• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbuatan Melawan Hukum Korporasi Non Ne

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbuatan Melawan Hukum Korporasi Non Ne"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Page 1 of 10

PERBUATAN MELAWAN HUKUM KORPORASI NON-NEGARA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BUKAN SUAP YANG

DILAKUKAN BERSAMA-SAMA PENYELENGGARA NEGARA

1

Refki Saputra2

alam diskusi Pengarusutamaan (mainstreaming)Pemberantasan Kejahatan Korporasi Sektor Kehutanan yang diselenggarakan oleh Silvagama, ICW dan Walhi (23/6/14) di Hotel Ibis Acardia, Jakarta Pusat, muncul diskursus tentang kemungkinan mendakwa korporasi kehutanan non-negara (swasta) dengan menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi (“UU Tipikor”).3 Adapun perbuatan yang dituduhkan adalah terkait dengan penerbitan izin pengusahaan hutan yang diperoleh secara melawan hukum, dimana sudah ada kepala daerah yang divonis bersalah atas tuduhan tersebut sebelumnya.

Beranjak dari fakta dilapangan bahwa, berbagai kasus tindak pidana korupsi di sektor kehutanan banyak melibatkan kepala daerah. Pada umumnya, modus yang dilakukan berkisar pada pemberian konsensi pengolahan hutan kepada korporasi kehutanan yang melanggar berbagai aturan perizinan. Dampaknya, banyak kawasan hutan yang sesungguhnya tidak dapat dijadikan sebagai areal industri kehutanan kemudian diberikan oleh kepala daerah untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini tentu sangat merugikan negara, baik secara ekonomis dan juga secara ekologis.

Selama ini, pihak yang menjadi tersangka dalam aktivitas terlarang tersebut hanya pihak penyelenggaranya saja. Jikapun kalau ada pihak swasta yang didakwa, perannya adalah pihak yang memerikan suap atau gratifikasi kepada pejabat.4 Adapun persoalannya, dakwaan korupsi apa yang kemudian dapat dikenakan kepada pihak swasta (katakanlah sebuah korporasi perkebunan), mengingat kepala daerah yang menerbitkan izin untuk korporasi yang dimaksud sudah divonis bersalah atas perbuatan melawan hukum, bukan karena suap atau gratifitasi. Sementara, korporasi yang dimaksud disini adalah bukan digolongkan sebagai pejabat negara ataupun BUMN, yang dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan ketentuan perbuatan melawan hukum ataupun penyalahgunaan wewenang, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.5

1 Catatan diskusi tentang Mainstreaming Pemberantasan Kejahatan Korporasi Sektor Kehutanan,

diselenggarakan oleh Yayasan Silvagama, ICW dan Walhi, Hotel Ibis Acardia, 23-24 Juni 2014.

2 Peneliti Indonesian Legal Rundtable.

3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4 Misalnya kasus suap Bupati Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu yang melibatkan

pengusaha Hartati Murdaya Poo sebagai pihak yang duduk di kursi pesakitan karena dituduh sebagai pihak yang memberikan uang suap sebesar Rp3 miliar kepada Bupati Buol, sebagai imbalan agar Amran selaku pejabat daerah yang berwenang, menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha terhadap tanah seluas 4.500 hektare yang dimiliki PT CCM, salah satu anak perusahaan milik Hartati. Lihat http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia /2013/02/130204_hartativonis.shtml.

5 Terkait dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita, menjelaskan mengapa Pasal 2 dan Pasal 3

diperuntukkan kepada pejabat negara, yakni: Pertama, Secara historis, peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi mulai dari UU Prp Nomor 24 tahun 1960 sampai dengan perubahan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2000, memiliki sarasaran utama pegawai negeri atau penyelenggaran negara. Pemikirannya, yang bisa menyalahgunakan kewenangan hanyalah penyelenggaran negara yang sedang menjalankan jabatan pemerintah; Kedua, klausul “memperkaya” pada pasal 2 menunjukkan

(2)

Page 2 of 10

Dakwaan Korupsi Korporasi Non-Negara

Sebagaimana natur dari tindak pidana korupsi, pada dasarnya merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk menggunakan sumber daya (resoureces) negara. Tatkala kewenangan itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan, maka sumber daya negara yang seharusnya untuk kesejahteraan warga negara menjadi tidak tepat sasaran. Maka dari itu, korupsi dalam arti luas diartikan sebagai perbuatan yang tidak patut atau menguntungkan diri sendiri dari pegawai negeri yang memiliki kedudukan istimewa.6

Korporasi non-negara (atau katakanlah bukan korporasi, tapi subjek hukum pribadi bukan negara) tidak dalam posisi yang memiliki otoritas (seperti halnya seorang pejabat publik) yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, yang kalau itu tidak dijalankan atau dijalankan tapi menyalahi aturan, dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan melawan hukum7 (Pasal 2) atau menyalahgunakan wewenang (Pasal 3). Jika korporasi non-negara tersebut kemudian merugikan keuangan negara/perekonomian negara, Prof. Oemar Seno Adji beranggapan hal demikian dapat dikenakan berbagai peraturan perundang-undangan khusus yang menempatkan non-pegawai negeri atau swasta sebagai subjek tindak pidana seperti undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (“UU TPE”).8

Namun dalam konteks kasus yang diceritakan, korporasi yang menerima izin tersebut secara faktual merupakan pihak yang menerima manfaat dari tindakan hukum pejabat negara yang melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang. Terlebih, kepala daerah tersebut sudah divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU tipikor. Bukankah, korporasi dimaksud memiliki peran terhadap terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah tersebut. Apalagi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, makna ‘setiap orang’ sudah sudah diperluas sebagai subjek hukum badan atau korporasi (recht person).

Adapun Konstruksi Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor menyebutkan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara,…..”

kelaziman dari para pengusaha (swasta). Sedangkan pada pasal 3 disebut sebagai perbuatan yang

“menguntungkan”, karena tugas dari seorang pegawai negeri adalah mengabdi kepada negara dan yang terjadi dalam praktik adalah menggunakan kewenangan atau kesempatan dengan tujuan untuk

“menguntungkan” atau “undue avantage” sebagaimana juga disebutkan dalam Konvensi PBB Anti

Korupsi 2003; Ketiga, ancaman hukuman minimal pada Pasal 2 yakni 4 tahun lebih tinggi daripada Pasa

3 yakni 1 tahun, karena posisi pegawai negeri merupakan posisi yang “terpojok” dengan iming-iming untuk menyalahgunakan kewenangan. Lihat dalam Romli Atmasasmita, Perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, diunduh dari http://infohukum.co.cc/perbedaan-pasal-2-dan-pasal-3-uu-nomor-31-tahun1999-yangtelah-diubah-dengan-uunomor-20-tahun-2001/

6 Penjelasan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971

7 Dalam hal ini melawan hukum formil (UU). Jika menggunakan konsep perbuatan melawan hukum

materil, kemungkinan bisa digunakan karena perbuatan korporasi dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

8 Vidya Prahassacitta, 2009, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pihak Terafiliasi Dalam Tindak Pidana

(3)

Page 3 of 10 Selanjutnya, Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara,….”

Sebagaimana perdebatan ikhwal peruntukkan Pasal 2 dan Pasal 3 diatas adalah untuk penyelenggara negara, maka seolah-olah korporasi (swasta) bukan merupakan pihak yang dapat dikenai pasal-pasal tersebut. Memang, Pasal 2 dan Pasal 3 menegaskan jika pihak yang melakukan perbuatan yang secara nyata (feit materiel) melakukan perbuatan yang melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang adalah penyeleggara negara. Namun, korporasi dapat juga digolongkan sebagai pihak yang ikut terlibat mewujudkan delik yang dilakukan oleh penyelenggara negara tersebut. Dalam hal ini, korporasi adalah sebagai pihak yang ikut terlibat dalam penerbitan izin yang tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku. Namun bukan sebagai pelaku yang secara nyata mengeluarkan izin yang melawan hukum, melainkan yang memiliki andil dalam keluarnya izin tersebut.

Doktrin Penyertaan

Dalam konsep hukum pidana, pihak yang bersama-sama mewujudkan delik atau tindak pidana dapat dihukum sebagai pihak yang melakukan tindak pidana itu sendiri. Hal ini yang kemudian disebut sebagai teori penyertaan (deelneming theory), yang dipergunakan untuk menentukan peran dari pelaku tindak pidana. Teori penyertaan ini menekankan kepada pertanggungjawaban pidana apabila ada dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana atau dua orang atau lebih yang mengambil bagian dalam mewujudkan suatu tindak pidana.9

Pendapat lain menyebutkan, penyertaan berbicara tentang kondisi apabila selain pembuat suatu perbuatan pidana lengkap, ada lagi yang ikut terlibat, dimana keterlibatan pihak lainnya tersebut sedemikian intensifnya serta telah menduduki tempat yang sedemikian penting dalam rangkaian sebab-akibat yang menuju perwujudan tindak pidana.10 Penyertaan dalam KUHP terdapat dalam Pasal 55 dan Pasal 56, yang terdiri dari mereka yang melakukan (plegen), yang menyuruh melakukan (doen plegen), dan yang turut serta melakukan perbuatan (medeplegen).11 Selanjutnya ada yang membujuk (menganjurkan) melakukan (uitlokking),12 dan pembantu melakukan (medeplichtige).13

Dalam perkara korupsi dengan terpidana H. Tengku Azmun Jaafar, SH (Mantan Bupati Pelalawan, Provinsi Riau) divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (2009) karena melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan beranjut saat menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) tahun 2002-2003 untuk 15 korporasi. Dimana Izin, yang dikeluarkan Terdakwa tersebut bertentangan dengan KEPMENHUT No. 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang pedoman pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman serta KEPMENHUT No. 21/Kpts-II/2001 tanggal 3 Januari 2001 tentang kriteria dan standar izin usaha pemamfaatan hasil

9 E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia

Grafika, Jakarta, hal. 336

10 D. Schaffmesiter, N. Keijner dan E. PH. Sutorius, 2001, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.

231.

(4)

Page 4 of 10 hutan hayu-hutan tanaman, sehingga menguntungkan korporasi dan menyebabkan kerugian negara setidaknya Rp. 1,2 triliun.

Adapun tindakan yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana tersebut adalah sengaja mengajukan usulan IUPHHK-HT dan RKT yang berada di hutan alam untuk ditebang lantas ditanami akasia. Dimana penebangan kayu ini bertujuan untuk dijadikan bahan baku pulp and paper dengan keuntungan yang amat besar.14 Dapat dikatakan disini, baik korporasi maupun pejabat publik sama-sama melakukan tindak pidana (aktif). Maka, konsep penyertaan berupa yang melakukan, menyuruh melakukan dan membujuk atau menganjurkan tidak relevan dalam pembahasan ini.

Plegen atau yang melakukan jelas hanya dilakukan oleh pelaku yang telah memenuhi unsur delik seorang diri beserta pertanggungjawaban pidananya.15 Sementara, yang menyuruh melakukan dan membujuk, delik hanya dilakukan oleh yang disuruh atau dibujuk melakukan, sementara yang menyuruh atau membujuk berada dibelakang layar (pasif). Perbedaannya, dalam menyuruh lakukan, pihak penyuruh (manus domina, onmiddelijke dader, intellectual dader) dipidana karena memperalat atau memperdaya orang yang disuruh (manus ministra, middelijke dader, materiele dader) sebagai alat dalam melakukan tindak pidana. Terhadap orang yang disuruh tidak dapat dipidana karena ketidaktahuan, kekeliruan (dwaling) atau paksaan, sehingga padanya tidak terdapat unsur kesalahan atau setidak-tidaknya kesalahannya ditiadakan.16 Sementara, pada yang pembujukan, baik pihak yang membujuk dengan yang dibujuk melakukan sama-sama dapat dipidana.17

Korporasi dalam hal ini hanya mungkin dikenakan tuduhan turut serta (medepleger) atau membantu melakukan (medeplichtige). Dalam kerangka yang pertama, A.Z Abidin dan Andi Hamzah merumuskan pelaku-peserta atau turut serta adalah sebagai berikut:

“dua orang atau lebih bekerja sama secara sadar dan bersama-sama melakukan

perbuatan-perbuatan yang secara keseluruhan mewujudkan delik ataupun sesuai

dengan kesepakatan pembagian peran, seorang melakukan perbuatan

pelaksanaan seluruhnya, sedangkan kawan berbuatnya melakukan yang sangat

penting bagi terwujudnya delik.”18

Hal yang paling jelas atas tindakan turut serta melakukan dapat dilihat dari pemenuhan unsur delik. Pelaku (pleger) baru dapat dipidana apabila memenuhi semua unsur delik, sementara yang turut serta melakukan hanya melakukan beberapa unsur delik saja. Hal ini bisa dilihat dalam hal penerapan Pasal 284 KUHP tentang perzinaan. Dimana, dalam perzinaan disyaratkan klausula bagi yang “telah kawin”, baik laki-laki, maupun perempuan (Pasal 284 Ayat (1) huruf a dan b KUHP). Sementara bagi pasangan zina, tidak disaratkan sudah kawin (Pasal 284 Ayat (2)

14Muslim Rasyid dan Made Ali, Membincang Money Laundering Korupsi Kehutanan Riau, Paper Diskusi

Mainstreaming Kejahatan Korporasi Sektor Kehutanan, Silvagama – ICW dan Walhi, Jakarta 23-24 Juni 2014, hal. 3

15A.Z. Abidin dan Andi Hamzah menerangkan jika judul BAB V Buku I KUHP yang diterjemahkan oleh

Moeljatno menjadi “Tentang Penyertaan dalam Melakukan Perbuatan Pidana” tidak tepat karena di dalam Pasal 55 KUHP disebut juga pelaku (pleger). Oleh sebab itu penulis mencantumkan judul “Bentuk

Delik Melakukan dan Bentuk-bentuk Penyertaan”, sama dengan judul BAB I Paragraf V buku Hazewinkel-Suringa, yang berjudul De Delictsvormen Plegen en Deelneming. Lihat A.Z Abidin dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Yasrif Watapone, Jakarta, hal. 425.

16E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Op., Cit., hal. 342.

17Penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan hal ini karena, rumusan perbuatan dari pembujukkan

(Pasal 55 Ayat 1 ke-2) dilakukan juga dengan kekerasan dan ancaman, yang menurut hemat penulis sama hakikatnya dengan yang disuruh melakukan (manus ministra) yang tidak dapat dipidana.

(5)

Page 5 of 10 huruf a dan b KUHP). Pelaku peserta disini merupakan tindakan pelaksanaan walaupun tidak memenuhi semua unsur tindak pidana yang dicantumkan dalam undang-undang.19Artinya, pelaku yang melakukan zina adalah bagi yang telah kawin, sedangkan bagi pasangan zina yang belum kawin, hanyalah pihak yang turut serta.

Jika dibawakan kedalam konstruksi korupsi dalam pengelolaan kawasan hutan, perbuatan korporasi yang mengajukan usulan IUPHHK-HT ditatas hutan alam yang jelas-jelas tidak bisa diusahakan untuk kegiatan industri kehutanan termasuk dalam kategori ini. Dalam hal ini, korporasi tidak dalam posisi yang melakukan perbuatan melawan hukum/menyalahgunakan wewenang seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, yang merupakan kapasitas seorang pejabat publik sebagai pelaku atau pleger. Korporasi bertindak sebagai pihak yang turut serta (medepleger) melakukan perbuatan melawan hukum bersama penyelenggara negara tersebut. Kedua belah pihak sama-sama memiliki peran dalam terwujudnya tindak pidana.

Lalu, apakah korporasi juga dapat dikonstruksikan sebagai pihak yang membantu melakukan (medeplichtige) dalam konteks kasus yang dibahas? Secara normatif, pembantuan dalam tindak pidana ini dipisahkan dengan konsep penyertaan lainnya (Pasal 55 KUHP), yakni terdapat dalam Pasal 56 KUHP, yang berbunyi:

“Dipidana sebagai pembantu pada suatu kejahatan:

Ke-1 mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

Ke-2 mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau

keterangan untuk melakukan kejahatan itu.”

Jika dilihat dari rumusan Pasal 56 tersebut terdapat beberapa pemahaman terkait pembantuan. Pertama, pembantuan yang berdasarkan waktu, dimana yang pertama adalah pembantuan pada saat kejahatan berlangsung (Pasal 56 ke-1) dan sebelum kejahatan dilakukan (Pasal 56 ke-2). Kedua, pembantuan yang pertama bisa dalam bentuk pembantuan dalam arti luas, yakni bisa dilakukan dalam bentuk aktivitas fisik, ataupun hanya berupa kesempatan, sarana, atau keterangan. Sementara untuk pembantuan yang kedua, hanya dilakukan dalam bentuk pemberian kesempatan, srana atau keterangan. Artinya, pembantuan dalam bentuk kedua ini tidak berupa aktivitas fiisik.

Pembantuan menurut Schaffmeister, Keijzer dan Sutorius merupakan bentuk penyertaan yang paling santun dibanding bentuk lainnya. Hal ini berkaitan dengan prakarsa untuk melakukan tindak pidana. Jika bentuk penyertaan lainnya (kecuali yang melakukan – pleger), yakni penyuruh lakukan, pelaku peserta, dan pembujuk, prakarsa datang dari mereka. Sementara pembantu, prakrasa harus sudah ada ada ketika pembantu berada pada tahap rencana-renacana ataupun tahap pelaksanaan pidana. Artinya, dalam hal pembantuan, prakarsa bukanlah datang dari si pembantu, melainkan dari pelaku utama dari tindak pidana tersebut.20

Maka, dengan demikian jika dikontekskan dengan kasus korupsi antara kepala daerah dengan korporasi dalam suatu perbuatan melawan hukum, korporasi tidak dapat digolongkan sebagai pembantu melakukan tindak pidana, karena prakarsa melakukan tindak pidana bukan hanya dari kepala daerah, melainkan dari kedua belah pihak. Baik kepala daerah maupun korporasi terjadi suatu kerjasama yang erat, karena bagi kepala daerah tidak akan mungkin dapat melakukan tindak pidana tanpa peran dari korporasi dan begitu pula sebaliknya.

19E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Op., Cit., hal. 345-346

(6)

Page 6 of 10

Penerapan Pelaku Turut Serta Dalam Kasus Korupsi

Dalam praktik, pasal penyertaan, khususnya pelaku turut serta (medepleger) yang berasal dari pihak swasta atau bukan penyelenggara negara sudah banyak digunakan dalam beberapa kasus korupsi terkait perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang. Pelaku turut serta tersebtu dalam hal ini dianggap ikut bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan penyelenggara negara, karena adanya kerjasama yang erat diantara keduanya dalam mewujudkan delik. Hanya saja, hampir semua perkara yang menggunakan pasal turut serta tersebut, pelaku perserta yang dimaksud belum pernah ada yang berasal dari subjek hukum korporasi21, melainkan hanya sebatas orang pribadi. Namun, setidaknya dapat digambarkan konstruksi hukum penggunaan pasal turut serta terhadap pihak swasta dalam padanannya dengan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang di UU Tipikor.

Dalam perkara korupsi yang disidangkan di Pengadilan Negeri Kendari, atas dakwaan terhadap Syamsuddin selaku staf bagian pemasaran PT Pabelan Cabang Kendari. Terdakwa diajukan ke pengadilan karena dianggap melakukan perbuatan bersama-sama Darson Bunggo, selaku Kepala Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Kendari, melakukan perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 subsidair Pasal 3 UU Tipikor. Adapun perbuatan terdakwa adalah, selaku bagian pemasaran PT. Pabelan bekerjasama dengan Kepala SMPN 4 Kendari dalam pengadaan buku pelajaran yang dananya berasal dari BOS, ternyata dana sudah keluar namun buku-buku yang berasal dari PT. Pabelan tidak ada pada perpustakaan sekolah, dana BOS tersebut cair karena adanya faktur pembelian 544 eksemplar yang fiktif.

Dalam putusan kasasi, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam dakwaan subsidair, yakni mengungtungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan wewenang yang dapat merugiakan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, majelis hakim menempatkan terdakwa sebagai pihak yang turut serta (plegen) bersama kepala sekolah melakukan perbuatan korupsi, yakni melakukan pengadaan buku-buku sekolah fiktif. Hal ini terlihat dari pertimbangan hakim yang menyatakan:

21Sebenarnya sudah ada korporasi yang divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang juga

(7)

Page 7 of 10

“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Terdakwa telah turut serta melakukan

tindak pidana korupsi sesuai Pasal 3 Dakwaan Subsidair, sesuai pendapat Muljatno

bahwa seorang pelaku serta (medepleger) tidak harus mewujudkan seluruh elemen

delik termasuk dalam masalah jabatan/kedudukan oleh karena itu Terdakwa dapat

dipersalahkan / terbukti atas tindak pidana tersebut dalam Dakwaan Subsidair.”22

Berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, terdakwa yang merupakan staf marketing dianggap melanggar pasal penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU Tipikor) sebagai pelaku turut serta. Dimana ia hanya memenuhi sebagian unsur delik, yaitu memperkaya diri dengan membuat faktur penjualan buku fiktif agar dapat menikmati dana BOS bersama kepala sekolah. Namun tetap penyalahgunaan wewenangnya dilakukan oleh kepala sekolah yang memang secara hukum diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Kepala sekolah menggunakan wewenangnya untuk menggunakan anggaran dana BOS yang kemudian diselewengkan.

Perkara lainnya adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Yohanes Waworuntu dalam proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Departemen Kehakiman dan HAM RI (Sekarang Kementerian Hukum dan HAM RI) tahun 2000 hingga 2008. Ia selaku selaku Direktur Utama PT. Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD) diputus bersalah oleh Mahkamah Agung RI dalam sidang Kasasi melakukan tindak pidana korupsi turut serta bersama-sama dengan penyelenggara negara, yakni Romli Atamsasmita (Dirjen AHU) dan Yusril Izha Mahendra (Menteri Kehakiman RI) secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 UU Tipikor).23

Adapun perbuatan Yohanes Waworuntu yang dianggap melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud adalah terkait penunjukkan PT. SRD sebagai Pengelola dan Pelaksana Infrastruktur Pengadaan dan Pengoperasian Serana Telekomunikasi berupa Networking SISMINBAKUM. Dimana, penunjukkan PT. SRD sebagai pengelola dan pelaksana tidak dilakukan secara transparan (penunjukkan langsung) dan penetapan tariff layanan juga tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (mark up). Adapun, pertimbangan majelis kasasi menyatakan:

“Bahwa dari fakta-fakta hukum yang diperoleh ternyata Terdakwa bersama-sama

dengan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, semula tanpa melibatkan pengurus KPPDK telah sepakat membuat Perjanjian Kerja Sama untuk penyelengaraan SISMINBAKUM di

mana disepakati untuk mengenakan fee kepada Notaris yang memerlukan Jasa

Hukum untuk pengurusan nama perusahaan, pendirian dan perubahan Badan Hukum, pemeriksaan profile perusahaan dan Konsultasi Hukum bertentangan dan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2000, Undang-Undang No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Keppres. No.17 Tahun 2000

tentang Pelaksanaan APBN yang melarang Departemen mengadakan pungutan.”24

Tampak disini bahwa, keterlibatan Yohanes Waworuntu sebagai yang merupakan pihak swasta (yang harusnya juga menyasar korporasinya) sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana bersama penyelenggara negara.25 Walaupun yang mengeluarkan keputusan adalah

22Putusan No. 2389 K/Pid.Sus/2011, hal. 13

23Sebelumnya Yohanes Waworuntu didakwa secara alternatif, yakni dengan Pasal 12 huruf e, Pasal 15,

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

24Putusan Mahkamah Agung Nomor 655K/Pid.Sus/2010, hal. 323

25Perkara Yohanes Waworuntu yang dianggap bersama-sama dengan Prof. Romli Atmasasmita, Yusril Izha

(8)

Page 8 of 10 penyelenggara negara (Surat Keputusan penunjukkan PT SRD sebagai pengelola SISMINBAKUM), namun perbuatan tersebut dianggap suatu kesatuan dengan perbuatan dari terdakwa Yohanes Waworuntu. Pelaku turut serta hanya memenuhi beberapa unsur delik saja, dimana ia tidak memenuhi unsur penyelengara negara, melainkan pihak yang turut serta bersama penyelenggara negara melakukan tindak pidana korurpsi. Konstruksi demikian akan relevan dengan pandangan ikhwal peruntukan Pasal 2 dan Pasal 3 hanya digunakan untuk penyelenggara negara yang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut yang kemudian menjadi janggal dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Prof. Romli Atmasasmita dan Yohanes Waworuntu. Dalam perkara yang dipisah (splitsing), Prof Romli Atmasasmita diputus bersalah melanggar Pasal 3 UU Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara Yohanes Waworuntu diputus bersalah melanggar Pasal 2 UU Tipikor. Sebagaimana konsep turut serta, masing-masing pihak bekerja sama mewujudkan delik yang sama. Tidak mungkin terhadap Prof. Romli melanggar Pasal 3 sementara pihak yang turut serta dengannya, Yohanes Waworuntu melanggar Pasal 2 UU Tipikor.

Penyertaan Tidak Dapat Dikenakan Untuk Korporasi?

Walaupun bukan suatu yang baru, secara normatif doktrin pertanggungungjawaban korporasi masih belum dianut dalam sistem KUHP yang masih berlaku di Indonesia saat ini. Menurut H.B. Vos, subjek tindak pidana dalam KUHP adalah manusia, setidak-tidaknya karena 3 (tiga) alasan, yaitu:26

1) Rumusan dari KUHP sendiri, yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang dalam Bahasa Belanda “hij die”, yang artinya tidak lain adalah manusia;

2) Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalani oleh manusia, misalnya pidana penjara; 3) Di dalam hukum pidana berlaku asas kesalahan (schuld) bagi seorang manusia pribadi.

Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, namun beberapa norma dalam KUHP, menunjukkan jika korporasi belum dianut sebagai subjek hukum pidana, khususnya Pasal 59 KUHP dan Pasal 169. Adapun Pasal 59 KUHP menyebutkan bahwa:

“Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan

pelanggaran tidak dipidana.”

Selanjutnya, Pasal 169 KUHP secara spesifik mengatur tentang penyertaan dalam korporasi, yaitu, sebagai berikut:

(1) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut

serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga.

(9)

Page 9 of 10 Dengan memperhatikan muatan dalam Pasal 59 dan Pasal 169 KUHP tersebut, maka sekalipun pengurus korporasi bertindak mewakili korporasi atau bertindak atas nama korporasi, ketika suatu peristiwa yang dapat diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana itu terjadi karena perbuatan pengurus korporasi tersebut, bukan korporasi yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidananya, tetapi pribadi-pribadi pengurus korporasi itu. Lantas, apakah konsep penyertaan dalam KUHP masih bisa dipergunakan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana?

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa korporasi adalah perluasan dari subjek hukum orang pribadi (natural person). Perkembangan ini mengingat pesatnya perkembangan kejahatan dalam masyarakat yang hanya bisa dilakukan oleh korporasi karena memiliki sumber daya yang jauh lebih besar ketimbang orang pribadi. Terlebih, kejahatan yang dilakukan oleh korporasi menimbulkan kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Sutan Remy Sjahdeini menambahkan, akan ada ketidakadilan apabila hanya pengurus korporasi saja yang dihukum sementara tindakannya dilakukan untuk dan atas nama korporasi dalam konteks memberikan manfaat, yakni memberikan keuntungan finansial atau menghindari/mengunrai kerugian finansial korporasi tersebut.27

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan begitu banyak kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia, tak terkecuali dengan kejahatan. Sehubungan dengan banyaknya peraturan-perundangan yang diundangkan yang mencantunkan badan-badan hukum, koperasi-koperasi, yayasan-yayasan dapat menjadi subjek tindak pidana, maka pandangan yang menganut bahwa hanya manusia atau orang saja yang dapat merupakan subjek hukum pidana dewasan ini sudah ditinggalkan.28

Maka dengan menggunakan beberapa tela’ah yuridis, pertanggungjawaban pidana korporasi tetap dapat digunakan sekalipun menggunakan aturan yang ada dalam KUHP, dalam hal ini terkait dengan penyertaan dalam tindak pidana. Hal mana dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tela’ah yuridis berikut:

Pertama, penyertaan merupakan bagian dari asas hukum pidana umum yang dapat digunakan terhadap tindak pidana yang diatur diluar KUHP, apabila tidak ditentukan lain oleh tindak pidana yang bersangkutan. Hal ini terdapat dalam Pasal 103 KUHP, yang berbunyi:

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam

dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Maka, sepanjang undang-undang tindak pidana korupsi tidak mengatur sendiri tentang aturan penyertaan, maka tetap mengacu kepada aturan pasal-pasal penyertaan dalam KUHP, yakni Pasal 55 atau Pasal 56 KUHP. Hanya saja, dalam penyertaan, khususnya pihak yang turut serta (medepleger) dalam KUHP masih menggunakan konsep pelaku fisik yang saling bekerjasama secara erat melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Sementara, korporasi tidak bisa melakukan aktivitas fisik karena merupakan suatu konsep yang abstrak. Tindakan korporasi harus diarahkan kepada tindakan fisik yang dilakukan oleh pengurus korporasi sesuai dengan doktrin-doktrin pertanggungjawaban korporasi.

27Sutan Remy Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT Grafiti Pers, Jakarta, hal. 49. 28

(10)

Page 10 of 10 Kedua, tindak pidana korupsi diatur diluar KUHP yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum. Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi semuanya sudah diatur dengan undang-undang tersendiri, yakni undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Didalamnya juga diatur beberapa hal-hal khusus yang berbeda atau menyimpangi aturan umum (lex specialis derogate lex generalis). Jika menggunakan konsep Pasal 103 KUHP, maka konstruksi tindak pidana korupsi yang belum diatur secara khusus akan tetap menggunakan aturan dalam Buku I KUHP, yakni tentang penyertaan. Namun, terhadap subjek hukum karena sudah diatur secara khusus dalam UU Tipikor maka dapat mengacu ke sana dengan mengabaikan konsepsi subjek hukum dalam KUHP.

Ketiga, RUU KUHP sudah menganut subjek hukum korporasi. Meskipun masih berupa aturan hukum dimasa yang akan datang (ius constituendum), RUU KUHP sejatinya merupakan realita kebutuhan masyarakat yang hendak dipenuhi. Didalamnya sudah secara ekplisit diatur tentang korporasi sebagai subjek hukum pidana. Pengaturan subjek hukum korporasi dalam RUU KUHP diatur dalam BUKU 1 BAB 2 Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Lebih spesifik ikwal korporasi diatur dalam Bagian Kedua Paragraf enam, Pasal 47 sampai dengan Pasal 53.

Dalam Ketentuan Pasal 48 RUU KUHP, menyebutkan bahwa:

“Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang

mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi

tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.”

Jelas bahwa kebutuhan hukum masyarakat saat ini yang sudah menghendaki masuknya korporasi sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hanya saja, hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan oleh negara, yang mana sampai saat ini belum mampu mereformasi produk hukum pidana nasional. Namun demikian, penggunaan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi bukan berarti tidak bisa dilakukan, mengingat telah banyak peraturan diluar KUHP yang mengakomodir kebutuhan tersebut semenjak tahun 1950-an. Maka, penggunaan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini sudah tidak lagi terkendala, karena sudah merupakan arah politik hukum pidana yang mampu menjawab kebutuhan hukum masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Data dari tabel diatas menunjukkan bahwa 7 atau 10% responden mendapatkan penguatan verbal dan non-verbal dengan kriteria sangat tinggi, 28 atau 40% responden mendapatkan

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE.. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan

besar dari petakan label yang dibuat Rapikan hasil. penempelan sehingga nomor panggil

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE.. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan

[r]

Peserta seleksi yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada POKJA 4 ULP

[r]

A cooperation  between the  Institute of  Ecology, Indonesian State Electric Company  (IOE  UNPAD­PLN),  Bandung,  Indonesia; and the  International Center  for