• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Desa Diskursus atas Hegemoni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembangunan Desa Diskursus atas Hegemoni"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 304

Pembangunan Desa: Diskursus atas Hegemoni

Kota

, Marjinalisasi

Pedesaan, dan Kuasa Pengetahuan Lokal

Tomi Setiawan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor-Sumedang

Email: tomi.setiawan@unpad.ac.id

Abstract

The genesis of Law Number 6 of 2014 about The Village, bolster the theory that the village is a political object of the "actors" as the culmination of the phenomenon of urban backwash effect. Unfortunately in later period it is found that the benefits of economic growth was only concentrated in urban areas (net capital outflow), brain drain, and a variety of resource transfer turned out to not only benefit urban areas, but also unable to push the growth of the village. The opening of access to rural areas often push urban elite actors, government officials, and entrepreneurs are scrambling to take control and exploit existing resources in the village. On the other hand, it is undeniable that in the structure of the 'hierarchy-region', growth occurred at the village level, but also followed by the increase in inequality, and the poverty rate is more difficult to decrease. Overall rural marginalization can be seen in the perspective of theory of sovereignty erosion, in which local sovereignty in setting the order of life systematically eroded by the mechanisms of socio-economic setting-of global politics. Meanwhile, in the present, the term rural development by the bottom-up mechanism is not something new. But it also, afterwards partially led to the term 'public participation' or 'planning from below' as an alternative to improve the pattern of development that has been happening. Conception of ‘bottom-up’ also can be used to hinder development model ever, by introducing a local study approach (self-development).

Keywords: rural marginalization, city hegemony, power of knowledge.

Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak menciptakannya sebagaimana yang mereka senangi. Mereka tidak menciptakannya dalam keadaan dimana mereka bisa memilih sendiri, tetapi dalam keadaan yang secara langsung bertemu dari masa lalu. Tradisi dari semua yang telah meninggal, menghimpit seperti sebuah mimpi buruk dalam otak kehidupan.

(Marx, 1852)

Pendahuluan: Hegemoni “Kota” atas Desa.

Desa1secara etimologi berasal dari kata bahasa Sanskerta yaitu “deshi” yang berarti

tanah kelahiran (mother land). Sedangkan dalam terminologi kontemporer desa memiliki keragaman makna. Lipton dan Moore (1981) memberikan variasi dari keberagaman definisi dengan melihat karakteristik pencirinya (yang membedakannya dengan terminologi kota), yaitu : (1) desa dalam konteks kondisi ekologis dan lanscape, (2) jumlah dan kepadatan penduduk, (3) pola aktivitas ekonomi, (4) fungsi ekonomis dalam konteks geografi-ekonomi, (5) pola interaksi masyarakat.

Secara faktual pemberian istilah pada masyarakat pedesaan sering digambarkan sebagai satu kelompok masyarakat yang bertumpu pada aktivitas yang berbasis pada sumber daya alam. Ciri-ciri desa secara dalam koteks sosial (sosiologis) juga dapat dilihat dari beberapa hal yang membedakannya dengan kota yaitu: (a) adanya kelompok primer (kelompok dengan mata pencaharian sama dalam satu kawasan tertentu), (b) komunikasi

(4)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 305 antar keluarga terjalin secara langsung, dan informal, (c) kelompok atau asosiasi dibentuk atas dasar faktor geografis, (d) hubungan lebih bersifat mendalam dan langgeng (kohesif), (e) kehidupan sehari-hari ditandai dengan homogenitas, dan (f) keluarga lebih ditekankan sebagai unit ekonomi2.

Tidak dapat dipungkiri lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menguatkan teori bahwa desa merupakan objek politik dari “aktor-aktor” perkotaan sebagai puncak dari fenomena backwash efect. Fenomena ini menurut Hunt (1989) tidak lepas dari kekeliruan praktek pembangunan yang diintroduksi oleh Arthur W. Lewis dalam ‘dual sectors model in developmental economic theory’ yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan dapat didorong bila terjadi transfer surplus dari kawasan pertanian di pedesaan, ke industri di perkotaan. Wujud transfer surplus yang terjadi adalah sumber daya manusia (tenaga kerja), modal, dan sumber daya lainnya yang ada di pedesaan atas nama kepentingan pembangunan.

Celakanya pada masa-masa selanjutnya ditemukan fakta bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi ternyata hanya terkonsentrasi di perkotaan saja. Aliran modal (net capital outflow), brain drain, dan berbagai transfer sumber daya ternyata bukan hanya menguntungkan perkotaan saja, tetapi juga tidak mampu mendorong pertumbuhan desa. Bahkan potensi desa semakin menurun, pedesaan menjadi semakin miskin dan tertinggal seiring dengan semakin berkurangnya kapasitas sumber daya pedesaan. Kecenderungan ini akan meningkatkan ketergantungan desa terhadap ekonomi kota dan pada akhirnya desa hanya sekedar menjadi objek dari aktor perkotaan.3

Terbukanya akses ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota, pejabat pemerintah, dan pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya yang ada di desa. Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam mengelola sumber dayanya karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku eksploitasi tersebut. Letak geografis pedesaan yang memiliki kedekatan dengan kota juga tidak secara otomatis meningkatkan aksesibilitas masyarakat desa ke sumber daya ekonomi yang ada di perkotaan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, aktor perkotaan menjadi lebih dapat mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki masyarakat pedesaan.

Secara khusus Harvey (2010) menjelaskan pada kondisi-kondisi tersebut dengan ‘theory of capital bondage’ atau ‘the spatial range of goods theory’, bahwa ketidakseimbangan ini bisa saja terjadi antar sektor dan antar wilayah dan bussiness cycle

dan resesi tingkat lokal bisa terjadi. Pada kondisi dimana akses ke-input lebih murah dibandingkan akses ke-output, meskipun perluasan sama pentingnya untuk menghasilkan keuntungan secara terbuka. Maka implikasinya adalah ekspansi ke wilayah-wilayah non-kapitalistik bukan saja untuk perdagangan, tetapi lebih penting untuk membuat terjadinya

2 Dalam konteks sosiologis ini juga Sayogyo (2007) mempertegas bahwa, desa di Jawa berbeda sekali dengan

di luar Jawa, baik besarannya, susunannya, dan hubungan sosialnya. Walaupun beberapa ciri seperti keakraban, tolong-menolong, dan keterikatan pada tempat pemukimannya sama.

3 Berdasarkan data BPS, jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, maka

(5)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 306 penetrasi kapital dalam berinvestasi dengan memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah, bahan mentah yang melimpah, tanah yang berbiaya rendah, dan seterusnya4.

Aspek lain terkait hegemoni “kota” atas desa ini adalah apa yang dikenal dengan ‘siphoned out of pheripheral society and into global ciruit capital’, yaitu ketertinggalan pedesaan sebagai akibat melakukan spesialisasi pada satu komoditas pertanian atau sumber daya alam untuk melayani perkotaan (Armstrong dan McGee, 1985). Akibatnya kemudian banyak desa yang akhirnya justru menjadi pasar bagi berbagai produk korporasi. Produk itu di antaranya sarana produksi pertanian dan bahan makanan. Struktur ekonomi desa menjadi semakin bergantung pada korporasi dan kota. Desa yang pada masa lalu merupakan daerah penghasil atau produsen kini menjadi konsumen. Masyarakat petani, juga sudah banyak beralih dari sektor pertanian ke non-pertanian, terutama perdagangan mikro dengan cara membuka warung kelontong di desa. Kemudian mereka menjual produk-produk dari kota. Hasilnya adalah uang yang masuk ke desa bertambah banyak. Namun pada saat yang sama, akibat struktur ekonomi desa yang kian bergantung pada korporasi dan kota tersebut, uang di desa cepat mengalir kembali ke kota yang pada akhirnya, kota dan korporasilah yang sebenarnya lebih diuntungkan dan kemudian melanggengkan hegemoni aktor-aktor kota atas desa.

Transformasi atau Marginalisasi Pedesaan?

Selain menjadi objek “politik” [melalui berbagai kebijakan dan program-programnya] dari aktor-aktor “kota”, dalam berbagai perubahan ekonomi di pedesaan, proses ekspansi kapital juga menjadi pemicu terjadinya marjinalisasi pedesaan. Proses ini terjadi baik akibat bekerjanya faktor-faktor endogen seperti makin mengecilnya land-man ratio5, munculnya kerja upah, peningkatan penduduk, maupun karena desakan kekuatan

eksogen seperti hadirnya komersialisasi, monetisasi pertanian, difusi teknologi, peningkatan aksesibilitas jaringan transportasi dan komunikasi.

Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir ini desa mengalami akselerasi dalam pola perubahan sosialnya. Akselerasi perubahan dapat dilihat dalam skala intensitas, tempo ataupun dimensi-dimensinya. Cakupannya pun tidak hanya fisik ekonomis tetapi juga dimensi sosio-teknik, tata nilai pengetahuan, dan aksesibilitas spasial. Berbagai bentuk dan pola perubahan sosial di pedesaan yang terjadi lahir dari pemikiran teknokratis aktor kota melalui rekayasa sosial (social enginering) yang terencana.6 Oleh karenanya perubahan sosial di pedesaan tidak lagi value-free, political-free, maupun idiological-free, karena sejatinya sampai saat ini tunduk pada ideologi developmentalism. Dengan demikian, proses perubahan yang terjadi merupakan refleksi dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh negara dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya7.

Pada saat yang sama, atas nama pertumbuhan, agenda pembangunan ekonomi suatu negara diintervensi oleh skenario lembaga-lembaga keuangan internasional. Melalui

4 Pada koteks ini, Tjondronegoro (2008) juga menolak konsep shared property, dan kemudian berargumen

bahwa pemiskinan (improverishment) sudah terang terjadi hanya dalam hubungan kota-desa.

5Terdapat ketimpangan rasio lahan-perpenduduk (land-man ratio) antara Jawa dan di luar Jawa. Sebagai

perbandingan, rasio lahan sawah terhadap penduduk di Jawa sebesar 0,024 ha per penduduk, semantara di Kalimantan sebesar 0,077 ha per penduduk. Lihat dalam www.litbang.pertanian.go.id/buku/konversi-fragmentasi-lahan/BAB-V-1.pdf.

6 Dalam pandangan lain misalnya Sosialismanto (2001) menjelaskan bahwa realitas ini akan menunjukkan

gejala yang nyata di negara berkembang dalam hal penerapan kebijakan pembangunan yang diterapkan di pedesaan, seperti meng-gejalanya introduksi teknologi mekanisasi pertanian, serta masuknya lembaga-lembaga politik dan ekonomi di pedesaan yang disusun oleh negara secara teknokratik-birokratis.

7 Pada titik ini juga kemudian aktor “kota” menempatkan dirinya dalam posisi sentral yang akan mendominasi

(6)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 307 mekanisme bantuan pembangunan (yang sebetulnya adalah hutang dan pinjaman), negara-negara maju juga memasukkan kepentingan dan agenda mereka ke dalam kebijakan-kebijakan pemerintah negara-negara berkembang8. Karena negara maju tersebut merupakan

pemegang saham mayoritas pada lembaga-lembaga keuangan tersebut, mereka dapat dengan leluasa memaksa negara penerima bantuan untuk mengikuti kemauannya. Hancock (2005), menjelaskan bahwa rakyat akar rumput di dunia ketiga tidak banyak menikmati hasil “industri pembangunan”. Alih-alih menikmati, mereka sering dirugikan atau menderita dampak negatif dari proyek-proyek raksasa yang dibiayai IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, atau badan-badan keuangan lainnya dari kerja sama dengan negara kaya.

Lebih lanjut Khudori (2004) menjelaskan bahwa ketiadaan strategi dan kebijakan negara pasca AoA 1995, telah membuat sektor pertanian pedesaan semakin remuk. Celakanya lagi, keadaan ini diperburuk dengan naiknya impor produk-produk pertanian dengan cepat, dan sebaliknya tidak terjadi peningkatan ekspor pertanian secara menyeluruh. Impor produk-produk pertanian Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan rata-rata volume impor 3,2 juta ton setiap tahunnya. Konsekuensi termarginalisasinya petani dengan semakin numpuknya angka impor ini adalah dengan ditandai tidak imbangnya harga jual hasil produksi pertanian (output pertanian) dengan biaya produksi (input pertanian) dan juga laju inflasi. Kondisi ini diperparah dengan dicabutnya subsidi atas input-input pertanian, hal ini juga yang kemudian menyebabkan turunnya produktivitas pertanian karena pertanian pedesaan terlanjur diarahkan pada sistem konvensional yang berasupan tinggi (high external input). Dampak lainnya adalah, bukan saja hama dan penyakit merajalela tanpa ampun, tetapi juga biaya produksi yang semakin melambung tinggi, dan akibatnya petani terus-menerus merugi (Arifin, 2013). Demikian pula dengan modernisasi pertanian melalui mekanisasi teknologi pertanian telah memaksa sebagian petani untuk terus menerus memupuk modal agar bisa melakukan proses reproduksi kapital.

Dengan kata lain, secara subjektif petani saat ini hanya sebagai “perakit”, bukan lagi produsen yang otonom. Sementara bagi desa sendiri, sebagai struktur terbawah pada piramida struktur ekonomi, tetap miskin. Orang desa harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan, dengan input produksinya semua dari kota. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam struktur ‘hierarki wilayah’, desa kemudian menjadi tumbuh, akan tetapi diikuti juga dengan kesenjangan yang semakin meningkat, dan angka kemiskinan yang semakin sulit untuk ditekan. Dalam hierarki wilayah kota secara lebih luas, kota-kota menjadi berkembang karena mendapatkan migrasi buruh murah dari pedesaan. Sementara bagi masyarakat pedesaan pada umumnya, mereka tetap dalam kemiskinan dan tereksploitasi secara berlebih, yang mengakibatkan perekonomian desa semakin termarjinalisasi, dan secara perlahan-lahan mengalami keterpurukan secara sistematis. Keseluruhan marjinalisasi pedesaan ini dapat dilihat dalam perspektif ‘theory of sovereignty errosion’ (Fukuyama,

2004) dimana kedaulatan lokal dalam pengaturan tatanan kehidupan tererosi secara sistematis oleh mekanisme-mekanisme pengaturan sosial-ekonomi-politik global.

8 Pada konteks marginalisasi pedesaan, tesis tadi dapat dijelaskan dengan mengambil contoh pengalaman

dimasa Orde Baru yang pernah mengintroduksi kebijakan revitalisasi pertanian pedesaan dengan nama

‘Revolusi Hijau’. Kebijakan ini pada awalnya menjanjikan peningkatan hasil produksi pertanian, akan tetapi

(7)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 308 Sementara itu, dengan semakin terbukanya topeng kejahatan lembaga-lembaga keuangan internasional, negara-negara maju pada saat ini telah memiliki strategi baru sebagai suatu modus ekspansi kapital melalui berbagai industri pertanian dan kehutanan skala besar dengan berbagai bentuk dan nama. Sehingga, barangkali tidak salah apabila kemudian saat ini dikatakan revitalisasi pembangunan melalui peningkatan beragam investasi asing ala Jokowi sebagai jargon baru rezim penguasa baru di Indonesia, tidak lain adalah sistem kapitalisme internasional yang dikemas dalam bungkus baru. Yang menurut Sowell (1984) dijelaskan bahwa sistem kapitalisme ini lebih dari sekedar sistem ekonomi, karena sejatinya kapitalisme merupakan sistem kekuasaan dimana kekuatan-kekuatan politis yang diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Kemudian, Bachriadi (1995) juga telah mengingatkan bahwa terbukanya peluang investasi untuk pihak swasta di sektor pertanian di Indonesia, akan menjadi pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk memulai kembali proses penetrasi kapital pada sektor ini secara intensif dan besar-besaran

Oleh karena itu, kesadaran akan adanya sistem kapitalisme gaya baru ini harus dijadikan titik pangkal dalam berpikir untuk mendalami penetrasi kapital yang semakin memenjarakan aktivitas ekonomi di Indonesia [dan secara khusus di pedesaan]. Selain hal tersebut, menurut Chambers (1987) perlu dipahami juga bahwa pembangunan pedesaan yang terjadi sampai dengan saat ini merupakan ekspansi kapital yang memiliki logikanya sendiri, dimana proses dan desain kebijakan pembangunan pedesaan dibuat oleh para teknokrat-birokratis yang selalu tunduk pada penguasa kapital. Dalam konteks global, Dharmawan (2011) memberikan gambaran kondisi desa yang menjadi ajang perebutan kepentingan sosial-ekonomi-politik berakibat pada ‘localauthority loss’ dalam menentukan arah perkembangannya sendiri. Kemudian, tesis tentang beradunya the strong state dan the weak state pada arena pertarungan global akan menyeret desa pada arus kuat politik yang akan mempengaruhi derajat kedaulatannya dalam menata kehidupan entitas sosial yang diayominya.

Kuasa Pengetahuan Lokal dalam Transformasi Pedesaan.

Istilah pembangunan pedesaan secara botom-up pada saat sekarang memang bukanlah sesuatu hal yang baru9. Tetapi hal itu jugalah yang kemudian secara parsial

memunculkan istilah ‘partisipasi masyarakat’ ataupun ‘perencanaan dari bawah’ sebagai alternatif untuk memperbaiki pola “pembangunan” yang selama ini terjadi10. Dalam kajian Johnson (2013) konsepsi “botom-up” ini dapat juga digunakan untuk “merintangi” model pembangunan yang pernah ada dengan mengintroduksi pendekatan studi lokal (kewilayahan). Argumentasinya adalah, pertama, gagasan bahwa pembangunan bisa di teorisasikan dan dijalankan lebih baik terutama diatas basis proses-proses lokal untuk transformasi struktural dan historis yang lebih besar. Kedua, terkait metodologi dan epistemologi, penekanan pada proses-proses lokal dengan menekstrapolasi pengamatan mendalam dari penelitian lokal akan memberikan landasan informasi yang lebih valid bagi usaha-usaha untuk menghubungkan teori sosial dengan perubahan sosial. Dalam hal ini penelitian-penelitian antropologi dan sosiologi dengan studi kasus memiliki peran dalam

9 Meskipun hal ini perlu disikapi dengan hati-hati, Abrahamsen (2004) mengingatkan bahwa risalah-risalah

pembangunan selalu bersifat strategis dan taktis [mendukung, mengijinkan, serta menjustifikasi intervensi dan praktik-praktik tertentu], mendelegitimasi dan menyingkirkan yang lain.

10 Ada beberapa pelajaran terkenal yang bisa diambil jika pembangunan ditinjau dari sudut pandang

(8)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 309 pembentukan pengetahuan lokal tersebut. Sehingga pembangunan yang akan diwujudkan harus menyandarkan kebenarannya pada dokumentasi dan analisis atas proses-proses dan kejadian-kejadian lokal dan yang bersifat kontingen secara lokal sebagai perwujudan dari pengetahuan lokal.11

Pada konteks pendekatan pengetahuan lokal ini, Johnson (2013) kemudian mengajukan argumen bahwa pembangunan haruslah dihidupkan dengan apa yang pernah disebut oleh Evans (1995) sebagai teori tradisi perbandingan institusional (theory of comparative isntitutional tradition). Dan yang menjadi jantung dari pendekatan ini adalah suatu metodologi induktif yang mencari kesamaan-kesamaan dan hubungan-hubungan dengan kecenderungan-kecenderungan dan problem-problem historis yang lebih luas. Sementara pada saat yang bersamaan memasukan pandangan-pandangan yang berlainan dan berpotensi bersaingan mengenai hakikat dari sejarah, kultur, dan pembangunan. Atau dengan kata lain, Mills (2000) dengan mengutip kalimat Mao Tse-Tung, menulis “Biarkan Ratusan Bunga Bermekaran”, “Biarkan Ratusan Pemikiran Unjuk Diri”, dan “Tetaplah Hidup Berdampingan dan saling Mengawasi”.12

Kemudian, langkah awal untuk memainkan ilmu pengetahuan lokal dalam orkestra pembangunan di pedesaan adalah mendalami arti penting kata-kata dari rakyat. Rendra pernah memberikan ‘quotes’ dalam satu puisinya bahwa “Rakyat adalah Sumber Ilmu”13. Ilmu pengetahuan sangat bisa digali dari pengetahuan lokal, bukan hanya terkait nilai atau hubungan sosial tetapi juga aspek-aspek yang menyangkut teknologi lokal. Meskipun pada konteks ini, teknologi lokal tidak bisa dilepaskan dari budayanya, sehingga konsep teknologi lokal harus dipahami dalam konteks kehidupan dan budaya masyarakatnya.

Selanjutnya, dalam proses ini juga harus memunculkan sebuah arena yang mempertemukan antara gagasan-gagasan dari masyarakat desa dengan kecanggihan metodologi dari aktor teknokratik, sehingga dapat menghasilkan gagasan-gagasan pembangunan yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan tetapi juga mendasarkan rumusan kebijakannya pada sumber pengetahuan lokal. Dan secara relatif gagasan-gagasan yang terlahir dari pengetahuan lokal akan mudah dimengerti masyarakat desa karena disusun berdasarkan ‘logika rakyat’. Kemudian, untuk memperkuat basis pengetahuan lokal tersebut, maka harus didukung dengan membangun “server-server” (hal ini tidak dipahami dalam konteks computerize) sistem (manajemen) ilmu pengetahuan lokal yang berpusat di pedesaan. Gagasan utamanya adalah mengawali pembangunan dengan titik pangkal pada pengetahuan lokal, dan menempatkan masyarakat desa sebagai subjek utama pembangunan desa.

Penutup.

Lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah menguatkan teori bahwa desa merupakan objek politik dari “aktor-aktor” perkotaan. Terbukanya akses ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota, pejabat pemerintah, dan pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya yang ada di desa.

11 Sebagai contoh adalah dengan mengeksplorasi mekanisme-mekanisme sebab akibat, menyelidiki atau

menguji validitas teori-teori dan konsep-konsep, memfalsifikasi asumsi-asumsi teoritis dan menghasilkan teori-teori dan tesis-tesis baru mengenai proses-proses dan kejadian-kejadian sosial.

12 Slogan-slogan ini sebenarnya dikemukakan dalam kondisi tertentu di Cina, dengan berbasis pada pengakuan

bahwa bermacam jenis kontradiksi masih ada dalam masyarakat sosialis, dan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan mendasar negara itu untuk memacu perkembangan ekonomi dan budayanya.

13“Rakyat Adalah Sumber Ilmu “ adalah salah satu puisi yang dibuat oleh W. S Rendra pada tahun 1975

(9)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 310 Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam mengelola sumber dayanya karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku eksploitasi tersebut. Terbukanya akses ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota, pejabat pemerintah, dan pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya yang ada di desa. Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam mengelola sumber dayanya karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku eksploitasi tersebut. Dalam konteks global, gambaran kondisi desa tidak kalah membahayakan yakni menjadi ajang perebutan kepentingan sosial-ekonomi-politik berakibat pada ‘localauthority

loss’ dalam menentukan arah perkembangannya sendiri. Pada konteks pendekatan pengetahuan lokal, pembangunan haruslah dihidupkan dengan apa yang pernah disebut oleh teori tradisi perbandingan institusional (theory of comparative isntitutional tradition). Dan yang menjadi jantung dari pendekatan ini adalah suatu metodologi induktif yang mencari kesamaan-kesamaan dan hubungan-hubungan dengan kecenderungan-kecenderungan dan problem-problem historis yang lebih luas. Selanjutnya, dalam proses ini juga harus memunculkan sebuah arena yang mempertemukan antara gagasan-gagasan dari masyarakat desa dengan kecanggihan metodologi dari aktor teknokratik, sehingga dapat menghasilkan gagasan-gagasan pembangunan yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan tetapi juga mendasarkan rumusan kebijakannya pada sumber pengetahuan lokal.

Bibliografi

Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dan Wacana Pembangunan.

Yogyakarta. Lafadh Pustaka

Amstrong, T dan McGee, T.G. 1985. Theathre of Accumulation: Study in Asian and Latin

American Urbanization. New York: Methuen

Ariffin, Bustanul. 2013. Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Bogor: IPB Press

Bachariadi, Dianto. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital. Bandung: Penerbit Akatiga.

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Dharmawan, Arya H. 2011. Otoritas Lokal Dalam Mengelola Sumber Daya Alam:

Menantap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik. dalam: Satria, Arif, dik. 2011. Menuju Desa 2030. Bogor Crestpent Press. Evans, P. 1995. Embedded Autonomy: State and Industrial Transformation. Princeton:

Princeton University Pess.

Hancock, Graham. 2005. Dewa-dewa Pencipta Kemiskinan: Kekuasaan, Prestise, dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru. Yogyakarta: Resist Book dan Institute for Global

Justice (IGJ).

Hauser P. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hunt, Diana. 1989. Economic Theories of Development: An Analysis of Competing

Paradigms. New York: Harvester Wheatsheaf.

Johnson, Craig. 2013. Pembangunan tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Resist Book.

Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.

(10)

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016 311 Kartohadikoesoemo S. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka.

Mills, C. Wright. 2003. Aktor Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Rendra, W. S. 2013. Doa untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Sayogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologi Teori, Restrukturisai Aksi (Petani dan Pedesaaan Sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Setiawan, Tomi. 2013. Berpaling ke Desa, Menyelamatkan Kota. Makalah diskusi Gema Publika, 11 Desember 2014.

Sosialismanto, Duto. 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik di Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

Sowell, Thomas. 1985. Marxism: Philosophy and Economics. New York: Quil William Morrow.

Referensi

Dokumen terkait

Keunggulan wood pellet sebagai sumber energi adalah bila dibandingkan dengan bahan bakar lainnya, wood pellet memiliki banyak kelebihan, yaitu memiliki emisi CO 2 10

Atas izin dan kehendak Allah SWT skripsi sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Program pengembangan karantina pertanian, pengendalian mutu dan keamanan hasil pertanian ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas produk pertanian agar memiliki nilai

Kekeliruan ini biasa dilakukan karena dalam banyak buku teks statistik hanya disampaikan bahwa untuk regresi berganda rumus / yang digunakan adalah rumus persamaan 18 atau

805.Simulasi Otentikasi Biometrik Pengenalan Wajah pada Java Card dengan Metode Neural Network 806.Analisa dan Simulasi Pengaruh Interferensi Terhadap Kualitas Sinyal Pada Sistem DS

Dalam perundang-undangan, lembaga ini di atur dalam UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan, bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) berdasarkan ketiga indikator yang terdiri dari memberikan contoh, mengarahkan, dan mengawasi peranan guru dapat