• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadilan Sosial dalam Pembangunan Inklus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keadilan Sosial dalam Pembangunan Inklus"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Keadilan Sosial dalam Pembangunan Inklusif

:

Upaya Indonesia dalam memperjuangkan produk yang dapat berkontribusi pada pembangunan perdesaan dan pengentasan kemiskinan (development products)

guna mendapatkan fasilitasi dan akses pasar internasional1

Oleh : Puthut Indroyono Mubyarto Institute

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Email: puthut@ugm.ac.id

Latar Belakang

Sampai hampir dua dasawarsa reformasi, pembangunan inklusif yang diharapkan mampu menopang dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih berkualitas, nampak masih belum terumuskan dengan baik. Jika menengok pola tata kelola ekonomi Indonesia, pola pemikiran dan kebijakan ekonomi yang terimplementasikan masih dominan diwarnai oleh kutub dikotomis, yang oleh peraih hadiah nobel

ekonomi tahun 2009, sebagai antara “negara” dan “pasar”. Marwah demokratisasi yang mendorong pilar ketiga, “people-driven” ekonomi, yang seharusnya didorong sehingga manjadi pilar yang menguatkan dari sisi ketahanan dan kedaulatan

nasional, seakan masih (bisa juga dibaca: “makin”) jauh dari yang diimpikan. Padahal secara khusus, semangat inklusi telah tertuang dalam nawacita ke tujuh, yang

berbunyi:”Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor

strategis ekonomi domestik”.

Untuk mendekatkan antara apa yang menjadi arah pemikiran tentang pembangunan inklusi dan implementasi di lapangan, adalah menarik untuk melihat kasus-kasus yang pernah dikembangkan sebelumnya. Ada satu buku menarik, yang menggambarkan praktek inklusi yang komprehensif, yang pernah dipraktekkan walikota dalam kasus di Solo2. Dari sisi konseptual, pembangunan inklusif adalah antitesis dari pola tata-kelola ekslusif dengan menempatkan masyarakat/publik termasuk yang miskin dalam proses perencanaan hingga implementasi kebijakannya di lapangan. Selain menampilkan argumentasi teoritis yang antara lain diilhami oleh

pemikiran Korten tentang “people-center development” buku ini juga membahas implementasi substantif gagasan itu dalam praktek. Sektor-sektor yang selama ini ter-eksklusi atau termarjinalkan melalui pendekatan sebelumnya didorong untuk diprioritasi secara kewilayahan (sektoral, spasial) dalam bentuk integrasi dengan sektor-sektor “modern” yang berkembang. Integrasi dapat dilakukan dengan kemitraan/partnership, bukan hanya dalam bentuk partisipasi formalitas (public hearing, musrenbang, dll), tetapi juga yang lebih substantif dalam bentuk delegated power dan citizen control.

1Makalah untuk Rakertas Dewan Ketahanan Nasional, Jakarta, 14-16 November 2017 2

(2)

2

Orientasi dalam praktek tidak semata-mata fokus pada aspek produk (product development), namun juga menyasar aspek sumberdaya manusia, dan akses mereka secara kelembagaan dalam pengambilan keputusan. Rakyat didorong untuk mandiri melalui fasilitasi negara/pemerintah, agar makin berdaya (ketergantungan berkurang), memiliki kapasitas daya tahan dalam menghadapi permasalahan eksternal, serta memiliki daya saing. Inovasi tata kelola produk unggulan rakyat yang diciptakan melalui fasilitasi pemerintah dilengkapi dengan kemampuan mereka secara kelembagaan.

Mencuplik semangat dan arah pembangunan inklusif melalui praktek dalam kasus Solo tersebut, setidaknya mampu memberi gambaran tentang hal-hal apa yang

seharusnya menjadi fokus perhatian tentang strategi diplomasi dalam

pengembangan forum kerjasama negara-negara Asia Pasifik. Kesamaan permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara anggota semestinya memberikan arah bagaimana kualitas kebijakan dan strategi bersama dapat dikembangkan. Belajar dari pengalaman OVOP (one village one product) di Jepang, misalnya, ada tiga pilar yang semestinya menjadi prasyarat: yakni: self-reliance and creativity, local yet global, dan human development (Yamazaki: 2010). Sebagaimana ditekankan dalam studi Kurokawa, orientasi dari gerakan OVOP adalah mendorong mobilisasi

“local human, material, and cultural resources to create value-added products/services for domestic and external markets”3. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa di Thailand dan Malawi, OVOP dikembangkan oleh pemerintah pusat berbeda karena lebih menekankan kepada tujuan ekonomi, ketimbang tujuan-tujuan sosial. Dengan ketiga pilar tersebut dan orientasi sosialnya, maka akar ketimpangan bukan sekedar menyasar ketimpangan akses (penguasaan lahan), tetapi juga soal SDM, organisasi, jaringan, teknologi, informasi, dan sebagainya.

Kondisi Makro Saat Ini

Pembangunan inklusif mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dalam mengatasi kemiskinan dan kesenjangan, kalamana mampu menyasar akar permasalahannya. Gambaran tentang pertumbuhan ekonomi saat ini misal, digambarkan oleh penelitian INDEF4. Secara garis besar, diuraikan bahwa kecenderungan pertumbuhan ekonomi saat ini boleh dibilang belum berkualitas. Hal ini ditunjukkan dengan: Pertama, dengan menggunakan data pertumbuhan 2012-2017, sektor-sektor produktif yang

“besar-besar” semakin tersisih, utamanya sektor pertanian. Hal ini diantaranya karena pertumbuhannya lebih rendah dibanding sektor-sektor yang lain, yang didukung capital intensive. Sektor pertanian menjadi sektor yang tidak menarik, yang diwarnai oleh rendahnya tingkat kesejahteraan sehingga jumlah rumah tangga pertanian dan tenaga kerja sektor itu semakin menurun; Kedua, ketimpangan dalam

mengakses fasilitas dasar (pendidikan, kesehatan, ekonomi/pembiayaan,

infrastruktur dasar seperti air minum, sanitasi, pemukiman, dll); Ketiga, pekerja sektor informal semakin meningkat; keempat, peningkatan Gini di Indonesia selama dua dekade terakhir adalah salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur; Keempat, nilai tukar petani yang makin berkurang. Mengutip BPS, INDEF menunjukkan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang harus

3

Kurokawa, Challenges for the OVOP movement in Sub-Saharan Africa -Insights from Malawi, Japan and Thailand, Research Report, 2010

(3)

3

dibayar petani, untuk menunjukkan tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan yang mengalami penurunan. Indeks ini juga mencerminkan daya tukar (terms of trade) produk pertanian terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi petani. Jika pada akhir 2014 nilai tukar petani ada pada posisi 102.87, maka pada awal 2017 berada pada posisi 99.95 (Maret) dan 100.01 (April).

Masih banyak lagi data makro yang menunjukkan kecenderungan kurang menggembirakan, seperti kemampuan pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja serta pengangguran usia muda. Kemiskinan desa dan kota juga menunjukkan bahwa jika pada era sebelum krisis, kemiskinan desa < kemiskinan kota, sementara sejak menjelang krisis hingga sekarang kemiskinan desa > kemiskinan kota, dengan

menunjukkan peningkatan seiring dengan berkurangnya sumber-sumber

pertumbuhan ekonomi baru di daerah/desa.

Catatan dari Lapang

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM beberapa tahun terakhir mengadakan kajian lapangan, untuk melihat secara “induktif/empirik” praktek ekonomi rakyat serta aturan main yang berlaku di beberapa sektor. Kebanyakan bersinggungan dengan sektor-sektor yang mayoritas rakyat Indonesia menggantungkan penghidupannya. Yang paling baru adalah riset tentang komoditas kopi di kabupaten Lampung Barat. Penelitian dilakukan dengan melihat kopi secara “hulu-hilir”, dari produksi di kebun hingga pemasaran yang mayoritas berupa biji kopi (green bean) ekspor. Berbeda dengan jenis komoditas lain, perkebunan kopi sejak dulu lebih banyak dikembangkan oleh masyarakat. Beberapa perkebunan negara dan swasta besar yang dulu pernah ada, kini berangsur-angsur tutup. Berbeda dengan sawit misalnya, potensi dan kekuatan yang dimiliki masyarakat adalah karena mereka tidak hanya menjadi produsen biji kopi, tetapi mereka telah mampu sejak dulu melakukan processing menjadikan biji kopi menjadi bubuk siap dikonsumsi. Oleh karenanya, banyak usaha informal yang berkembang sejak dulu maupun selama satu dekade terakhir terkait dengan komoditas ini.

Beberapa temuan penting dapat dikemukakan di sini, diantaranya peningkatan produktifitas petani tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan. Seperti diketahui, pekebun kopi di pegunungan Bukit Barisan paling selatan ini secara

nasional telah menunjukkan “prestasi” dalam hal produktivitas, sehingga menunjukkan level agregat tertinggi. Tentu ini tidak bisa diciptakan dalam sekejap, butuh waktu dan andil dari faktor-faktor tempat, iklim, teknis budidaya, dan faktor sosial-budaya lainnya, termasuk pola relasi dengan pelaku-pelaku hulu-hilir di area itu. Untuk menyebut angka, rata-rata produksi biji kopi mencapai rata-rata 1 ton per hektar, bahkan di beberapa kecamatan angkanya mencapai 1,3-1,5 ton/hektar. Meskipun total produksi daerah itu mampu memberikan kontribusi terbesar ekspor biji kopi di Indonesia, namun nilai tambah yang diperoleh dari berkembangnya pola tataniaga yang ada, kurang memberikan penghargaan pada jerih payah petani kopi. Alhasil, kelompok tani yang sudah berhasil meningkatkan kualitas produknya dan pernah mendapatkan sertifikat, harus berpikir ulang memperpanjangnya.

“Ketika panen bagus, tak ada beda, tetap disamakan, dicampur. Tidak ada misalnya, ini

(4)

4

kualitas buruk, misalnya. Dengan begitu, petani dapat termotivasi untuk memproduksi

yang bagus”.

Melalui penelusuran lebih jauh pada aturan main yang berkembang dalam tata-niaga kopi, diperoleh jawaban mengapa produktifitas pekebun kopi tidak selalu sejalan dengan tingkat kesejahteraan. Pola relasi antar pelaku dalam tata niaga sejak hulu hingga hilir, dalam jangka lama telah membentuk pola dan perilaku aktor yang terlibat, yang cenderung kurang menguntungkan bagi pelaku di hulu.

Temuan lain menunjukkan struktur pasar yang timpang atau mengerucut seperti piramida. Akibat tata produksi dan tata niaga yang oligarkis dan dipandu oleh orientasi pertumbuhan ekonomi telah berkontribusi pada posisi ketertinggalan masyarakatnya, sehingga pemerintah pusat memasukkan kabupaten ini dalam 122 kabupaten tertinggal. Hal lain yang cukup menonjol ketika dilakukan wawancara lapang adalah lemahnya daya tawar petani dan kelompok tani. Ada banyak cerita yang menunjukkan soal ini. Meskipun produksi biji kopi mencapai 52 ribu ton per-tahun, namun tidak satupun gudang (standar), baik yang dikelola pemerintah atau masyarakat yang mampu menjadi “instrumen kontrol”, menahan barang sementara menunggu harga bagus.

Cerita kedua berasal dari desa Nglanggran, yang tujuh tahun lalu dikenal sebagai salah satu desa miskin di kabupaten Gunungkidul. Desa ini sekarang menjadi salah satu desa yang mendapat perhatian secara nasional dan internasional karena berhasil mengembangkan desa wisata berbasis komunitas. Baru-baru ini desa itu mendapat penghargaan di tingkat ASEAN. Berbeda dengan kasus kopi di atas, kasus Nglanggran, pola pembangunan inklusif relatif berkembang. Berbagai kelembagaan

yang menyertai “products” yang dihasilkan di desa ini cukup berkembang, orientasi ekonomi yang menghasilkan “produk dan jasa” wisata, juga diiringi oleh

berkembangnya kelembagaan yang mencerminkan kekuatan “people” secara

kolektif. Ini ditunjukkan oleh “pengelola desa wisata nglanggran” yang kebetulan adalah anak-anak muda desa, yang secara aktif menjadi “pemain” dalam kancah pengelolaan sumberdaya yang ada di desa tersebut.

Sebagai sebuah model, hal yang dapat dipelajari dalam kasus ini diantaranya adalah

bahwa kekuatan “people” yang ditunjukkan dengan kemampuan kelembagaan

mereka dalam merancang produksi termasuk dalam penentuan “harga”. Daya tawar kolektif ini ditunjukkan oleh kemampuan mengkoordinasikan potensi puluhan rumah tangga dalam penyediaan homestay bagi wisatawan. Pengunjung “harus” mengikuti

aturan-main yang ditetapkan, sehingga mampu “mengerem” pengaruh harga

berbasis “pasar”. Ini barangkali sejalan dengan model OVOP di Jepang, model intrgratif “kohesi-sosial” dan koperasi di Eropa, dan model-model social enterpreneurship lainnya, bahwa eksperimen pengembangan produk seharusnya tidak hanya didorong oleh motif ekonomi (profit), tetapi juga motif sosial (benefit). Selain itu, kesadaran pengelola akan keberlanjutan bisnis mereka di masa depan terkait masalah pelestarian lingkungan hidup, mendorong pemikiran dan inovasi di kalangan pengelola untuk “membatasi” jumlah wisatawan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Suatu bentuk pemikiran yang kurang “lazim”, tetapi motif benefit sosial dan etik telah tertanam dalam diri pengelola.

(5)

5

bahan mentah, kini mengarah pada bisnis processing. Sertifikat yang diakui secara global telah menempel di kemasan produknya. Secara kelembagaan, pengelola juga

melakukan inovasi dengan membangun “outlet” yang dapat menjadi ruang pamer

bagi produk-produk desa lainnya. Inovasi ini baru berjalan dan tentu masih membutuhkan upaya-upaya lain dari sisi pemasaran. Faktor teknologi informasi sangat berperan dalam hal ini. Sebagai model inklusif, pengalaman Nglanggran dan kreasi yang dikembangkan tentu masih perlu pembuktian hasilnya ke depan, karena perubahan sosial memang membutuhkan waktu. Jika mengikuti pengalaman OVOP di Oita yang butuh satu dekade, barangkali orientasi pemasaran yang dikembangkan dapat dimulai dari pasar domestik, baru pada tahap lanjut dikembangkan untuk pasar internasional.

Diplomasi Pengembangan Produk

Dalam konteks internasionalisasi produk melalui pendekatan yang tidak semata mengandalkan transaksi ala “pasar”, tetapi juga oleh semangat inklusifitas bisnis-sosial dan/atau bahkan nilai-nilai pelestarian ekologis, dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dalam mendorong diplomasi di antara sesama negara-negara ASEAN, yang kebanyakan juga memiliki permasalahan yang sama.

Akar persoalan kemiskinan, kesenjangan ekonomi, termasuk kemiskinan di perdesaan, utamanya lebih banyak dipengaruhi oleh berkembangnya “aturan main” yang mengeksklusi pelaku ekonomi rakyat kecil. Aturan main ekslusif ini lebih menguntungkan pelaku-pelaku “bisnis besar” termasuk yang ada peran negara di dalamnya.

Kasus Solo membuktikan bahwa mendorong pembangunan inklusif, tidak saja menguntungkan bagi pemimpin yang menjalankannya tetapi juga masyarakat karena peran mereka makin diperluas untuk berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya. Benih-benih kemandirian, self-relience, kreativitas publik, bisnis-sosial, dan lain-lain, meskipun tentu banyak menghadapi banyak tantangan, namun

(6)

6

BACAAN

Eni Sri Hartati, “Kebijakan dan Program Pemerintah Jokowi dalam Memaknai Sistem

Ekonomi Pancasila”. Bahan Presentasi pada Diskusi Panel Memperkuat Sistem Ekonomi Pancasila dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi, Yogjakarta, 25 Agustus 2017.

Henny Warsilah (Editor), Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa Tengah, Yys. Pustaka Obor Indonesia, tanpa tahun.

Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, 1988

Kurokawa, Challenges for the OVOP movement in Sub-Saharan Africa -Insights from Malawi, Japan and Thailand, Research Report, 2010, diunduh tgl 8 Nov’17,

jam 20:00 dari

https://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinion-files/5970.pdf

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Guru melatih bocah moco kosa kata, kalimat lan teks ngangge ucapan sing benar2. Bocah moco kosa kata, kalimat lan teks ngangge ucapan

Latar belakang: Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti

Capital market research and the efficient markets hypothesis. Market efficiency does not assume, mean

Mengingat pentingnya permasalahan yang terjadi pada lansia terkait dengan fleksibilitas maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh penambahan static stretching

Keylock 8800 menawarkan metode verifikasi sidik jari, kata sandi dan sistem kartu, semua pada satu mesin untuk proses pengoperasian yang nyaman.. Pendaftaran dan pengelolaan

Apabila sesuai, barang lalu dikirim serta diserahkan ke pelanggan dan meminta pelanggan untuk menandatangani surat jalan rangkap empat sebagai bahan bukti bahwa barang telah

Internalisasi nilai toleransi melalui model pengajaran telling story pendidikan kewarganegaraan Untuk mencegah perkelahian tawuran (StudiKasusTawuran Pelajar Sekolah Menengah di Kota