1945 PERUBAHAN DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN KELIMA UUD 1945
Oleh:
Ketua : Dr. Indra Perwira, S.H., M.H. Anggota : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M. Bilal Dewansyah, S.H.
Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2009
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Nomor : 866a /H6.7/Kep/FH/2009
Tanggal : 1 Juni 2009
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN
ii
Susi Dwi Harijanti Bilal Dewansyah
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi hasil perubahan UUD 1945 yang banyak menimbulkan ketidakjelasan dan respon berbagai pihak yang mengusulkan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui budaya konstitusi yang ada dalam UUD 1945 hasil perubahan dan kaitannya dengan gagasan perubahan kelima terhadap UUD 1945.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis historis dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitas. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan (library research) dan studi melalui internet (online research) untuk mengumpulkan bahan hukum primer, UUD 1945 dan bahan hukum sekunder berupa risalah perubahan UUD 1945, buku, jurnal yang membahas tenang konstitusi, konstitusionlisme, dan budaya konstitusi serta hasil kajian berbagai pihak yang mengusulkan perubahan kelima UUD 1945, serta berita-berita yang dimuat di media massa. Data-data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan.
iii Indra Perwira Susi Dwi Harijanti
Bilal Dewansyah
ABSTRACT
The background of this research relates to a number of constitutional problems resulted from the previous constitutional amendments occurred in 1999-2002 by which encouraging many parties to conduct further amendment. The purposes of this research are to explore constitutional culture of the Amended 1945 Constitution and to analyze the relation between such cultures with the possibility to conduct the fifth amendment.
This research uses juridical and normative as well as juridical historic approaches. Data of this research has been obtained through library research and online research in order to collect primary, secondary as well as tertiary legal resources. These data have been analyzed qualitatively.
The study provides a number of conclusions. Firstly, constitutional culture of the Amended 1945 Constitution has been reactive in nature which reflecting through process of the constitutional amendment. During the process, there were tendencies to amend almost all constitutional subject matters using system of addendum, which mostly appropriate for partial constitutional amendments. As a result, this process of constitutional amendments have been carried with the absent of comprehensive grand design, the minimal of substantive public participation and the overlapping of many articles of the Constitution, particularly in matters of governmental and representative systems. Apart from the reactive cultures, this study has found positive cultures reflecting in the inclusion of a number of important constitutional articles, including the explicit constitutional supremacy, the more comprehensive human rights protection, the improvement of decentralization system through a wider autonomy, and the explicit principles of judicial independence and judicial review. Secondly, the idea of a proposed fifth amendment was a direct response over a reactive constitutional culture resulted from the first until the fourth amendments. Most critics directed to a number of weaknesses during the process of amendment, particularly in relation to the closed debates regarding the drafts of the amendments articles. Initially, the proposal for the need to conduct the fifth amendment was partial in nature as this proposal appeared from the DPD’s initiative in which it proposed amendment of a number articles on powers of the DPD. At the end, however, the DPD’s proposal has been expanded by academics having intention to make a new constitution based on a more comprehensive proposal.
iv
PERUBAHAN DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN
KELIMA UUD 1945 ”, hasil penelitian tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dibiayai oleh dana penelitian DIPA Tahun Anggaran 2009.
Penelitian adalah salah satu respon terhadap proses perubahan UUD 1945
sepanjang tahun 1999 sampai dengan 2002 dan perkembangan di masyarakat
akhir-akhir ini yang menghendaki perubahan kelima terhadap UUD 1945
perubahan. Tim peneliti menganggap penting perkembangan tersebut terkait
dengan keberlanjutan UUD 1945 yang diharapkan menjadi living constitution di masyarakat.
Tim peneliti berterima kasih kepada berbagai pihak, terutama kepada Sdr.
Bilal Dewansyah, S.H. yang telah membantu mempersiapkan draf awal laporan
penelitian ini, dan kepada Ezra dan Wicak, mahasiwa Fakultas Hukum Unpad dari
kelompok mahasiswa Hukum Tata Negara, PAKTA Padjadjaran, yang telah
membantu mengklasifikasi bahan analisis dari risalah perubahan UUD 1945.
Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang berkepentingan,
khususnya para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan umumnya bagi para
pihak yang memiliki minat pada kajian konstitusi, khususnya kajian budaya
konstitusi yang belum banyak dikaji di Indonesia. Sebagai sebuah karya manusia,
penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, di kemudian hari
diharapkan muncul penelitian-penelitian lanjutan untuk mengembangan hasil
penelitian ini.
Bandung, Desember 2009
v
LEMBAR INDENTITAS DAN PENGESAHAN i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 5
II TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Konstitusi dan Konstitusionalisme
B. Budaya Konstitusi
6
13
III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 34
A. Tujuan Penelitian 25
B. Manfaat Penelitian 25
IV METODE PENELITIAN 26
A. Pendekatan Masalah 26
B. Teknik Pengumpulan Data 26
C. Analisis Data 27
V HASIL PENELITIAN 28
A.Proses Perubahan UUD 1945 44
B.Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan 49
C.Persepsi Terhadap UUD 1945 Perubahan dan Gagasan Perubahan
Kelima UUD 1945
63
VI KESIMPULAN DAN SARAN 76
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan
sebanyak empat kali dalam kurun waktu 1999 sampai dengan 2002, telah
mengubah sebagian besar batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945. Sebelum diubah,
UUD 1945 terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 49 ayat 4 pasal Aturan Peralihan dan 2
ayat Aturan Tambahan, sedangkan setelah diubah 4 kali, UUD 1945 terdiri dari 21
bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.1 Struktur UUD 1945 juga berubah yang semula terdiri dari Pembukaan, Batang
Tubuh, dan Penjelasan, setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan
Pasal-Pasal. Mengingat banyaknya pasal UUD 1945 yang telah diubah, Bagir
Manan menyebutnya sebagai UUD 1945 baru.2 Sementara itu, dengan menguraikan jumlah pasal-pasal UUD 1945 yang telah diubah, Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa UUD 1945 hasil perubahan merupakan konstitusi baru.3 Perubahan UUD 1945 tidak serta merta dilakukan tanpa adanya alasan
yang kuat. Terdapat kekurangan UUD 1945 sebelum perubahan yang menjadi
alasan dilakukannya perubahan. Dalam buku Panduan Memasyarakatkan UUD
1945 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal MPR, dijelaskan lima alasan
dilakukannya Perubahan UUD 1945 yang pada intinya sebagai berikut:
1
MPR-RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat MPR-RI, Jakarta, 2006, hlm 42.
2
Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
3
“1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada institusi-institusi
ketatanegaraan….;2. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden)….; 3. UUD 1945
mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes”, sehingga dapat menimbulkan
lebih dari satu tafsiran (multitafsir)….; 4. UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang….; 5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia (HAM),
dan otonomi daerah”.4
Terhadap persoalan kedaulatan rakyat, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
sebelum perubahan berbunyi “kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, dalam Perubahan Ketiga berubah menjadi
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”.
Pertanyaannya, apa makna “dilaksanakan menurut UUD”?
Mengenai kekuasaan Presiden yang besar yang mencakup kekuasaan
eksekutif dan legislatif serta persoalan check and balances system, telah dilakukan terhadap pasal-pasal UUD 1945 terkait. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang semula
mengatur bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan
persetujuan DPR”, dalam Perubahan Pertama UUD 1945, ketentuan tersebut
berubah menjadi “Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR”.
4
MPR-RI, Panduan…,op.cit, hlm 6 – 7. Bandingkan dengan Bagir Manan yang mengungkapkan enam kelemahan UUD 1945, yaitu stuktur UUD 1945 yang menempatkan dan memberikan kekuasaan yang besar terhadap pemegang kekuasaan eksekutif; struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances…; terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague)…;
Sementara itu, dalam Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 ditegaskan
bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”. Persoalannya, Pasal 20 ayat
(2) Perubahan Pertama UUD 1945, menentukan bahwa “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama”. Dengan demikian, kekuasaan membentuk
UU tetap berada di tangan DPR dan Presiden. Hal ini tidak menjawab persoalan
besarnya kewenangan Presiden sebagaimana tercermin dalam alasan 2 dan
ke-3 Perubahan UUD 1945 sebagaimana telah diungkapkan di atas. Persoalan
tersebut juga berkaitan dengan sistem pemerintahan, apakah UUD 1945 hasil
perubahan menganut sistem presidensial yang murni atau sistem campuran.5 Selain kedua masalah di atas, persoalan sistem perwakilan juga masih
menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan kedudukan dan wewenang DPD.
Terbatasnya wewenang DPD hanya dalam hal-hal mengajukan usul dan ikut
membahas rancangan UU, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
hanya dalam hal-hal tertentu, juga mencerminkan masalah sistem perwakilan yang
dianut. Walaupun pada awalnya berkembang gagasan sistem perwakilan dua
5
Sebelum Perubahan UUD 1945, Sri Soemantri mengatakan sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran (kombinasi) (Presidensial dan Parlementer - pen). Lihat Sri Soemantri,
Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN,Penerbit Tarsito,Bandung. 1976,
kamar6, namun ketentuan-ketentuan dalam Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 mencerminkan dianutnya sistem 3 badan perwakilan.7
Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 hasil perubahan juga ditanggapi
dengan usulan perubahan kelima. Hal tersebut penah diajukan oleh
anggota-anggota MPR yang merupakan anggota-anggota DPD. Namun demikian, pengajuan usul
perubahan kelima terhadap UUD 1945 tersebut tidak dapat dilanjutkan karena
dukungan anggota MPR yang tidak memenuhi ketentuan perubahan UUD 1945.8 Pada tataran akademis, gagasan perubahan kelima juga berkembang, misalnya
dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang dilakukan oleh Komisi Hukum
Nasional pada tahun 2008. Dalam buku Gagasan Amandeman Kelima UUD 1945
yang merupakan kumpulan tulisan para kontributor seminar tersebut, terdapat
sejumlah gagasan perubahan kelima UUD 1945 yang mencakup masalah-masalah
kekuasaan kehakiman, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan.9
Paparan di atas mencerminkan pertanyaan mendasar, apakah yang
mempengaruhi rangkaian Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan termasuk
gagasan perubahan kelima yang berkembang akhir-akhir ini. Seperti diketahui
6
Salah satu pemikiran dihasilkan oleh sebuah panel yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Habibie di bawah koordinasi Jimly Asshidiqie. Lihat Bagir Manan, DPR, DPD…op.cit, hlm ix
7
Ibid, hlm 5
8
Pada awalnya, usul tersebut juga mendapatkan dukungan dari anggota MPR yang berasal dari DPR. Dukungan konkret pertama sejak ide reformasi konstitusi bergulir diberikan oleh 9 anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR pada 12 Februari 2007. Kemudian disusul oleh 5 anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR pada 25 Februari 2007 dan 11 anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) MPR pada 28 Februari 2007. Hingga tanggal 7 Agustus 2007, jumlah dukungan sebanyak 215 orang8. Dengan demikian, masih dibutuhkan 11 dukungan untuk memenuhi syarat minimal usulan amendeman Pasal 22D UUD 1945 (dukungan minimal 226 orang). Hingga pada tanggal 8 Agustus 2008, dukungan tersebut ditarik kembali oleh sebagian besar anggota DPR yang menyebabkan usul perubahan UUD 1945 tidak dapat diteruskan. Lihat Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Unpad, 2008, hlm 3.
9
bahwa perubahan konstitusi atau UUD tidak hanya disebabkan oleh ketentuan
perubahan yang ada dalam suatu konstitusi, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai
kekuatan politik dan sosial yang dominan pada saat-saat tertentu.10 Kajian mengenai asumsi-asumsi yang mempengaruhi pembentukan atau perubahan
konstitusi yang akan mempengaruhi pelaksanaan konstitusi termasuk dalam ruang
lingkup kajian budaya konstitusi (constitutional culture).11
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini membahas masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan?
2. Bagaimanakah persepsi terhadap Perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan
gagasan perubahan kelima UUD 1945?
10
Bagir Manan, Teori dan….,op.cit, hlm 3. Lihat pula Wheare, K.C., Modern Constitution, Oxford University Press, London, third impression, 1975, hlm 17.
11Cheryl Saunders mengatakan bahwa “
constitututional culture may be defined to include the
assumptions that underlie a constitution and attitudes that affect its operation in practice”. Saunders, Cheryl, “A Constitutional Culture in Tradition”, dalam Wyrzykowski, Miroslow (ed),
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstitusi dan Konstitusionalisme
K.C. Wheare memaknai konstitusi dalam dua arti, yaitu konstitusi dalam
arti sempit (in narrower sense) dan dalam arti luas (in wider sense).1 Konstitusi dalam arti sempit, tidak hanya merupakan kumpulan aturan-aturan (a collection of rules), tertulis atau tidak tertulis (legal or extra legal), tetapi merupakan sebuah kumpulan dari aturan-aturan terpilih yang biasanya dilembagakan dalam satu
dokumen atau beberapa dokumen.2 Jadi, konstitusi dalam arti sempit menurut Wheare adalah “a selection of the legal rules which govern the government of the
country and which have been embodied in a document‖.3
Sementara itu, Wheare
mengartikan konstitusi dalam arti luas dikaitkan dengan pendapat Bolingbroke
yang mengatakan bahwa
“by constitution, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage law, institutions and customs, derived from certain fixed
principles of reason….that compose the general system, according to which
the community hath agreed to be governed‖4
Dalam arti luas, konstitusi merupakan hukum yang dibuat badan
perwakilan, lembaga-lembaga (negara), kebiasan-kebiasaan yang merupakan
turunan dari prinsip-prinsip yang beralasan yang menciptakan sistem secara
umum di mana berdasarkan hal tersebut masyarakat diperintah. Dengan
1
K.C. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 2.
demikian, konstitusi dalam arti sempit menurut Wheare merupakan konstitusi
yang terdokumentasi, khususnya yang dilembagakan dalam sebuah dokumen.
Beberapa pengertian konstitusi dalam arti sempit juga dapat dilihat dari
pendapat James Bryce dan C.F. Strong. James Bryce, sebagaimana dikutip oleh
C.F. Strong, mengatakan bahwa konstitusi adalah “ a frame of political society,
organized through and by law, that is to say one in which law has established
permanent institution with recognized function and definite rights‖.5
Pendapat
Bryce tersebut lebih menekankan pada pengaturan lembaga-lembaga (negara)
tetap dengan fungsi dan hak-hak tertentu. Lebih luas dari pendapat di atas, C.F.
Strong mengatakan bahwa konstitusi adalah “a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relation
between the two are adjusted‖.6
Selain mengenai kekuasaan pemerintah,
konstitusi menurut Strong juga mencakup prinsip-prinsip yang mengatur hak-hak
yang diperintah (rakyat) dan hubungan antara pemerintah dan rakyat. Kedua
pendapat tersebut saling melengkapi, namun pendapat Strong lebih lengkap
dibandingkan Bryce untuk menggambarkan pengertian konstitusi.
Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau
paham konstitusionalisme, walaupun pada awalnya istilah konstitusi merupakan
istilah “netral” yang berkembang dalam tradisi kekaisaran Romawi untuk
menyebut produk legislasi yang ditetapkan kaisar.7
5
James Bryce dalam C.F. Strong, Modern Political Constitution, ELBS and Sidgwick and Jacson
Ltd, London, 1966, hlm. 11.
6
Ibid. 7
Secara historis, konstitusionalisme mulai berkembang pada abad ke-17
dan abad ke-18 sebagai misi politik yang hendak dicapai oleh konstitusi tertulis
negara bangsa (nation state). Tujuan mendasar konstitusi pada masa itu adalah untuk membuat monarch (raja) tunduk pada hukum, yaitu dengan cara membentuk “pemerintah berdasarkan hukum” bukan berdasarkan “orang”.8
Dalam konteks tersebut sangat tepat pendapat Wheare yang mengatakan bahwa
konstitusi adalah an instrument by which government can be controlled9
(instrument untuk mengawasi pemerintah). Konstitusi berkembang dari ide
pemerintahan yang terbatas (spring from belief in limited government).10 Strong juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa tujuan dari konstitusi adalah to limit the arbitrary action of the government (untuk membatasi dari tindakan pemerintahan yang sewenang-wenang, to guarantee the rights of the governed
(untuk menjamin hak-hak yang diperintah), dan to define the operation of the sovereign power (untuk menentukan batas-batas pelaksananaan kekuasaan yang berdaulat).11 Dalam konteks pembatasan kekuasaan, suatu konstitusi memuat aturan-aturan ketatanegaraan yang bersifat mendasar (hal-hal pokok). Seperti
teknis untuk menyebut “the acts of legislation by the Emperor”. Begitu juga di Inggris “Constitutions of Clarendon 1164” disebut oleh Henry II sebagai “constitutions”, “aviatae
constitutions or leges, a recarditio vel recognition, yang menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Lihat Jimly Asshiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, Konpress, Jakarta, 2005,hlm. 2 - 3. 8
Anne Peters & Klaus Armingeon, “Introduction—Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective”, Indiana Journal of Global Legal Studies 16:2, Indiana University Maurer School of Law, Bloomington, 2009, hlm. 388.
9
K.C. Wheare, op.cit., hlm. 7.
10Ibid. 11
dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa pada umumnya konstitusi terdiri tiga hal
pokok yaitu:12
1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi dan warga negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.
Namun demikian, konstitusionalisme bukan merupakan konsep statis,
melainkan bersifat dinamis yang berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat. Mark Tushnet berpendapat bahwa konsep awal konstitusionalisme
berhubungan dengan konsep liberlisme klasik di mana perhatian utamanya adalah
memastikan kekuasaan pemerintah tidak disalahgunakan,13 yang salah satunya menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik. Namun demikian, pada abad
ke-20 terjadi transformasi makna konstitusionalisme yang tidak hanya
menekankan pada jaminan hak-hak sipil dan politik agar melainkan juga hak-hak
ekonomi, sosial, budaya.14
Gagasan konstitusionalisme menurut Carl J. Friedrich adalah:
“Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk
12
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Edisi Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 2006, hlm. 60.
13
Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann & Reinhard
Zimmermann, (ed), The Oxford Handbook of Comparative Law, Oxford University Press, London,
2008, hlm. 1231. 14
pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah15”
Terkait pendapat di atas, tepat yang katakan Mark Tushnet bahwa
konstitusionalisme adalah sebuah a threshold concept (konsep yang memiliki ambang batas/ ukuran minimum).16 Artinya, ada syarat-syarat minimal tertentu yang harus dipenuhi, agar kekuasaan pemerintah dapat dibatasi. Namun demikian,
secara subtansi akan banyak cara bagaimana syarat-syarat tersebut dipenuhi dalam
rincian kelembagaan (suatu negara).17 Artinya, penerapan syarat atau prinsip minimal konstitusionalisme akan berbeda-beda untuk tiap-tiap negara. Hal ini
terkait dengan hakekat dari “isi” konstitusionalisme sebagai suatu kesepakatan
atau konsensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula kekuasaan negara yang bersangkutan, dan
pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.18
Dalam konteks di atas, dapat diambil benang merah, bahwa konstitusi
tidak sama dengan konstitusionalisme.19 Suatu negara yang memiliki konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme, tetapi “constitutionalism
asks for a legitimate constitution” (konstitusionalisme menginginkan sebuah
15 Miriam Budiarjo,
Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm. 57.
16
Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann & Reinhard
Zimmermann, op.cit., hlm. 1230. 17
Ibid. 18
Jimly Asshiddiqe, Konstitusi…, op.cit., hlm.25. 19
konstitusi yang terlegitimasi).20 Legitimasi tersebut tentu saja terkait dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian dari proses
demokrasi.21 Dalam konteks tersebut maka konsep konsep konstitusionalisme dalam perkembangannya lebih mencerminkan konsep konstitusionalisme
demokratis (democratic constitusionalism) di mana ketidaksepahaman atau perbedaan pandangan dianggap sebagai “a normal condition‖ untuk
pengembangan hukum ketatanegaraan.22
Dalam konteks pembentukan konstitusi suatu negara, Wheare mengatakan
bahwa alasan pembentukan konstitusi-konstitusi modern adalah to make a fresh start.23 Wheare mencontohkan alasan to make a fresh start tersebut dalam 4 hal24, yaitu karena komunitas-komunitas yang hidup berdampingan akan bersatu dalam
satu pemerintahan yang baru (misalnya Amerika Serikat), atau karena
komunitas-komunitas tertentu telah lepas dari ikatan kerajaan tertentu sebagai hasil dari
20
Anne Peters & Klaus Armingeon, op.cit., hlm. 388. 21
Helen Fenwick, Gavin Phillipson mengamati terdapat 2 tujuan konstitusi yang berkembang dari sejumlah pemikiran, yaitu untuk membatasi kekuasaan, dan untuk memastikan bahwa kekuasaan yang didapat berasal dari sumber yang sah (legitimate). Dengan kata lain, tujuan pertama menekankan pada cara penggunaan kekuasaan, dan tujuan kedua menekankan legitimasi sumber kekuasaan. Tujuan pertama, terkait dengan hakekat negara berdasarkan atas hukum (Rule of Law), dan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sementara yang kedua berkaitaan dengan konsep legitimasi demokratis (democratic legitimacy). Selanjutnya, Helen Fenwick dan Gavin Phillipson mengamati sejumlah pemikiran yang memandang adanya pertentangan (tension) antara konsep negara berdasarkan atas hukum dan demokrasi. Lihat Helen Fenwick, Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials On Public Law & Human Rights, Second Edition, Cavendish Publishing Limited, London, 2003, hlm. 1. Pandangan tersebut tidak menganggap negara berdasarkan hukum dan demokrasi sebagai konsep yang saling terhubung dalam paham konstitusionalisme yang telah berkembang. Namun demikian, kedua hal tersebut merupakan suatu kontinum di mana paham konstitusionalisme pada awalnya menginginkan pemerintahan yang terbatas, dan selanjutnya juga mensyaratkan bahwa norma-norma konstitusi harus mencerminkan kehendak rakyat melalui proses demokrasi.
22 Robert Post and Reva Siegel, “Roe Rage: Democratic Constitutionalism and Backlash”, Research
Paper No. 131, Yale Law School, hlm. 2. http://papers.ssrn.com/abstract=990968, diunduh pada 14 November 2009.
23Ibid.
hlm 6
adanya perang (misalnya Austria, Hongaria, Cekoslovakia setelah 1918), atau
karena sebuah revolusi telah berhasil meruntuhkan kekuasaan lama dan sebuah
pemerintahan baru dibentuk atas dasar prinsip-prinsip baru (misalnya pada masa
Revolusi Perancis); atau karena peperangan telah menyebabkan tidak berjalannya
pemerintahan sehingga dibutuhkan permulaan yang lebih baik setelah perang
(misalnya di Jerman setelah 1918). Dengan demikian, pembentukan konstitusi
didasari atas alasan-alasan yang unik bagi setiap negara.
Jika dikaitkan dengan perkembangan paham konstitusionalisme, “fresh
start‖ yang dimaksudkan oleh Wheare, sebagai alasan pembentukan suatu konstitusi mencerminkan penyesuaian atau bahkan penolakan terhadap gagasan
konstitusionalisme yang ada dalam konstitusi sebelumnya (atau konsitusi induk
dalam kasus Amerika Serikat), disesuaikan dengan gagasan konstitusionalisme
baru yang tercermin dalam konstitusi yang dibentuk kemudian.
Namun demikian, ada kalanya pertentangan antara ketentuan normatif
dalam konstitusi dan kehendak rakyat atas suatu tatanan negara yang lebih baik,
tidak selalu diikuti dengan pembentukan konstitusi baru. Kondisi yang juga
mungkin terjadi adalah tuntutan melakukan perubahan konstitusi. Hal tersebut
merupakan suatu fenomena yang wajar, terkait dengan adanya perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat yang sebelumnya tidak terprediksi atau
ketidaksempurnaan konstitusi sebagai produk manusia. Seperti dikatakan oleh Sri
Soemantri bahwa, generasi yang hidup sekarang tidak dapat mengikat generasi
yang akan datang.25 Sementara itu terkait dengan ketidaksempurnaan konstitusi,
25
Bagir Manan mengutip pendapat Morris (salah seorang the framers of constitution
Amerika Serikat), yang menyadari ketidaksempurnaan konstitusi Amerika Serikat
dan menyerahkan kepada generasi berikutnya melalui prosedur “amandement”.26
Dari pembahasan di atas, dapat diambil benang merah bahwa perubahan
mendasar gagasan konstitusionalisme di suatu negara selalu berujung pada
penggantian atau perubahan norma-norma konstitusional yang tercermin dalam
konstitusi. Tidak ada yang dapat memastikan apakah perubahan pandangan
konstitusionalisme di suatu negara berujung pada penggantian atau perubahan
konstitusi secara parsial. Seperti dikatakan oleh Wheare bahwa a constitution is indeed the resultant of a parallelogram of forces – political, economic, and social
– which operate at the time its adoption (suatu konstitusi adalah hasil dari
pergulatan kekuatan-kekuatan baik politik, ekonomi, dan sosial, ketika konsitusi
tersebut ditetapkan).27 Perubahan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik atau sosial
yang mempengaruhi konstitusi akan menentukan bagaimana isi dari konstitusi,
apakah berbeda sepenuhnya dengan konstitusi sebelumnya, atau hanya mengubah
norma-norma tertentu.
B. Budaya Konstitusi
Pembahasan di atas mencerminkan bahwa konstitusi dan
konsitusionalisme tidak hanya dapat dipahami oleh sudut pandang hukum semata,
oleh karena paham konsititusionalisme yang tercermin dalam konstitusi
merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang berkembang di masyarakat pada masa
26
Bagir Manan, Teori dan….,op.cit, hlm 1 – 2. 27
tertentu. Hal ini juga ditegaskan oleh Gagik Harutyunian, bahwa “….the Constitution and constitutionalism may not be viewed only from the narrow legalistic perspective, in the context of pragmatic legal relations or abstract notions”.28 Harutyunian menekan bahwa konstitusi dan konstitusionalisme adalah fenomena budaya (cultural phenomena), yang telah berakar dalam interdependent value systems (sistem nilai yang saling bergantung sama lain), yang menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas, dan merupakan persepsi masyarakat yang
komprehensif dan tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance) . 29 Dalam konteks tersebut, Harutyunan menekankan pada budaya konstitusi
(constitutional culture) dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang dipilih.30 Hal yang sama juga dikatakan oleh Peter Häberle, bahwa:
―Constitution is not limited to just being a set of legal texts or a mere collection of laws, but that it expresses a certain degree of cultural
development, a means of an entire people’s personal selfrepresentation,a
mirror of their cultural legacy and the bedrock of their hopes and
desires.‖31
Dalam konteks di atas, tepat yang dikatakan oleh Mark Tusnet bahwa
writing a constitution….is an exercise reflection and choice.32
Refleksi mencakup
It is in this framework of complementarity that constitutional culture in its turn determines the choice of the model of constitutional democracy and the strategy thereof”. Ibid.
31 Antonio María Hernández, Daniel Zovatto, Manuel Mora Y Araujo,
Survey on Constitutional Culture Argentina: An Anomic Society, Universidad Nacional Autónoma de México - Asociacion Argentina De Derecho Constitucional - IDEA International, 2006, hlm. 9 - 10.
32
Pendapat Mark Tushnet tersebut diilhami dari pandangan Alexander Hamilton dalam The
budaya konstitusi yang berkembang di kalangan elit dan masyarakat yang
kemudian menentukan pilihan-pilihan model yang sesuai dengan budaya
konstitusi tersebut.
Sebagai fenomena multidemensi, budaya konstitusi merupakan objek
kajian dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu politik dan ilmu hukum. Dalam
ilmu politik, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian dari budaya politik dan
budaya warga (political and civic culture), menyangkut perilaku-perilaku konstitusional tertentu.33 Sementara itu dalam kajian ilmu hukum, budaya konstitusi dianggap sebagai bagian dari budaya hukum secara umum. Misalnya,
Francis Snyder yang mengatakan bahwa budaya konstitusi merupakan bagian dari
budaya hukum secara umum (the general legal culture).34 Ketika Lawrence M. Friedman memberikan definisi budaya hukum pada tahun 1963, Snyder
menganggapnya sebagai definisi terbaik tentang budaya hukum.35 Menurut Friedman, budaya hukum adalah the values and attitudes which bind the system together, and which determine the place of the legal system in the culture of the society as a whole (nilai-nilai dan perilaku yang mengikat suatu sistem secara
perencanaan kelembagaan negara lebih ditentukan oleh “reflection and choice‖ dari pada “accident and force‖. Mark Tushnet, “Comparative Constitutional Law”, dalam Mathias Reimann & Reinhard Zimmermann, op.cit., hlm 1226.
33
Nikolay Wenzel menyebut beberapa ahli ilmu politik seperti, Almond and Verba (1965); Putnam (1978 dan 1993), Sartori (1965), atau Franklin dan Baum (1995), yang pada intinya mengidentifikasi budaya konstitusi sebagai “an element of political and civic culture dealing specifically with constitutional attitudes”. Lihat Nikolay Wenzel, “Ideology, Constitutional Culture And Institutional Change: The EU Constitution as Reflection Of Europe’s Emergent Postmodernism”. Romanian Economic and Business Review – Vol. 2, No. 3, hlm. 24.
34
Francis Snyder sebagaimana dikutip dari Gagik Harutyunian, op.cit., hlm. 19.
bersamaan, yang menentukan letak sistem hukum dalam budaya masyarakat
sebagai satu kesatuan).36
Gagik Harutyunian mengikuti Snyder mengembangkan batasan
constitutional culture:
―…as a historically formed sustainable value system of convictions, perceptions, and legal awareness, enriched by the experience of generations, that constitutes the basis for the social community in the process of establishing and guaranteeing, through public accord, of the fundamental rules of democratic and lawful behaviour‖.37
Menurut Gagik Harutyunian, faktor-faktor yang menentukan constitutional culture yaitu:
1. trends in the development of the society and the degree of social validation of man;
2. the nature of relations between an individual and the society; value system priorities of the social community;
3. the level of development of production relations; the level of social protection of an individual;
4. the level of legal and philosophical perception of social phenomena and patterns;
5. the level of political culture and legal awareness within the society; the existence of socio-economic prerequisites for the establishment of social accord;
6. the ideological orientation of state authorities and the level of their understanding of the responsibility for the society’s future;
7. the nature of impact of universal values and the degree and possibility of harmonization thereof with the qualities of national identity;
8. the nature of impact by exogenous and endogenous factors on systemic stability, etc.38
attitudes that affect its operation in practice‖39
(budaya konstitusi adalah
asumsi-asumsi (pemikiran) yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku yang
mempengaruhi pelaksanan konstitusi tersebut dalam praktek). Budaya konstitusi
merupakan hasil dari pengalaman sejarah, pemikiran filsafat yang dominan, dan
keadaan sosial ekonomi.40 Selanjutnya, Saunders menekankan pada faktor kompleksitas budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu
ditransplantasi dari suatu negara ke jurisdiksi negara lainnya.41 Konsep budaya konstitusi demikian, digunakan untuk menganalisis model konstitusional dalam
Konstitusi Australia yang dipengaruhi budaya konstitusi Inggris dan Amerika
Serikat, namun mengatasi perbedaan sistem tersebut, maka Australia juga
mengadopsi sistem ketatanegaraan Swiss dalam hal referendum.42
Sementara itu, Nikolay Wenzel memberikan pengertian budaya konstitusi
sebagai sebuah tipe ideologi tertentu sebagai suatu perilaku mengenai pembatasan
konstitusional dan konstitusionalisme, yang di dalamnya mencakup
ungkapan-ungkapan yang implisit atau eksplisit, dinyatakan atau tidak dinyatakan, secara
sadar atau tidak sepenuhnya sadar, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan
norma-norma dari suatu kumpulan tentang hakekat, ruang lingkup dan dan fungsi
pembatasan konstitusional.43
Dalam sebuah laporan survey mengenai budaya konstitusi Argentina,
Antonio María Hernández dkk dengan mengutip pendapat ahli-ahli hukum
mendefinisikan budaya konstitusi sebagai:
39Saunders, Cheryl, “A Constitutional Culture in Tradition”, loc.cit,
hlm 37.
40
Ibid.
41Ibid.
42
Ibid., hlm. 38.
43
―the sum of attitudes and ideas, subjective experiences, scales of values, subjective expectations and the corresponding objective actions both at the personal level of a citizen and his associations, as well as at the level of
government entities and any other institution related to the Constitution.‖44
Dengan pengertian di atas, Antonio María Hernández dkk melakukan
penelitian kuantitatif untuk mengetahui budaya konstitusi yang berkembang di
masyarakat Argentina. Penelitian tersebut lebih bersifat ex-poste, dengan menangkap persepsi masyarakat Argentina terhadap konstitusi dan
pelaksanaannya.45 Dengan persepsi tersebut, Antonio María Hernández dkk mengajukan beberapa rekomendasi untuk memastikan lembaga-lembaga negara
berfungsi dengan baik berdasarkan negara berdasarkan hukum yang konstitusional
dan demokrastis.46
Sementara itu, Jason Mazzone dalam tulisannya mengenai pembentukan
budaya konstitusi di Amerika Serikat mengatakan bahwa constitutional culture (budaya konstitusi):
― …the disposition of regular citizens to recognize and accept that they are governed by a written document, one that creates institutions of government and sets limits on what the government may do; the accepted belief that the governing charter is created by the citizenry; the knowledge that the charter is not timeless, but rather that the citizens may change it or revoke it under certain circumstances; and the understanding that until the charter is changed we are bound by it and required to go along with its ultimate results even though we are free to disagree with them‖47
44 Antonio María Hernández, Daniel Zovatto, Manuel Mora Y Araujo,
op.cit., hlm. 10. 45 Seperti dikatakan oleh Antonio María Hernández dkk, bahwa: “
this survey is targeted at finding
out citize ns’ attitudes, perceptions and values regarding the fundamental law and legality in general, to determine what our culture of the constitution is like”. Ibid.
46
Ibid., hlm. 48, dst.
47 Jason Mazzone, “The Creation of a Constitutional Culture”,
Berdasarkan definisi di atas, Mazzone lebih menekankan pada keterlibatan
masyarakat dalam pembentukan konstitusi. Bahkan dalam konteks pembentukan
budaya konstitusi di Amerika Serikat, Mazzone menganggap keterlibatan
organisasi masyarakat adalah hal yang paling penting.48 Mazzone membahas perkembangan jumlah organisasi masyarakat yang pada masa perang
kemerdekaan sangat jarang, namun terus bertambah setelah Amerika Serikat
merdeka pada tahun 1776.49 Pendapat Mazzone mengenai pentingnya organisasi masyarakat dalam pembentukan budaya konstitusi, didasari pada anggapan bahwa
para perumus Konstitusi Amerika Serikat belajar dan mengembangkan nilai-nilai
konstitusional dari para warga negara Amerika Serikat.
Dari beberapa pengertian budaya konstitusi di atas, terlihat bahwa
pengertian budaya konstitusi yang dikembangkan bergantung pada cakupan kajian
yang dilakukan. Pengertian budaya konstitusi yang luas menurut Harutyinian
dikaitkan dengan kedudukan budaya konstitusi sebagai bagian dari budaya hukum
seperti yang ditegaskan oleh Friedman yang menganggap budaya hukum sebagai
komponen dari sistem hukum. Pengertian yang demikian digunakan oleh
Harutyinian untuk membahas budaya konstitusi Armenia dikaitkan dengan
perkembangan budaya konstitusi di Eropa, dimana keduanya merupakan sistem
yang tidak dapat dipisahkan. Pengertian budaya konstitusi yang luas juga terlihat
dari pendapat Wenzel, dengan penekan bahwa budaya konstiusi merupakan salah
48
Ibid.
49 Seperti dikatakan oleh Mazzone bahwa “
satu tipe ideologi tertentu. Dengan pengertian tersebut, Wenzel membahas
perkembangan budaya konstitusi di Uni Eropa yang menurutnya sangat erat
dengan diskursus filsafat posmodernisme yang menekankan pada proses negosiasi
berkelanjutan dari berbagai kompromi makna dan nilai-nilai yang
direpresentasikan dalam tatanan masyarakat dalam berbagai derajat.50
Sementara itu, pendapat Saunders lebih menekankan pada konstitusi
dalam arti dokumen hukum sebagai pokok bahasan utama budaya konstitusi
dalam tulisannya. Dengan pengertian tersebut, Saunders menekankan pada
masalah transplantasi sistem ketatanegaraan negara tertentu ke negara lain.
Dengan demikian, Saunders mencoba menggambarkan bahwa sistem
ketatanegaraan tertentu yang dilembagakan dalam suatu konstitusi didasari pada
budaya konstitusi negara tersebut, sehingga transplantasi sistem tersebut ke negara
lain, dapat menimbulkan persoalan kultural terkait dengan pelaksanaan konstitusi
di negara lain yang mengadopsi sistem ketatanegaraan tersebut.
Sementara itu, pengertian dan cakupan budaya konstitusi dari Mazzone
lebih menekankan pentingnya keterlibatan organisasi masyarakat dalam
pembentukan budaya konstitusi. Mazzone melihat bahwa sejarah pembentukan
Konstitusi Amerika Serikat didasari oleh budaya konstitusi yang dikembangkan
oleh organisasi – organisasi masyarakat yang ada pada masa itu.
Terlepas dari perbedaan penekanan definisi budaya konstitusi dari
pendapat-pendapat di atas, namun terdapat benang merah pengertian budaya
konstitusi. Pertama, budaya konstitusi beranjak dari pemikiran bahwa konstitusi
50 Nikolay Wenzel, “Ideology…,
bukan hanya merupakan fenomena yuridis tetapi juga fenomena kultural. Kedua,
budaya tersebut mencakup asumsi-asumsi, persepsi-persepsi berupa pemikiran
atau harapan (dalam bentuk yang beragam) terhadap pembatasan konstitusional
yang terlembagakan dalam suatu konstitusi. Ketiga, budaya konstitusi yang
berkembang juga akan mempengaruhi pelaksanaan suatu konstitusi dalam
praktek. Keempat, oleh karena budaya konstitusi dibentuk berdasarkan sejarah,
keyakinan, dan filosofi masyarakat tertentu, maka transplantasi model konstitusi
suatu negara ke negara lain sangat mungkin menimbulkan masalah yang
kompleks.
Hal-hal di atas mencerminkan pentingnya budaya konstitusi bagi suatu
negara. Kegagalan mengidentifikasi budaya konstitusi yang berkembang akan
berakibat pada penerimaan masyarakat pada nilai-nilai konstitusional yang
diharapkan dari suatu konstitusi. Seperti dikatakan oleh Wenzel51
bahwa konstitusi
secara formal harus sesuai dengan budaya konstitusi yang mendasarinya, jika
keduanya tidak sesuai (mismatched), akan terjadi kompromi. Jika keduanya tidak sesuai secara mendasar (radically), maka akan terjadi penolakan secara informal terhadap konstitusi formal. Wenzel menekankan penting peran perumus konsitusi
dalam mempertimbangkan budaya konstisusi dalam pembentukan konsitusi.
Begitu pula ketika konstitusi dilaksanakan, dan budaya konstitusi yang mendasari
suatu konstitusi tidak dipahami dengan baik, maka akan terjadi kesalahan
pemahaman terhadap isi konstitusi. Seperti dikatakan oleh Mazzone bahwa
51
Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, “Creating Constitutional Culture: A Mechanism for Establishing a New Free Society and Constitutional Government”, 2008, hlm. 2.
the failure to appreciate the creation of a constitutional culture is a serious oversight… if a constitution was going to last and thrive, it was crucial to have in place a constitutional culture—otherwise, the principles and institutions of constitutional government would be little more than words on paper.52
(kegagalan memahami pembentukan budaya konstitusi adalah sebuah kesalahan serius… Ketika konstitusi sudah diterapkan maka menjadi penting untuk menempatkan budaya konstitusi dalam menjalankan konstitusi – jika tidak, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga dalam pemerintahan konstitusiona tidak lebih sekedar di atas kertas).
Walaupun dua pandangan di atas menekankan pentingnya budaya
konstitusi, namun terdapat perbedaan sudut pandang. Wenzel melihat budaya
konstitusi sebagai pra kondisi sebagai dasar pembentukan konstitusi, sementara
Mazzone lebih melihat pelaksanaan konstitusi harus didasari pada budaya
konstitusi yang mendasari pembentukan konstitusi. Menurut Tim peneliti,
kedua-duanya merupakan hal penting dalam pencapaian ide konstitusionalisme yang
diinginkan. Mengutamakan budaya konstitusi yang mendasari pembentukan
konstitusi namun mengabaikan perkembangan budaya konsitusi di kemudian hari
atau sebaliknya, justru mengabaikan ide konstitusionalisme yang terus
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal ini disebabkan kaitan
antara budaya konstitusi dengan konstitusi yang bersifat dialogis. Seperti
dikatakan oleh James Tully, bahwa ―Constitutions are not fixed and unchangeable agreements reached at some foundational moment, but chains of continual intercultural negotiations…..53 (konstitusi bukanlah kesepakatan yang
52
Jason Mazzone, op.cit., hlm. 672. 53
tetap dan tidak dapat diubah yang didasari oleh momen pembentukan tertentu,
tetapi merupakan rantai negosiasi antar budaya yang berkelanjutan..).
Kaitan antara konstitusi dan budaya konstitusi di atas juga menjadi relevan
ketika model konstitusi suatu negara merupakan transplantasi dari sistem
ketatanegaraan lainnya. Transplantasi sistem ketatanegaraan merupakan hal yang
tidak terhindarkan dalam pembentukan atau perubahan konstitusi. Bahkan
Amerika Serikat yang sistem ketatanegaraannya berbeda dengan Inggris, namun
konstitusinya, dalam hal-hal tertentu, berawal dari ide sistem ketatanegaraan
Inggris.54 Namun demikian, seperti dikatakan oleh Saunders sebelumnya, bahwa persoalan budaya merupakan hal yang kompleks jika dikaitkan dengan
transplantasi sistem ketatanegaraan55, bahkan bagi negara-negara yang memiliki kesamaan tradisi sistem hukum dan secara perkembangan ekonomi, dan
harapan-harapan sosial dan politik yang sama.56 Dalam konteks tersebut, maka transplantasi sistem ketatanegaraan dari suatu negara, terutama negara-negara
yang model konstitusinya menjadi model universal, harus didasari pada budaya
konstitusi yang berkembang, agar terjadi keharmonisan antara budaya konstitusi
54
Misalnya, mekanisme pemilihan Presiden diusulkan untuk dipilih oleh Kongres atau suatu Majelis Nasional seperti mekanisme pemilihan Perdana Menteri dan kabinet oleh Parlemen menurut sistem Inggris. Namun demikian, dalam perkembangan perumusan konstitusinya, terdapat kekhawatiran bahwa eksekutif menjadi lemah. Namun demikian, usulan pemilihan presiden oleh pemilih secara langsung gagal disepakati (usul dari Morris), hingga akhirnya disepakati presiden dipilih oleh electoral college. Lihat Robert A. Dahl, “At The Convention: he Paucity of Models”, dalam Lipjhart, Arend (ed), Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, New York, 1992, hlm. 63 – 64.
55 Cheryl Saunders,
op.cit., hlm. 38. 56
nasional dengan budaya konstitusi yang mendasari konstitusi negara lain yang
diadopsi.57
Proses transplantasi sistem ketatanegaraan yang dilembagakan dalam
konstitusi dalam kaitannya dengan budaya konstitusi juga sangat ditentukan oleh
peran perumus konstitusi. Seperti dikatakan oleh Wenzel bahwa:
―[t]he wise constitutional framer will thus choose a second-best constitution that will stick, over an ideal constitution that will fail. The wise
constitutional framer will understand and respect constitutional culture‖58 (Perumus konstitusi yang bijak akan memilih konstitusi yang terbaik kedua (realistis) yang dapat dilaksanakan, dari pada konstitusi ideal yang akan gagal dilaksanakan. Perumus konstitusi yang bijak akan memahami dan menghormati budaya konstitusi).
Dalam hal transplantasi sistem ketatanegaraan, dapat saja perumus
konstitusi mengidealkan konstitusi negara tertentu. Namun demikian, hal tersebut
dapat pula berakibat pada kegagalan atau kekurangan pelaksanaan konstitusi jika
tidak mempertimbangkan budaya konstusi yang berkembang. Dengan demikian,
transplantasi sistem ketatanegaraan yang dilakukan oleh para perumus konsitusi
harus secara tepat mempertimbangkan antara model konstitusional ideal dengan
budaya masyarakat yang berkembang secara cerminan kebutuhan lokal secara
politik di suatu negara.
57 Seperti dikatakan oleh Harityunian, bahwa “
the notion of “democraticconstitutional culture” characteristic of democratic social systems where national and universal cultural features are in harmony”. Gagik Harutyunian, loc.cit., hlm. 22.
58
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan.
2. Mengetahui persepsi terhadap Perubahan UUD 1945 dan kaitannya
dengan gagasan perubahan kelima UUD 1945.
B. Manfaat
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
Hukum Tata Negara, khususnya Hukum Konstitusi mengenai budaya konstitusi,
perubahan konstitusi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara praktis,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kuliah pada mata kuliah
Hukum Konstitusi serta mata kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara. Selain
itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dasar bagi
BAB IV
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan yuridis –
historis. Dalam analisa penelitan ini, pendekatan yuridis historis lebih
didahulukan untuk mengetahui konteks perubahan UUD 1945 dan
pandangan-pandangan yang melatarbelakangi rumusan-rumusan pasal UUD 1945 hasil
perubahan. Sementara itu, pendekatan yurudis normative digunakan dalam hal
menganalisis keterkaitan antar pasal atau ayat dalam UUD 1945 hasil perubahan.
Sifat atau spesifikasi penelitian deskriptif analitis, digunakan untuk
menggambarkan budaya konstitusi dalam UUD 1945 hasil perubahan berdasarkan
pendekatan yuridis – historis yang menggambarkan asumsi-asumsi yang
mendasari perubahan UUD 1945. Selanjutnya digambarkan pula, keterkaitan antar
pasal atau ayat dari UUD 1945 hasil perubahan dihubungkan dengan budaya
konstitusi yang mendasarinya, serta respon dari berbagai pihak yang pada
akhirnya melahirkan gagasan perubahan kelima terhadap UUD 1945.
B. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data berupa bahan hukum primer dan
sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer meliputi: UUD 1945
(sebelum dan sesudah perubahan) dan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait. Bahan hukum sekunder meliputi: hasil karya ilmiah para ahli; buku-buku
budaya konstitusi, risalah persidangan MPR mengenai perubahan UUD 1945 yang
digambarkan, terutama dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945
terbitan MK; berita dan artikel dari surat kabar dan majalah; serta bahan-bahan
dari situs internet yang relevan dengan judul penelitian. Bahan hukum tersier
berupa kamus, ensiklopedi, untuk mendapatkan penjelasan dari bahan hukum
primer dan sekunder.
C. Analisis Data
Penelitian menggunakan analisis data secara yuridis kualitatif, yaitu
dengan menggunakan teori hukum (khususnya hukum konstitusi), asas-asas
hukum serta hukum positif, dikaitkan dengan pendapat-pendapat pakar dan pihak
terkait, tanpa menggunakan pendekatan statistik. Data-data historis terutama dari
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, dikaitkan dengan
ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang berubah secara keseluruhan. Dari analisis
tersebut diharapkan dapat diidentifikasi budaya konstitusi dalam UUD 1945
perubahan. Sementara analisis terhadap munculnya gagasan perubahan kelima
terhadap UUD 1945 didasarkan pada respon berbagai pihak dari berbagai usulan
gagasan perubahan kelima tersebut. Dari hal tersebut diharapkan dapat diketahui
budaya konstitusi yang mempengaruhi munculnya gagasan tersebut. Secara
umum, analisis yang dilakukan ditujukan untuk melihat keterkaitan antara budaya
konstitusi yang mendasari perubahan UUD 1945 dengan gagasan perubahan
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Proses Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 tidak terlepas dari gerakan reformasi 1998 yang
menuntut reformasi di segala bidang. Seperti diketahui bersama, reformasi 1998
didorong oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, di mana nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menurun sangat drastis.1 Dalam perkembangannya krisis moneter yang telah membuat harga-harga melambung
berkembang menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya mendatangkan krisis sosial
karena jumlah orang miskin membengkak dan pendapatan perkapita menurun
drastis.2 Di saat krisis multidimensional tersebut terjadi, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden pada bulan Maret 1998 diikuti dengan pembentukan Kabinet
Pembangunan VII. Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang
kelima kalinya, ditanggapi oleh berbagai demonstrasi yang dipelopori mahasiswa
dengan tuntutan agar Soharto turun.3 Setelah perjuangan mahasiswa yang disertai beberapa insiden penembakan mahasiswa, perdebatan antara MPR dan ABRI,
serta ketidakberhasilan Soeharto untuk melakukan reshuffle kabinet karena penolakan 14 menteri bidang Ekuin, Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21
1
Nilai rupiah terhadap dollar merosot dari Rp. 2.400,00 ke Rp. 16.000,00 per US$ per Januari 1998. Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002, Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 48.
2 Ibid. 3
Mei 1998, dan digantikan oleh B.J. Habibie.4 Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998, adalah perubahan UUD 1945, selain pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), pencabutan Dwi Fungsi ABRI, penegakan hukum,
penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, penegakan kebebasan pers,
dan pemberian hak otonomi kepada daerah-daerah.5 Pertanyaan lebih lanjut, mengapa tuntutan reformasi juga mencakup tuntutan perubahan UUD 1945?
Sri Soemantri berpendapat bahwa alasan utama tuntutan perubahan UUD
1945 karena UUD 1945 memberi pihak eksekutif, yaitu Presiden Republik
Indonesia sangat kuat karena dapat mengendalikan suprastruktur dan infrastruktur
politik.6 Bahkan lebih secara tegas Sri Soemantri menganggap UUD 1945 bersifat
executive heavy.7 Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD yang melihat alasan tuntutan perubahan UUD 1945 oleh gerakan reformasi
1998 karena UUD 1945 selalu melahirkan pemerintahan yang berwatak otoriter.8 Dari dua pendapat di atas, terlihat benang merah alasan diusulkannya perubahan
UUD 1945 oleh gerakan reformasi 1998, di mana tuntutan turunnya Soeharto
terkait dengan kuatnya kekuasaan eksekutif yang diberikan oleh UUD 1945,
sehingga untuk mencegah munculnya kembali pemerintahan yang otoriter, perlu
dilakukan pembatasan melalui perubahan UUD 1945.
4
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 53 – 54. 5
Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif…, Buku I, op.cit., hlm. 49. Bandingkan dengan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2006, hlm. 3.
6Sri Soemantri, “Reformasi Konstitusi”, Jurnal
Dialektika Vol. 2 No. 2,LPPMD Unpad, Bandung, 2001, hlm. 7.
7
Ibid., hlm. 6. 8
Namun demikian, selain karena kuatnya kekuasaan eksekutif atas dasar
UUD 1945, usulan perubahan UUD 1945 juga didasari oleh beberapa kelemahan
UUD 1945. Dalam hal ini, Bagir Manan mengungkapkan enam alasan perubahan
UUD 1945. Pertama, sama halnya dengan dua pendapat di atas, struktur UUD
1945 menempatkan dan memberkan kekuasaan yang besar terhadap pemegang
eksekutif.9 Kedua, struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem check and balances (kekuasaan untuk saling mengawasi dan mengimbangi) antara cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan
kekuasaan atau tindak melampaui wewenang.10 Ketiga, terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak jelas (vague), yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi.11 Keempat, struktur UUD 1945 anyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik), tanpa
disertai arahan tertentu materi muatan yang harus diikuti atau dipedomani.12
9
Lihat Bagir Manan, Teori …., op.cit., hlm. 11 -12. 10
Bagir Manan memberi contoh tentang hal tersebut, misalnya tidak terdapat kekuatan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui DPR sebagai wakil rakyat. Tidak ada pembatasan mengenai luas lingkup Perpu untuk menghindari penyalahgunaannya. Ibid., hlm. 13.
11
Bagir Manan memberikan beberapa contoh alasan tersebut, misalnya dalam hal masa jabatan Presiden yang tidak dibatasi, tentang kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, sehingga badan perwakilan lain, seperti DPR tidak dipandang melakukan kedaulatan rakyat, dan ketentuan Pasal 28 yang karena tidak jelas, menimbulkan pendapat, selama undang-undangnya belum terbentuk, hak-hak tersebut belum efektif. Ibid., hlm.15.
12
Kelima, berkaitan dengan Penjelasan UUD 1945.13 Keenam, adanya berbagai kekosongan materi muatan14 (ketidaklengkapan aturan, misalnya HAM, Pen).
Menanggapi usulan perubahan UUD 1945, MPR pada Sidang Istimewa
1998 mengeluarkan tiga ketetapan (Tap MPR) penting, yaitu Tap MPR No. No.
VIII/ MPR/ 1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/ 1983
tentang Referendum (sebagai tindak lanjut, UU No. 5 Tahun 1985 tentang
Referendum dicabut), Tap MPR Nomor XIII/MPR/ 1998 tentang Pembatasan
Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dan Tap MPR
Nomor XVII/ MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang tindak lanjuti
dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.15 Dengan demikian, mendahului perubahan UUD 1945 secara resmi, MPR telah melakukan perubahan UUD 1945
tanpa melalui prosedur sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, dalam hal pembatasan
masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, serta perluasan jaminan HAM melalui
kedua Tap MPR di atas.
Perubahan UUD 1945 secara resmi baru dilakukan pada tahun 1999,
setelah anggota MPR yang baru terpilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 1999.
Hal tersebut juga menunjukkan proses formal yang unik.16
13
Dalam hal penjelasan UUD 1945, Bagir Manan menganggap hal tersebut merupakan hal yang tidak lazim. Penjelasan UUD 1945 bukan hasil kerja BPUPKI dan PPKI,melainkan hasil kera Soepomo. Selain itu, penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan batang tubuh, dan keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan batang tubuh. Ibid.,hlm. 17. 14
Ibid. 15
Lihat Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I,op.cit., hlm. 45. 16
Proses perubahan UUD 1945 oleh MPR hasil Pemilu 1999 juga tidak
secara lancar dilakukan. Berbagai perbedaan pandangan terhadap perlu atau tidak
diubahnya UUD 1945 juga mengemuka di kalangan MPR, hingga akhirnya
kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945 dicapai secara bulat di
kalangan MPR menjelang Sidang Umum MPR tahun 1999.17 Secara konkret, proses pembahasan perubahan UUD 1945 dimulai, saat dibentuknya Panitia
Ad-Hoc (PAH) III Badan Pekerja (BP) MPR untuk Perubahan UUD 1945, yang
sebelumnya didahului oleh pemandangan umum fraksi-fraksi.18 Dalam pembahasan perubahan UUD 1945 di PAH III, juga mengundang beberapa pakar,
Hukum Tata Negara mengenai perubahan UUD 1945, antara lain Harun Al
Rasyid, Ismail Sunny, dan Sowoto Moeljosoedarmo.19 Masukan dari masyarakat pun bermunculan secara spontan, terutama melalui media massa atau secara
langsung mendatangi DPR/ MPR.20
Setelah mendengar masukan dari pakar hukum tata negara, PAH III
menyepakati langsung melakukan perubahan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan
berlaku dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.21
17
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I,op.cit., hlm. 70. 18
Terdapat 2 PAH lain dalam BP MPR tahun 1999: PAH I untuk Rancangan Ketetapan (Rantap GBHN) dan PAH II untuk Rantap Non-GBHN.
19
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I,op.cit., hlm. 87 20
Antara lain: Tim Fisipol UGM dan mahasiswanya, beberapa tokoh praktisi hukum, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, dan beberapa pakar hukum tata negara yang beropini melalui media massa, seperti Sri Soemantri, dan Yusril Ihza Mahendara. Ibid., hlm. 56 – 61.
21
Dalam proses perubahan tahap pertama terhadap UUD 1945, PAH III
merumuskan lima kesepakatan dasar yang dipergunakan dalam proses perubahan,
yaitu:22
1. tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
3. mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. meniadakan Penjelasan UUD 1945 dengan mengangkat hal-hal yang
bersifat normatif ke dalam pasal-pasal;
5. melakukan perubahan dengan cara addendum.
Berdasarkan kesepakatan dasar tersebut, PAH III melakukan pembahasan
materi rancangan perubahan UUD 1945. Pada masa tersebut, karena keterbatasan
waktu, para anggota PAH III juga bersepakat untuk membahas perubahan UUD
1945 secara bertahap sesuai dengan prioritas. Hasil pembahasan PAH III
kemudian dibahas dan diputuskan dalam BP MPR sebagai materi rancangan
perubahan untuk dan selanjutnya dibahas kembali dan diputuskan dalam Sidang
Umum MPR 1999. Dalam sidang tersebut dibentuk pula komisi-komisi, salah
satunya Komisi C yang bertugas membahas rancangan Perubahan UUD 1945.23 Pembicaraan di Komisi C didahului oleh pemandangan umum
fraksi-fraksi. Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi di Komisi C, pada intinya
22
Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku I, op.cit., hlm. 108. Bandingkan dengan Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan …, ibid., hlm. 13. Dalam buku Panduan terbitan Setjen MPR itu , kesepakatan yang dimaksud disebut sebagai salah satu hasil PAH I (tahun 2000). Namun demikian, dengan melihat pada Naskah Komprehensif yang diterbitkan oleh MK berdasarkan Risalah Rapat PAH III BP MPR, 7 Oktober 1999 di mana substansi kesepakatan tersebut dibicarakan, maka Tim Peneliti lebih sependapat dengan data yang ada dalam Naskah Komprehensif MK.
23