• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN EKSPRESI DIRI DISIPLIN DAN MU (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDEKATAN EKSPRESI DIRI DISIPLIN DAN MU (1)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001

PENDEKATAN EKSPRESI-DIRI, DISIPLIN, DAN

MULTIKULTURAL

DALAM PENDIDIKAN SENI RUPA

Sofyan Salam

dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001

Abstrak

Sebagai konsekuensi dari perbedaan jawaban terhadap pertanyaan yang bersifat filosofis tentang rnengapa pendidikan seni rupa di laksanakan, maka dewasa ini ada tiga pendekatan utama dalam pendidikan seni rupa yakni pendekatan ekspresidir i yang berpij ak p ad a up ay a penge mb ag an prib ad i an ak sec ar a al amiah, pendekatan disiplin yang memandang seni rupa sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikuasai oleh anak, serta pendekatan multikultural yang menekankan pada upaya pemahaman budaya pluralistis dalam pendidikan seni rupa.

Kata Kunci: pendidikan seni rupa, pendekatan elcspresi-diri, pendekatan disiplin, pendekatan multikultural, model pengembangan kurikulum

Pendahuluan

Pendidikan seni rupa pada zaman kuno berpijak pada konsep pendidikan yang berlaku pada masa itu. Seperti diketahui, bahwa pada zaman kuno seni rupa berkaitan erat dengan aspek

kepercayaan/keagamaan

dan tradisi. Karena itulah, pendidikan seni rupa bertujuan untuk memberi-kan pengetahuan dan ketrampilan untuk keperluan praktis dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan atau tradisi.

(2)

2 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 perkembangan zaman,

maka muncullah berbagai pendekatan pendidikan seni rupa yang pada gilirannya melahirkan

konsep yang

serba-majemuk.

Dewasa ini, ada tiga pendekatan utama yang mendominasi wacana pendidikan seni rupa yakni pendekat-an ekspresidiri atau biasa pula disebut pendekatan "alamiah," pendekatan disiplin yang populer dengan singkatan DBAE (Discipline Based Art Education), serta pendekatan multikultural. Ketiga pendekatan ini perlu kita hayati dengan baik

dalam upaya

pengembangan kurikulum pendidikan seni rupa di kondisi kejiwaan anak. Untuk itu, pertama-tama akan dibahas mengenai

latar belakang munculnya pendekatan ekspresi-diri ini.

Pendidikan seni rupa di

sekolah umum telah

berlangsung di Yunani pada masa klasik. Tujuan pendidikan seni rupa pada masa itu adalah untuk melestarikan tradisi klasik Yunani (Efland, A History 8). Hubbard

mencatat bahwa

menggambar model

diajarkan di sekolah dasar di Sicyon, Peloponesus pada abad ke-4 SM tetapi

amat sedikit yang

diketahui mengenai

bagaimana pelajaran

tersebut berlangsung (5). Pada masa Romawi, seni rupa tidak lagi diajarkan di sekolah umum. Bagi yang ingin belajar menggambar atau mematung, dapat pergi ke sanggar perupa (Hubbard 5).

(3)

ke-3 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 19. Pada masa itu,

pelajaran menggambar terutama dimaksudkan untuk melatih kemampuan kordinasi mata dan tangan (Efland, A History 79114). Pestalozzi merupakan

tokoh yang paling

terkemuka dalam

pengajaran menggambar di sekolah. Seorang teman Pestalozzi yang bernama

Herman Krusi

menggambar-kan prinsip k&ikulum pelajaran menggambar Pestalozzi sebagai berikut:

The drawing curriculum consisted of "linear drawing, to form the eye and the hand, and to practice invention, under rules and in forms geometrical and optical laws." A third section of the drawing program dealt with the imitation

of light and shade, while a fourth consisted of "progressive

Pendekatan ekspresi-diri lahir sebagai reaksi terhadap pengajaran seni rupa

exercises in drawing from nature'

(Efland, A History 82). Jelas bagi kita, bahwa Pestalozzi berkeinginan untuk mengembangkan

kemampuan persepsi

murid dalam menggambar. Pendekatan seperti ini kemudian bergeser ke arah pengembangan

ketrampilan menggambar yang relevan dengan tuntutan dunia industri (Davis 174), dan karena itu pengajaran menggambar memiliki nilai vokasional.

Di Indonesia, metode

menggambar yang

menekankan pada

(4)

4 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001

pemerintah kolonial

Belanda, murid diminta untuk menirukan gambar

dan buku yang

sesungguhnya dirancang

untuk anak-anak di

Belanda (Soedarso 28).

Metode semacam ini

berlanjut digunakan pada awal masa kemerdekaan. Sebagai seorang murid Sekolah Rakyat (sekolah dasar) pada tahun 1959-1964, saya secara pribadi

mengalami metode

pengajaran menggambar yang menekankan pada pengembangan koordinasi mata dan tangan. Dengan metode tersebut, guru

biasanya menggambar

benda seperti kotak,

ember, ayam, atau

pemandangan di papan tulis untuk ditirukan oleh murid pada papan batu tulisnya. Nilai karya murid ditentu-kan berdasarkan kepersisan gambar murid

dengan gambar yang

dibuat oleh guru.

Lahirnya konsepsi baru

tentang anak sebagai hasil dan penelitian yang gencar dilakukan di akhir abad ke-19 (Macdonald 328) memberi dampak yang amat dalam terhadap pendidikan seni rupa. Konsepsi baru tersebut memandang anak sebagai pribadi yang unik yang berbeda dengan orang dewasa. Sebagai konsekuensinya, sebuah konsepsi baru tentang pendidikan seni rupa muncul. Pendidik seni rupa

kemudian mulai

mempertanyakan

(5)

5 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 seni rupa.

Publikasi jurnal pendidikan seni rupa yang mulai semarak pada masa itu merangsang terjadinya pertukaran gagasan dalam bidang pendidikan seni rupa yang dampaknya sangat nyata dalam sejarah pendidikan seni rupa. Dengan dimasukinya abad ke-20, sebuah wajah barn pendidikan seni rupa muncul. Pendidikan seni rupa yang sebelumnya terfokus pada mata pelajaran menggambar kemudian meluas dengan dimasukkannya mata pelajaran apresiasi seni dan berbagai kegiatan studio seni rupa (Eisner dan Ecker 16-17).

Pemberian penghargaan terhadap seni rupa modern

pada masa itu

mengantarkan pada lahirnya pengakuan terhadap karya anak sebagai karya seni dalam arti yang sesungguhnya. Frank Cizek, seorang pendidik seni rupa dari

(6)

"child-6 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 centered").

Pendekatan ekspresi-diri kemudian dipromosikan secara lebih intens oleh dua orang tokoh pendidik seni rupa internasional yakni Herbert Read dan Viktor Lowenfeld. Herbert Read dalam bukunya Education Through Art

menyatakan:"...self-expression cannot be taught....the role of the teacher is that of attendant, guide, inspirer, psychic midwife" (209). Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth menekankan bahwa seni rupa bagi anak adalah terutama sebagai media akspresi-diri (7). Oleh karena itu, menurut Lowenfeld, pendidikan seni rupa haruslah menyiapkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan yang dapat mendorong anak untuk lebih sadar mengenai lingkungannya (426). Eisner dan Ecker memandang peran Lowenfeld dalam sejarah pendidikan seni rupa

amatlah penting dengan menuliskan:

Lowenfeld influenced art education not only through his writing but also because he provided a model for careful,

psychological journals. Furthermore, in his position as chairman of one of the largest graduate programs in art education, he was in a position to influence future art educators who themselves would be responsible for the education of teachers of art (23).

(7)

7 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 mempromosikan

kepentingan masyarakat pribumi. Dua buah sekolah swasta semacam ini yang memiliki program yang menonjol dalam pendidikan seni rupa yakni Taman Siswa dan INS (Indonesische-Netherlandsche School). Pada kedua sekolah ini pengajaran seni rupa

diarahkan pada

pengembangan ekspresi-diri serta kesadaran budaya anak (Surjomiharjo 284-293).

Sesudah

diproklamasikannya

kemerdekaan Indonesia, khususnya pada tahun 1960-1970 an, pendekatan ekspresi-diri diperkenalkan kembali secara bergairah oleh generasi baru pendidik seni rupa yang memperoleh kesempatan untuk mempelajari pemikiran yang tertuang melalui buku dari pendidik seni rupa pendukung pendekatan ekspresi-diri yang memang relatif tersebar luas pada masa itu.

b. Pendekatan Disiplin

Pada tahun 1960 an,

sebuah pendekatan baru yakni Discipline-Based Art Education Approach (DBAE), muncul.

Munculnya'pendekatan ini tidak terlepas dari gerakan dalam bidang pendidikan yang berupaya untuk mencari keunggulan akademis yang sedang marak di Amerika Serikat waktu itu (Chapman 17). Disadari bahwa program pendidikan seni rupa di sekolah di Amerika Serikat pada masa itu terutama memusatkan perhatiannya pada kegiatan studio dan menelantarkan disiplin ilmu kesenirupaan, khususnya menyangkut

pengetahuan seni rupa (termasuk sejarah seni rupa) dan knitik seni rupa.

Pendukung dari

pendekatan ini meyakini

bahwa upaya

pengembangan individual melalui seni rupa sama pentingnya dengan mempelajari ilmu seni rupa Chapman 17).

(8)

8 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 yang mesti dikuasai, dan

pengajaran seni rupa mestilah terstruktur secara sistematis (A History 260). Greer dari Universitas Arizona Amerika Serikat, pendukung DBAE, menyatakan bahwa isi serta praktik pengajaran dari pendekatan disiplin ini haruslah mencakupi hal berikut ini:

A rationale that places art in general education, content from four visual

art disciplines

(aesthetics, criticism, art history, production), a written curriculum that is sequential and cummulative, and a school-district context in wich art is a required and evaluated subject-district wide (227).

Lebih jauh, Dobbs menguraikan kemampuan yang diharapkan tumbuh pada din anak berdasarkan pendekatan disiplin sebagai berikut:

Students' abilities are developed to make art (art production); analyze,

interpret, and evaluate of visual form (art criticism); know and understand art's role in society (art history); and understand the unique nature and qualities of art and how people make judgments about it and justify

those judgments

(aesthetics) (10).

Jeffers membedakan pendekatan ekspresi-diri dari pendekatan disiplin dengan menggunakan metafora yang populer dalam dunia pendidikan

yakni metafora

pertumbuhan alamiah dan pembentukan. Metafora pertumbuhan alamiah memandang anak sebagai sekuntum bunga atau tanaman, guru sebagai pemelihara kebun, dan sekolah sebagai kebun (18). Guru sebagai pemelihara

kebun haruslah

(9)

9 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 pendidikan seni rupa dan

pendekatan ekspresi-diri (18). Pada sisi lain, metafora pembentukan memandang anak sebagai tanah hat dan guru adalah pematung. Gurulah yang amat menentukan bentuk dari sang tanah hat. Anak sebagai tanah hat tidak berada pada posisi untuk memilih atau menolak bentuk akhir dan dirinya sendiri. Metafora

ini dianggap

mencerminkan darsar pemikiran dari pendekatan disiplin (19).

Di Indonesia, istilah DBAE kurang begitu populer meskipun pada kenyataannya kurikulum pendidikan seni rupa di sekolah yang dirancang oleh Depdikbud (khususnya kurikulum 1975) sangat

menekankan pada

penguasaan pengetahuan dan ketrampilan seni rupa serta dirancang dalam struktur yang amat sistematis.

c. Pendekatan Multikultural

Dengan semaraknya

gerakan posmodernisme, sebuah wajah baru pendidikan seni rupa tampil yakni pendekatan multikultural (Multicultural Art Education Approach). Kaum posmodernis yang mendukung keragaman sosial dan budaya serta kontekstualisme keberatan pada Pendekatan Disiplin yang pada kenyataannya terutama terfokus pada tradisi seni rupa modern Barat (Hamblen 47-49). Bagi mereka, "...there is no single meaning or truth, but one that is constructed by all who seek to understand art" (Neperud 7). Tidak mengherankan bila persoalan pluralisme sosial dan keragaman budaya menjadi fokus utama wacana pendidikan seni rupa mulikultural.

(10)

10 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 atau kerajinan rakyat

dalam program

kegiatannya (Hamblen 45). Meskipun demikian, program mereka masih dalam konteks modernisme yang meletakkan kerajinan rakyat dalam posisi pinggiran.

Meskipun pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menolak dominasi seni rupa Barat di dalam kurikulum sekolah, pendekatan ini tidaklah bermaksud untuk menyingkirkan seni rupa Barat sama sekali. Menurut pendukung pendekatan ini, pendekatan pendidikan seni rupa multikultural bertujuan untuk meluaskan cakupan pendidikan seni rupa, bukan mempersempitnya. Dengan cakupan yang luas itu, maka berbagai tradisi artistik serta estetis terakomodasi (Delacruz 58). Karena itulah, pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menggunakan berbagai

bentuk teori dan praktik. Yang penting teori dan praktik itu sesuai dengan konteks sosial dan budaya (Efland, Change 38). Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa

pendekatan pendidikan seni rupa multikultural menggunakan pendekatan

eklektik dalam

mengembangkan kurikulum.

Pendekatan Ekspresi-diri, Disiplin, dan Multikultural yang telah diuraikan di atas merupakan tiga pendekatan utama yang mempengaruhi secara berarti pemikiran dan praktik pendidikan seni rupa dewasa ini.

Model Pengembangan Kurikulum

Perbedaan antara

(11)

11 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 pada model pengembangan

kurikulum yang digunakan oleh pendukung ketiga pendekatan tersebut. lni tentu saja masuk akal karena mereka merespon secara berbeda terhadap pertanyaan yang lazim

diajukan dalam

pengembangan kurikulum yakni "apa yang harus diajarkan, kepada siapa,

bagaimana cara

pengajaran dan bagaimana cara penilaian keefektifan dan pengajaran tersebut." a. Pendekatan

Ekspresi-diri

Model pengembangan Pendekatan Ekspresi-diri populer dengan nama model emerging curriculum. Ide bahwa anak mestilah dibebaskan dan pengaruh orang dewasa menjadi dasar model emerging curriculum. Tentang model ini, Eisner menulis:

...an emerging curriculum, a curiculum that is not pre

planned but which develops from the needs and interests of the students. The end of education, and hence the function of the curriculum, is to help the child realize the capacities that lie latent within him. By attending to his interests, aptitudes and needs, these capacities are best realized. In this view no single curriculum can be prescribed which is ideal for all children. Since children differ, the curricula appropriate for their self-realization should also differ (Concepts 225).

Ciri yang mendasar dan model emerging curriculum atau model activity curriculum sebagaimana Wickiser menyebutnya (146) adalah bahwa kebutuhan dan minat

anaklah yang

(12)

12 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Tugas guru adalah

menemukan kebutuhan dan minat anak untuk kemudian bekerjasama dengan anak dalam merancang kegiatan belajar. Tenth saja, kurikulum semacam ini menuntut guru yang terlatih baik serta fasilitas pendukung yang fleksibel (145147).

Leeds, seorang pendukung Pendekatan Ekspresi-diri mengkritisi upaya menyusun "kurikulum yang sistematis" dengan

mengatakan bahwa

kurikulum semacam itu akan kehilangan vitalias alamiahnya (17). Leeds menegaskan bahwa tujuan pengajaran seni rupa adalah untuk membantu anak, melalui kegiatannya, untuk mencapai tujuan pribadinya (21). Ia mengingatkan bahwa ini merupakan tugas yang menantang. Katanya: "This kind of teaching is a living process that cannot

be easily systematized or measured on a test" (21).

Karena sifanya yang tidak ingin mengintervensi kebutuhan dan minat anak, model emerging curriculum tampaknya tidak "laku" di sekolah formal (Wickiser 149).

b. Pendekatan Disiplin

Tuntutan untuk

mengembangkan

kurikulum yang dapat terimplementasikan di sekolah, yang pada saat yang sama dapat menjawab kebutuhan akan kualitas

akademik serta

keakuntabilitasan,

mendorong pendidik seni

rupa dari kubu

Pendekatan Disiplin untuk

menemukan model

kurikulum baru. Untuk keperluan inilah sebuah seminar yang bersejarah

dilaksanakan di

(13)

13 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Barkan, yang menyajikan

makalah Curriculum

Problems in Art Education pada seminar tersebut, mengangkat persoalan-persoalan mendasar dalam pendidikan seni rupa seperti hakikat disiplin ilmu seni rupa, perumusan tujuan instruksional yang kontroversial, struktur isi dan kegiatan pengajaran,

pengembangan bahan

pengajaran dan alat penilaian (240-255).

Dalam merespon

persoalan-persoalan

tersebut di atas, Barkan mengatakan bahwa disiplin seni rupa berbeda dari disiplin IPA dan meskipun tidak ada struktur formal

dalam seni rupa

sebagaimana dalam ilmu

pengetahuan alam,

sesungguhnya ada disiplin tertentu yang digunakan oleh seniman, kritikus atau pihak lain yang terlibat dalam dunia seni rupa dalam mereka bekerja.

Karena itulah,

memungkinkan untuk

mengembangkan

kurikulum pendidikan seni rupa yang berstruktur dan berbasis disiplin (244).

Lebih jauh is

menyarankan: (1) tujuan dari kurikulum seni rupa

diarahkan pada

pendekatan disiplin dan problem (246); (2) Tujuan instruksional khusus yang sesuai untuk materi pelajaran seni rupa perlu dicari (247); (3) Informasi tentang rangkaian untuk pengajaran seni rupa dapat digali dari pengetahuan dan pengalaman guru (sumber informal)

dan dari teori psikologi dan kondisi sosio-kultural (sumber formal) (248); (4)

Bahan pengajaran

seyogyanya disesuaikan

dengan tingkat

(14)

14 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 sebagaimana cara yang

dilakukan oleh Eisner, Beittel, dan lain-lain (254). Tampaknya, Saran model kurikulum yang diajukan oleh Barkan sesuai dengan kurikulum Pendekatan Sistem sebagaimana yang diterapkan di Indonesia sejak kurikulum 1975.

Persoalan kurikulum yang diangkat oleh Barkan

dalam seminar di

Pennsylvania tersebut segera menjadi fokus bahasan di kalangan pendidik seni rupa. Hasilnya berbagai gagasan baru muncul. Smith menyatakan bahwa teori

instruksional untuk

pendidikan umum juga dapat diaplikasikan dalam pendidikan seni rupa; dan pendekatan sistem dalam pendidikan seni rupa tidak

membatasi kebebasan

murid dan guru (162);

Davis mengemukakan

bahwa prilaku dalam berkarya seni rupa pada tujuan instruksional jangan

dengan seenaknya

dicantumkan tetapi dipilih berdasarkan pemikiran

yang mendalam

berdasarkan apa yang dilakukan oleh perupa dalam kehidupan nyata

(177-182). Ecker

menyarankan agar

kegiatan berkarya seni rupa yang dimasukkan dalam kurikulum haruslah dipandang sebagai sesuatu yang "terbuka dengan segala kemungkinannya" oleh karena itu dapat berubah setiap saat bila diperlukan (172).

Eisner mengusulkan

suatu bentuk tujuan

instruksional untuk

kegiatan studio yang

disebutnya sebagai

expressive objective. Bentuk tujuan semacam ini tidak bersifat preskriptif tetapi evokatif karena memberi peluang bagi timbulnya respon tak terduga dari anak (Do 190).

(15)

15 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 mengembangkan sebuah

model pengembangan

kurikulum yang berpijak pada pendekatan sistem yang terdiri dari langkah-langkah yang sistematis

yang bermula dari

identifikasi domain, konsep, dan prinsip ke penyusunan rasional, tujuan instruksional, kegiatan belajar dan pengembangan bahan, ke akhirnya pengembangan alat penilaian (Curriculum 331-336).

Pengaruh penting lain dan seminar tersebut di atas

adalah dibentuknya

berbagai badan penelitian

dan pengembangan

kurikulum pendidikan seni

rupa. Clark

mengidentifikasi beberapa

proyek pengembangan

kurikulum yang

dipengaruhi oleh seminar tersebut antara lain Proyek Images and Things untuk

program televisi pada

tahun 1972; Proyek Art: Meaning, Methods, and Media yang dipublikasikan

hasilnya pada tahun 1973; Proyek Stanford-Kettering

yang disponsori oleh

Eisner berupa kurikulum

untuk sekolah dasar;

Proyek SWRL (Southwest Regional Laboratory); dan Proyek Aesthetic Eye (226-230).

Dibalik jumlahnya yang

banyak, proyek

pengembangan kurikulum

pendidikan seni rupa

tersebut di atas dianggap

kurang begitu sukses

dalam hal

implementasinya. Hal ini disebabkan karena guru-guru yang menggunakan kurikulum tersebut kurang

begitu puas dalam

penggunaanya di kelas.

Dengan kata lain,

kurikulum yang dihasilkan

tersebut gagal dalam

memenuhi syarat

kurikulum yang bagus

dalam hal isi, bentuk, dan kepraktisan.

Kegagalan proyek

(16)

16 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 disadari oleh MacGregor,

seorang tokoh Pendekatan DBAE, ketika menyajikan makalahnya pada seminar tentang persoalan DBAE yang disponsori oleh the Getty Center for Education in the Arts pada tahun 1987. MacGregor menulis:

Discipline-Based Art Education must, if it is to be successfully implemented, be translated as a curriculum that is to

some extent

participatory and open-ended. Only by doing so it will accomodate the objective of curriculum developer and classroom teacher alike, and bring about the benefits that its author desire (126).

Dalam upaya merespon

harapan untuk

dilahirkannya kurikulum

DBAE yang dapat

diimplementasikan dengan baik, The Getty Center for Education in the Arts

melaksanakan kegiatan

pengembangan kurikulum dan penataran guru dan

administrator sekolah

secara serentak (Dobbs 84). Disadari bahwa upaya pengembangan kurikulum mestilah diikuti dengan

kegiatan mempersiapkan

pihak yang akan

menggunakannya (Dobbs

57).

Kurikulum DBAE

akhir-akhir ini juga mulai

mengakomodasi saran dari

kubu Pendekatan

Multikultural yang

menginginkan agar

muatan kurikulum

Pendekatan Disiplin jangan

hanya didominasi oleh

tradisi seni rupa Barat (Hamblen 50, Chalmers 16-24, Delacruz dan Dunn 46-52).

c. Pendekatan Multikultural

Kebutuhan akan kurikulum

pendidikan seni rupa

berdasarkan pendekatan

(17)

17 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001

digunakan di sekolah,

mendorong pendidik seni rupa dan kubu Pendekatan Pendidikan Multikultural

untuk menyiapkan

pedoman pengembangan

kurikulum. Wasson, Stuhr,

dan Petrovich-Mwaniki,

misalnya, menawarkan

enam pernyataan yang

dapat digunakan sebagai dasar dalam merancang, mengimplementasikan dan

menilai kurikulum

Pendekatan Multikultural sebagai berikut:

1. We advocate a socio-anthropological basis for studying the aesthetic production and experience of cultures, which means focusing on knowledge of the makers of art, as well as the sociocultural context in which art is produced.

2. We acknowledge

teaching as cultural and social intervention and therefore, in any teaching endeavor, it

is imperative that

teachers not only

confront, but also

consistently be aware of their own cultural and social biases.

3. We support a

student/ community-centered educational process in which the teacher must access

and utilize the

students' sociocultural values and beliefs and those of the cultures identifying these sociocultural groups

and their

accompanying values and practices which influence aesthetic production.

5. We advocate the

identification and

discriminating use of culturally responsive pedagogy that more dramatically

represents the

sociocultural and

ethnic diversity

(18)

18 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001

human interaction:

physical and mental ability class, gender, age, politic, religion,

and ethnicity. We

seek a more

democratic approach

whereby the

disenfranchised are

also given a voice in

the art education

process, and the

disenfranchised, as

well as franchised, are sensitized to the taken-for-granted assumptions implicit

in the dominant

ideology (234-235).

Lebih jauh, Stuhr, Petrovich-Mwaniki dan Wasson mengidentifikasi lima langkah utama dalam mengembangkan

kurikulum pendidikan seni rupa multikultural sebagai berikut: Langkah pertama adalah guru menganalisa dan memperbaiki sikap

negatif yang mereka mungkin miliki terhadap pluralisme sosial dan keragaman etnis. Dengan cara ini, mereka akan menciptakan suasana belajar seni rupa multikultural yang kondusif (19). Langkah kedua adalah guru dan siswa melakukan analisa situasi agar akrab dengan masyarakat (19-20); Langkah ketiga, guru dan murid memilih bahan kurikulum yang relevan dan sekaligus menarik (21-22); Langkah keempat adalah guru dan murid secara berkolaborasi menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan bahan kurikulum yang telah dipilih; Pada langkah yang keempat ini, Stuhr, Petrovich-Mwaniki dan Wasson menyarankan tindakan yang perlu

ditempuh yakni

(19)

19 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 usia, dan kemampuan

mental serta fisik. Sesudah itu, mengumpul data yang relevan, mengklarifikasikannya, menantang nilai yang dianut siswa, membuat keputusan reflektif lalu mengambil langkah nyata sesuai keputusan (22). Terakhir, langkah kelima adalah guru melaksanakan program evaluasi baik formatif maupun sumatif (24).

Model kurikulum

Pendekatan Multikultural tersebut di atas hanyalah sebuah contoh. Pada dasarnya tak satupun model yang dapat menyatakan dirinya sebagai "wakil yang sah dan satu-satunya" dan Pendekatan Multikultural. Meski demikian, ada satu ciri yang mendasar dan kurikulum Pendekatan Multikultural yakni menilai penting pluralisme sosial, keragaman budaya/etnis dan kontekstualisme.

Penutup

Ketiga model

pengembangan kurikulum yang dibahas di atas, pada kenyatannya, amat jarang diimplementasikan dalam bentuknya yang murni. Dalam banyak hal,

di antara model

pengembangan kurikulum Pendekatan Ekspresi-diri, Disiplin, dan Multikultural, guru memilih elemen tertentu dengan mempertimbangkan situasi belajar, keadaan anak, dan hakikat subyek yang akan diajarkan. Oleh karena itu, persoalan kurikulum yang senantiasa dihadapi oleh pendidik seni rupa di sekolah adalah "bagaimana membuat keputusan yang

cerdas untuk

mengintegrasikan

(20)

20 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Daftar Pustaka

Barkan, Manuel. “Curriculum Problems in Art Education.” A

Seminar in Art Education for Research and Curriculum Development. Editor Edward L. Mattil dan Kenneth R. Beittel. University Park, PA: The Pennsylvania State University, 1996. 240-255.

Chalmers F. Graeme. “The DBAE as Multicultural Education.” Art Education. 45 (3) (1992): 16-24.

Chapman, Laura H. Approach to Art in Education. New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1978.

Clark, Gilbert A. "Beyond the Penn State Seminar: A Critique of Curricula " Studies in Art Education. 25 (4) (1984):226-231.

Davis, Donald Jack. "Human Behavior: Its Implications for Curriculum Development in Art." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 174-184.

Delacruz, Elizabeth Manley, "Multiculturalism and Art Education: Myths, Misconceptions, Misdirections." Art Education (1995) 57-61.

Delacruz, Elizabeth Manley dan Phillip C. Dunn. "DBAE: The Next Generation." Art Education. 48 (6) (1995): 46-52.

(21)

21 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Ecker, David W. "The Structure of Affect in the Art

Curriculum " Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and Evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 165-173.

Efland, Arthur D. A History of Art Education: Intellectual and Social Currents in Teaching the Visual Arts. New York: Teachers College, 1990.

---. Change in the Conception of Art Teaching." Context, Content, and Community in Art Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995. 25-40.

Eisner, Elliot w. "Do Behavioral Objectives and Accountbility Have a Place in Art Education." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 185-194.

---. "Concepts, Issues, and problems in the Field of Curriculum." A Seminar in Art Education for Research and Curriculum Development. Editor Edward L. Mattil dan Kenneth R. Beittel. University Park: PA: The Pennsylvania State University, 1966. 222-235.

---. "Curriculum Making for the Wee Folk: Stanford University's Kettering Project." Curricular Considerations for Visual Arts Education: Rationale, Development and evaluation. Editor George W. Hardiman dan Theodore Zernich. Champaign, IL: Stipes, 1974. 327-338.

(22)

22 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 George Pappas. London: Macmillan, 1970. 12-25.

Greer, W. Dwarne. "A Structure of Discipline Concepts for DBAE." Studies in Art Education. 28 (40 (1987): 227233.

Hamblen, Karen A. "Art Education Changes and Continuities: Value Orientations of Modernity and Postmodernity." Context, Content, and Community in Art

Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995. 41-51.

Hubbard, Guy. Art in the High School. Belmot, CA: 1969.

Jeffers, Carol S. "Child-Centered and Discipline-Based Art Education Education: Metaphor and Meanings (abridged)." Art Education. 43 (2) (1'990): 16-21.

Leeds, Jo Alice. "Teaching and the Reasons for Making Art." Art Education. 39 (4) (1986): 17-21.

Logan, Frederick M. Growth of Art in American Schools. New York: Harper & Brothers, 1955.

Lowenfeld, Viktor, dan Lambert W. Brittain. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan, 1982.

Macdonald, stuart. The History and Philosophy of Art Education. New York: American Elsevier: 1970.

MacGregor, Ronald W. "Curriculum Reform:

(23)

23 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Paul Getty Trust, 1988.

Michael, John A. "Art Education: Nurture or Nature; Where is the Pendulum Now?" Art Education. 44 (4) (1991): 16-23.

Nepperud, ronald W. "Transitions in Art Education: A Search for Meaning." Context, Content, and Community in Art Education: Beyond Postmodernism. Editor Ronald W Neperud. New York: Teachers College, 1995.

Read, Herbert, Education Through Art. New York; Pantheon Books, 1974.

Soedarso SP, dkk. Buku Petunjuk Metoda mengajar Seni Rupa di Sekolah Dasar. Yogyakarta: PKMM, 1972.

Surjomihardjo, Abdurrahman. "National Education in A Colonial Society." Dynamic of Indonesian History. Editor Haryati Subadio dan Carina A du. Marchie Sarvaas. Amsterdam: North-Holland, 1978. 277-306.

Stuhr, Patricia L, Lois Petrovich-Mwaniki dan Robin Wasson. "Curriculum Guidelines for the Multicultural Art Classroom." art Education. 45 (1) (1992): 16-24.

Wasson, Robin F, Patricia L. Stuhr, dan Lois Petrovich-Mwaniki. "Teaching Art in Multicultural Classroom: Six Position Statements." Studies in Art Education. 31 (4) (1990): 234-246.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan mengkhususkan sasarannya pada pemakaian bahasa dalam tembang dan puisi Jawa modem. Apabila diperhatikan secara cermat. Begitu juga dalam tembang

Pramuka merupakan suatu kegiatan untuk melatih siswa memiliki life skill , pramuka di Indonesia dilaksanakan pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, program

(2) prestasi belajar matematika siswa dengan gaya belajar auditorial lebih baik daripada visual dan kinestetik, prestasi belajar matematika siswa dengan gaya

6. Untuk mengetahui ada atau tidak hubungan langsung dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan efikasi diri remaja Hindu di Kota Mataram... Untuk

Setelah dianalisis data mengenai penerapan pembelajaran menggunakan pendekatan realistik yang dilakukan guru melalui proses pengamatan terhadap proses pembelajaran ternyata

Sedangkan untuk pedagang kelontongan lantai 2 lantai sebesar 0,08 kg/m 2 /hari, pedagang daging 0,20 kg/m 2 /hari dan pedagang kue sebesar 0,10 kg/m 2 /hari mempunnyai data

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa gaya yang terjadi pada elemen lengkung pada Jembatan Leho ini adalah gaya aksial tekan serta dilakukan perbandingan yang

Di Indonesia memang sudah banyak jenis-jenis kue kukus yang bervariasi. Tetapi produk kue semangka kukus mempunyai keunikan dan menarik serta memiliki harga ekonomis yang