tubuh mengetahui bagaimana tata cara utuk bergerak dalam dunia. Melalui gagasan ini Merleau Ponty yakin mampu mengatasi dualisme yang diciptakan Descartes. Tubuh merupakan tubuh-subyek yang digunakan untuk berpersepsi atau berada-dalam-dunia, lanjut Merleau Ponty. Tubuh menurut Marleau-Ponty sesungguhnya adalah basis pemaknaan manusia yang lebih dahulu ada sebelum manusia memiliki bahasa dan pemikiran.22

Tubuh menurut Ponty lebih banyak mengetahui dunia daripada manusia itu sendiri. Dalam mengargumentasikan tesisnya terkait dengan pengkategorian tubuh sebagai sumber pemaknaan pra-subyek Ponty lalu banyak menghubungkan tubuh dengan persoalan persepsi. Jadi posisi tubuh dalam filsafat Merleau Ponty menempati posisi yang amat penting.

Pada akhirnya yang dapat ditemukan di sini ialah bahwa sesungguhnya posisi tubuh adalah sebagai suatu potensi penyadar bagi manusia untuk menginsyafi ada-nya pada dunia. Sementara itu fungsi tubuh lebih dekat dengan hakikat tubuh sendiri, yaitu sebagai wujud yang mematuhi segenap struktur-struktur yang ada.

C. Kebertubuhan Menurut Definisi Islam

Tubuh dalam bahasa Islam diwakili oleh kata-kata bahasa Arab yang tercantum di al-Qur’an. Kata-kata yang bermakna tubuh fisik adalah

jasad, jism.

Kata

jasad disebutkan empat kali dalam al-

Qur’an antara lain pada surat al-‘Araf ayat 148; T{aha ayat 88; al-Anbiya’ ayat 8; dan S{ad ayat 34. Sementara itu kata

jism disebut sebanyak dua kali, kali pertama dalam bentuk tunggal pada surat

al-Baqarah ayat 247 dan kali kedua dalam bentuk jamak dalam surat al-Munafiqun ayat 4.23

Dalam surat al-‘Araf ayat 148 kata

jasad digunakan untuk menunjukkan

tubuh patung anak sapi yang dibuat oleh kaum Nabi Musa. Dalam surat T{aha ayat 88 juga penyebutan tubuh masih dikaitkan dengan patung anak sapi tersebut. Kemudian dalam surat al-Anbiya ayat 8

jasad dihubungkan dengan kebutuhan

tubuh para rasul yang juga membutuhkan makanan, dan tubuh tersebut tidak akan kekal. Sedangkan dalam surat S{ad ayat 34

jasad dikaitkan dengan tubuh Nabi

Sulaiman yang lema sebab sedang mengalami sakit.

Kata

jism

dalam surat al-Baqarah 247 dikaitkan dengan kelebihan fisik yang sebelumnya diawali dengan kelebihan dalam bidang ilmu atas diri seorang raja yang bernama Talut. Pada surat al-Munafiqun ayat 4 kata jism dihubungkan dengan isyarat kekaguman akan kondisi tubuh. Kondisi tubuh yang dibicarakan dalam ayat

22Seno Joko Suyono………….199

23Abdul Muhid, ‚Konsep Nafs dalam al-Qur’an,‛ Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 16, No.

(10)

ini ditujukan pada kondisi tubuh orang yang awalnya beriman kemudian tidak beriman.

Jadi penggunaan kata jasad seringkali dipadankan dengan sosok diri secara keseluruhan. Sosok diri secara material yang teraba atau menempati ruang dan waktu secara kasat. Sedangkan penggunaan kata

jisim lebih dikaitkan atas tubuh

yang telah diberi sifat berupa kelebihan atau kekurangan. Dapat dikatakan bahwa kata jasad lebih umum dan kata jism lebih spesifik.

Sampai di sini makna tubuh sebagaimana pemahaman barat dan makna

jasad

dan

jism sebagaimana pandangan Islam adalah sepadan. Tubuh sama-sama

terkait dengan fisik material manusia. Tubuh adalah lapisan tersentuh pada diri manusia.24

Selanjutnya dalam pengemban pergaulan sosial apakah hakikat tubuh antara barat dan Islam masih sama atau tidak. Maka dalam hal ini penulis mencoba mengetengahkan surat al-Maidah ayat 38. Secara tekstual ayat itu mengungkapkan hukuman pemotongan tangan (baca: sebagian tubuh) bagi laki-laki maupun perempuan apabila mereka melakukan pencurian (baca: kesalahan sosial). 25

Sementara secara kontekstual dalam penafsiran maupun pelaksanannya tidak semua memperlakukan kebijakan dengan langsung memotong tangan. Alasan ini disebabkan oleh interpretasi tangan yang dipahami sebagai kekuasaan. Jadi hukuman sosial seperti kurungan atau membayar denda dipilih untuk menebus kesalahan sosial. Melalui contoh ini dapat dikatakan bahwa konsep tubuh dalam pergaulan sosial antara dunia barat dan Islam adalah sama.

Bahkan Islam juga mengenal wud}u. Wud}u adalah kegiatan membersihkan anggota tubuh dengan air yang bersih dan suci sebelum melaksanakan ibadah. Perintah wud}u dalam Islam memberikan pula adanya hubungan antara kesucian fisik material guna melakukan ritual-ritual yang bersifat spiritual.

Yang menjadi catatan selanjutnya ialah bahwa penggunaan kata

jasad

dan

jism tidak terkait dengan pembahasan masa sesudah kematian atau pembahasan

alam akhirat. Dalam Islam dikenal hari sesudah kematian sebagai hari pertanggungjawaban diri manusia selama menjalani kehidupan di dunia. Hal ini berarti hakikat kebertubuhan adalah mengada selama belum terjadi kematian.

Meskipun dunia barat dan Islam sepakat mengartikan tubuh fisik genetis sebagai wujud yang bertanggungjawab dalam kehidupan sosial. Namun dalam Islam konsep ini tidak hanya berhenti sampai pada kehidupan sosial saja. Terdapatnya alam akhirat juga menyebabkan sosok manusia memiliki tanggung jawab lain. Memang tubuh fisik manusia tidak serta merta merasakan beban tanggung jawab di akhirat. Namun unsur penggiat kebertubuhan yang berada dalam diri manusia yang lain itulah yang nantinya akan mempertanggungjawabkan diri pada masa itu. Bahkan dalam Islam unsur penggiat kebertubuhan ini pula yang dinilai mampu memberikan manusia rasa eros, sakit, bahagia, sedih, dan segala sensasi lainnya.26

24Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science Library, 1992), 31. 25Ahmad Mustafa al-Murag{hi, Tafsir al-Muraghi, Vol. 6 (Mathba’ah: Musthafa

al-Babi al-Halabi, tt), 114.

26Thohisiko Izutsu, Konsep Etika Religius dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara

(11)

Nafs

diartikan al-Ghazali sebagai totalitas potensial, totalitas daya yang mampu mengaktualisasi dan menginternalisasi dalam kehidupan manusia.27 berbicara soal hubungan antara tubuh dan penggiat kebertubuhan atau

nafs,

al-Ghazali menyebutkan perumpamaan laksana penunggang kuda dan kudanya. Kendali atas laju dan arah si kuda sejatinya adalah penunggang kuda. Penunggang kuda sebagai perwakilan kebertubuhan, sementara kuda sebagai simbol dari tubuh itu sendiri.28 Tubuh diartikan al-Ghazali sebagai alat untuk mencapai tujuan, sedangkan nafs adalah pengendali untuk capai pada tujuan.

Al-Ghazali menyatakan bahwa

jism atau tubuh merupakan bagian yang

tidak sempurna, bagian yang dapat rusak. Pemahaman ini beralasan sebab ketika telah meninggal maka tubuh manusia akan rusak dan hancur.29 Sedangkan

nafs

adalah substansi yang berbeda dari

jism.

Nafs

memberikan potensi-potensi tersendiri terhadap jism.

Lebih lanjut al-Ghazali memberikan istilah

al-Nafs al-Nat{iqah untuk sifat

asli ke-diri-an manusia. Sifat asli ini yang dipandang al-Ghazali sebagai jiwa. Jiwa yang mempunyai hubunga erat dengan badan layaknya kuda dan sang penunggang. Al-Ghazali membedakan jiwa dengan prosesi penggiat hasrat, prosesi berpersepsi, maupun prosesi berkebutuhan dasar atas tubuh. Perbedaan itu bahkan dijelaskan dengan sangat rinci oleh al-Ghazali.

Jiwa yang paling dasar diartikan al-Ghazali dengan al-Nafs al-Nabatiyyah. Jiwa yang paling dasar ini berfungsi sebagai penggiat daya pertahanan hidup seperti makan, bernafas, tumbuh, dan berkembang. Jiwa pada tingkatan selanjutnya adalah

al-Nafs al-Hayawan yang berfungsi sebagai penggiat adanya aksi dan reaksi. Dalam

al-Nafs al-Hayawan terdapat potensi untuk berpersepsi atau

al-Mudrikah.

Al-Mudrikah inilah yang menanggapi reaksi dari indra untuk kemudian memutuskan

melakukan aksi atau tidak.

Maka apabila Sartre mengatakan bahwa tubuh adalah unsur penggiat hasrat maka sampai di sini Islam sudah memiliki anggapan lain. Kebertubuhan yang berwujud harus memiliki

nafs dan segala tingkatan penyusun nafs atau jiwa untuk

dapat mengalami dan merasakan semua bentuk rasa. Maka sesuai dengan apa yang dikatakan al-Ghazali bahwa

Nafs inilah yang disebut unsur penggiat tubuh.

30 Nafs inilah juga yang harus mempertanggungjawabkan segala tindak tanduknya di alam akhirat.31

Tokoh lain yang juga membahas kebertubuhan dan jiwa adalah Ibn Sina. Kuantitas antara nafs dengan jism atau dengan kata lain jumlah jiwa dengan jumlah tubuh adalah harus sebanding. Satu tubuh terdiri dari satu jiwa. Satu tubuh tidak dapat diisi dengan dua jiwa, pun sebaliknya satu jiwa tidak dapat diisi dengan

27Al-Ghazali, Al-Madnun al-Shagir (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1970), 28Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1964), 338.

29Syamsuddin Muhammad ibn Abi Bakr, Al-Tibyan fi al-Aqsami al-Qur’an (Beirut:

Dar al-Fikri, tt), 246.

30M. Sukanto dan Dadiri Hasyim, Nafsiologi Refleksi Analisa Tentang Diri dan

Tingkah Laku Manusia (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 53-54.

31M. Abdul Qusaem, Etika al-Ghazali Etika Majemuk dalam Islam (Bandung:

(12)

dengan dua tubuh.32 Jiwa baru turut terlahir saat ada badan baru yang dilahirkan. Oleh karena itu kemungkinan jiwa untuk bereinkarnasi terhadap tubuh yang baru adalah mustahil.

Melalui konsep jiwa dan badan ini pula maka konsep dosa genetis seperti yang dikhawatirkan Focault dapat dimentahkan. Focault mengatakan bahwa

the

new pastoral confession hadir sebagai bentuk pencucian dosa genetis bagi manusia.

Namun pada akhirnya pencucian dosa itu dapat diselewengkan oleh berbagai pihak karena alasan kepentingan-kepentingan lain. Maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa

nafs merupakan konsep yang hilang dalam aras pemikiran sarjana barat

ketika menjelaskan konsep kebertubuhan.

Senada dengan al-Ghazali yang menyatakan bahwa badan bersifat dapat rusak, maka Ibn Sina pun beranggapan demikian. Namun Ibn Sina memberikan peran penting bagi tubuh karena tubuh lah yang menjadi alat bagi manusia untuk berkegiatan di alam fisik. Jiwa yang mengemban tanggung jawab atas diri manusia ini sifatnya dikekalkan.33 Dengan dikekalkannya jiwa maka konsekuensi pada alam akhirat akan tetap berlaku atas diri manusia.

Kebertubuhan yang coba dikuak oleh para sarjana barat sampai pada penghujung yang apik. Kebertubuhan dikaitkan dengan sifat genetis dan fungsi sosial. Meskipun pada akhirnya sarjana barat terhenti karena konsep

nafs dan

mereka lebih meyandarkan kesenjangan itu dengan adanya alienasi. Alienasi yang diartikan sebagai keterasingan jiwa atas seluruh kondisi kebertubuhan dan kehidupan sosial.

Faktanya dunia barat dan dunia Islam memang sama-sama menyadari tentang adanya konsep jiwa dan kaitannya dengan tubuh. Namun konsekuensi jiwa untuk bertanggung jawab di alam akhirat ini yang menyebabkan hubungan antara kebertubuhan dengan jiwa mengalami alienasi tersebut. Konsekuensi yang diemban oleh nafs di hadapan Tuhan.

Sebuah gagasan yang dinilai penulis mampu memberikan jembatan antara Islam dan barat adalah pemikiran transpersonalisme Ibn ‘Arabi. Istilah transpersonalisme sebetulnya lahir dari barat, hanya saja transpersonalisme Ibn ‘Arabi dinilai penulis yang paling sejalan untuk mendamaikan konsepsi kesadaran kebertubuhan dengan keseimbangan jiwa. Berikut ini akan dipaparkan karkteristik transpersonalisme barat dan transpersonalisme Ibn ‘Arabi.

Pada pertengahan abad kedua puluh, aliran psikologi Amerika diwarnai oleh behaviorisme dan psikoanalisme. Seorang Abraham Maslow melihat adanya kekurangan di antara kedua aliran tersebut.34 Menurut Maslow behaviorisme dan psikoanalisis terlalu terbatas dalam membentuk dasar psikologi holistik bagi

32Al-Shahrastani, Al-Milal wa an-Nihal terjemahan Asywadie Syukur (Surabaya:

Bina Ilmu, 2001), 208-209.

33Dalam tulisan Al-Shahrastani jiwa bersifat kekal. Akan tetapi sifat kekal itu

dapat menimbulkan konsekuensi teologis dalam Islam. Karena kekekalan hanyalah milik Alla>h SWT. Sehingga penulis menawarkan kata dikekalkan yang berarti dibuat menjadi kekal.

34Stanislav Grof, ‚Brief History of Transpersonal Psychology,‛ International

(13)

manusia. Psikoanalisa dalam lingkup untuk membentuk dasar dari psikologi lengkap dari sifat manusia. Psikoanalisis hanya berpusat pada studi psikopatologi. Sedangkan behaviorisme hanya bisa mengusung konsep-konsep sederhana pembentuk sifat dasar manusia, namun tidak mampu mengatasi masalah nilai-nilai, kesadaran, dan cinta.35

Kemudian dia pun menawarkan prinsip-prinsip baru dalam psikologi. Prinsip itu dinamainya dengan psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal diharapkan Maslow mampu memberikan kontribusi untuk masalah yang sifatnya mendasar dari disiplin pengakuan aspek spiritual dan pengalaman indrawi kejiwaan manusia. Meski seringkali masalah itu sudah dibahas dalam konteks literatur agama. Akan tetapi Maslow memandang bahwa antara literatur agama yang sifatnya teologis mengalami bias jika dihadapkan dengan bahasa ilmiah. Oleh sebab itu Maslow menginisiasi agar psikologi transpersonal mampu menyediakan bahasa ilmiah dan penjelasan ilmiah atas bias tersebut.36

Uupaya Ibn ‘Arabi tampaknya telah sejalan dengan dengan keinginan prakarsa Maslow terhadap tujuan transpersonalisme. Ibn ‘Arabi merupakah tokoh agama yang mampu membahasakan konsep-konsep keagamaan sesuai dengan bahasa ilmiah, itulah kunci utamanya. Namun sesungguhnya jika melihat periode sejarah apa yang digagas oleh Ibn ‘Arabi mengenai transpersonalisme telah ada pada kisaran abad ke- 12. Mengingat pada masa itulah sosok Ibn ‘Arabi hidup.37

Transpersonalisme Ibn ‘Arabi membawa empat tingkatan kesadaran dalam diri manusia. Keempat tingkatan itu antara lain; Pengetahuan tentang jiwa; Tingkatan-tingkatan pencapaian titik tertinggi; Tahapan kesadaran tentang kesatuan; Diri manusia yang paripurna.38 Apabila pengetahuan akan jiwa telah disadari maka pemahaman tubuh sebagai alat dapat direalisasikan. Tubuh sepenuhnya dikendalikan oleh jiwa.

Jiwa inilah yang dipandang barat menggerakkan kegiatan sosial dan menerima hukuman sosial. Jiwa pula yang dipandang Islam sebagai penerima konsekuensi atas segala perbuatan sepanjang hidup di alam fisik dan alam sosial. Tanggung jawab jiwa ini pula untuk menjaga tindak-tanduk yang dilakukan oleh tubuh. Maka sampai di sini harmoni jiwa dan tubuh telah ditemukan.

Pada tingkatan selanjutnya yaitu tingkatan-tingkatan pencapaian tertinggi. Karena manusia sadar bahwa kebertubuhannya tidaklah bersifat tahan sepanjang masa, tubuhnya mempunyai batasan untuk menjadi rusak, maka dia pun menemukan kesadaran setingkat di atas kesadaran berketubuhan. Kesadaran tingkat jiwa yang dikekalkan. Melalui jenis kesadaran pada tingkatan ini manusia akan berupaya untuk menyadangkan kebaikan-kebaikan yang sifatnya mampu melekat

35http://www.sofia.edu/about/history/transpersonal-pioneers-abraham-maslow/

(diunduh pada 14 november 2014).

36Michael Daniels, ‚The Transpersonal Self Comparing Seven Psychological

Theories,‛ Transpersonal Psychology Review, Vol 6, No.2, (2005), 2-21.

37Aboebakae Atjeh, Ibn ‘Arabi Tokoh Tasawuf dan Filsafat Agama

(Jakarta:Tintamas, 1969), 7.

(14)

pada jiwa. Kebaikan yang melekat pada jiwa ini nantinya turut dikekalkan juga, dan seutuhnya menjadi milik hakikat asli kedirian manusia.

Tahapan kesadaran tentang kesatuan merupakan tingkat kesadaran ketiga. Setelah menyadari fungsi kebertubuhan atas jiwa dan dikekalkannya jiwa, maka manusia hendaknya berupaya dan berharap menuju suatu realitas mutlak. 39 Realitas mutlak ini yang mampu memuaskan

al-Nafs al-Natiqah atau jiwa asli seseorang.

Dengan mengalami penyatuan maka jiwa asli itu akan melebur bersama universalitas yang sejati. Peleburan kepada yang universal sejati ini merupakan pencapaian luar biasa bagi al-Nafs al-Natiqah.

Peleburan ini diartikan sebagaimana keyakinan untuk dapat merajut, bersimpul, atau berikat. Ibn ‘Arabi menggunakan ungkapan ini untuk menggambarkan berbagai cara bagi manusia membentuk keyakinan bahwa 'mengikat' kesadaran yang dapat menghilangkan keterbatasan yang mengaburkan visi wujud universalitas sejati. Transpersonalisme tingkatan ketiga ini berkontribusi untuk mengikat keyakinan yang membebaskan manusia dari peneympitan ego untuk membuka pintu gerbang pengetahuan bahwa mereka disinari oleh sinar ketuhanan.40

Pada tahapan terakhir adalah pencapaian diri manusia yang paripurna. Diri manusia telah terharmonisasikan antara kesadaran di setiap aspeknya.41 Diri yang paripurna ini kemudian kembali lagi menubuh seraya mampu mengharmonisasikan tiga gabungan keadaran, kesadaran fisik-sosial dalam jiwa, kesadaran dikekalkannya spiritualitas dalam jiwa, dan kesadaran kesatuan dengan realitas universal.

39Henry Corbin, Alone with the AloneCreative Imagination in the Sufism of Ibn

‘Arabi (New Jersey: Princenton University Press, 1997), 105.

40William C. Chitick, Imaginal Worlds Ibn al-Arabi and the Problem of Religious

Diversity (USA: State University of New York Press, 1994), 51.

41Robert Frager Heart, Self and Soul the Sufi Psychology of Growth Balance and

(15)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Aiken, Henry D. Abad Ideologi , Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2005.

Al-Murag{hi, Ahmad Mustafa.

Tafsir al-Muraghi, Vol. 6,

Mathba’ah: Musthafa al -Babi al-Halabi, tt.

Bertens, K. Filsafat Kontemporer, Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2001. Capra, Fritjof. The Tao of Physics, Boston: New Science Library, 1992.

Cohen, Jeffrey Jerome. Thinking The Limits of The Body , USA:University of New York Press, 2003.

Fedrickson, George M. Rasisme Sejarah Singkat, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.

Foucault, Michel. Pengetahuan dan Metode, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.

________Foucault.

The History of Sexuality,

Volume 1, New York: Random House, 1990.

________Foucault.

Madness and Civilizations A History of Insanity in the Age of

Reason, USA: Random House, 1988.

Ghazali, Al-. Al-Madnun al-Shagir, Kairo: Dar al-Ma’arif L, 2000.

________Al-. Mizan al-

‘Amal

, tt, 1964.

Ibn Abi Bakr , Syamsuddin Muhammad. Al-Tibyan fi al-Aqsami al-

Qur’an

, Beirut: Dar al-Fikri, tt.

Izutsu , Thohisiko.

Konsep Etika Religius dalam Al-

Qur’an

, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

Mc Gushin, Edward F.

Focault’s Askesin: An Introduction to the Philosophical

Life, USA: Northwestern University Press, 2007.

Ponty, Maurice Merleau.

Sense and Non-Sense, USA: Northwestern University

Press, 1964.

(16)

Sartre , Jean Paul.

Seks dan Revolusi, terjemahan Silvester G. Sukur, Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 2002.

________ Jean Paul. The Philoshophy of Existentialism Selected Essay, New York: Open Road Media, 2012.

Shahrastani , Al-.

Al-Milal wa an-Nihal terjemahan Asywadie Syukur, Surabaya:

Bina Ilmu, 2001.

Sheridan, Alan. The Will to Truth, London: Tavistock Publication, 1980.

Sim, Stuart.

Lyotard dan Nirmanusia, terjemahan Sigit Djatmiko, Yogyakarta:

Jendela, 2003.

Strinati, Dominic. Popular Culture, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Sukanto M. dan Dadiri Hasyim.

Nafsiologi Refleksi Analisa Tentang Diri dan

Tingkah Laku Manusia, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Suyono, Seno Joko. Tubuh yang Rasis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Webber, Jonathan.

The Existentialism of Jean Paul Sartre,

New York: Routledge, 2009.

Wider, Karthleen Virginia.

The Bodily Nature of Consciousness: Sartre and

Contemporary Philosophy of Mind , USA: Cornel University, 1977.

INTERNET

http://www.sofia.edu/about/history/transpersonal-pioneers-abraham-maslow/ (diunduh pada 14 November 2014).

www.artikata.com/arti-355221-tubuh.html. (diunduh pada 12 November 2014)

JURNAL

Grof, Stanislav. ‚Brief History of Transpersonal Psychology,‛

International Journal

of Transpersonal Studies, No. 27, (2008), 46-58.

Voorhof, Dirk. ‚Seksismewet: Sterk Symbool, Beperkte Impact,‛

De Jurestenkrant,

No. 293, (2014), 16-16.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menandakan bahwa secara naluriah nelayan telah menggunakan wilayah terumbu karang yang menjadi habitat pemijahan sebagai fishing ground karena dari 10 famili ikan

Nilai tambah yang diperoleh dalam 1 kg kakao fermentasi sebesar Rp2.628,3 dan tingkat keuntungan sebesar 28,79 %; (3) Kendala-kendala yang dihadapi Unit Usaha

Terjemah hadis 5: Maksiyat kepada Allah itu dapat menghalangi ilmu b.Tafsir Hadis 5 Ceramah dan Tanyajawab Hafalan dan menyalin hadis terkait berikut terjemahdan

pencarian mayarakat di Kabupaten Pesisir Selatan. Pemanenan tanaman sagu juga dilakukan tanpa adanya penetapan waktu yang khusus, masyarakat memanen sagu berdasarkan

Faktor lingkungan sebagai faktor yang cukup mendorong minat mahasiswa Program Manajemen Perhotelan Universitas Kristen Petra memiliki empat indikator yang dimana

Selain itu evaluasi juga dapat dilakukan melalui survei kepuasan pelanggan dengan survei ini sekolah akan dapat mengetahui hal-hal apa sajakah yang harus diperbaiki agar pada tahun

Pada Gambar 2.11 terlihat data peminjam, koleksi yang masih dipinjam tidak terisi atau kosong karena tidak ada peminjaman lagi dan daftar koleksi yang

Siswa dengan keterampilan operasi hitung rendah yaitu siswa yang mendapat nilai tes perkalian dan pembagian kurang dari 70, dalam mengerjakan soal matematika