• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Business Continuity Plan dan Contingency Plan Dalam Meminimalisir Risiko Teknologi Informasi pada Industri Asuransi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Business Continuity Plan dan Contingency Plan Dalam Meminimalisir Risiko Teknologi Informasi pada Industri Asuransi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

42 | P a g e

Peran

Business Continuity Plan

dan

Contingency Plan

Dalam Meminimalisir Risiko Teknologi Informasi

pada Industri Asuransi

E. Susy Suhendra1, Teddy Oswari2, Silvy Setiawan3

Dosen Pascasarjana Universitas Gunadarma1, 2 E-mail: [susys, toswari]@staff.gunadarma.ac.id

Bendahara Dewan Pengurus AAMAI, Vice President Director PT Reliance3 E-mail : sylvy.setiawan@reliance-insurance.com

Abstrak

Manajemen industri asuransi di Indonesia secara umum merupakan suatu rangkaian proses mengidentifikasi, mengukur, memitigasi dan mengontrol segala bentuk risiko asuransi di perusahaan. Strategi pengendalian dan pengelolaan risiko asuransi di perusahaan dilakukan dengan langkah-langkah identifikasi dan pembuatan peta risiko (risk mapping), kuantifikasi dan pengukuran risiko (risk measurement and assessment), penanganan risiko (risk threatment) dan kebijakan manajemen risiko asuransi. Tujuan penulisan untuk mengantisipasi gangguan dan penyelamatan sistem Teknologi Informasi pada risiko operasional dengan menggunakan metode Business Continuity Plan dan Continuity Plan.

Metode Business Continuity Plan dan Continuity Plan yang diterapkan pada perusahaan asuransi perlu secara sfesifik menjelaskan peraturan mengenai IT dan harus dipahami oleh seluruh karyawan. Peraturan ini harus ditetapkan oleh top management dan sebaiknya meliputi garis dan tanggung jawab sistem IT, perawatan data dan backup sistem, prosedur penerapan antivirus dan spyware, akses terhadap internal data, penggunaan internet oleh karyawan, dan kebijakan mengenai e-mail pribadi.

Kebijakan ini sebaiknya didukung dengan petunjuk melakukan prosedur secara tertulis untuk memudahkan implementasi dan perlunya disusun Bussiness Continuity Plan dan Contigency Plan untuk menghadapi keadaan tidak terduga sehingga dapat meminimalisir kerugian operasional pada industri asuransi.

(2)

43 | P a g e

1. Pendahuluan

Pada dasarnya, risiko tidak dapat dihindari dari aktivitas bisnis perusahaan,

sehingga diperlukan manajemen risiko untuk mengatasi permasalahan ini. Sistem IT

pada perusahaan erat kaitannya dengan komputer. Komputer merupakan alat yang

digunakan untuk mengolah dan menyimpan data. Kadangkala komputer perusahaan

mengalami kegagalan dalam operasi. Hal ini dapat diakibatkan oleh kerusakan software

maupun hardware. Kerusakan komputer ini dapat mempengaruhi jalannya bisnis

perusahaan karena mereka tidak dapat mengakses data-data penting yang terdapat dalam

komputer tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Ernst&Young terhadap CIO (Chief Information

Officer) 34% dari mereka mengatakan kerusakan komputer sebagai risiko yang paling

signifikan mempengaruhi kelangsungan perusahaan. Selanjutnya menurut survey

tersebut 65% dari para CIO juga mengatakan bahwa penting untuk memperbaiki sistem

yang rusak tersebut. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka dapat memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap bisnis mereka. Beberapa masalah yang dapat terjadi adalah

kehilangan pelanggan, kehilangan nama baik, masalah dalam pengelolaan keuangan,

menurunnya kualitas pelayanan terhadap pelanggan dan kehilangan data.

Berdasarkan konsep Risk Based Capital (RBC), perusahaan asuransi di

Indonesia sebenarnya dapat beroperasi dengan modal yang sangat rendah (di atas Rp. 3

milyar) asal sehat dan memenuhi Risk Based Capital di atas 120%. Asuransi dalam

bentuk cabang atau divisi dari perusahaan asuransi konvensional dapat beroperasi

dengan penyisihan modal minimal Rp. 2 milyar. Brandts, S. (2004), menjelaskan risiko

yang potensinya mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian pada suatu

perusahaan. Risiko timbul karena adanya unsur ketidakpastian dimasa mendatang,

adanya penyimpangan, terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan, atau tidak terjadinya

sesuatu yang diharapkan. Terdapat 2 (dua) jenis risiko bisnis yang dapat dihadapi oleh

perusahaan, yaitu a) Risiko non-entrepreneurial, merupakan risiko yang bukan

diakibatkan oleh keputusan kewirausahaan yang diambil perusahaan. Contohnya

bencana alam, kebakaran. b) Risiko Entrepreneurial, merupakan risiko yang

diakibatkan oleh keputusan kewirausahaan yang diambil perusahaan. Contohnya

risiko membangun gedung baru, risiko meluncurkan produk baru, risiko menerapkan

(3)

44 | P a g e

Manajemen risiko erat kaitannya dengan kelangsungan usaha perusahaan.

Manajemen risiko adalah suatu rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan

untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor dan mengontrol risiko yang timbul

dari bisnis operasional suatu perusahaan. Manajemen risiko ditujukan untuk

memastikan kesinambungan, profitabilitas dan pertumbuhan usaha sejalan dengan

visi dan misi perusahaan. Strategi pengendalian dan pengelolaan risiko usaha

memerlukan langkah-langkah antara lain a) Identifikasi dan pembuatan peta risiko

(risk mapping), b) Kuantifikasi dan pengukuran risiko (risk measurement and

assessment), c) Penanganan risiko (risk threatment), d) Kebijakan manajemen risiko.

Peran Business Continuity Plan bertujuan agar bisnis asuransi bisa tetap

beroperasi optimal meskipun ada gangguan dan mampu menyelamatkan sistem

informasi terhadap berbagai bentuk gangguan. Business Continuity Plan mampu

melakukan proses secara manual dan otomatis yang dirancang untuk mengurangi

ancaman terhadap fungsi-fungsi operasional dan IT perusahaan asuransi. Continuity

Plan dipersiapkan untuk menyusun langkah-langkah penyelamatan (recovery) terhadap

fasilitas IT dan sistem informasi perusahaan.

2. Metode Business Impact Analysis (BIA) Pada Industri Asuransi

Bazzarello, D., Crielaard, B., Piacenza, F. and Soprano, A. (2006), menjelaskan

beberapa hal yang harus diperhatikan oleh manajer risiko dalam menilai suatu risiko

asuransi adalah a) Exposure, merupakan risiko kerugian maksimum yang harus

dihadapi apabila terjadi suatu kejadian terburuk. b) Volatility, semakin bervariasi hasil

yang akan terjadi pada masa yang akan datang, maka semakin besar risikonya.

c) Probability, merupakan kemungkinan terwujudnya kejadian yang mengandung

risiko. Semakin besar probabilitas dari kejadian berisiko, maka semakin besar

risikonya. d) Severity, berbeda dengan exposure yang menekankan pada kerugian

maksimum, severity menekankan pada kerugian yang sekiranya akan dialami. e) Time

Horizon, semakin lama jangka waktu suatu investasi, maka tingkat risiko akan

semakin besar. f) Correlation, jika risiko yang dihadapi saling berhubungan, maka

risiko yang dihadapi perusahaan akan semakin besar. g) Capital, perusahaan

menyimpan modal untuk 2 (dua) alasan utama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kas

(4)

45 | P a g e

exposure risiko asuransi.

Perusahaan dapat menyusun informasi risiko yang efektif, maka terdapat suatu

pendekatan yang integratif dalam menangani berbagai aspek risiko, yaitu Enterprise

Risk Management (ERM). ERM adalah kerangka kerja yang komprehensif dan

integratif untuk mengelola risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional, modal

ekonomi dan transfer risiko dalam upaya memaksimalkan nilai perusahaan. Kerangka

efektifitas kerja ERM terbagi menjadi 4 (empat) tahap, yaitu a) Proses manajemen

risiko dan Sistem Informasi Manajemen (SIM) risiko. b) Sistem Pengendalian

Internal (SPI) yang menyeluruh. c) Kebijakan, prosedur dan penetapan limit.

d) Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi.

Program ERM dapat dijelaskan dari 7 (tujuh) komponen yang harus

dikembangkan dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi, yaitu

meliputi a) Tata kelola perusahaan untuk memastikan bahwa dewan komisaris dan

direksi telah membuat proses organisatoris dan kontrol perusahaan yang tepat untuk

mengukur dan mengelola risiko lintas perusahaan. b) Manajemen lini untuk

mengintegrasikan manajemen risiko kedalam aktifitas penghasil pendapatan di

perusahaan termasuk pengembangan bisnis, manajemen produk dan hubungan

penentuan harga. c) Manajemen portofolio untuk mengumpulkan exposure risiko,

menggabungkan pengaruh diversifikasi dan mengawasi konsentrasi risiko terhadap

batas risiko yang dibuat. d) Pemindahan risiko untuk mengurangi exposure risiko

yang dipandang terlalu tinggi, atau lebih efektif biaya memindahkan ke pihak ketiga

daripada menahannya dalam portofolio risiko perusahaan. e) Analisis risiko untuk

memberikan perangkat pengukuran, pelaporan dan menelusuri pemicu eksternal.

f) Sumber daya data dan teknologi untuk mendukung proses analisis dan pelaporan.

g) Manajemen stakeholder untuk menyampaikan dan melaporkan informasi risiko

perusahaan kepada pada pada stakeholder-nya.

Sadgrove (2005), Ebnother, S., P. Vanini, A. McNeil, and P. Antolinez (2003),

menyatakan Operational Risk merupakan risiko yang berhubungan dengan kegiatan

perusahaan dalam proses produksi maupun operasi. Risiko-risiko operasi yang

dihadapi perusahaan antara lain distribution, logistic, suppliers, kualitas barang dan

(5)

46 | P a g e

menyebabkan perusahaan berpikir dan bertindak dalam skala besar harus ditangani

langsung oleh pimpinan perusahaan dan melibatkan rencana strategi perusahaan. Peran

Business Continuity Plan harus mempertimbangkan beberapa faktor yang dapat

memiliki pengaruh bagi perusahaan seperti terhadap pelanggan, yaitu berhubungan

dengan sikap pelanggan yang berubah dan ekspektasi pelanggan yang tumbuh dan sulit

diprediksi dan dapat dianalisis dari tingginya kualitas pelayanan yang siberikan. Jika

pelanggan hanya dapat menerima pelayanan atau produk yang dihasilkan perusahaan,

maka pelanggan akan langsung mengajukan keluhan jika ada kekurangan dari produk

yang ditawarkan dan membandingkan dengan produk yang ditawarkan oleh perusahaan

lain yang dianggap memiliki kelebihan.

Peran Business Continuity Plan terhadap new technology dapat meminimalisir

ancaman operasional dan teknologi. Jika dikelola dengan baik, teknologi dapat

memberikan keuntungan dan membuat perusahaan semakin kompetitif. Bentuk risiko

lain yang dihadapi perusahaan asuransi antara lain stock exchange rule, tax

requirements, environmental legislation, accounting standards, internal controls,ethics,

termasuk juga exchange rate, interest rate, liquidity, profitability, profits, and costs.

Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam membuat Business Continuity Plan dan

Contingency Plan adalah 1) memahami Information resource apa yang penting bagi

kebutuhan perusahaan asuransi? Apakah proses bisnis yang tidak berjalan akan

memberikan dampak negatif yang fatal bagi perusahaan?. Setiap proses harus

diperhatikan criticality-nya, dengan indikasi antara lain proses yang berkaitan dengan

nyawa seseorang. Proses akan menyebabkan kerugian finansial yang luar biasa dan

harus mematuhi aturan yang berlaku (sektor keuangan, atau air traffic control). 2) Cost

of recovery versus impact of disruption. 3) Analisis risiko dengan pendekatan kualitatif

dan membuat peringkat seperti tablel dan gambar dibawah ini.

Tabel 1. Klasifikasi Pemeringkat Business Continuity Plan dan Contingency Plan

Klasifikasi Deskripsi

Critical Fungsi-fungsi ini tidak bisa bekerja kecuali digantikan dengan fungsi serupa. Tidak bisa digantikan dengan metode manual.

(6)

47 | P a g e

Sensitive Bisa dilakukan secara manual dalam waktu yang relatif lama, namun meskipun dilakukan secara manual pasti tetap sulit melakukannya dan membutuhkan staf lebih banyak

Noncritical Bisa diinterupsi sampai waktu yang lama, dengan sedikit beban / tidak ada beban biaya bagi perusahaan.

Gambar 1.

Perhitungan Break Even Strategy dalam Business Continuity Plan

3. Analisis Risiko Teknologi Informasi Pada Risiko Operasional

Sistem IT termasuk dalam operational risk antara lain a) Pencurian komputer.

Kehilangan komputer menyebabkan perusahaan tidak dapat mengelola data. Kehilangan

data berarti juga perusahaan kehilangan data mengenai pelanggan, produksi, keuangan,

dan lain-lain. b) Akses ilegal terhadap data. Hal ini dapat berarti 2 (dua) kemungkinan,

yaitu internal (karyawan) atau external (hacker). c) Virus. Virus merupakan salah satu

masalah yang umum terjadi dalam penggunaan komputer. Virus dapat berasal dari

internet ataupun flashdisk yang terjangkit virus. d) Kegagalan software ataupun

hardware. Survey menunjukkan bahwa software ataupun hardware pada saat instalasi

awal biasanya mengalami kegagalan operasi. e) Kesalahan pengguna. Pengguna

komputer berpotensi dapat melakukan kesalahan seperti tidak sengaja menghapus data.

f) IT Project Failure. IT Project biasanya memiliki kekurangan pada saat awal

implementasi.

Mitigasi Risiko berdasarkan ketentuan penerapan manajemen risiko dalam

penggunaan teknologi informasi pada industri asuransi tetap bertanggungjawab untuk

setiap penerapan manajemen risiko. Perusahaan wajib melakukan mitigasi risiko untuk Cost ($)

Cost of recovery Cost of disruption impact

(7)

48 | P a g e

setiap kelemahan dan/atau pelanggaran kebijakan dan prosedur pengamanan serta

potensi risiko yang dapat mengganggu kelangsungan penyelenggaraan TI yang

digunakan oleh perusahaan, baik yang terjadi di perusahaan asuransi maupun di pihak

penyedia jasa.

Perusahaan asuransi wajib memastikan bahwa risiko ketergantungan pada pihak

penyedia jasa dapat dimitigasi sehingga perusahaan tetap mampu menjalankan bisnisnya

apabila penyedia jasa wanprestasi, pemutusan hubungan atau dalam proses menuju

likuidasi. Mitigasi risiko yang dapat dilakukan oleh perusahaan mencakup: a)

memastikan bahwa pihak penyedia jasa memiliki BCP sesuai dengan jenis, cakupan dan

kompleksitas aktivitas/jasa yang diberikan; b) secara aktif mendapatkan jaminan

kesiapan BCP milik pihak penyedia jasa seperti pengujian secara berkala atas BCP;

c) memiliki perjanjian penyimpanan source code program (escrow agreement) untuk

aplikasi yang memiliki eksposur risiko tinggi, jika perusahaan tidak memiliki source

code dari program aplikasi yang diselenggarakan oleh pihak penyedia jasa; d) dalam hal

source code tidak dimiliki oleh penyedia jasa maka penyedia jasa harus memberikan

jaminan kepada bank, bahwa kelangsungan aplikasi didukung oleh principal

pengembang software. Menjamin fungsi dan efektifivitas BCP, perusahaan wajib

menyusun dan melakukan pengujian BCP secara berkala, lengkap dan mencakup hal-hal

yang signifikan yang didasarkan atas jenis, cakupan dan kompleksitas aktivitas atau

kegiatan yang dilakukan oleh penyedia jasa. Disamping itu, pihak penyedia jasa harus

melakukan pengujian sendiri untuk sistem atau fasilitas TI maupun pemrosesan yang

diselenggarakan tanpa melibatkan pihak perusahaan. Hasil pengujian pihak penyedia

jasa tersebut digunakan perusahaan untuk mengkinikan BCP yang dimiliki perusahaan.

Solusi atau langkah-langkah dalam menghadapi risiko IT antara lain a)

Menanggulangi pencurian komputer. Menghadapi pencurian komputer perusahaan dapat

mengantisipasinya dengan beberapa cara. Pertama dengan memberikan pengaman pada

komputer seperti memberikan label pada komputer dan memasang sensor pengaman

pada pintu masuk perusahaan, serta menempatkan tenaga keamanan untuk melakukan

kontrol secara berkala. Kedua dengan memasang alat pelacak posisi komputer ketika

mengalami pencurian. b) Akses ilegal terhadap komputer. Terdapat beberapa cara

menghindari akses ilegal terhadap komputer perusahaan, meliputi i) Menggunakan

(8)

49 | P a g e

komputer ketika komputer terhubung dengan jaringan. ii) Membatasi komputer yang

memiliki removable drives seperti USB port. iii) Membatasi akses terhadap beberapa

data yang mengandung rahasia perusahaan dengan menggunakan password. iv)

Membatasi jumlah komputer yang terhubung dengan internet. Terutama komputer yang

menyimpan data-data penting perusahaan. Hal ini untuk menghindari akses illegal oleh

hacker. v) Closed user grouping. Untuk mengirimkan data ke user tertentu melalui

telephone line. vi) Password. Sebaiknya perusahaan melindungi data-data penting

dengan menggunakan password. Kata-kata yang digunakan sebagai password sebaiknya

unik sehingga tidak mudah dipecahkan serta secara berkala dilakukan penggantian

password yaitu a) Virus. Virus merupakan salah satu masalah yang umum terjadi dalam

menggunakan komputer. Jika komputer terinfeksi virus, perusahaan dapat menggunakan

antivirus yang terus diupdate secara berkala. Virus merupakan hal berbahaya yang dapat

merusak sistem komputer. Virus juga dapat menginfeksi komputer dari berbagai saluran

seperti USB ataupun internet. Sehingga perusahaan harus memberikan perhatian lebih

terhadap pengamanan virus komputer. b) Kegagalan software ataupun hardware. Untuk

menghindari Kegagalan software ataupun hardware maka sebaiknya perusahaan

membeli software atau hardware yang asli dan bergaransi. Sehingga apabila terdapat

masalah maka perusahaan dapat mengkalim masalah tersebut. c) Kesalahan pengguna.

Untuk menghindari kesalahan pengguna maka sebaiknya perusahaan mengadakan

pelatihan mengenai cara penggunaan komputer. Sehingga dapat meminimalisir

kesalahan oleh pengguna. d) IT Project Failure. Menerapkan sistem control yang ketat

untuk menghindari kesalahan. e) Meminimalisir kehilangan data. Untuk meminimalisir

kehilangan data, maka perusahaan dapat melakukan backup terhadap data. Sebaiknya

tempat penyimpanan data ini ditempatkan pada lokasi yang minim risiko, seperti risiko

kebakaran, banjir maupun pencurian. f) Spyware. Spyware dapat menginfeksi komputer

ketika kita terhubung dengan internet. Spyware dapat merugikan perusahaan karena

dapat mengirim data aktifitas yang dilakukan oleh karyawan saat menggunakan

komputer. g) Scam, merupakan email oleh oknum tertentu yang meminta pengguna

komputer memberikan data-data pribadi mereka yang berhubungan dengan akun bank

mereka. h) Software piracy. Penggunaan software bajakan dapat merugikan perusahaan

karena melanggar hokum. Mereka dapat terjerat UU No.19 tahun 2002 mengenai

(9)

50 | P a g e

Upaya selection of recovery strategies adalah 1) Tentukan cara/strategi untuk

melakukan recovery fasilitas IT, 2) Tentukan aktifitas bisnis apa saja yang harus

dilakukan selama fasilitas IT sedang di-recover. Asuransi pada perencanaannya sendiri

tidak bisa diasuransikan tetapi kalau ada kecelakaan baru bisa diasuransikan. Namun

dengan adanya rencana yang memadai, maka biaya premi asuransinya biasanya lebih

kecil. Mainframe atau fasilitas jaringan yang besar, ada beberapa kemungkinan strategi:

a) duplicate information processing facilities, b) hot sites: fully operational offsite data

processing facility equipped with hardwar & software in event of a disaster. Ini penting

untuk aplikasi yang critical. Namun biayanya sangat mahal, c) warm sites: fasilitas

alternatif yang memiliki sarana yang lebih sedikit. Misalnya ada listrik, jaringan,

telepon, meja-meja, printer, tetapi tanpa komputer yang mahal. Kadang-kadang ada

komputer, tetapi less processing power, d) cold sites: fasilitas yang memiliki prasarana

penunjang untuk operasi komputer, misalnya ruangan yang memiliki listrik dan AC.

Tapi belum ada komputernya, namun siap dipasangi computer dan e) perjanjian dengan

perusahaan lain.

Strategi telekomunikasi yang berjalan adalah network redundancy, alternative

routing, long haul network diversity, protection of local loop dan voice recovery.

Sedangkan Strategi business continuity antara lain a) tidak melakukan apa-apa sampai

recovery facility sudah „on‟, b) melakukan prosedur manual, c) memfokuskan diri pada

proses yang penting saja: customer, products, d) menggunakan PC untuk data capture

(pencatatan saja) dengan pengolahan minimal. Pengolahan baru dilakukan setelah

recovery facility sudah bekerja. Saat membangun Business Continuity Plan dan

Contingency Plan, harus melibatkan seluruh perusahaan, tidak hanya bagian IT saja.

Kalau tidak ada Business Continuity Plan lapisan perusahaan, maka Business Continuity

Plan dari sistem informasi harus menyertakan bagian lain yang terkait dengan Business

Continuity Plan. Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam membuat Business

Continuity Plan adalah a) staf-staf yang diperlukan untuk menjalankan fungsi bisnis

yang penting saat terjadi bencana, b) konfigurasi gedung, meja, kursi, telepon, dan lain

sebaginya.

Business Continuity Plan dan Contingency Plan harus menyepakati tahapan a)

tujuan dari setiap tahap recovery, b) fasilitas alternative, c) penanggung jawab, d)

(10)

51 | P a g e

Business Continuity Plan mencakup a) siapa penanggung jawab utama, b) backup dari

supplies yang dibutuhkan, c) pengorganisasian dan penanggung jawab setiap aktifitas,

d) jaringan computer dan e) asuransi.

4. Tanggung Jawab Penilaian Pada Business Continuity Plan

Terdapat tim yang bertugas melakukan fungsi tertentu dalam Business

Continuity Plan, dan dipimpin seorang team leader. Tim terdiri dari 1) Emergency

action team, tugas utamanya adalah seperti “pemadam kebakaran”, dan bertugas untuk

menyelamatkan jiwa. 2) Damage assessment team, harus bisa mengkalkulasi dampak

bencana dan bisa memperkirakan kapan lokasi bisa kembali normal. 3) Emergency

management team, berkewajiban mengkoordinasikan aktifitas tim-tim lainnya,

melakukan tindakan pengambilan keputusan, apakah akan menjalankan Business

Continuity Plan atau tidak dan termasuk menangani masalah hukum dan relasi publik.

4) Off site strorage team, packing dan shipping dari media dan merekam ke offsite

facility. 5) Software team, restore operation system. 6) Applications team, untuk

melakukan recovery site dan menginstall kembali aplikasi komputer. 7) Emergency

operations team, shift operators and shift supervisors yang harus menjalankan recovery

site (alternate facility). 8) Salvage team, melakukan analisis lebih mendalam terhadap

dampak bencana, menentukan apakah akan memperbaiki lokasi yang kena bencana, atau

melakukan proses relokasi dan mengisi form klaim asuransi. 9) Relocation team,

mengembalikan dari recovery site ke lokasi awal atau ke lokasi baru yang permanen.

5. Kesimpulan

Perusahaan perlu menerapkan peraturan mengenai IT dan harus dipahami oleh

seluruh karyawan. Peraturan ini harus ditetapkan oleh top management dan sebaiknya

meliputi a) Garis dan tanggung jawab mengenai sistem IT, b) Perawatan data dan

backup sistem, c) Prosedur penerapan antivirus dan spyware, d) Akses terhadap internal

data, e) Penggunaan internet oleh karyawan dan f) Kebijakan mengenai e-mail pribadi.

Kebijakan ini sebaiknya didukung dengan petunjuk melakukan prosedur secara tertulis

untuk memudahkan implementasi. Bussiness Continuity Plan (BCP) dan Contigency

Plan (CP) sangat diperlukan untuk menghadapi keadaan tidak terduga sehingga dapat

(11)

52 | P a g e

merupakan ancaman yang tidak dianggap bencana tetapi tetap dianggap sebagai high

risk.

Bussiness Continuity Plan (BCP) dan Contigency Plan (CP) harus

mempertimbangkan strategi short-term dan strategi long-term. Misalnya untuk short

term harus ada fasilitas IT alternatif, sedangkan long-term strategi misalnya menyiapkan

fasilitas IT yang permanen guna mengantisipasi kasus terburuk.

Daftar Pustaka

Anonim, 2008. Effective Business Continuity Plan. Diakses tanggal 15 Januari 2013 dari http://events.belgacom.be/ dataatwork/Track_2_1_Bus_Cont.pdf

Bazzarello, D., Crielaard, B., Piacenza, F. and Soprano, A. 2006. Modeling Insurance Mitigation on Operational Risk Capital. Journal of Operationl Risk. 1(1). pp. 57-65.

Brandts, S. 2004. Operational Risk and Insurance: Quantitative and Qualitative Aspects. Working Paper.

Ebnother, S., P. Vanini, A. McNeil, and P. Antolinez, 2003. Operational Risk: A Practicioner's View. The Journal of Risk. pp. 5.

Gondodiyoto, Sanyoto & Henny Hendarti. (2006). Audit Sistem Informasi. Mitra Wancana Media, Jakarta.

Hanggraeni, Dewi, 2010, Pengelolaan Risiko Usaha. LPFE. Universitas Indonesia.

Leippold, M., and P. Vanini, 2005. The Quantification of Operational Risk. The Journal of Risk. pp. 8.

Sadgrove, Kit, 2005, Organizational Behavior, International ed. Prentice-Hall, New York.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) yang menjadi indikator obesitas dan tingkat aktifitas fisik dengan tekanan

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 11 o LU hingga 12 o LS meliputi Sri Lanka bagian selatan, Samudra Hindia bagian timur,

langsung yang diselenggarakan kerjasama HMI dengan STAIN Cirebon tahun 2004, sebagai nara sumber :. Triyuni

Proses pembuatan peta potensi area mikro hidro diawali dari data SRTM DEM yang diubah menjadi peta slope, dilanjutkan overlay dengan peta curah hujan yang berasal dari data

Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data atau sejumlah keterangan yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui sumber

Pendanaan pembangunan sanitasi melalui APBD Provinsi dapat dibedakan atas; (i) pendanaan untuk kegiatan prioritas pembangunan sanitasi provinsi yang dilaksanakan oleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketercapaian standar nasional perpustakaan yang ditinjau dari aspek standar sarana dan prasarana: (1) sekolah yang mencapai 100%

Penaksiran risiko yang diterapkan di Dinas Pendapatan, dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kota Surabaya yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan pada tugas dan