• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANJIR BANDANG DI Sub DAS KALIPUTIH JEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BANJIR BANDANG DI Sub DAS KALIPUTIH JEMB"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BANJIR BANDANG DI Sub DAS KALIPUTIH KABUPATEN

JEMBER : PENYEBAB DAN UPAYA MENGATASINYA

Oleh :

SUBHAN ARIF BUDIMAN1 NIM. 137040100111013

Abstrak

Kejadian banjir bandang seringkali menimbulkan kerusakan dan kerugian yang luar biasa serta membawa korban jiwa. Banjir bandang merupakan potensi bencana di daerah dengan dominasi mineral vulkanik, kelas lereng tinggi, memiliki beban berat di atas permukaan dan memiliki bidang gelincir di bawah permukaan yang kemudian dipicu oleh curah hujan tinggi dengan durasi panjang. Peluang potensi kejadian ulang bencana ini sangat besar seiring dengan periode ulang hujan. Beberapa pengukuran kuantitatif seperti perubahan distribusi spasial-temporal geografi, geofisika, geokimia dan sistem hidrologi dilakukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah rawan terjadinya pergerakan tanah. Hasil menunjukkan bahwa Sub DAS Kaliputih mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan dari hutan menjadi pemukiman dan lahan budidaya, adanya bidang gelincir di bawah lapisan batuan andesit, potensi kembang-kerut yang luar biasa pada tanah dan fakta terjadinya curah hujan cukup tinggi dengan durasi panjang secara simultan. Upaya memperkecil resiko dilakukan dengan dua cara yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi difokuskan pada usaha identifikasi dan pemetaan titik-titik rawan terjadinya gerakan massa sedangkan adaptasi dilakukan dengan peningkatan kapasitas masyarakat lokal akan sadar bencana. Diharapkan, ke depan meskipun banjir bandang tetap terjadi periode ulang dapat lebih diperpanjang dan kerusakan-kerugian dapat ditekan seminimal mungkin.

Kata kunci : debris flow, gerakan massa, hujan, likuifaksi, dan kerentanan.

I. PENDAHULUAN

Bencana sedimen berupa longsor, banjir, dan banjir bandang merupakan bencana dengan potensi frekuensi kejadian nomor tiga di Indonesia setelah bencana vulkanik (erupsi Gunung Api) dan Gempa Bumi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (BNPB, 2014). Longsor sering disebut sebagai gerakan massa (mass wasting/mass movement). Gerakan massa tanah dan atau massa batuan merupakan istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan fenomena turunnya massa tanah dan atau batuan penyusun lereng akibat gangguan pada lereng. Definisi ini menunjukkan bahwa gerakan massa tanah/batuan tidak harus melewati bidang luncur. Longsoran tanah merupakan salah satu jenis gerakan tanah/batuan (Karnawati, 2004).

Kejadian longsor semakin berisiko karena hampir tiap tahun terjadi bersamaan dengan datangnya musim hujan dan telah menyebabkan korban jiwa, kerusakan fisik, serta kerugian ekonomi yang cukup besar. Sejak tahun 2005 setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia dan setiap tahunnya estimasi kerugian terjadi sekitar 100-800 Miliar rupiah per kejadian, dengan jumlah korban jiwa terancam semakin banyak (PVMBG, 2005). Jumlah kejadian longsor akhir akhir ini semakin besar intensitasnya dan cakupan dampaknya semakin luas, terutama di kawasan Gunung Api yang sudah tidak aktif.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi topografi (Rijsdijk, 2007a), penggunaan lahan (Pawitan, 2012), geomorfologi (Rijsdijk, 2007b), geologi (Newhalla et al., 2000; Priyantani dkk, 2008), karakteristik tanah (Widodo, 2011), keberadaan vegetasi di permukaan tanah (Hermiyanto dkk, 2010), dan cuaca (Karnawati, 1996) merupakan faktor yang

(2)

berpengaruh terhadap longsor dan banjir bandang di Indonesia. Sebagian besar tanah Gunung Api inaktif di Indonesia merupakan tanah residu volkanik Kuarter Tua dengan luasan cukup besar dan tersebar di berbagai tempat. Tingkat kesuburannya yang cukup tinggi ditunjang dengan curah hujan yang cukup menyebabkan daerah-daerah ini berkembang menjadi lahan permukiman dan aktivitas ekonomi. Implikasinya, daerah-daerah ini berubah menjadi daerah dengan tingkat kerawanan tinggi dengan potensi kerusakan-kerugian yang sangat besar bila terjadi bencana.

Proses terjadinya longsor dan banjir bandang diawali dengan terjadinya proses pelapukan yang berlangsung secara simultan dalam waktu cukup lama yang lrmufisn menghasilkan solum tanah yang tebal. Tanah hasil pelapukan akan terus mengalami penebalan dan terus mengalami perubahan fisik-kimia dan terus semakin menghalus ukuran butirnya atau semakin melunak. Oleh karena waktu dan oleh karena terletak di lereng yang tajam maka tanah hasil pelapukan akan retak, kritis dan atau longsor. Retakan ini akan menjadi media lewatnya air masuk ke dalam tanah akibatnya di sepanjang retakan ini akan terjadi translokasi (mineral, unsur-unsur dan bahan organik), terjadi transformasi dan proses pelapukan lebih intensif dibandingkan di sekitarnya sehingga terjadi anomali-anomali di sepanjang retakan dan kemudian terjadi longsor (Widodo, 2011).

Beberapa contoh kejadian bencana sedimen yang menimbulkan kerugian dan kerusakan besar antara lain adalah bencana Bukit Lawang Bohorok Sumatra (2003), Gowa Sulawesi Selatan (2004), dan Cililin Bandung (2004). Periode berikutnya (2006-2008) terjadi longsor di Banjarnegara, Manggarai Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa Barat, dan Karanganyar Jawa Tengah. Sementara itu longsor di Jawa Timur tercatat terjadi mulai tahun 1990 di lereng Gunung Wilis, tahun 2002 di Bondowoso dan di Pacet, 2004 di Situbondo dan tahun 2006 di Kecamatan Panti Kabupaten Jember.

Sudrajat dkk (2006) mengidentifikasi tingkat kerusakan yang diakibatkan banjir bandang Panti meliputi 264 rumah hanyut dan rusak, 98 orang tewas, puluhan luka-luka, ratusan hektar persawahan rusak, ratusan rumah hancur, 6 jembatan hancur, 9 cekdam hancur serta sarana dan prasarana lainnya. Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas) Kabupaten Jember sebagai institusi yang membawahi Satuan SAR melansir tingkat kerugian dari perinstiwa ini mencapai 681 Milyar rupiah. Firmansyah dan Kadarsetia (2010) menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya gerakan tanah yang diikuti banjir bandang di Sub DAS Kaliputih adalah :

 Kondisi batuan : Batuan penysun di lokasi longsor adalah batuan vulkanik produk Gunung Iyang-Argopuro yang tingkat pelapukannya sangat tinggi, karena Gunung Iyang-Argopuro merupakan gunungapi tua (Tipe B).

 Adanya batuan dasar yang kedap air seperti lava dan breksi vulkanik yang sangat kompak dan padu, sehingga menjadi bidang penahan air dan bidang gelincir.

 Kemiringan lereng (geomorfologi) : longsoran umumnya terjadi pada lereng yang curam dan di tebing-tebing sungai.

 Hidrologi : Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan batuan menjadi jenuh air, sehingga menjadi repui, lembek dan mudah longsor. Batuan disekitar aliran sungai menjadi lebih jenuh.

(3)

 Jika gerakan tanah terjadi di tebing-tebing sungai di daerah hulu seperti K. Dinoyo, K. Petung, K. Petawan, K. Wates, K. Pola, K. Jompo dan lain-lain, maka sungai-sungai tersebut sangat rawan terkena banjir bandang.

Makalah ini merupakan sintesis dari serangkaian hasil penelitian terkait kondisi biofisik di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Bedadung khususnya Sub DAS Kaliputih, yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Panti Kabupaten Jember yang dilaksanakan sampai 2012. Alternatif solusi berupa tindakan mitigasi dan adaptasi merupakan hasil dari kajian formal, informal dan pustaka yang terdapat dalam dokumen-dokumen institusi dan LSM pemerhati bencana terutama terkait dengan longsor dan banjir bandang.

II. KONDISI GOLOGI DAN POTENSI GERAKAN TANAH

Pada berbagai kejadian longsoran selama ini dapat teridentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak/longsor, yaitu (1) lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak, (2) lereng yang tersusun oleh perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng, dan (3) lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan (Karnawati, 2001). Longsor dapat digambarkan dalam gambaran sederhana sebagai gerak benda pada bidang miring Berat masa benda dan sudut kemiringan merupakan faktor utama yang mengontrol. Pada lereng alam benda ini berupa tanah dan atau batuan, sehingga sifat fisik kimia biologi tanah/batuan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap stabilitasnya di lereng. Sifat ini akan mempengaruhi ada tidaknya dan banyak sedikitnya air yang mampu disimpan atau mampu dialirkannya. Air berperanan terhadap stabilitas masa tanah/batuan yang ada di lereng karena air akan menambah berat, akan menyebabkan kohesi tanah menurun, akan menyebabkan peningkatan proses kimia dan air akan memisahkan/memindahkan unsur kimia pengikat tanah menuju ke bawah (leach out). Bila air mengalir dalam massa tanah/batuan akan menyebabkan terjadinya perpindahan titik berat, akan terjadi perpindahan komponen kimia pengikat tanah dan lain sebagainya.

Kondisi geologi mengalami perubahan secara terus menerus meski sangat lambat. Sulistiarto (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kecamatan Panti, Arjasa dan Patrang yang merupakan daerah hulu DAS Bedadung memiliki tingkat kerawanan tinggi dilihat dari karakteristik topografi, kelas lereng, jenis tanah dan hujan. Firmansyah dan Kadarsetia (2010) menunjukkan Peta Geologi Regional untuk daeral inlet DAS Bedadung (Gambar 1). Lebih lanjut, penelitian ini juga berhasil memetakan daerah-daerah yang memiliki potensi gerakan tanah tinggi di Kabupaten Jember (Gambar 2).

(4)

kaca. Tuf abu tersusun oleh mikrolit plagioklas dan sejumlah mineral hitam. Tuf kaca tersusun sebagian besar oleh kaca gunungapi. Satuan Tuf Argopuro (Qvat) ini sering muncul pada gawir-gawir (bekas) longsoran dan lembah-lembah sungai.

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Panti dan Sekitarnya Sumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)

Perubahan kondisi geologi yang simultan akan berpengaruh terhadap karakteristik tanah. Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen ESDM (2011) menyatakan bahwa terdapat 72 titik retakan tanah di sekitar Panti. Retakan ini akan menjadi tempat masuk air jika terjadi hujan, sehingga tekanan air pori tanah meningkat dan tekanan efektif tanah akan turun. Kondisi ini akan sangat berbahaya jika tekanan efektif yang ada tidak mampu menahan beban sendiri tanah.

(5)

Gambar 2. Peta Potensi Gerakan Tanah Kabupaten Jember Sumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)

Pola aliran sungai dendritik, dengan lembah berbentuk ”V” serta kemiringan lereng yang curam menyebabkan arus sungai menjadi sangat deras ketika terjadi banjir bandang yang dapat menyeret berbagai material di sekitar alur sungai, sehingga memperparah dampak dari banjir tersebut. Kejadian gerakan tanah yang berkembang menjadi banjir bandang telah terjadi beberapa kali. Pola aliran sungai merupakan pola aliran dendritik yang tidak begitu lebar, hampir menyempit seperti pohon cemara. Type pola aliran sungai yang demikian mempunyai karakteristik peningkatan debit air yang tajam dalam waktu yang singkat, peningkatan debit sungai akibat curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir bandang.

III. PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

Peristiwa banjir bandang dan tanah longsor di Kecamatan Panti pada 2 Januari tahun 2006 mengakibatkan berbagai kerugian. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di daerah ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut merupakan dampak dari alihfungsi hutan sehingga menyebabkan degradasi hutan di daerah upland Pegunungan Argopuro (Priyantani, 2008; Widodo, 2011). Lebih lanjut, Priyantani menjelaskan bahwa daerah upland Pegunungan Argopuro sebagai kawasan hutan lindung yang merupakan daerah resapan air, beralih menjadi perkebunan kakao dan kopi, serta hutan produksi kemudian terjadi penebangan yang berakibat pada penggundulan. Selain itu, fenomena bencana banjir bandang dan tanah longsor tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi permukaan, akan tetapi juga dipengaruhl oleh tanah bawah permukaan. Serangkaian pengukuran geofisika bawah permukaan untuk dapat mengungkap kondisi maupun dinamika bawah permukaan berkaitan dengan litologi, hidrologi maupun potensi bencana.

(6)

hutan tahun 1994 (Gambar 3). Penurunan terbesar terjadi pada periode 1994-2002 dimana penurunan mencapai lebih dari 50%. Hal ini terjadi sebagai akibat peristiwa 1998 dimana Presiden saat itu membuat statement atas UUD 1945 pasal 33 (1) dimana hasil bumi dan kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sehingga rakyat diperbolehkan memanfaatkan seluruh hasil alam termasuk sumberdaya hutan. Tafsiran berikutnya di level grassroot bahwa salah satu model pemanfaatan hutan adalah dengan memanfaatkan tegakannya yang diperoleh dengan cara menebang kayu hutan. Tren setelah tahun 2002 tetap menunjukkan penurunan luas hutan meskipun tingkat penurunannya tidak sedrastis periode 1994-2002.

Gambar 3. Perubahan Penggunaan Lahan di daerah Panti 1994-2008 Sumber : Widodo (2011)

Selain lahan hutan, penurunan luas dalam periode lima belas tahun (1994-2008) juga terjadi pada luas badan air/sungai. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kapasitas infiltrasi beberapa Sub DAS di DAS Bedadung telah mengalami penurunan kapasitas tampung sehingga debit sungai dan jumlah sumber air berkurang dari waktu ke waktu. Di lain pihak, terjadi peningkatan luas lahan pertanian, pemukiman dan lahan terbuka. Hasil penelitian Zimmer (1981) menyebutkan bahwa longsor terjadi setelah pembabatan hutan selama sekitar 12 tahun, maka untuk di daerah penelitian sekitar 9 tahun kemudian terjadi longsor.

III. KARAKTERISTIK GEOKIMIA

Widodo (2011) menunjukkan bahwa Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa proses pelapukan Breksi Volkanik G. Argopuro yang berumur Kuarter Tua telah mencapai kedalaman lebih dari 20 meter dari muka tanah terdiri dari tanah residu dengan tebal 16 meter, tanah lapuk dengan tebal 4 meter. Kadar bahan organik sepanjang profil tanah menunjukkan pola terjadi kenaikan pada kedalaman 3-9 m dari 1,60% menjadi 2,35% kemudian kembali turun pada kedalaman 12-15 m menjadi 0,32-0,83% (Gambar 4). Kadar bahan organik dalam kaitannya dengan longsor berfungsi sebagai material pengikat air dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Semakin besar bahan organik maka jumlah air yang dapat terserap juga semakin tinggi; artinya adalah bahwa kapasitas infiltrasi tanah juga semakin meningkat. Pengukuran kadar bahan organik dilakukan pada kedalaman setelah 3 m dengan asumsi bahwa pada kedalaman tersebut kadar bahan organik

(7)

tidak mendapat usikan dari tanaman dan proses-proses hidrologi di atas permukaan sehingga dinamikanya tidak terlalu besar.

Gambar 4. Kadar Bahan Organik dalam Profil Tanah (kanan : daerah atas ; kiri : daerah bawah) Sumber : Widodo (2011)

Hasil analisis permeabilitas lapangan menunjukkan bahwa tanah dipermukaan sampai kedalaman – 1,0 dan - 2,0 m harga permeabilitasnya antara 1,33 x 10-5 sampai dengan 9,50 x 10-5 cm/detik. Nilai ini menunjukkan bahwa lapisan tanah permukaan sampai kedalaman 2 meter termasuk lapisan kedap air. Sementara indeks plastis dan potensi mengembang memiliki nilai yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut, air dapat masuk maksimal sehingga diduga lapisan tersebut berfungsi sebagai bidang gelincir saat kondisi jenuh (Tabel 1). Ditinjau dari sivil teknis, hasil analisa besar butir tanah dan konsistensi tanah ini termasuk lanau plastisitas sedang sampai plastisitas tinggi dan potensi mengembang rendah sampai sangat tinggi.

Tabel 1. Kadar clay, Indeks Plastis, Aktifitas Lempung dan Potensi mengembang pada berbagai kedalaman tanah

Kedalaman % clay IndeksPlastis Aktivitas MengembangPotensi

-3 72.76 16.82 0.23 2.12 -6 89.00 46.39 0.52 25.15 -9 88.58 18.40 0.21 2.63 -12 89.06 5.00 0.06 0.11 -15 80.00 11.17 0.14 0.78

Sumber : Widodo (2011)

(8)

Gambar 5. Kadar Clay, Silt dan Sand pada kedalaman -3 sd -15 m (kanan : daerah atas ; kiri : daerah bawah)

Sumber : Widodo (2011), digambar ulang (2015)

Hasil analisis geokimia tanah dengan menggunakan dengan XRF menunjukkan adanya anomali SiO2/(Al2O3+Fe2O3) (rasio silica-sesquioxides) pada kedalaman 9, 12 dan 15 meter. Pada kondisi normal, akibat pencucian dan pelindian terjadi pengurangan nilai rasio silica-sesquioxida ke arah permukaan dan semakin membesar ke arah lebih dalam (Gambar 6). Berdasarkan Chemical Index of Alteration (CIA) > 90% merupakan tanah residu dan dikombinasikan dengan diagram ACNK menunjukkan bahwa tanah residu didominasi lempung kelompok kaolin. Harga Chemical Weathering Index (CWI) sekitar 60% menunjukkan tanah residu. Hasil analisis bahan organik menunjukkan bahwa hampir di setiap kedalaman tanah mengandung bahan organik.

Gambar 6. Kandungan Basa tertukar dan Analisis Geokimia dalam Profil Tanah Sumber : diadaptasi dari Widodo (2011)

Mineral haloisit mendominasi hampir di setiap kedalaman dan karena termasuk mineral lempung dari mineral gelas yang amorf maka rekaman XRD tidak memperlihatkan kristal-kristal yang menonjol seperti umumnya grafik XRD (Tabel 2). Munculnya mineral-mineral hasil alterasi hidrotermal menunjukkan bahwa Breksi Argopuro telah teralterasi, yang terjadi bersamaan dan atau setelah Breksi Argopuro terbentuk. Mineral-mineral hasil ubahan hidrotermal seperti mineral kristobalit, tridimit, kuarsa, smektit, kaolin, monmorilonit bisa bertahan lebih dari 500 tahun.

(9)

di dalam istilah geokimia mengalami pemiskinan di kedalaman 12 meter. Unsur-unsur ini tertranslokasi (alih tempat) ke lain tempat dan atau tertransformasi (alih rupa) yaitu mengalami pelapukan lebih intensif. Proses translokasi ini juga menyebabkan berpindahnya bahan organiik, material berukuran lempung dan atau ditambah dengan proses pelapukan yang intensif sehingga pada kedalaman 12 meter dijumpai material berukuran lempung cukup banyak. Oleh karena itu maka silica-sesquioxides mengecil padahal kalau tidak ada gangguan akan membesar ke arah dalam. Masuknya air kedalam retakan juga menyebabkan transformasi yaitu dengan terbentuknya mineral lempung haloisit di kedalaman 12 meter ke arah atas dan ke arah bawah sehingga hampir di seluruh tubuh tanah hasil pelapukan dijumpai mineral haloisit.

Tabel 2. Hasil analisis X-Ray Difussion (XRD) jenis mineral clay pada berbagai kedalaman hasil pelapukan Breksi Argopuro

Kedalaman (m) Titik Atas Titik Bawah

-3 Montmorillonite-15 A hydrated Halloysite Polygorskite

Magnetite

Halite potassian, syn

-6 hydrated Halloysite Sericite [NR] Polygorskite Illite-Montmorillonite

Halloysite Quartz

-9 hydrated Halloysite hydrated Halloysite Muscovite-3\TT\RG Chlorotoid

Graphite Illite-2\ITM\RG# [NR] Silicon oxide - HT -12 hydrated Halloysite Metahalloysite

Sericite [NR] Muscovite 2\ITM\RG#1 Clinochlore Tridymite

Wairakite Cristobalite SGB. Syn Chloritoid

-15 hydrated Halloysite Halite potassian, syn Wairakite

Silicon oxide

Sumber : Widodo (2011)

IV. KARAKTERISTIK GEOFISIKA

(10)

Salah satu persamaan umum yang dipakai untuk menentukan kuat geser lereng adalah persamaan Mohr-Coulomb. Kekuatan geser tanah yang tersedia atau yang dapat dikerahkan oleh tanah dapat dihitung dengan persamaan :

T=c+

(

σu

)

.tanϕ

Dalam metode ini, parameter kekuatan geser tanah yang tersedia berturut-turut direduksi secara otomatis hingga kelongsoran terjadi. Sehingga faktor aman (Stability Factor, SF) dari satu stabilitas lereng dihitung dengan persamaan :

ΣMsf = tan ∅input / tan ∅reduksi = cinput /creduksi

Sehingga

SF

=

Kekuatan geser yang tersedia

Kekuatan geser saat longsor

Nilai ΣMsf = indeks potensi pada saat kelongsoran (metode Finite Equilibrium Method, FEM); cinput = kohesi tanah, ∅input = sudut geser dalam tanah, creduksi = kohesi tanah tereduksi dan ∅reduksi = sudut geser dalam tereduksi. Sedangkan SF merupakan nilai kuat geser tanah yang dikenal dengan metode Limit Equilibrium Method (LEM). Adapun kriteria keamanan nilai faktor aman (SF) stabilitas lereng untuk lereng galian timbunan (cut and fill) menurut Sowers (1979) dalam Cheng Liu (1981) adalah : SF < 1 = Tidak Aman,1 ≤ SF ≤ 1,2 = Stabilitas lereng meragukan SF > 1,2 = Aman.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa faktor utama penyebab ketidakstabilan lereng sangat mungkin dipengaruhi oleh naiknya muka air tanah (drainase tidak ada) yang dapat menurunkan stabilitas lereng. Saat tidak hujan (muka air tanah) jauh dari permukaan bidang tanah, angka keamanan (Safety factor) nya lebih dari satu (SF = 1,063). Sebaliknya, saat muka air tanah naik dengan anggapan terjadi hujan yang mengakibatkan kondisi tanah menjadi semakin jenuh, nilai SF turun menjadi 0,873. Nilai SF mendekati 1 tersebut mengindikasikan bahwa Sub DAS Kaliputih memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap potensi longsor. Akan tetapi, kondisi potensi longsor dalam kondisi jenuh lebih tinggi dari pada potensi longsor pada kondisi tak jenuh (Arief dan Widodo, 2008). Hasil simulai lain juga menunjukkan bahwa tanah yang cenderung longsor adalah tanah pada Lapisan 1 (dengan bidang longsor antara lapisan 1 dan lapisan 2) yaitu lapisan tanah yang mengalami pelapukan (tanah residual), sedang lapisan 2 maupun lapisan 3 tidak terdeformasi (Arief dan Widodo, 2009).

Listyawan dkk (2009) mencoba membuat model untuk potensial runtuh dengan titik berat keseimbangan moment. Pada potongan, permukaan runtuh potensial diasumsikan sebagai sebuah bujur sangkar. Ketidakstabilan potensial disebabkan oleh berat total massa tanah (W persatuan panjang) di atas permukaan runtuh. Faktor keamanan dihitung dengan rumus Craig (1994) :

F

=

c

u

L

a

R

Wd

dengan :F = Faktor keamanancu = komponen kohesi tanpa drainase (kN/m2) R = Jari – jari lingkaran bidang longsor (m) La = Panjang bagian lingkaran (juring) (m)W = Berat massa tanah efektif (kN)d = Jarak pusat berat W terhadap O (m).

(11)

lapisan (Priyantani dkk, 2008). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Andriyani dkk. (2011) untuk tanah-tanah Karst di Pacitan.

Hasil F untuk lempung jenuh didapat sebesar 5,073 untuk tanah lereng atas dan 4,959 untuk tanah lereng bawah dengan tingkat probabilitas 93,96%. Interpretasi hasil menunjukkan bahwa tanah lempung jenuh lereng bawah dapat menahan beban dan kemungkinan kecil terjadi longsor. Sebaliknya, lereng atas lebih tidak stabil.

V. KARAKTERISTIK HUJAN

Peristiwa tanah longsor merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono, 2002). Pada umumnya di daerah pegunungan yang ditutupi oleh lapisan tanah penutup yang lunak/gembur, air hujan dapat dengan mudah merembes pada tanah yang gembur dan batuan lempung yang berongga atau retak-retak. Air rembesan ini berkumpul antara tanah penutup dan batuan asal yang segar pada lapisan alas yang kedap air. Tempat air rembesan ini berkumpul dapat berfungsi sebagai bidang luncur. Meningkatnya kadar air dalam lapisan tanah atau batuan, terutama pada lereng-lereng bukit akan mempermudah terjadinya gerakan massa.

Gambar 7. Pola hujan setahun di Provinsi Jawa Timur periode 1983-2012 Sumber : data sekunder Kebun PTPN XII dan PTPN X, diolah (2014)

(12)

Secara umum terdapat dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia, yaitu tipe hujan deras dan tipe hujan normal tapi berlangsung lama. Tipe hujan deras misalnya adalah hujan yang dapat mencapai 70 mm per jam atau lebih dari 100 mm per hari. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran pada lereng - lereng yang tanahnya mudah menyerap air (Karnawati 1996, 1997), seperti misalnya pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi pada bulan-bulan awal musim hujan, misalnya pada akhir Oktober atau awal Nopember. Tipe hujan normal contohnya adalah hujan yang kurang dari 20 mm per hari. Hujan tipe ini apabila berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan dapat efektif memicu longsoran pada lereng yang tersusun oleh tanah yang lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung (Karnawati, 2000). Pada lereng ini longsoran umumnya terjadi mulai pada pertengahan musim hujan, misalnya pada bulan Desember hingga Maret.

Data curah hujan dari PTPN-XII menunjukkan terjadinya perobahan pola hujan pada dua dasawarsa terakhir dibandingkan dengan dua dasawarsa sebelumnya (Gambar 7). Pola curah hujan dua dasawarsa terakhir menunjukkan pola lebih merata sepanjang tahun dengan puncak hujan antara 300 – 350 mm per bulan. Puncak hujan terjadi mulai bulan November sampai dengan Maret dan saat hujan bulanan tertinggi terjadi di bulan Januari. Pada saat kejadian bencana Panti, Dinas PU Pengairan mencatat curah hujan di Stasiun Pengamat hujan DAS Bedadung adalah sebagai berikut :

 Stasiun Rambipuji : 115 mm/hari  Stasiun Klatakan : 178 mm/ hari  Stasiun Dam Makam : 127 mm/ hari  Stasiun Semampir : 120 mm/ hari  Stasiun Pono : 107 mm/ hari  Stasiun Dam Pecoro : 75 mm/ hari

(13)

Gambar 8. Curah hujan Tahunan di Sub DAS Kaliputih periode 1973-2012 Sumber : data sekunder Kebun PTPN XII dan PTPN X, diolah (2014)

Curah hujan tahunan di Sub DAS Kaliputih selama empat puluh tahun terakhir menunjukkan trend penurunan dari 3200 mm menjadi 2850 mm/tahun (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa potensi terjadinya banjir bandang dari faktor hujan tidak terlalu besar. Peta dadi BIG dan BMKG menunjukkan bahwa sebagian wilayah sub DAS Kaliputih memiliki curah hujan tahunan hingga mencapai 5000 mm. Hanya saja, realitas yang terjadi adalah sebaliknya akibat perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman.

IV. UPAYA MEMPERKECIL RESIKO

Berdasarkan identifikasi penyebab bencana longsor dan banjir bandang pada bahasan sebelumnya, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan ikutan yang terjadi di Sub DAS Kaliputih. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah :

 Alih guna lahan dari lahan hutan menjadi lahan budidaya dan pemukiman  Tingkat erosi dari erosi lembar sampai erosi alur

 Degradasi lahan pertanian dan perkebunan

 Penurunan kapasitas infiltrasi tanah terutama di daerah konversi bekas hutan  Suplai air bersih untuk livestock terutama di perkotaan

 Berkurangnya volume sungai dan semakin besarnya gradien debit sungai antara musim penghujan dan musim kemarau

 Tingkat potensi bencana longsor dan banjir bandang dengan tingkat kerusakan, kerugian dan korban jiwa yang sangat besar

Tabel 3. Permasalahan, usaha mitigasi, adaptasi dan Instansi penanggungjawab

Permasalahan Mitigasi PenanggungJawab Adaptasi Penanggung Jawab

(14)

Permasalahan Mitigasi Penanggung

Sumber : dokumentasi personal penulis, JICA (2011), Bakesbangpolinmas Jember (2012)

Solusi dari permasalahan di atas dapat dilakukan dengan dalam dua kegiatan utama, yaitu mitigasi dan adaptasi. Usaha mitigasi dilakukan dengan fokus memperkecil faktor penyebab bencana, sedangkan upaya adaptasi lebih ditekankan pada usaha masyarakat untuk lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya yang secara alami memiliki resiko bencana besar. Berikutnya, implementasi di lapangan dapat dilakukan melalui beberapa sistem yaitu dari faktor kebijakan pemerintah yang tertuang dalam aturan legal formal (UU, PP, Pergub dan Perda, RTRW), kerjasama antar institusi pemerintah-akademisi, serta pelaku di lapangan (kelembagaan dalam masyarakat formal-informal, perusahaan). Penjelasan usaha Mitigasi dan Adaptasi bencana Longsor dan Banjir bandang di Sub DAS Kaliputih disajikan secara lengkap dalam Tabel 3 di atas.

(15)

Koordinasi antar institusi penanggungjawab seringkali juga menjadi masalah terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Seringkali tindakan tidak dapat dilakukan dengan cepat ketika terdapat salah satu Instansi penanggungjawab yang merasa menjadi penanggungjawab kegiatan. Keterlambatan ini kebanyakan terjadi saat tahap penanganan bencana (dapur umum, evakuasi dan SAR korban bencana). Beberapa kejadian bencana di Jember, Yogyakarta dan Klaten tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren penggunaan bencana sebagai ajang pencitraan Partai Politik maupun Lembaga-lembaga “sosial” lain. Ke depan, perlu dibuat aturan baku siapa saja institusi yang bertanggungjawab saat kejadian bencana dan dilakukan koordinasi yang lebih bagus antar instansi agar penanganan bencana dapat lebih tepat, cepat dan sesuai sasaran. Perwujudan kegiatan tersebut dapat berupa rapat koordinasi antar instansi atau dalam bentuk simulasi dan pembuatan rencana tindak ketika musim penghujan tiba.

PENUTUP

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, M dan A. Widodo. 2003. Analisa Balik Kelongsoran : Studi Kasus di Jember. Jurnal Ilmiah MKTS Volume 16 (2): 130-147.

Coussot, P. and M. Meunier. 1996. Recognition, classification and mechanical description of debris flows. Earth-Science Reviews 40 : 209-227. Elsevier Science, SSDI 0012-8252(95)00065-8. Firmansyah, MN. dan E. Kadarsetia. 2010. Penyelidikan Potensi Banjir Bandang Di Kabupaten Jember,

Jawa Timur. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 2, Agustus 2010 : 14-22.

Hermiyanto, B., SA. Budiman dan N. Sulistyaningsih. 2010. Indeks Kualitas Tanah di daerah Selatan Pegunungan Argopuro dan hubungannya dengan Longsor. Laporan Akhir Hibah Bersaing Batch-2. Lembaga Penelitian Universitas Jember, tidak dipublikasikan.

Karnawati, D. 1996. Mechanism of rain-induced land slides in Java. Media Teknik no 3 th XVIII Nov.

Lavignea, F. and H. Suwa. 2004. Contrasts Between Debris Flows, Hyperconcentrated Flows and Stream Flows at a Channel of Mount Semeru, East Java, Indonesia. Geomorphology 61 : 41-58.

Liong, GT. Dan DJG. Herman. 2012. Analisa Stabilitas Lereng Limit Equilibrium vs Finite Element Method. Prociding HATTI-PIT-XVI, 4-5 Desember 2012, Hotel Borobudur Jakarta.

Listyawan, AB., SR. Hernaini, dan B. Chahyono. 2012. Analisis Probabilitas Stabilitas Lereng Tanah Lempung Jenuh. Dinamika Teknik Sipil Vol. 12 (2) : 166-171.

Newhalla, CG., S. Brontob, B. Allowayc, N.G. Banks, I. Bahar, M.A. del Marmol , R.D. Hadisantono, R.T. Holcomb, J. McGeehin, J.N. Miksic, M. Rubin, S.D. Sayudi, R. Sukhyar, S. Andreastuti, R.I. Tilling, R. Torleya, D. Trimblea, A.D. Wirakusumah. 2000. 10,000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Java: archaeological and modern implications. Journal of

Volcanology and Geothermal Research 100 : 9–50. www.elsevier.nl/locate/jvolgeores.

Pawitan, H. 2012. Perubahan Penggunaan Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. ISBN 979-9474-34-5 : 65-80.

Priyantani, N., A. Suprianto, dan Supeno. 2008. Integrasi Pengukuran Secara Terpadu (Geographycal, Geophysical, Geotechnical System) untuk Aplikasi Tata Guna Lahan di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Laporan Akhir Hibah Bersaing Tahun ke-2. Lembaga Penelitian Universitas Jember, tidak dipublikasikan.

Rijsdijk, A., L.A. (Sampurno) Bruijnzeel, and Th. M. Prins. 2007a. Sediment yield from gullies, riparian mass wasting and bank erosion in the Upper Konto catchment, East Java, Indonesia. Geomorphology 87 : 38-52. www.sciencedirect.com.

Rijsdijk, A., L.A. Sampurno Bruijnzeel, and CK. Sutoto. 2007b. Runoff and sediment yield from rural roads, trails and settlements in the upper Konto catchment, East Java, Indonesia. Geomorphology 87 : 28-37.

Siswowidjoyo, S., U. Sudarsono and AD. Wirakusumah. 1997. The Threat of Hazard in Semeru Volcano region in East Java, Indonesia. Journal of Asian Earh Sciences Vol. 15 Nos. 2-3 : 185-194. Elsevier Science.

Widodo, A. 2011. Peranan Geokimia Terhadap Stabilitas Lereng Tanah Residu Volkanik Di Daerah Panti Jember Jawa Timur. Digilib UGM, www.ugm.ac.id. Diakses 29 Desember 2014.

Gambar

Gambar 1. Peta Geologi Daerah Panti dan SekitarnyaSumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)
Gambar 2. Peta Potensi Gerakan Tanah Kabupaten JemberSumber : Firmansyah dan Kadarsetia (2010)
Gambar 3. Perubahan Penggunaan Lahan di daerah Panti 1994-2008Sumber : Widodo (2011)
Tabel 1. Kadar clay,  Indeks Plastis, Aktifitas Lempung dan  Potensi mengembang pada berbagaikedalaman tanah
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Saran dari penelitian sebelumnya Purie Dwi Pertiwi, Nrp : 11 2011 130 dengan judul “Pengaruh Pemakaian Fly Ash Dan Kapur sebagai Bahan Penambah

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh analisis fundamental yang meliputi inflasi, kurs dan suku bunga BI secara simultan ( bersama – sama ) mempunyai pengaruh terhadap

This partial picture shows that BRP's commitment to the goals set are influenced by factors conscientiousness and cooperative partners, while the communication

No.  Inflasi terjadi terutama disebabkan karena kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 0,24 persen, kelompok makanan

(1) Peserta didik berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), mendapat layanan pembelajaran inklusif yang diselenggarakan pada satuan

Berlokasi di bagian paling depan bangunan sekolah bersebelahan dengan ruang Tata Usahao. Memiliki luas 8 x 7 m2 dan ditunjang dengan ruang tamu Kepala

Tehnik ini yang disusun dengan membandingkan kenaikan atau penurunan laporan keuangan pada suatu periode tertentu dengan periode lainnya dari masing-masing pos

Behind the ‘Johannine community’ and the Johannine corpus, letters, Gospel (and Apocalypse) there is one head, an outstanding teacher who founded a school which existed between about