• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF ini MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERFIKIR GEOMETRI MELALUI PEMBELAJARAN CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) Menumbuhkan Kemampuan Berfikir Geometri melalui Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP) | WARDHANI | Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PDF ini MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERFIKIR GEOMETRI MELALUI PEMBELAJARAN CONNECTED MATHEMATICS PROJECT (CMP) Menumbuhkan Kemampuan Berfikir Geometri melalui Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP) | WARDHANI | Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Anak "

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERFIKIR GEOMETRI

MELALUI PEMBELAJARAN

CONNECTED MATHEMATICS PROJECT

(CMP)

Menumbuhkan Kemampuan Berfikir Geometri melalui

Pembelajaran

Connected Mathematics Project

(CMP)

INDAH SETYO WARDHANI

1) 1)

Universitas Trunojoyo Madura

e-mail: indahsetyowardhani@yahoo.co.id

1)

ABSTRAK

Geometri menempati posisi khusus dalam pelajaran matematika.Dalam sudut pandang psi-kologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misal-nya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk pemecahan masalah, misalnya gam-bar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan transformasi.Mempelajari geometri membutuhkan kemampuan berfikir geometri. Van Hiele menjelaskan kemampuan berfikir geometri melalui tingkat berpikir geometri yaitu tahap pengenalan (visualisasi), tahap ana-lisis (deskriptif), tahap pengurutan (deduksi informal), tahap deduksi (formal), tahap ketepa-tan (rigor/akurasi). Kemampuan berfikir geometri dapat dikembangkan melalui pembelaja-ran Connected Mathematics Project (CMP) dengan tiga tahapanyaitu phase lounching, phase eksploring, phase summarizing.

Kata Kunci: Geometri, Kemampuan berfikir geometri, Connected Mathematics Project (CMP

BAB I PENDAHULUAN

Salah satu cabang matematika yang dipela-jari siswa adalah geometri. Tujuan mempeladipela-jari geometri agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, men-jadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomu-nikasi secara matematik, dan dapat bernalar seca-ra matematik (Bobango, 1993:148).Sejalan dengan pernyataan Babago, Budiarto (2000:439) menya-takan bahwa tujuan pembelajaran geometri ada-lah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, mena-namkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginter-pretasikan argumen-argumen matematik.Pada dasarnya peluang siswa dalam memahami geo-metri mempunyai porsi yang lebih besar diban-dingkan dengan memahami cabang matematika yang lain. Alasan mendasar karena ide-ide geo-metri sudah dikenal oleh siswa sebelum mereka masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan ruang. Meskipun demikian, bukti-bukti di lapangan

me-nunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah (Purnomo, 1999:6) dan perlu ditingkatkan (Bobango, 1993:147). Bahkan, diantara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan (Sudarman, 2000:3). Rendahnyahasil belajar geometri membutuhkan kemampuan berfikir geometri dalam mempelaja-rinya.

Mempelajari geometri membutuhkan ke-mampuan berfikir geometri. Van Hiele msenje-laskan kemampuan berfikir geometri melalui ting-kat berpikir geometri yaitu tahap pengenalan (

vi-sualisasi), tahap analisis (deskriptif),

(2)

bergantung pada pengajaran dari guru dan pros-es belajar yang dilalui oleh siswa.

Mempelajari geometri pada dasarnya mem-pelajari konsep matematika. Konsep tersusun se-cara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling komplekssehingga me-merlukan kemampuan berpikir matematis yang baik untuk mengatasinya. Perkembangan ke-mampuan berpikir geometri siswa dipengaruhi oleh rangkaian proses aktivitas berfikir yang bi-asanya disebut sebagai proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dimaksud adalah pros-es yang mengedepankan perkembangan prospros-es berpikir geometris siswa yang terkait dengan ke-mampuan visualisasi, analisis, dan deduktif infor-mal. Siswa akan belajar mengalisis dan mengam-bil kesimpulan dalam proses membangun penge-tahuannya sendiri.

Berfikir geometri sangat penting dilakukan siswa karena menurut Sudam dalam Clements (1992:420) dapat: (1) membangun kemampuan berpikir secara logis, (2) membangun intuisi spa-sial mengenai dunia sebenarnya (3) menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk belajar ma-tematika yang lebih, (4)mengajarkan membaca dan menginterpretasikan argumen secara mate-matis. Berfikir geometri dapat dilakukan melalui

penerapan model pembelajaran Connected

ma-thematics Project(CMP). CMPmerupakan suatu

pembelajaranyang menekankan pada pemberian objekmatematika yang berhubungan dengan

Connected mathematics. Siswa harus mampu

ber-komunikasi serta mahir dalam matematika. Siswa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan kosa kata, bentuk-bentuk re-presentasi, bahan, alat, teknik, dan metode inte-lektual dari disiplin matematika, termasuk ke-mampuan untuk mendefinisikan dan memecah-kan masalah dengan alasan, wawasan, keahlian dan kemampuan. CMP merupakan pembelajaran yang berpusat pada masalah yang akan diselesai-kan dan didiskusidiselesai-kan oleh siswa, sehingga siswa akan tampil aktif dalam belajar dan dapat dengan mudah diterapkan oleh guru dan siswa (Lappan, 2001).

BAB II KAJIAN TEORI

Berfikir Matematika Tingkat Tinggi

Berpikir (Solso, 1991) merupakan proses menghasilkan representasi mental yang baru me-lalui transformasi informasi yang melibatkan inte-raksi secara kompleks antara atribut-atribut men-tal seperti penilaian, abstraksi, imajinasi, dan pe-mecahan masalah.Proses berpikir merupakan fak-tor penting dalam sebuahpembelajaran. Didalam proses berfikir ada sebuah ide atau informasi yang dilahirkan dari otak manusia. Salah satu pandangan yang dikemukakan para ahli psikologi seperti disampaikan Fisher (1995) adalah bahwa otak manusia merupakan suatu tempat atau ba-gian untuk melakukan proses informasi atau idea

(idea-processing). Menurut Sternberg (dalam

Fish-er,1995), kapasitas otak manusia untuk melakukan proses informasi meliputi tiga komponen yakni komponen kontrol (metacomponents), komponen

output (performance components), dan komponen

input (knowledge acquisition components). Sistem proses informasi tersebut oleh Sternberg digam-barkan seperti diagram di bawah ini.

Menurut analisis Fisher (1995), keberhasilan dalam proses berpikir ditentukan oleh ketiga ope-rasi dari: (1) pemerolehan pengetahuan (input), (2) strategi penggunaan pengetahuan dan peme-cahan masalah (output), serta (3) metakognisi dan pengambilan keputusan (control). Keberhasilan ini pada ahirnya akan berpengaruh terhadap pen-gembangan kemampuan berfikir seseorangter-masuk berfikir matematis.

(3)

menggunakan abstraksi atau generalisasi. Sejalan dengan Mustofa, (Sumarmo, 2008) mengemuka-kan berpikir matematika adalah proses berpikir dalam kegiatan melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan matematika. Proses berfikir matematika mempunyai tingkat kedalaman atau kompleksitas yang dapat digolongkan dalam ka-tegori tertentu. Penggolongkan berdasarkan ting-kat kedalaman atau kompleksitas ada dua tingka-tan yaitu: (1) kategori berpikir rendah (low order

mathematical thinking) dan (2) kategori berfikir

tingkat tinggi (highorder mathematical think-ing)(Sumarmo, 2009). Klasifikasi berpikir matema-tis tingkat rendah dan tinggi menurut Webb &Coxford (dalam Sumarmo, 2009) meliputi men-gerjakan operasi aritmetika sederhana, penggu-naan aturan langsung, bekerja dengan tugas yang algoritmik untuk klasifikasi berpikir matematis tingkat rendah, sedangkan pemahaman yang bermakna, menyusun konjektur, membuat analogi dan generalisasi, penalaran logik, problem solving, serta komunikasi matematika dan koneksi sebagai klasifikasi berpikir matematis tingkat tinggi.

Menurut Henningsen dan Stein (1997, h. 525), kemampuan berpikirmatematik tingkat tinggi pada hakekatnya merupakan kemampuan berpikir non prosedural yang antara lain menca-kup hal-hal berikut: kemampuan mencari dan mengeksplorasi pola untuk memahami struktur matematik serta hubungan yang mendasarinya; kemampuan menggunakan fakta-fakta yang ter-sedia secara efektif dan tepat untuk memformula-sikan serta menyelesaikan masalah; kemampuan membuat ide-ide matematik secara bermakna; kemampuan berpikir dan bernalar secara fleksibel melalui penyusunan konjektur, generalisasi, dan jastifikasi; serta kemampuan menetapkan bahwa suatu hasil pemecahan masalah bersifat masuk akal atau logis. Dalam upaya mengidentifikasi perkembangan kemampuan berpikir matematik siswa, Shafer dan Foster (1997), mengajukan tiga tingkatan berpikir matematik yaitu tingkatan re-produksi, koneksi, dan analisis. Tingkatan repro-duksi merupakan tingkatan berpikir paling ren-dah, sementara analisis adalah tingkatan berpikir yang paling tinggi. Berikut adalah komponen-komponen dari masing-masing tingkatan berpikir tersebut.

Tabel 1, komponen-komponen dari

masing-masing tingkatan berpikir Shafer dan Foster (1997)

Dalam Assessment Frameworks and

Specifi-cations 2003, Mullis, dkk (2001) mengungkapkan

empat ranah kognitif matematika yakni pengeta-huan tentang fakta dan prosedur, penggunaan konsep, pemecahan masalah rutin, dan penalaran matematik. Keempat ranah kognitif tersebut men-cerminkan tahapan berpikir matematik yang dija-dikan acuan dalam pengembangan soal-soal pa-da studi TIMSS. Penalaran, yang merupakan taha-pan berpikir matematik tertinggi, mencakup ka-pasitas untuk berpikir secara logik dan sistematik.

Menurut Mullis (2001), penalaran matematik mencakup kemampuan menemukan konjektur, analisis, evaluasi, generalisasi, koneksi, sintesis, pemecahan masalah tidak rutin, dan jastifikasi atau pembuktian. Kemampuankemampuan terse-but dapat muncul pada saat berpikir tentang sua-tu masalah atau penyelesaian masalah matematik. Pada saat siswa melakukan aktivitas seperti itu, komponen-komponen penalaran tersebut tidak muncul secara sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan satu dengan lainnya. Kompetensi yang muncul dalam proses berpikir matematik terja-barkan dalam indikator-indikator berikut.

Pemahaman matematika Indikator

(4)

seder-hana. Kemampuan ini tergolong pada kemam-puan tingkat rendah; (b) Pemahaman induktif menerapkan rumus atau konsep dalam kasus se-derhana atau dalam kasus serupa. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah; (c) Pemahaman rasional: membuktikan kebenaran suatu rumus dan teorema. Kemampuan ini tergo-long kemampuan tingkat tinggi; (d) Pemahaman intuitif: memperkirakan kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut. Kemampuan ini tergolong pada kemam-puan tinggi tinggi.

Pemecahan masalah matematik

(mathe-mathical problem solving)(Sumarmo, 2008)

men-gungkapkan bahwa pemecahan masalah mate-matik mempunyai dua makna yaitu: (a) sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan

untuk menemukan kembali (reinvention) dan

memahami materi/konsep/prinsip matematika; pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip mate-matika, dan (b) sebagai kegiatan yang meliputi: mengidentifikasi kecukupan data untuk pemeca-han masalah, membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menye-lesaikannya, memilih dan menerapkan strategi untukmenyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika, menjelaskan atau mengi-terpretasikan hasil sesuai permasalahan asal serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. Secara umum pemecahan masalah bersifat tidak rutin, oleh karena itu kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.

Penalaran matematik Beberapa kegiatan

yang tergolong dalam penalaran matematik anta-ranya adalah: (a) menarik kesimpulan logis; (b) memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; (c) memperkirakan jawaban dan proses solusi, (d) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau mem-buat analogi, generalisasi, dan menyusun konjek-tur; (d) menggunakan lawan contoh, (e) mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan dan menyusun argument yang va-lid; (f) menyusun pembuktian langsung, pembuk-tian tak langsung dan pembukpembuk-tian dengan induksi

matematika. Kemampuan ini pada umumnya ter-golong pada kemampuan tingkat tinggi.

Koneksi matematika (mathematical

connec-tion) Kegiatan pada koneksi matematik

dianta-ranya adalah: (a) mencari hubungan berbagai re-presentasi konsep dan prosedur; (b) memahami hubungan antar topic matematika; (c) mene-rapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari; (d) memahami representasi ekuivalen suatu konsep; (e) mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam repre-sentasi yang ekuivalen; (f) menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matema-tika dengan topik di luar matemamatema-tika. Kemam-puan ini dapat digolongkan pada kemamKemam-puan rendah atau tinggi bergantung kekompleksan hubungan yang disajikan.

Komunikasi matematik (mathematical

com-munication) Kegiatan yang tergolong pada

ko-munikasi matematik diantaranya adalah: (a) me-nyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik; (b) menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan; (c) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (d) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis; (e) mem-buat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; (f) mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa sendiri. Kemampuan ini dapat ter-golong pada kemampuan tingkat rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat. Kebiasaan berpikir dan sikap matematik tersebut diatas harus nampak dalam proses pembelajaran matematika dan ter-jadi secara berkelanjutan sehingga dalam ke-mampuan berpikir matematika siswa dalam mela-kukan disposisi matematik akan terasah dan dimi-liki siswa secara akumulatif.

Kemampuan Berfikir Geometri

(5)

1990:269). Usiskin (1982:26-27) mengemukakan bahwa geometri adalah (1) cabang matematika yang mempelajaripola-pola visual, (2) cabang ma-tematika yang menghubungkan mama-tematika den-gan dunia fisik atau dunia nyata, (3) suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak bersifat fisik, dan (4) suatu contoh sistem mate-matika. Sedangkan Budiarto (2000:439) menyata-kan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir lo-gis, mengembangkan intuisi keruangan, mena-namkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginter-pretasikan argumen argumen matematik.

Pierre Van Hiele dan Dina Van Hiele-Geldof adalah sepasang pendidik yang memperhatikan perkembangan berpikir siswa khususnya pada bidang geometri. Van Hiele adalah seorang pen-gajar matematika Belanda yang telah mengada-kan penelitian di lapangan, melalui obsesvasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam desertasi pada tahun 1954. penelitian yang dilakukan oleh Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkemban-gan kognitif anak dalam memahami geometri.Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Tahapan ta-hapan berpikir tersebut adalah tahap pengenalan

(visualisasi), tahap analisis (deskriptif),

tahappen-gurutan (deduksi informal), tahap deduksi ( for-mal), tahap ketepatan (rigor/akurasi).

Tahap berpikir van Hiele yang merupakan kemampuan berfikir geometri dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tahap 0 (Visualisasi)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, dan tahap vis-ual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar ka-rakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang ob-yek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pa-da tahap ini siswa tipa-dak pa-dapat memahami pa-dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.

2. Tahap 1 (Analisis)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskrip-tif. Pada tahap ini sudah tampak adanya ana-lisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, penguku-ran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum se-penuhnya dapat menjelaskan hubungan an-tara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.

3. Tahap 2 (Deduksi Informal)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer (dalam Orton, 1992:72) menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu ban-gun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat de-finisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari ber-bagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan ban-gun-bangun secara hirarki. Meskipun demi-kian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri.

4. Tahap 3 (Deduksi)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyu-susn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa ber-peluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa me-nyadari perlunya pembuktian melalui serang-kaian penalaran deduktif.

5. Tahap 4 (Rigor)

(6)

didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.

Model berpikir geometris Van Hiele dapat digunakan sebagai pedoman pembelajaran mau-pun menaksir kemampuan siswa. Dengan demi-kian, untuk mengetahui tingkat berpikir siswa dan proses pembelajaran di kelas geometri dapat menggunakan teori geometri Van Hiele. Imple-mentasi teori Van Hieledalam pembelajaran nntuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap ber-pikiryang lebih tinggi Van Hiele mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase(langkah), yaitu; informasi (information), orientasi langsung

(directedorientation), penjelasan (explication),

ori-entasi bebas (free orientation),

daninte-grasi(integration). Masing-masing implementasi dijabarkan sebagai berikut.

Fase 1: Informasi (Information)

Pada awal fase ini, guru dan siswa meng-gunakan tanya jawab dan kegiatan ten-tang obyek-obyek yang dipelajari pada tahap berpikir yang bersangkutan. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa

sambil melakukan observasi. Tujuan

kegiatan ini adalah :

a. Guru mempelajari pengetahuan awal

yang dipunyai siswa mengenai topik yang di bahas.

b. Guru mempelajari petunjuk yang mun-cul dalam rangka menentukan pembe-lajaran selanjutnya yang akan diambil. Fase 2: Orientasi langsung (Directed Orientation) Siswa menggali topik yang dipelajari me-lalui alat-alat yang dengan cermat disiap-kan guru. Aktifitas ini adisiap-kan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struk-tur yang memberi ciri-ciri untuk tahap berpikir ini. Jadi, alat ataupun bahan diran-cang menjadi tugas pendek sehingga da-pat mendatangkan repon khusus.

Fase 3: Penjelasan (Explication)

Berdasarkan pengalaman sebelumnya,

siswa menyatakan pandangan yang mun-cul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan seminimal mungkin. Hal tersebut berlangsung

sam-pai sistem hubungan pada tahap berpikir ini mulai tampak nyata.

Fase 4: Orientasi bebas (Free Orientation)

Siswa mengahadapi tugas-tugas yang le-bih komplek berupa tugas yangmemerlu-kan banyak langkah, tugas-tugas yang dilengkapi dengan banyakcara, dan tugas-tugas open ended. Mereka memperoleh

pengalaman dalammenemukan cara

mereka sendiri, maupun dalam menyele-saikan tugas-tugas.Melalui orientasi dian-tara para siswa dalam bidang investigasi,

banyakhubungan antara obyek-obyek

yang dipelajari menjadi jelas. Fase 5: Integrasi (Integration)

Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat-membantu dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secaraglobal terhadap apa-apa yang telah dipelajari siswa. Hal ini penting tetapi,kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru.

BAB III PEMBAHASAN

Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele diatas memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Di-enes karena ia hanyamengkhususkan pada pen-gajaran geometri saja. Meskipun demikian, sum-basihnya tidak sedikitdalam geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang di-kemukakan.

1. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang di-kemukakan Van Hiele, dengan mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupaka balok, karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah.

2. Supaya anak dapat memahami geometri

dengan pengertian, bahwa pengajaran geo-metri harus disesuaikan dengan tahap per-kembangan berpikir anak itu sendiri.

3. Agar topik-topik pada materi geometri dapat

dipahami dengan baik dan anak

(7)

sam-pai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks

Pembelajaran Connected Mathematics Project

(CMP)

Model pembelajaran Connected

Mathemat-ics Project (CMP)dikembangkan oleh Universitas

Michigan di Amerika Serikat. Tujuan mengem-bangkan model pembelajaran CMP oleh universi-tas Michigan ini untuk mengintegrasikan ide ma-tematika ke dalam konteks kehidupan nyata den-gan harapan siswa dapat memahami apa yang di pelajarinya dengan baik dan mudah.CMP mem-bantu siswa dan guru mengembangkan pema-haman tentang konsep penting matematika, skillsprocedures, dan cara berpikir dan penalaran, dalam jumlah, geometri, pengukuran, aljabar, probabilitas dan statistik.

Model pembelajaran CMP merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pada pemberian objekmatematika yang berhubungan dengan

Connected mathematics. Connected mathematics

dalam pembelajaran CMP membuat keterhubun-gan antara materi matematika denketerhubun-gan disiplin ilmu lain. Siswa harus mampu berkomunikasi serta mahir dalam matematika. Siswa harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penggu-naan kosa kata, bentuk-bentuk representasi, ba-han, alat, teknik, dan metode intelektual dari dis-iplin matematika, termasuk kemampuan untuk mendefinisikan dan memecahkan masalah den-gan alasan, wawasan, keahlian dan kemam-puan.Melalui model ini siswa diharapkan mampu bernalar dan berkomunukasi secara baik dalam mematematisasi suatu masalahsehingga dapat membuat suatu yang baru.

Proyek dalam model pembelajaran CMP di-fokuskan pada materi-materi yang dianggap penting. Selain itu diharapkan siswa memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu proyek yang diberikan sesuai pembagian peran dalam kelompoknya. CMP dapat merangsang sis-wa dalam memahami masalah situasional dengan menggunakan bentuk representasi tertentu, ber-diskusi dan mengevaluasi penyelesaian masalah..

Lima konsep dasar CMP, yakni: 1) CMP di-organisasikan dengan memilih materi matematika yang penting dan tujuan proses, dengan setiap materi dikaji secara mendalam. 2) CMP

menekan-kan pada keterhubungan yang signifimenekan-kan, ber-makna bagi siswa, keterkaitan antara topik-topik matematika, dan antara matematika dalam pelaja-ran lain. 3) Pembelajapelaja-ran dalam CMP menekankan inkuiri dan penemuan ide-ide matematika dengan mata pelajaran lain. 4) CMP membantu siswa tumbuh sesuai kemampuannya untuk bernalar efektif, dengan merepresentasikan informasi da-lam grafik, numerik, simbolik, dan bentuk verbal serta merubah secara fleksibel antara representa-si tersebut. 5) Pendekatan tujuan dan pembelaja-ran dalam CMP merefleksikan pemrosesan infor-masi yang kapabel terhadap kalkulator dan kom-puter, dan perubahan mendasar dari alat-alat pembelajaran matematika, serta menerapkan pengetahuan siswa untuk problem solving. Sintaks dalam pembelajaran CMP dapat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2, Langkah-langkah Model Pembelajaran CMP (Lappan 2001)

(8)

phase eksploring, Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok. Siswa memahami LKS, ke-mudian siswa berdiskusi, mengenaidefinisi, sifat-sifat yang terkait dengan materi pelajaran. Pada phase summarizing, Pada tahap ini kebanyakan siswa telah mendapatkan data-data yang diperlu-kan untuk menyelesaidiperlu-kan masalah yang diberidiperlu-kan kepada guru. Siswa mempresentasikan hasil ker-janya didepan kelas. Selanjutnya menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. Pada tahap ini guru mengarahkan siswa untuk menunjukkan kembali penyelesaian yang diperoleh.

BAB IV KESIMPULAN

Mempelajari matematika khususnya untuk materi geometri tidaklah mudah. Dibutuhkan waktu dan proses pembelajaran untuk memahami geometri. Selain itu, dibutuhkan juga wawasan matematika yang luas untuk memiliki kemam-puan dalam hal merepresentasi, mengabstraksi,

menghubungkan representasi dan

abstrak-si.Mempelajari geometri membutuhkan kemam-puan berfikir geometri. Van Hiele menjelaskan kemampuan berfikir geometri melalui tingkat berpikir geometri yaitu tahap pengenalan ( visuali-sasi), tahap analisis (deskriptif), tahap pengurutan

(deduksi informal), tahap deduksi (formal), tahap

ketepatan (rigor/akurasi). Mempelajari geometri pada dasarnya mempelajari konsep matematika. Konsep tersusun secara hierarkis, terstruktur, lo-gis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kom-pleks sehingga memerlukan kemampuan berpikir geometri yang baik untuk mengatasinya. Berfikir geometri dapat dilakukan melalui penerapan

model pembelajaran Connected mathematics

Project(CMP). CMP merupakan suatu

pembelaja-ran yang menekankan pada pemberian

objekma-tematika yang berhubungan dengan Connected

mathematics. Kemampuan berfikir geometri yang

dikembangkan melalui pembelajaranCMP melalui tiga tahapanyaitu phase lounching, phase eksplor-ing, phase summarizin.

DAFTAR PUSTAKA

Bobango, J.C. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With

Mathemat-ics. Virginia: The National Council of Teach-ers of Mathematics, lnc

Budiarto. (2000). Pembelajaran Geometri dan

Ber-pikir Geometri. Dalam Prosiding Seminar

Nasional Matematika, Jurusan Matematika FMIPA ITS. Surabaya:ITS

Clements & Battista. (1992). Geometry and Spatial Reasoning. Dalam D.A. Grows, (ed.). Hand-book of Research on Teaching and Learning

Mathematics. (pp. 420-464). New York:

MacMillan Publisher Company.

Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. Hong Kong: Stanley Thornes Ltd.

Glenda Lappan dkk, (2001), Accentuate the

Nega-tive, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice

Hall.

Henningsen, M. dan Stein, M. K. (1997). Mathe-matical task and student conigtion: class-room based factors that support and inhibit

high-level thinking and reasoning. JRME. 28,

524–549.

Mullis. I.V.S. dkk (2001) TIMSS (1999).

Internation-al Mathematics Report. Boston. The

Interna-tional Study Center.

Musser, Gary L, dan Burger, William F, 1993. Ma-thematics for Elementary Teacher: A

Con-temporary Approach. New Jersey: A Simon

&chuster Company

Olson, Robert W. (1996). Seni Berpikir Kreatif. Se-buah Pedoman Praktis. (Terjemahan

Alfon-sus Samosir). Jakarta:Erlangga

Orton, A. 1992. Learning Mathematics : Issues, Theory and Classroom Practice. Second Edi-tion. New York:Cassell

Purnomo, A. (1999). Penguasaan Konsep Geometri

dalam Hubungannya dengan Teori Perkem-bangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas

II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis IKIP

Malang. Malang:Tidak diterbitkan.

Shafer, M.C. dan Foster, S. (1997). The Changing Face of Assessmen. Principled Practice in

Ma-thematics and Sciene, pp. 1-7, 1(2). Tersedia:

http://www.wcer.wisc.edu/ucisla. [On-line 15 Desember 2015]

Solso R.L. (1991). Cognitive Psychology. Third Edi-tion. Needham Heights:Allyn and bacon. Sudarman. (2000). Pengaruh Frekuensi Evaluasi

(9)

da-lam Pembelajaran Penemuan Terbimbing

(Inkuiri). [Online]. Tersedia:

http://pembelajaranfisika.blogspot.com/200 8/06/pengaruh-frekuensi evaluasi terha-dap.html. [3 Desember 2015]

Sumarmo, U. (2009). High Level Mathematical Thinking: Experiments With High Schooland Under Graduate Students Using Various

Ap-proaches and Strategies. Makalah yang

dis-ampaikan pada Seminar di UPI. Ban-dung:UPI.

Sumarmo, U. (2011). Advanced Mathematical

Thinking dan Habit of Mind

Mahasis-wa(Bahan Kuliah). PPS UPI Bandung:tidak

diterbitkan

Sumarmo, U. (2003). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika padaSiswa Sekolah

Menengah. Disampaikan pada Seminar

Na-sional Pendidikan MIPA di FPMIPA UPI. Usiskin, Z. (1982). Van Hiele levels and

achieve-ment in secondary school geometry: Final re-port of the Cognitive Development and Achievement in Secondary School Geometry

(CDASSG) Project. Department of Education,

University of Chicago, US.

Van de Walle, J. A. (2006). Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Pengembangan

Pen-gajaran. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit

Gambar

Tabel 1,  komponen-komponen dari masing-masing tingkatan berpikir Shafer dan  Foster (1997)
tabel berikut. Tabel 2, Langkah-langkah Model Pembelajaran CMP (Lappan 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman eksisting (Tahun 2009) diketahui bahwa terdapat lahan permukiman yang berada pada kawasan lindung lokal seluas 293,6 Ha dan

Hasil penelitian menunjukkan: Implementasi manajemen Pengembangan Program Unggulan di SD Muhammadiyah Kleco Kotagede Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan manajemen

Ketertarikan peserta untuk mempraktekkannya menjadi salah satu kegiatan yang menghasilkan pendapatan keluarga sebanyak 16 responden (88,9%); tidak setuju 0; netral 2 responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tingkat kualitas pelayanan di Pelabuhan Perikanan Pantai Morodemak berdasarkan perhitungan CSI untuk masing-masing atribut pelayanan

Tampilan ini digunakan untuk melakukan proses penginputan transaksi barang yang masuk ke gudang berdasarkan nama perusahaan yang user pilih (klik company) maka secara otomatis

Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan model estimasi fixed effect menggunakan 2 (dua) variabel dummy (perusahaan dan waktu), penulis dapat menganalisis hasil dari

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah warna, aroma, daya serap, dan kesukaan panelis, serta uji kimia untuk mengetahui kandungan pada hair tonic ekstrak lidah buaya

Filsafat politik Islam hendaknya mewarnai pola hidup yang baik bagi para politisi dalam menjalankan tugas untuk kepantingan rakyat, mengemban amanah rakyat hendaklah didasari