• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnis Tionghoa pada Masa Hindia Belanda (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etnis Tionghoa pada Masa Hindia Belanda (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Etnis Tionghoa pada Masa Hindia Belanda sampai Revolusi Fisik:

Tinjauan Sosial-Ekonomi

Kedatangan orang-orang Cina di wilayah Nusantara telah berlangsung sangat lama, bahkan sebelum kedatangan pedagang-pedagang Eropa1 bahkan telah

bermula sejak abad-abad awal Masehi. Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di abad 14, orang-orang Cina sudah mengukuhkan dirinya di pantai Utara Jawa (mayoritas beragama Islam).2 Mereka bekerja sebagai penjaga gerbang tol,

pembuat kapal, petani, kuli, tukang kayu dan pedagang-pedagang kecil. Kedatangan orang-orang Cina secara perorangan atau kelompok kecil ke wilayah Nusantara dilakukan secara bergelombang. Kelompok yang datang ke wilayah Nusantara ada beberapa klan yang memiliki dialek sendiri-sendiri, seperti kelompok Hokkian, Hakka, Hinhua, Hokchew, Hokchia, dan lain sebagainya (dua klan yang disebut pertama, datang lebih awal). Pada abad-abad selanjutnya, komunitas Cina ini memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi.3

Ketika Belanda datang pertama kali ke Nusantara pada tahun 1600, mereka melihat koloni besar orang-orang Cina di luar benteng Kasultanan Banten. Orang-orang Cina ini pandai dalam berdagang dan mudah berinteraksi dengan penduduk pribumi. Ketika penetrasi Belanda semakin kuat di Batavia dan Banten mulai mengalami kemunduran sebagai pelabuhan singgah, banyak orang-orang Cina yang pindah ke Batavia dan menetap disana.4 Belanda mulai melihat dan

1 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah

Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 1.

2 Graaf, H. J. de, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dn XVI: Antara Historisitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 56.

3 Carey, Peter, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm 13-14.

(2)

tertarik dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang Cina. Mereka dianggap orang-orang yang patuh, ulet, tidak berbahaya, pekerja keras dan dapat dibayar murah. Ketika penjajahan Belanda mulai berlangsung, orang-orang Cina dipercaya menjadi tangan kanan orang-orang Belanda untuk menggerakkan roda perekonomian dan perdagangan distribusi.5

Orang-orang Cina yang telah menetap dan bekerja di perantauan biasanya tidak membawa sanak keluarganya. Hal ini dikarenakan uang yang mereka bawa sangat sedikit, apalagi di tanah rantau memulai semua kehidupan dari bawah. Interaksi mereka yang telah berlangsung lama dengan masyarakat pribumi membuat terjadinya sebuah adaptasi dan asimilasi. Pembauran ini biasanya ditandai dengan perkawinan dengan wanita setempat.6 Mereka kemudian

menurunkan beberapa generasi campuran Cina-Jawa, orang Cina yang lahir di tanah rantau biasa disebut Cina Peranakan.7 Hal ini ditandai dengan luntur dan

hilangnya pengaruh budaya leluhur setelah dua sampai tiga generasi, terutama bahasa Cina. Sedangkan orang Cina yang baru datang ke perantauan disebut Cina Totok atau Cina Singkeh. Hal ini ditandai dengan masih kentalnya budaya yang dianut oleh Cina Totok ini, begitu juga dialek bahasanya.

Cina Peranakan biasanya memiliki pekerjaan yang sifatnya sudah tetap dan berkehidupan cukup, bahkan bisa dibilang makmur untuk beberapa orang. Sedangkan Cina Totok yang baru datang ke wilayah jajahan Belanda masih belum mendapat pekerjaan dan belum memiliki tempat tinggal. Oleh karena itu, mereka biasanya menumpang di rumah sanak keluarganya yang sudah hidup mapan,

5 Van Niel, Robert, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Jaya, 1984), hlm. 29.

6Op.cit., hlm. 11.

(3)

sehingga sebenarnya mereka telah memiliki fondasi yang kuat untuk memulai usaha atau bisnis. Meskipun ada Cina Totok yang tidak memiliki sanak keluarga karena mereka baru pertama kali mengawali imigrasi atau sama-sama miskin dengan saudaranya yang ada disini, tetapi mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan menyewa tempat tinggal sementara.

Dalam kenyataannya, orang Cina menjadi unsur penting dalam perdagangan perantara, sulit untuk menyerabutnya. Sejak awal Golongan Cina sudah menjadi pedagang, baik pedagang besar/grosiran maupun pedagang yang menjual barang-barang eceran. Akan tetapi pada abad-abad selanjutnya aktivitas ekonomi yang mereka lakukan tergantung pada situasi politik yang terjadi di negeri jajahan. Presentase terbesar menunjukkan bahwa orang Cina banyak bekerja di sektor perdagangan. Mereka membeli barang-barang konsumsi dari orang-orang Eropa untuk dijual kepada masyarakat pribumi di pedesaan. Sebaliknya, mereka membeli bahan mentah hasil produksi pertanian dan produk

Home Industry dari orang pribumi dan menjualnya ke orang-orang Eropa dan orang Cina di kota-kota besar. Pada masa penjajahan Belanda yang semakin meluas, orang Cina semakin mendapatkan tempatnya. Pada tahun 1796 pemerintah Belanda menyewakan tanah-tanahnya untuk digarap, orang Tionghoa banyak membelinya dan menjadikan dirinya sebagai tuan tanah. Selain itu juga mereka juga mendapatkan hak untuk mengelola pajak dan gerbang tol.

Pada masa Tanam Paksa, Van den Bosch berusaha mendongkel posisi orang-orang Cina sebagai perantara dan perente dan memperkuat posisi para bupati-bupati. Akan tetapi lagi-lagi dia harus menggunakan orang Cina sebagai kontraktor lahan. Hal ini dikarenakan orang-orang Tionghoa sudah memiliki modal yang banyak. Tugas mereka sebagai kontraktor ialah membuka lahan untuk selanjutnya menyuruh buruh-buruh menanam komoditi ekspor. Kesempatan inilah yang membuat orang-orang Cina semakin meningkat jumlah, kekayaan dan kekuatannya.8 Pada masa Liberalisme berlangsung, posisi orang-orang Cina mulai

kuat dan secara jumlahpun juga meningkat. Pada tahun 1850 saja jumlah mereka

(4)

di Jawa berkisar 150.000 orang sampai pada tahun 1900 jumlah mereka mencapai 277.000. Secara sosial pun mereka juga semakin dipandang, selain itu masalah hukum perdata yang mengacu tentang orang Tionghoa juga dimuat dalam hukum Eropa.9 Pada masa ini mereka juga mendapat hak untuk mengenakan pajak tol,

pemilik toko-toko candu, pegadaian dan rumah judi. Orang Tionghoa menguasai hampir semua sektor ekonomi di jalanan utama kota besar, seperti Jalan Malioboro di Jogja, Jalan Pemuda di Semarang.10 Sedangkan sisanya terdapat

pengusaha-pengusaha seperti orang Eropa, India, dan Pribumi.

Pada masa Hindia Belanda, peran orang Tionghoa di Nusantara yang menjadi middleman minority ternyata membuat gesekan dan sentiment sosial dengan masyarakat pribumi. Sampai pada tahun 1942, ketika di beberapa wilayah Hindia Belanda sudah dikuasai Jepang lantas mengalami kekosongan kekuasaan. Orang-orang Tionghoa menjadi sasaran empuk orang-orang pribumi. Toko, industri, pabrik dan rumah-rumah dijarah, dirampok dan dibakar. Banyak laki-laki Tionghoa yang dibunuh dan perempuannya diperkosa.11 Hal ini dipicu akibat

stereotipe orang-orang Tionghoa yang dianggap antek dan pro-Belanda oleh masyarakat pribumi. Pada masa ini perekonomian di wilayah Indonesia mengalami kemunduran, Hal ini diakibatkan banyak industri berskala rumahan hingga berskala besar menjadi korban penjarahan dan pembakaran masal. Orang Tionghoa yang pada awalnya kaya karena kegiatan ekonominya tiba-tiba jatuh miskin. Mereka tidak lagi dipercaya oleh penguasa yang barunya dan Jepang lebih percaya kepada orang-orang pribumi. Orang-orang pribumi diberi kesempatan untuk mengembangkan bisnis mereka dengan mendirikan kumiai-kumiai atau asosiasi perdagangan tanpa ada peran orang Tionghoa disana. Sampai pada akhirnya keluar perintah dari Jenderal Yamamoto untuk ‘merangkul’ kembali orang Tionghoa, sehingga terciptalah kolaborasi awal ‘Ali-Baba’ pada masa ini.

9 Vlekke, B.H.M., Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008), hlm. 388.

10Op.cit, hlm. 10.

(5)

Pada tahun 1945 akibat bom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki, menjadikan Jepang menyerah kepada Sekutu pada PD II. Pada masa ini terjadilah kekosongan kekuasaan yang kedua. Akibat tidak adanya pemerintahan, di beberapa kota besar banyak terjadi diskriminasi sosial terhadap orang Tionghoa. Pada masa ini posisi orang Tionghoa di perkotaan maupun daerah pedesaan mengalami posisi yang sangat tidak menguntungkan. Penjarahan dan perampokan kembali marak terjadi. Pada bulan Agustus-September 1945, di Bandung terjadi aksi penjarahan yang dilakukan pemuda dan para jago di rumah-rumah orang Tionghoa dan Indo-Eropa. Beberapa ratus warga Tionghoa mati terbunuh karena dianggap mata-mata Asing (Belanda). Di Pekalongan juga terjadi hal yang sama, suatu kelompok pemuda dan lenggaong menjarah toko milik orang Cina dan merampas pabrik gula yang dikelola Jepang dan lumbung padi milik orang Cina.12 Banyak terjadi pengungsian besar-besaran yang dilakukan orang

Tionghoa ke kota Besar seperti Semarang dan Surabaya, tetapi mereka disinipun tetap diintimidasi. Sedangkan perdagangan terhenti sementara akibat transisi ini, semua pihak pada posisi ketegangan yang hampir memuncak. Toko-toko yang tidak rusak, berani membuka warungnya tetapi para pedagang eceran sulit mendapatkan barang-barang pokok, karena rusak, hilang dan masih tertimbun. Arus pengangkutan dan distribusi barang berhenti total.13 Kerusuhan rasial ini

terjadi hingga Agresi Militer I dan II Belanda.

Akibat dari Agresi Militer I dan II banyak wilayah yang direbut dan dikuasai kembali oleh Belanda, hal ini membuat pasukan republik panik dan bingung. Mereka harus segera meninggalkan wilayah itu dan menghanguskan semuanya tanpa terkecuali. Banyak tempat di Tangerang, Purwakarta, Sukabumi, Banyuwangi, Medan, Jambi, Bagan Siapi-api, Pati dan tempat lainnya menjadi korban pembumihangusan seperti lumbung padi, toko, rumah, industri, pabrik dan lain-lain. Selain itu juga terjadi penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan terhadap

12 Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), hlm 188.

(6)

orang-orang Tionghoa di banyak tempat di wilayah Indonesia. Mereka lagi-lagi dianggap mata-mata oleh orang-orang Indonesia yang pro-Belanda. Orang-orang Tionghoa tidak tinggal diam, seperti di Medan, mereka yang terancam ini melakukan aksi demo dengan mengangkat mayat saudaranya sambil meneriakkan permintaan untuk dilindungi orang Belanda/Inggris dari orang-orang Indonesia. Sedangkan di Tangerang, orang-orang Tionghoa banyak direkrut oleh Belanda menjadi personil tentara, banyak faktor yang menyebabkan mereka mau menjadi musuh republik, seperti kemiskinan, frustasi dan sebagainya. Sedikit berbeda dengan Surabaya, orang-orang Tionghoa disini banyak membantu perjuangan republik. Orang Tionghoa memberikan bantuan makanan kepada orang-orang Indonesia karena simpati terhadap perjuangannya. Kelompok Tionghoa Siang Hwee dan Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya (KNID) berperan besar disini.14 Akan tetapi selanjutnya mereka tetap menjadi korban ketika berpindah ke

Malang.

Posisi orang Tionghoa pada masa ini sangat buruk, di satu sisi mereka tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya dari Pemerintah Indonesia akibat penjarahan dan pembunuhan oleh orang Indonesia sendiri. Sedangkan di sisi lain, pemerintah “memanfaatkan” orang-orang Tionghoa ini untuk menyumbangkan finansialnya untuk kepentingan perang dan banyak juga orang Tionghoa yang membantu dalam perjuangan seperti melakukan penyelundupan-penyelundupan untuk mendapatkan uang. Dari hal-hal tersebut diatas diketahui bahwa pada masa-masa kekosongan pemerintahan, banyak terjadi konflik sosial yang bersifat rasial antara orang-orang pribumi dan Tionghoa. Kerusuhan ini berdampak pada kehancuran ‘kembali’ ekonomi Indonesia, karena ketidakpercayaan yang terjadi diantara orang pribumi terhadap orang Tionghoa.

Daftar Pustaka

(7)

Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya, (Yogyakarta: Ombak, 2010).

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: elkasa, tt).

Blusse, Leonard, Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LKiS, 2004).

Burger, D. H. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. (Jakarta: Pradnja Paramita, 1960).

Carey, Peter. Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. (Jakarta: Sinar Harapan,

1994).

De Graaf, H. J. dan G. Th. Pigeaud. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004).

Groeneveldt, W. P. Nusantara dalam Catatan Tionghoa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).

Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).

Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).

Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009).

Paulus Haryono, Menggali Latar Belakang: Stereotip dan Persoalan Etnis Cina di Jawa dari Jaman Keemasan, Konflik Antar Etnis Hingga Kini. (Semarang: Mutiara Wacana, 2006).

Van Niel, Robert, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Vlekke, B. H. M., Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008).

Yang, Twang Peck. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh benda pengganggu berupa silinder sirkular yang diletakkan di depan returning blade untuk meningkatkan

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan model pemprediksian performansi aerodinamika dari turbin angin Darrieus dengan metode multiple streamtube, memvalidasi model

Masih belum bisa diketahui secara pasti mengenai daerah Thani jumput, tetapi beberapa ahli juga mengartikan mengenai nama Thani jumput. Thani jumput adalah petugas

Metode pengumpulan data dengan kuesioner atau angket merupakan “teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

Hasil: Jumlah pasien yang menjalani peeling dengan menggunakan AG adalah 159 orang, terbanyak berumur 31-40 tahun, keluhan paling banyak adalah ingin mencerahkan kulit dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe cabai yang berpotensi toleran dan peka Al melalui metode penapisan panjang akar dan evaluasi karakter agronomi,

gaul apabila mereka sedang berbicara dengan teman sebanyanya di saat pembelajaran atau yang lebih tua darinya di dalam lingkungan sekolah dibandingkan dengan