• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Pendidi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Apa yang Sebenarnya Terjadi pada Pendidi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Apa yang Sebenarnya Terjadi Pada Pendidikan Negeri

Ini?

Membaca Wacana yang ditulis oleh Prof. Chaedar Alwashilah tentang “Kelas untuk Mendorong Kerukunan Beragama” yang mengatakan bahwa hubungan antar teman sejawat atau sekelas lebih erat ketimbang hubungan dengan keluarga sendiri. Sebagai contoh ketika ada seorang kaka yang mempunyai uang lebih memilih meminjamkan uangnya kepada teman sepermainannya sendiri daripada memberikannya kepada adiknya yang sedang merengek meminta uang dari orang tuanya. Fenomena ini sudah sangat lumrah sebenarnya karena mereka (para pelajar muda) sedang mencari jati diri mereka melalui hubungan dengan temannya. Seperti halnya tawuran antar sekolah, perkelahian demi memperebutkan seorang teman perempuannya, kebut-kebutan, dan lain sebagainya adalah fenomena yang sangat umum ditemui. Namun, semua hal itu tergantung pada peran orang tua sebagai pendidik pertama. Jika benar-benar dididik dengan baik, maka tidak akan pernah terjadi hal yang demikian itu.

(2)

yang lesu, mengantuk karena mungkin begadang karena bekerja untuk orang tuanya, ada yang dipaksa oleh orang tuanya, dan lain-lain. Hal-hal semacam ini yang membuat siswa tidak berkonsentrasi ketika belajar di sekolah. Akibatnya, pelampiasan kekesalan siswa tersebut diserahkan kepada teman sekelasnya yang mungkin kurang nyaman keberadaannya di kelas tersebut.

Itulah mengapa orang tua berperan besar terhadap pendidikan anak-anaknya. Sekolah hanya memfasilitasi, menugasi, mengajari, dan memberi pengarahan, kepada siswanya untuk begini dan begitu. Namun, semuanya tergantung pada siswa tersebut. Sekolah adalah tempat kedua setelah lingkungan keluarga.

Pada pendidikan liberal pun peran orang tua tidak kalah penting dalam mendidik anak-anaknya. Apalagi yang bersifat liberal yang identik dengan kebebasan yang tujuanya untuk saling menghargai perbedaan orang lain dalam kehidupan ini. Seperti etnis, budaya, agama, dan bahkan ras. Memang benar ketika Pa Chaedar mengatakan “Pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Di sini yang dituliskan dalam wacana tersebut adalah hanya peran sekolah dalam menghargai perbedaan antar etnis, budaya, agama, dan ras. Namun, tidak disertakan peran orang tua di dalamnya. Sekali lagi, orang tua adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Jika orang tuanya saja tidak menghargai perbedaan yang dimiliki orang lain, lalu bagaimana dengan anak-anaknya?

(3)

belajar, dalam hal ini adalah sekolah. Sebenarnya sekolah sudah benar menuntun siswanya untuk saling berinteraksi sesamanya meskipun tidak semua siswa mau dituntun. Pendidikan Kewarganegaraan pun tidak menunjukkan keefektifannya dalam mendidik para siswa yang intinya untuk menghargai segala perbedaan yang ada di negeri ini. Pancasila juga sepertinya sudah benar dalam 69 tahun ini dan tidak ada yang perlu direvisi lagi sepertinya. Lalu siapa yang salah mendidik bangsa ini sehingga dikenal sebagai bangsa yang anarkis? Tidak menghargai perbedaan?

Pendidikan ini yang seharusnya dirubah total. Banyak konflik di negeri yang dikarenakan perbedaan etnis dan agama. Seperti yang terdapat pada wacana “Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa”. Kemudian pada era Reformasi yang ketika itu etnis Tiong Hoa yang dibantai habis-habisan, diperkosa, dijarah, dan lain sebaginya oleh orang pribumi, peristiwa di Sampit yang melibatkan etnis Dayak dan Madura, dan masih banyak lagi. Apalagi pada masa tersebut Indonesia telah giat membangun negaranya. Seperti membuat pesawat sendiri, membuat pabrik otomotif sendiri dan lain sebagainya. Akan tetapi bertolak belakang dengan pendidikan di negeri ini. Mereka para etnis berbeda lebih memilih sekolah yang latarnya sama dengan latar dimana mereka hidup baik dari agama maupun budaya.

(4)

Dalam sejarah pembuatan Piagam Jakarta (sekarang Pancasila) dibuat dengan menghargai perbedaan agama yang ada pada Panitia Pencetusnya. Ketika itu A.A Maramis tidak menyetujui jika Indonesia dijadikan negara yang beasaskan islam. Kemudian K.H Wahid Hasyim sebagai ketuanya menyetujui permintaan tersebut dan dirubahlah sila pertama seperti yang biasa dibacakan ketika upacara sampai saat ini.

Hanya beberapa sekolah saja di negeri ini yang memfasilitasi perbedaan baik etnis atau agama, selainnya tidak. Nah, di sini lah peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anak-anaknya dalam menghargai perbedaan. Tidak seperti Arab Saudi yang memang semua penduduknya menganut satu agama, yaitu Islam. Dan tidak seperti Vatikan (sebuah negara kecil di Italia) yang hampir semua penduduknya menganut satu agama juga, yaitu Kristen. Indonesia memiliki 5 sampai 6 agama dalam berbagai aliran tersendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain yang lebih maju. Akan tetapi perbedaan itu dikotori oleh orang-orang yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya sendiri.

Untuk itu, orang tua seharusnya mendidik anaknya untuk membagi pengalaman masa lalunya. Masa lalu yang baik bisa dijadikan contoh atau pelajaran untuk anaknya supaya tidak mengulang perbuatan yang sama. Perlu lah sebenarnya diajarkan sejarah pada anak sejak dini, seperti diceritakan bagaimana perjuangan bangsa ini untuk merebut kebebasan dari bangsa lain.

(5)

Kenyataan yang sebenarnya ada pada diri anak terutama pada masa Sekolah Dasar (SD) adalah anak selalu menuruti apa yang dikatakan oleh gurunya. Karena memang pada saat itu anak sedang menemukan dunia baru. Namun, tetap orang tua punya peran lebih kepada anaknya untuk selalu mendidik dengan semestinya. Nah, ketika di sekolah baru lah peran guru diperlukan. Tapi seperti yang sudah dijelaskan, lingkungan keluarga lebih banyak waktunya ketimbang lingkungan sekolah. Bisa dibilang orang tua dan guru mestinya melakukan pendekatan lebih untuk memantau anaknya dalam belajar di sekolah ataupun di rumah.

(6)

Dalam hal ini, siswa mestinya diajari komukasi antar teman sebayanya tidak hanya pada sekolah tetapi juga pada lingkungan keuarga yang setidaknya memiliki banyak waktu di rumah. Tidak dipungkiri bahwa anak yang supel (mudah berkomunikasi) akan jauh lebih menghargai orang lain dari pada anak yang dari karakternya saja tidak terlihat atau bisa dibilang kuper (kurang pergaulan). Komunikasi antar siswa ini bisa bermanfaat bagi psikologi anak-anak itu sendiri dalam mengembangkan wacana positif di masyarakat yang mungkin tidak didapat di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Tugas orang tua di sini adalah meningkatkan tingkat daya jangkau anak dengan cara mendidik melalui komunikasi teman sebayanya. Jadi apa yang dikatakan Prof. Haidar memang benar adanya tentang kegiatan untuk mendorong kerukunan beragama di sekolah, namun di sini tidak hanya sekolah yang diperlukan, akan tetapi lingkungan keluarga juga perlu diajarkan.

(7)

Cara mendidik anak dalam hal agama untuk menghadapi era liberalisme yang sekarang sedang kencang-kencangnya di era globalisasi menurut Sutomo Paguci, yaitu bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. KasihNya luas tak terhingga. SayangNya tak alang kepalang. Tuhan itu sejuk dan penuh kasih. Tidak perlu ditakuti. Sejalan dengan hal ini, mungkin saja anak akan berproses dalam pengalaman spiritualnya. Untuk itu, diperlukan mengenalkan nilai-nilai agama lain yang tujuannya untuk saling menghargai perbedaan agama terutama di dalam lingkungannya sendiri.

Di zaman sekarang ini banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya hingga tingkat doctoral namun, tidak menyekolahkan anaknya kepada nilai-nilai perbedaan yang ada dalam lingkungannya sendiri. Tidak perlu lah jauh-jauh berbicara mengenai budaya dari agama lain, wong diajarkan cara menghargai nilai-nilai dalam agama yang lainya saja tidak apalagi diajarkan budayanya. Inilah yang mungkin memicu bentrokan antar agama di negeri ini yang menganggap agama mereka lah yang paling benar. Semua agama memang benar namun, itu tergantung pada cara menghargai kebenarannya masing-masing dalam beragama.

Berikut ini adalah peran yang mestinya dilakukan oleh orang tua untuk mendidik anak-anaknya pada zaman sekarang yang identik dengan globalisasi dan liberalisme yang dilansir dari penelitian MIN Glesungrejo, sebuah sekolah madrasah negeri di Jawa Tengah yang mengungkapkan bahwa perlu adanya dukungan untuk anak dalam mendidik. Yaitu sebagai berikut:

1. Dukungan Sosial Ekonomi

(8)

status sosial ekonomi keluarga atau pendapatan di dalam keluarga itu sendiri.

2. Dukungan Mental/Agama

Seorang anak yang baik dirumah, pasti akan mempengaruhi sikap kesiswaannya di sekolah. Anak baik tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina lewat pendidikan. (Ilyas: 1999)

3. Dukungan Moral

Dukungan moral dari orang tua terhadap pendidikan anaknya dapat berupa perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan psikis yang meliputi kasih sayang, keteladanan, bimbingan dan pengarahan, dorongan, menanamkan rasa percaya diri. Dengan perhatian orang tua berupa pemenuhan kebutuhan tersebut diharapkan dapat memberikan semangat belajar anak guna meraih suatu cita-cita atau prestasi.

4. Dukungan Pendidikan

Pendidikan yang akan melahirkan anak baik adalah pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek yang ada pada diri manusia berupa hati, akal, dan fisik. Pendidikan yang mengutamakan fisik dan mengabaikan akal dan hati akan menghasilkan manusia hayawani (bersifat seperti hewan), bila hanya mengutamakan pikiran saja menghasilkan manusia syaithani (bersifat seperti syetan), sedangkan bila mengutamakan hati semata tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa menjadi Malaikat (Ilyas: 1999).

(9)

sebayanya secara khusus dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan sosial di sekolah seperti berinteraksi, bersosialisasi, sopan-santun dan lain sebagainya adalah turunan dari pendidikan dalam keluarga dari anak itu sendiri. Semestinya anak lebih dulu dikenalkan hal-hal tersebut dalam keluarga sehingga nantinya sudah terbiasa ketika dalam kelas bersama teman-teman sebayanya.

Diantara pendapat Prof. Chaedar Alwashilah yang mengatakan “Pendidikan Liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”. Ada sejumlah pendapat lain yang menentang keras Liberalisme dalam pendidikan, seperti menurut Mohammad Najib (2013) yang mengemukakan bahwa “Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.” Pendapat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Pa Chaedar tentang pendidikan liberal.

(10)

penyelenggaraan pendidikan (SPP) tidak usah sekolah. Bahkan menurut pendapat lain mengatakan, “Bila pendidikan diperlakukan sebagai komoditas, pendidikan akan diatur sesuai hukum pasar. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Akhirnya, hanya orang kaya yang bisa bersekolah”. (Ichsanuddin: 2013). Pendapat yang lain mengemukakan “Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal”. (Stefan Lorenz Sorgner: 2011).

Pendapat tersebut mengindikasikan adanya sikap diskriminatif kepada orang lain dalam dunia pendidikan yang bersifat liberal. Memang tidak sejalan sepertinya dengan tujuan pendidikan di Indonesia yang mengutamakan pendidikan dari pada etnis atau agama atau bahkan ras di dalamnya. Ini dibuktikan dengan kasus Rasisme yang sekarang sedang marak di negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tidak hanya pendidikan, Rasisme juga merambah pula sampai ke dunia seperti olahraga misalnya. Bahwa pemain yang berkulit hitam selalu diolok-olok oleh pemain berkulit putih bahkan sampai suporternya pun mengikuti olokan tersebut.

(11)

Indonesia yang bersifat Demokratis, yang artinya selalu mengutamakan kepentingan rakyat dalam menjalankan pemerintahan di dunia pendidikan.

Sebenarnya, semua jenis pendidikan bertujuan sama. Akan tetapi, berbeda pada penerapannya saja dalam hal mendidik siswanya. Termasuk dalam hal paradigma pendidikan yang diterapkan oleh setiap negara yang selalu mengikuti filosofi negara. Namun, adakah pendidikan yang sifatnya netral? Tidak merugikan siapapun yang berkaitan di dalamnya? Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). (Stefan Lorenz Sorgner: 2011). Jadi kesimpulannya, semua jenis pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada filsafah pendidikan yang dianut oleh suatu negara. Namun, seperti yang sudah jauh dijelaskan sebelumnya, peran lingkungan keluarga terutama orang tua sangat penting dalam hal pendidikan anak untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan. Sekali lagi, sekolah hanyalah jenjang pendidikan kedua setelah pendidikan dari keluarga.

Referensi

Dokumen terkait

1) Data yang dimaksud dalam penelitian ini berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah Negeri 2 Model Banjarmasin. 2)Penggunaan

Padahal Rhodamin B merupakan pewarna untuk kertas dan tekstil sehingga pewarna ini berbahaya bagi kesehatan (Salam, 2008). Permasalahan ini mendorong untuk

Tabel 9. Selanjutnya Dimensi yang besar hubunganya adalah Inovasi dan berani resiko dengan Variabel Komitmen Organisasi pada Komitmen Normatif. 2) Motivasi Kerja

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

International Business & Marketing Management – Victoria University of Wellington. Marketing Management

Oleh karena itu informasi tentang kesehatan gigi merupakan bagian dari kesehatan secara keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan dan penting dalam menunjang kualitas

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Permasalahan ini dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian yaitu: proses pembentukan jaringan-aktor dalam Pilkada; dukungan DPRD; model jaringan- aktor yang