Hujan Punya Cerita Tentangku dan Dia
Hujan di luar masih turun. Hening. Waktu berbenturan di setiap sudut ruangan. Selebihnya diam. Sisa dingin dari hujan seperti berjingkat kecil, pelan-pelan, seperti langkah yang berjinjit. Hanya suara angin yang berdesir, mengatup semua bulir. Aku menatap air hujan yang turun mengingatkanku pada pelajaran di masa sekolah tentang hukum-hukum air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Aku mendesah. Perlahan, lebih lambat dari detak jam. Ada semacam riuh yang terendam.
Basah yang berumah di dedaunan, mengkilapkan reranting, tanah yang lembab yang menandakan hujan pernah mampir di situ.
Aku mengintip dari celah jendela. Melihat sore yang mulai gelap. Mendung, sebentar lagi malam akan datang. Melihat cangkir minum putih berukir buah yang bertuliskan “Mama-Papa”. Lama. Terdiam, hampir lima menit,
Dan, dimulailah cerita itu:
Barangkali, seseorang, mungkin diriku, telah kehilangan sesuatu. Padahal, aku kerap menunggunya berwaktu-waktu. Bagiku, hujan adalah sebuah napas, yang mengisyaratkan sebuah ruang yang
tersembunyi. Hujan selalu meninggalkan sebuah bekas. Bagiku, hujan bukan sekadar tumpahan air yang jatuh dari langit. Hujan merupakan pelambang, yang membuatku terpaksa memikirkan leluhur-leluhur yang menebarkan sulur baru. Hujan yang terus memburu-buru seluruh pengetahuanku. Yang
memaksaku terus terkenang pada perahu besar dari kayu, mengarungi daratan yang telah menjelma jadi lautan. Ya, aku terus saja mengingat Nuh, yang begitu tegar sendirian mengarungi samudera.
Ah, betapa hujan selalu memijakkan jejak yang menapak. Melalui genangan-genangan. Menciptakan lautan baru. Aku baru saja menuju rumah. Melewati jalanan yang sepertinya akrab kulalui. Aku sedang menghitung-hitung, adakah kejutan baru yang akan kudapati di rumah nanti? Sebab berulang kali, aku hanya menemui labirin kesunyian abadi, setiap kali tiba di rumah. Tak ada seorangpun yang bisa diajak bicara, hal yang membuatku terlampau cepat bosan sehingga ingin keluar saja dari rumah. Berjalan, mungkin sendirian, ke mana saja. Terkadang mengunjungi kenalan. Tertawa banyak-banyak, sekadar menyembunyikan gulana. Tetapi itupun tak kekal. Kenalanku itu cepat menghilang, ketika malam tambah hitam, justru waktu juga yang membatasi sebuah pertemuan. Mendadak perpisahan di depan mata. Ya, sudah berulang kali pula, aku berjumpa dengan perpisahan, dengan kekasihku, misalnya.
Pertama kali aku merasa begitu kehilangan. Pertama kali, aku menyesali, mengapa cintaku tak pernah bisa abadi. Segalanya nampak jadi biasa. Hal-hal biasa pula, yang memakuku. Seperti juga ketika hujan selesai, aku mungkin agak sedikit menyesalinya, tetapi, toh, aku pikir aku akan berjumpa hujan yang baru juga suatu waktu.
banyak mereka. Ketika melewati perempatan itu pula, aku mendengar percakapan dua kekasih yang bertengkar:
"Jadi apa kam lebih memilih dirinya dibandingkan aku? Apakah dirinya lebih cantik dariku?" jerit seorang perempuan. Si lelaki hanya terdiam. "Lalu, apa diriku selama ini? Apakah aku memang tak layak untuk kau cintai?" Mereka terus saja bertengkar. Membongkar keterjagaanku. Ah, cinta! Selalu saja tak mampu dijelaskan dengan metafisika. Pada mulanya, aku menduga, si perempuan benar-benar akan
meninggalkan lelaki itu. Tetapi aku keliru, saat perempuan itu menangis dengan liris, si lelaki justru memeluknya. Beberapa saat kemudian, pasangan itu justru tertawa-tawa kecil. Aku menyaksikan itu, tetapi aku membuang pandang. Aku merasa cemburu, bukan pada perempuan itu, toh aku juga tak mengenalnya. Tetapi ternyata mereka dapat menyelesaikan masalah setelah hujan berhenti. Tidak seperti diriku, yang tiba-tiba kalah. Tidak seperti diriku, yang ternyata ditinggalkan kekasih.
Tetapi hujan telah selesai, adakah yang tertinggal di sana? Mengapa rasa kangen kerap merajam, yang terkadang membuatmu tersengal, ingin mendengar suaranya, ingin menatap wajahnya, ingin menatap dengan lekat bagaimana ia menggigit bibir bawahnya dengan gigi seri atasnya ketika sedang dirundung cemas. Aku ingin melihat pipinya yang merona bundar merah, ketika aku daratkan
percakapan-percakapan yang setengah lucu. Terkadang dari binary pipi merahnya, aku kepingin mencubit kecil pipinya yang rada tembem itu.
Siapakah perempuan itu? Yang terus mengurung diriku menjadi asing? Tidakkah aku merasa
dipermainkan olehnya. Aku tak tahu, seperti ketika aku mengingat dirinya sekarang, pada saat hujan baru saja selesai. Di mana aku menapakkan kaki dengan langkah pelan-pelan, di mana tak sempat aku tampung seluruh pikiran yang melompat-lompat. Betapa biografi perempuan itu telah menciptakan kesukaan baru buatku. Ya, aku jadi suka kucing dan sekarang suka hujan.
Lalu aku merasakan hujan tak melulu berkisah tentang kesedihan, sesekali juga mendaratkan kebahagiaan. Dan bagiku juga, itu merupakan hal yang biasa.
Padahal hidupku sendiri, tak hanya memikirkan hujan, bukan? Aku masih banyak kegiatan lainnya, bukan hanya memikirkan perempuan itu, yang membuat batinku tersiksa, pikiranku tumpang-tindih, aku masih mempunyai sejumlah agenda. Agenda yang kerap aku susun dengan hati-hati.
Meskipun, terkadang segala yang aku rencanakan selalu ada yang terlewat. Aku masih saja melewati jalanan yang basah itu, hujan memang telah berhenti, aku mendapati barisan orang-orang, berkerumun, mengusung bendera warna-warni, tumpah-ruah ke jalan. Orang-orang itu, bersorak-sorai, membuat jalanan macet, aku menatapnya hanya sekilas.