• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PRESENTASI KASUS ADENOKAR SINOMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PRESENTASI KASUS ADENOKAR SINOMA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PRESENTASI KASUS

ADENOKARSINOMA REKTOSIGMOID

Oleh:

Calvin Kurnia Mulyadi (0906639726)

Gracia Jovita Kartiko (0906552624)

Modul Praktik Klinik Ilmu Bedah dan ATLS

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

(2)

BAB I Pekerjaan : Pekerja seni lukis dan teater Suku : Batak

Agama : Protestan Status Perkawinan: Menikah Pendidikan : Diploma Nomor RM : 389-74-91 Tanggal masuk : 21 Januari 2014 Tanggal periksa : 22 Januari 2014

Tempat periksa : Ruang rawat inap gedung A lantai 4, kamar 416

II. Riwayat (Anamnesis pada pasien sendiri) 1. Keluhan utama

Perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. 2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien dirujuk dari RS luar karena terdapat massa kanker pada daerah dubur sejak satu setengah bulan sebelum masuk RS. Dua bulan sebelum masuk RS (24 November 2013), pasien mengalami perdarahan yang keluar dari dubur sebanyak dua kali berselang satu jam pada malam hari (pukul 23.00 dan 00.00), berwarna merah segar dengan sedikit gumpalan seperti agar-agar, tidak disertai tinja dan lendir, jumlah darah yang keluar tiap kali perdarahan sekitar 1 gelas aqua. Setelah perdarahan yang kedua, pasien merasa lemas seperti mau pingsan.

Terdapat perubahan BAB menjadi kecil-kecil. BAB harus dibantu pencahar. Tidak ada diare. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari anus saat BAB. Tidak ada riwayat perdarahan dari dubur sebelumnya. Tidak ada mual, muntah, batuk, kembung, diare, benjolan pada tubuh, nyeri tulang, BAB hitam sebelumnya.

(3)

teropong dengan biopsi. Dikatakan bahwa pada usus bagian bawah tampak ada massa tumur, hasil biopsi dikatakan ganas. Pasien juga menjalani pemeriksaan CT-scan di perut dan foto rontgen dada. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM karena keterbatasan alat diagnostik dari RS tersebut.

Sejak dua bulan sebelum episode perdarahan yang pertama, pasien merasakan sulit buang air besar. Riwayat diare disertai lendir darah dan demam hilang timbul disangkal. Tidak terdapat penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, badan terasa lemas, maupun keringat malam. Riwayat mual, muntah, sesak, kembung atau perut membesar, timbul benjolan di tempat lain disangkal. Sebelumnya pasien tidak pernah diradiasi di area tersebut.

Saat pemeriksaan, pasien mengatakan tidak mengalami kesulitan BAB. Terkadang ada lendir disertai darah saat BAB. Nyeri perut atau daerah dubur tidak ada. Nafsu makan baik. Mual muntah tidak ada. BAK tidak ada keluhan.

3. Riwayat penyakit dahulu/pengobatan

Lima belas tahun sebelum masuk RS pasien pernah menjalani pengobatan flek paru selama 1 tahun, minum obat Rifampisin dan beberapa obat lainnya, dikatakan sembuh oleh dokter yang merawat (sudah foto rontgen dan periksa dahak ulang). Riwayat HT, DM, asma, sakit jantung, ginjal, alergi disangkal.

4. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluhan serupa atau riwayat keganasan di keluarga.

5. Riwayat kebiasaan/sosioekonomi

(4)

Tinggi Badan : 165 cm Berat badan : 68 kg

IMT : 25 kg/m2 (overweight) Tekanan darah : 120/50 mmHg

Frek. Nadi : 90 kali permenit, kuat, isi cukup, reguler Frek. Napas : 18 kali/menit, dalam, teratur

Suhu : 36,7°C (aksila)

Kepala : normocephalus, tidak ada deformitas Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Hidung : tidak ada deviasi septum/pembesaran konka/hiperemis konka Mulut : oral hygiene baik, gigi berlubang tidak ada

Leher : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5-2 cmH2O Paru : bunyi napas vesikuler, tidak ada ronkhi/wheezing

Jantung : S1 S2 reguler, tidak ada murmur/gallop

Abdomen : buncit/datar, lemas, hati limpa tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, ballotement (-), shifting dullness (-), bising usus normal.

Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time < 2 detik

2. Status Lokalis

Inspeksi : anus tidak tampak benjolan/kemerahan, tidak ada cairan/darah yang keluar dari anus

Rectal touche :

(5)

Leukosit 9.790/ul Trombosit 334.000/ul Hemostasis

PT 11,2 detik (kontrol 12,1 detik) APTT 30,9 detik (kontrol 34,2 detik)

a. Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM)

Posisi asimetris. Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Tampak elongasi aorta. Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal. Corakan vaskular kedua paru masih baik. Tidak tampak infiltrat/nodul. Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal.

Kesimpulan: Aorta elongasi. Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung. Tidak tampak nodul metastasis paru.

b. Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM)

Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Aorta dan mediastinum superior tidak melebar. Kedua hilus tidak menebal. Tampak perselubungan di apeks paru kanan yang menarik trakea ke sisi kanan disertai gambaran honeycomb appearance. Infiltrat di lapang atas paru kiri. Penebalan pleura kanan. Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal. Tulang kesan intak.

(6)

c. Kolonoskopi (2 Desember 2013 di RS Luar)

Tampak massa rapuh di rektum (5 cm dari anus). Tampak polip sesile kecil dan polip kecil bertangkai di kolon sigmoid. Tidak tampak kelainan mukosa kolon desenden, transversum, dan asenden. Caecum, muara apendiks, dan katup ileocaecal dikenali, tidak tampak kelainan. Tidak tampak kelainan mukosa ileum terminal.

Kesimpulan: Massa rektum suspek malignansi, polip sesile dan polip bertangkai kolon sigmoid.

d. CT Scan abdomen (3 Desember 2013 di RS Luar)

Massa tumor rektum, berukuran + 40,5 x 51,1 mm. Belum tampak menyebabkan dilatasi sigmoid/kolon tetapi tampaknya telah menginfiltrasi minimal ke dasar buli. Tidak tampak kelainan/metastasis pada hepar, kantong empedu, pankreas, lien, dan kedua ginjal. Tidak tampak pembesaran KGB paraaorta/parailiaka/inguinal

e. CT Scan thorax dengan kontras Iopamidol 300 mg/ml (30 Desember 2013 di RSCM)

Atelektasis paru kanan segmen ½ kanan

Emfisema lapang atas paru kanan dan kiri hingga perihilar kanan dan kiri TB paru lama aktif dengan bronkiektasis

Tidak tampak nodul metastasis di paru saat ini.

3. Patologi Anatomi (3 Desember 2013 di RS Luar) Biopsi pada rektum dan polip sigmoid.

Makroskopik : 2 buah jaringan biopsi, diameter masing-masing 0,1 cm, putih kenyal.

Mikroskopik : Sediaan dengan keterangan berasal dari kolon sigmoid terdiri atas 2 keping kecil jaringan mukosa kolon berlapiskan epitel torak dnegan inti bertingkat, mencapai 1/3 sampai keseluruhan ketebalan lapisan epitel permukaan. Sel berinti atipik. Mitosis ditemukan. Tampak bagian papiler. Lamina propria bersebukan sel radang emndadak dan menahun. Tidak terdapat keping yang memperlihatkan lapisan muskularis mukosa pada sediaan ini.

(7)

4. Pemeriksaan Lain

a. Elektrokardiografi (tanggal 3 Desember 2013)

Sinus rhytm, normoaxis, HR 80 kali/menit reguler, p wave normal, PR interval 0,2 detik, QRS complex 0,08 detik, T inverted (-), ST-T changes (-), LVH/RVH (-), BBB (-), RSR di II, III, aVF.

b. Spirometri (16 Desember 2013 di RSCM) FEV1% : FVC% = Normal

V. Diagnosis

Adenokarsinoma rektosigmoid T4N0M0

VI. Rencana Tatalaksana

- Pro reseksi abdominoperineal - Persiapan preoperatif

 Surat izin operasi (SIO)  Site marking

 Penjadwalan operasi

 Konsultasi toleransi operasi kardiologi, pulmonologi, anestesi  Pemeriksaan:

o Rontgen thoraks

o Laboratorium: cek DPL, PT/APTT, Kreatinin, GDS, SGOT/SGPT

- Diet biasa 1900 kkal/hari - Antibiotik

 Gentamycin 1 x 160 mg peroral  Metronidazole 1 x 500 mg peroral

VII. Rencana Edukasi

Menjelaskan mengenai kanker kolorektal, tatalaksana, dan prognosis Menjelaskan persiapan operasi dan puasa

VIII. Prognosis

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Epidemiologi Karsinoma Kolorektal

Keganasan kolorektal (KKR) menempati posisi ketiga diagnosis terbanyak pada pria dan kedua terbanyak pada wanita di dunia, dengan 1,2 juta kasus baru serta 608.700 kematian pada 2008.1 KKR lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insiden meningkat secara signifikan antara usia 40 – 50 tahun dan risiko akan meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya.Di Indonesia, insiden tertinggi terjadi pada usia produktif, yaitu 30-50 tahun, dimana sebagian besar penderita darang dalam kondisi stadium lanjut atau telah terjadi komplikasi.2

2. Anatomi dan Patologi Kolorektal a. Anatomi

Usus besar memiliki panjang 1,5 meter dengan diameter 6,5 cm, terbentang dari ileum hingga anus. Usus besar terbagi empat bagian, yaitu caecum, kolon, rektum, dan kanalis analis.3

Kolon dibagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Kolon asenden dan desenden terletak retroperitoneal, sementara kolon transversum dan sigmoid intraperitoneal. Kolon sigmoid dimulai dari kolon dekat krista iliaka kiri, ke midline, hingga mencapai rektum pada posisi vertebra S3.

Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum3

(9)

kolon, proksimal teniae bergabung di apendiks dan distal teniae bergabung di rektum), dan lapisan serosa (melapisi kolon intraperitoneal dan sepertiga rektum).4

Gambar 2.2 Drainase Limfatik Kolorektal4

Rektum memiliki panjang sekitar 20 cm, dimana 2 – 3 cm bagian terminalnya disebut kanalis analis.3 Rektum intraoperatif merupakan batas fusi duua taenia mesenterik dengan area amorfus rektum (true rectum), sedangkan pada pemeriksaan sigmoidoskopi kaku, rektum berjarak 12 – 15 cm dari anal verge.2

Anus menghubungkan kanalis analis dengan dunia luar. Sfingter ani interna tersusun oleh otot polos yang bekerja involunter dan sfingter ani eksterna tersusun atas otot rangka yang bekerja secara volunter.3

b. Patologi Lesi Jinak dan Ganas Kolorektal - Polip Jinak

Polip merupakan pertumbuhan berlebih dari stroma ataupun kelenjar mukosa, berupa massa pada permukaan mukosa yang menonjol ke dalam lumen usus.

1) Polip non-neoplastik

Yang termasuk polip jenis ini adalah polip reaktif (tumbuh akibat jejas kronik) dan polip hamartomatosa.

2) Polip hiperplastik/metaplastik

(10)

inti sel terletak di basal, monomorfik, dengan sitoplasma bervakuola berisikan musin.

3) Polip inflamatorik

Terjadi pada mukosa yang mengalami inflamasi kronik, seperti inflammatory bowel disease atau divertikulitis. Gambaran histologi menunjukkan mukosa yang meradang, epitel dan kelenjar tampak reaktif, kadang ditemukan jaringan granulasi atau proliferasi jaringan ikat di laminna propria.

4) Polip hamartoma

Merupakan proliferasi abnormal komponan jaringan normal yang ada pada suatu organ, antara lain polip juvenile, familial juvenile polyposis, polip Peutz Jeghers, polip Cronkite-Canada, sindrom Cowden.

5) Polip limfoid

Merupakan hasil agregasi MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) pada area mukosa hingga submukosa dengan centrum germinativum reaktif.

- Polip Neoplastik/Adenoma

Adenoma merupakan lesi prekanker yang menunjukkan ciri neoplasma, yaitu disregulasi pertumbuhan dan kegagalan diferensiasi. Disregulasi pertumbuhan ditandai adanya area proliferatif yang bergerser ke permukaan mukosa dan kegagalan pematangan sel epitel kripta, serta ditemukannya sel imatur atau basaloid di permukaan mukosa.

Pada bagian atas kripta, tidak ditemukan lagi sel absorbtif matur yang ditandai dengan tidak ditemukannya musin di sitoplasma dan tidak tampak lagi sel goblet matur.

1) Adenoma tubular

Umumnya pedunculated atau datar. Gambaran mikroskopi berupa proliferasi kripta yang dilapisi epitel kolumnar yang displastik. Lamina propria bersebukan limfosit, sel plasma, dan eosinofil.

2) Adenoma vilosum

Berupa proloferasi kelenjar yang membentuk pola seperti jari atau papil runcing, yang dilapisi sel epitel yang displastik.

3) Adenoma tubulovilosum

Merupakan campuran bentuk tubular dan vili, dapat juga berupa adenoma vilosum yang mengandung struktur tubuler. Struktur vili berkisar 35 – 75%.

4) Adenoma serrated

(11)

5) Adenoma datar

Merupakan varian tubular, dengan ketebalan mukosa yang mengalami displasia tidak lebih dari 2 kali ketebalan mukosa non displastik. Mukosa yang displastik pada umumnya terkonsentrasi di permukaan.

6) Adenoma hipersekretorik

Merupakan varian vilosum, yang memproduksi mukus. Vili dilapisi oleh sel displastik dan ditemukan sel goblet proliferatif dengan susuanan maupun bentuk sel tidak normal atau kehilangan polaritas. Sel goblet ini disebut distrofik, dengan ukuran bervariasi dan inti terletak eksentrik, tidak terletak di basal, seperti sel goblet normal.

- Polip Ganas

Istilah yang sering digunakan untuk menyebut polip ganas adalah adenokarsinoma in adenoma atau adenoma dengan fokus adenokarsinoma. Pada lesi ini, akan dijumpai invasi sel ganas ke submukosa. Polip ganas selanjutnya dibedakan menjadi:

1) Polip ganas dengan prognosis baik

Derajat keganasan grade 1 atau 2, tidak terdapat invasi angiolimfatik, tidak ditemukan tumor pada batas sayatan

2) Polip ganas dengan prognosis buruk

Derajat keganasan grade 3 atau 4, ditemukan invasi angiolimfatik, batas sayatan tidak bebas tumor: ditemukan sel tumor < 1 mm dari batas sayatan, pada jaringan yang mengalami diatermi (lesi akibat panas oleh elektrokauter).

c. Jenis Histologik Karsinoma Kolorektal - Adenokarsinoma

1) Adenokarsinoma musinosum. Komponen musinosum > 50%

2) Signet ring cell carcinoma. Komponen musin intrasitoplasma > 50%

3) Karsinoma adenoskuamosa. Mengandung komponen karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma.

4) Karsinoma medular. Sel tumor tersusun seperti lembaran, inti vesikuler, anak inti nyata, sitoplasma eosinofilik, dan ditemukan banyak infiltrasi limfosit di sekitar massa tumor.

5) Karsinoma tidak berdiferensiasi. Komponen sel berdiferensiasi sedikit. - Karsinoid

Dibagi menjadi tumor neuroendokrin berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk (small cell carcinoma pada usus).

- Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma

(12)

d. Karsinogenesis

Perjalanan KKR memiliki dua jalur utama untuk terjadinya inisiasi tumor dan progesi, yaitu LOH (Loss of Heterzygocity) dan RER (Replication Error). Jalur LOH memiliki karakteristik delesi kromosomal dan aneuploid tumor, dimana 80% KKR merupakan hasil dari mutasi pada jalur LOH. 20% sisanya merupakan mutasi pada jalur RER, dengan karakteristik kesalahan pada mismatch repair selama replikasi DNA.

Jalur LOH:

1) Defek gen APC

Defek ini pertama kali dijelaskan pada pasien dengan FAP. Mutasi ini didapatkan juga pada 80% dari KKR sporadik. APC gen merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada kedua alel dapat menginisiasi pembentukan polip. Pada FAP, lokasi mutasi berhubungan dengan derajat keparahan penyakit.

2) K-ras

Merupakan protoonkogen. Mutasi pada satu alel dapat mengganggu siklus sel. Mutasi pada K-ras menyebabkan GTP tidak dapat dihidrolisis, dan kemudian protein G tetap dalam bentuk aktif. Hal ini dipikirkan akan berujung pada pembelahan sel yang tidak terkontrol.

3) DCC

Merupakan gen supresi tumor dimana dibutuhkan keterlibatan dua alel untuk terjadi keganasan. Gen ini terlibat dalam diferensiasi sel. Mutasi DCC didapatkan pada 70% KKR.

4) p53

Merupakan gen supresi tumor yang menginisiasi apoptosis sel. Mutasi p53 didapatkan pada 75% KKR.4

Gambar 2.3 Proses Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal4

(13)

mengalami mutasi. Akibatnya, terdapat predisposisi mutasi sel dan akumulasi yang akan menyebabkan instabilitas genom dan berujung pada karsinogenesis. Jalur RER dihubungkan dengan instabilitas mikrosatelit, yang rentan terhadap kesalahan replikasi.Tumor dengan instabilitas mikrosatelit memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan tumor yang berasal dari jalur LOH dengan mikrosatelit yang stabil.4,5

KKR berawal dari mukosa yang kemudian menginvasi dinding usus dan jaringan sekitar. Tumor dapat menjadi besar dan menyebabkan obstruksi. Perluasan lokal, khususnya ke rektum, dapat menyebabkan obstruksi organ lain, seperti ureter. Keterlibatan KGB regional merupakan bentuk penyebaran tersering dari KKR dan biasanya mendahului metastasis jauh atau perkembangan karsinomatosis (metastasis peritoneal difus). Kecenderungan metastasis KGB meningkat seiring dengan ukuran tumor, derajat diferensiasi, invasi limfovaskular, dan kedalaman invasi. Lesi kecil pada dinding usus (T1 dan T2, lihat penentuan stadium) dihubungkan dengan metastasis KGB pada 5-20% kasus, sementara pada tumor T3 dan T4 dijumpai metastasis KGB pada 50% kasus. Keterlibatan empat atau lebih KGB memberikan gambaran prognosis buruk. Metastasis terjadi secara hematogen melalui sistem vena porta.2

3. Faktor Risiko dan Faktor Protektif Faktor risiko KKR, antara lain:

1) Penuaan. Penuaan merupakan faktor risiko dominan, dengan insiden meningkat di atas usia 50 tahun.

2) Genetik. Sebesar 70-80% KKR terjadi sporadik, dengan 20% terjadi pada orang dengan riwayat KKR pada keluarga.

3) Lingkungan dan pola diet. Diet tinggi lemak jenuh meningkatkan risiko KKR., sementara diet tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa, minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Sebaliknya, diet tinggi sayur menjadi faktor protektif dari KKR. Asupan kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E dapat menurunkan risiko perkembangan KKR. Obesitas dan gaya hidup sedentari meningkatkan mortalitas pada beberapa jenis keganasan, termasuk KKR.

4) Inflammatory bowel disease

(14)

Faktor lingkungan yang beragam dengan predisposisi genetik atau defek yang didapat akan bekembang menjadi KKR.1,2,4

Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya:

1) KKR diturunkan (10%). Kelompok yang diturunkan merupakan mutasi sel germinativum sejak lahir pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel. 2) KKR sporadik (70%). Kelompok ini membutuhkan dua mutasi somatik, dengan satu

pada masing-masing alel.

3) KKR familial (20%). Lebih dari 35% dari KKR familial terjadi pada usia muda. Dipikirkan KKR jenis ini dapat terjadi secara kebetulan, ataupun adanya peran faktor lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah, atau mutasi germinativum yang sedang berlangsung.2

Faktor risiko KKR yang perlu diperhatikan:

1) Sindrom KKR yang diturunkan. Faktor genetik ini diturunkan secara autosomal dominan, tersering adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan Sindrom Lynch (HNPCC (Hereditary Nnpolyposis Colorectal Cancer)), yang terjadi sekitar 5% dari KKR. Pada kelompok HNPCC, terdapat tingkat risiko untuk menderita KKR (kriteria Amsterdam):

Tabel 2.2 Klasifikasi Risiko Karsinoma Kolorektal pada Populasi Umum2

Risiko Kriteria

Tinggi Minimal 3 anggota keluarga menderita KKR atau dua dengan KKR dan satu

dengan karsinoma endometrial pada minimal dua generasi. Satu dari anggota

keluarga telah menderita KKR pada usia < 50 tahun dan salah satu anggota

yang didiagnosis adalah silsilah pertama.

Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia < 45

tahun, atau dua anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR (seorang

pada usia < 55 tahun), atau dua/tiga anggota keluarga (seorang pada usia <

55 tahun) dengan KKR/karsinoma endometrial yang merupakan silsilah

pertama.

Rendah Tidak memenuhi kriteria tinggi atau sedang.

Apabila tidak dilakukan terapi, 7% penderita FAP akan menderita adenoma pada usia 21 tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun.

2) Riwayat penyakit atau riwayat keluarga dengan KKR sporadik atau polip adenomatosa. Riwayat keluarga derajat pertama dengan KKR meningkatkan risiko sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan populasi umum.

(15)

peningkatan durasi kolitis, mencapai 30% pada dekade ke-4 pankolitis. Penyakit Crohn, masih dalam penelitian lebih lanjut.

4) Ras/etnik dan jenis kelamin. Mortalitas KKR 20% lebih tinggi pada etnik Afrika-Amerika sehingga skrining dimulai pada usia 45 tahun dan menggunakan kolonoskopi. Mortalitas KKR 25% lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, dimana pada wanita, adenoma ataupun KKR terjadi lebih proksimal.

5) Transplantasi ginjal yang dihubungkan dengan imunosupresi jangka panjang akan meningkatkan risiko KKR.

6) Diabetes melitus dan resistansi insulin. Risiko KKR 38% lebih tinggi untuk kanker kolon dan 20% lebih tinggi untuk kanker rektum. Kejadian ini dihubungkan dengan hiperinsulinemia, dimana insulin merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi sel mukosa kolon dan insulin menstimulasi sel tumor kolon. Konsentrasi IGF-1 (Insulin-like Growth Factor-1) dalam plasma dan peptida C (indikator produksi insulin) meningkatkan risiko KKR, sementara IGFBP-3 (IGF binding protein-3) merupakan faktor protektif. 7) Terapi deprivasi androgen. Pria yang menjalani terapi agonis GnRH atau orkidektomi

memiliki risiko yang lebih tinggi untuk KKR, dan risiko meningkat seiring durasi terapi. 8) Kolesistektomi. Terdapat hubungan kolesistektomi dengan kanker kolon kanan, tetapi

tidak ditemukan pada kanker kolon distal. Mekanisme yang terjadi dipikirkan karena gangguan komposisi asam empedu pada kolon setelah tindakan.

9) Alkohol. Terdapat peningkatan risiko KKR yang signifikan pada konsumsi alkohol berat (> 4 porsi/hari) dan sedang (2-3 porsi/hari). Pada konsumsi ringan (< 1 porsi/hari), dengan kadar etanol 10 g/hari, didapatkan peningkatan risiko KKR sebesar 7%. Hal ini dipikirkan karena terganggunya penyerapan folat oleh alkohol dan menurunnya asupan folat.

10)Obesitas. Terdapat peningkatan risiko 1,5 kali dibandingkan dengan berat badan yang normal (IMT 18,5 – 24,9 kg/m2). Risiko karsinoma kolon meningkat 15% pada orang overweight (IMT > 25 kg/m2) dan 33% pada obesitas (IMT > 20 kg/m2).

11)Faktor risiko lain, seperti penyakit jantung coroner, merokok, konsumsi jangka panjang daging merah atau daging proses, dan radiasi area abdomen.

Adapun beberapa faktor yang diketahui bersifat protektif, antara lain: 1) Aktivitas fisik yang teratur, minimal 30 menit/hari.

2) Diet. Konsumsi sayur dan buah memiliki risiko relatif 0,5 pada kelompok tertinggi dan terendah.

(16)

4) Kalsium dan produk susu. Kalsium dapat mencegah rekurensi adenoma kolorektal pasca polipektomi, bergantung pada kadar vitamin D (berhubungan dengan genotipe reseptor vitamin D). Dosis kalsium yang dipakai adalah 1.250 – 2000 mg.

5) NSAID. Menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan COX. Terjadi peningkatan apoptosis dan gangguan pertumbuhan sel tumor melalui inhibisi COX-2 yang berfungsi merangsang angiogenesis KKR.

6) Terapi hormon post menopause. Terapi ini dihubungkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal pada wanita yang menjadi terapi kombinasi estrogen dan progestin.2,4

4. Penegakan Diagnosis, Modalitas Diagnostik, Staging, dan Program Deteksi Dini a. Klinis

Kecurigaan klinis timbul manakala didapatkan riwayat perdarahan peranal disertai peningktan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur); perdarahan peranal tanpa gejala anal (di atas 60 tahun); peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun); perabaan massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur); atau perabaan massa intraluminal dalam rectum; dan tanda obstruksi mekanik usus. Dapat pula terjadi pada penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb < 11 g/dl pada pria dan Hb < 10 g/dl pada wanita pasca menopause).

Setiap penderita yang secara klinis dicurigai KKR, seluruh kolon dan rektum perlu dinilai, salah satunya dengan colok dubur, yang mencakup:

- Keadaan tumor. Ekstensi lesi pada dinding rektum, letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccyges. Pada wanita, perlu dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa di atas tumor licin, dapat digerakkan, ada perlekatan, atau ulserasi, serta untuk menilai batas atas dari lesi anular.

- Mobilitas tumor. Lesi awal biasanya masih dapat digerakkan apda lapisan otot dinding rektum. Pada lesi denga ulserasi lebih dalam, terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi/perlekatan ke struktur ekstrarektal, seperti prostat, vesika urinaria, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus.

- Ekstensi penjalaran, yang diukur dari besar tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas, dan fiksasi lesi.

Terdapat dua gambaran khas pada colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan pada tepi, yang dapat berupa:

- Pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi, seperti cakram kecil dengan permukaan licin dan batas tegas

(17)

- Bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi nodular yang menonjol dengan kubah yang dalam (bentuk paling sering)

- Bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin. b. Penunjang

Terdapat tiga macam pemeriksaan penunjang yang efektif dalam diagnosis KKR: - Barium enema dengan kontras ganda

Pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda memiliki keunggulan, yaitu sensitivitas yang cukup tinggi (65 – 95%), aman, tingkat keberhasilan prosedur tinggi, tidak memerlukan sedasi, dan telah terjangkau. Kelemahan pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda disebabkan oleh lesi T1 sering tidak terdeteksi, akurasi diagnosis lesi rektosigmoid dengan divertikulosis dan caecum rendah, akurasi diagnosis lesi tipe datar rendah, sensitivitas diagnosis polip < 1 cm rendah (70 – 95%), dan pasien terpapar radiasi.

- Endoskopi

Jenis endoskopi yang digunakan adalah sigmoidoskopi rigid, fleksibel, dan kolonoskopi. Untuk visualisasi kolon dan rektum, sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif diabndingkan dengan sigmoidokopi rigid. Pada semua kasus yang dicurigai KKR, sebaiknya dilakukan kolonoskopi. Apabila kolonoskopi tidak dapat dilakukan, dilakukan sigmoidoskopi dilanjutkan enema barium kontras ganda. Keunggulan kolonoskopi antara lain sensitivitas mencapai 95% dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal, dapat berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi pada polipektomi, dapat mengidentifikasi dan seksi synchronous polyp, serta tidak ada paparan radiasi. Akan tetapi kerugiannya mencakup kesulitan untuk mencapai caecum, memerlukan sedasi intravena, tidak dapat melokalisasi tumor secara akurat, dan tingkat mortalitas 1:5000 kolonoskopi.

- Pneumocolon Computed Tomography (PCT)

Keunggulan PCT, yaitu sensitivitas tinggi dalam diagnosis KKR, toleransi penderita baik, serta mampu memberi informasi mengenai keadaan di luar kolon, termasuk untuk penentuan stadium, melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan KGB. Adapun kerugiannya dapat berupa ketidakmampuan untuk mendiagnosis polip < 10 mm, paparan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menentukan metastasis KGB apabila KGB tidak membesar, kurangnya operator yang kompeten, serta tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.2,6,7

c. Derajat Keganasan, Staging, Pembagian Stadium Klinis, dan Stadium Histopatologis Derajat keganasan tumor berdasarkan World Health Organization (WHO):

(18)

Grade II : tumor diferensiasi sedang, struktur glandular 50-95% Grade III : tumor diferensiasi buruk, struktur glandular 5-50% Grade IV : tumor tidak berdiferensiasi, struktur glandular < 5%.2

Awalnya, staging KKR menggunakan sistem Dukes, namun saat ini sudah ditinggalkan. Staging dan pembagian stadium klinis KKR mengacu pada revisi panduan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke-7 tahun 2010, sebagai berikut:

- Tumor (T)

Tx : tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : tidak terdapat bukti keberadaan tumor primer Tis : karsinoma insitu, intraepitelial atau invasi lamina propria T1 : tumor menginvasi submukosa

T2 : tumor menginvasi lapisan muskularis propria

T3 : tumor menginvasi melalui muskularis propria ke jaringan perikolorektal T4a : tumor penetrasi ke permukaan lapisan peritoneum viseral

T4b : tumor menginvasi langsung atau melekat pada organ atau struktur sekitarnya

- Nodul (N) Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional Nx : nodus limfa regional tidak dapat dinilai

N0 : tidak terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional N1 : metastasis pada 1-3 KGB regional

N1a : metastasis hanya pada 1 KBG regional N1b : metastasis pada 2-3 KGB regional

N1c : deposit tumor pada subserosa, mesenterika, atau jaringan perikolik atau perirektal yang tidak terselubungi oleh selaput peritoneal tanpa disertai metastasis KGB regional

N2 : metastasis pada 4 atau lebih KGB regional N2a : metastasis pada 4-6 KGB regional

N2b : metastasis pada 7 atau lebih KGB regional - Metastasis (M)

M0 : tidak terdapat metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh

M1a : metastasis terbatas pada satu organ, seperti hati, paru, ovarium, atau nodus nonregional

(19)

Tabel 2.3 Klasifikasi Stadium Klinis Pasien Karsinoma Kolorektal8

Perlu diketahui bahwa klasifikasi Tis meliputi sel kanker yang terbatas dalam membran basal kelenjar mukosa (intraepitelial) atau lamina propria mukosa (intramukosal) tanpa ekstensi dari mukosa pars muskularis ke submukosa. Invasi langsung pada klasifikasi T4 yang dimaksud adalah infiltrasi massa tumor ke jaringan sekitar melalui serosa, seperti invasi kolon sigmoid oleh karsinoma pada sekum, atau tumor pada dinding posterior kolon desenden yang menginfiltrasi ginjal kiri atau dinding abdomen lateral. Pada beberapa klasifikasi, kadang dicantumkan tulisan cTNM dan pTNM, di mana c yang dimaksud adalah clinical atau klasifikasi klinis dan pathological atau klasifikasi patologis, secara berturut-turut.

d. Deteksi Dini (Skrining), Metode, Indikasi, dan Rekomendasinya

KKR memiliki peranan penting dalam meningkatkan angka survival dan menurunkan morbiditas serta mortalitas. Skrining merupakan investigasi pada individu asimtomatik, yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.2 Indikasi dilakukannya skrining adalah:

- Usia di atas 40 tahun

- Kelompok masyarakat dengan risiko tinggi:

 Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn selama lebih dari 10 tahun  Telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal

 Riwayat keluarga dengan KKR. Metode deteksi dini pada populasi umum:

(20)

2) Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kebanyakan KKR berasal dari adenoma sehingga setiap lesi perlu diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti menurunkan risiko KKR.

Metode deteksi dini pada populasi dengan risiko tinggi:

1) Penderita kolitis ulseratif atau penyakin Crohn > 10 tahun. Bila > 20 tahun atau ditemukan displasia, kolonoskopi dilakukan setiap tahun

2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal. Bila telah menjalani polipektomi adenoma kolorektal: follow up kolonoskopi; bila ukuran polip < 1 cm pada follow up maka dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun; bila ditemukan > 3 adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm atau adanya displasia berat maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun.

3) Riwayat keluarga KKR.2

Tabel 2.3 Rekomendasi Deteksi Dini Menurut Tingkat Risiko2

Risiko Kriteria Usia skrining

Tinggi Kolonoskopi setiap 2 tahun; tawarkan

skrining tumor ginekologi; upper GI

endoskopi setiap 2 tahun; deteksi dini untuk

kanker lain yang berhubungane HNPCC

30 – 70 tahun; untuk Ca gaster

usia 50 – 70 tahun

Sedang Kolonoskopi tunggal; kolonoskpi ulang

satu kali jika kolonoskopi sebelumnya

normal

30 – 35 tahun dan 55 tahun

Rendah Penyuluhan pada penderita untuk

menerapkan gaya hidup sehat

Tidak perlu

5.

Penatalaksanaan

Berkaitan dengan terapi, karsinoma kolorektal, khususnya di Indonesia, sebagian besar

didiagnosis pada stadium lanjut atau manakala telah terjadi komplikasi ke struktur/organ

sekitar. Akibatnya, hasil akhir dari penatalaksanaan akan jauh dari yang diharapkan.

Beberapa risiko utama dari penatalaksanaan karsinoma kolorektal adalah tingginya

angka kekambuhan lokal, gangguan fungsi seksual, serta fungsi berkemih. Seperti halnya

tumor solid pada umumnya, pilihan modalitas terapi utama pada karsinoma kolorektal

adalah terapi pembedahan. Namun, saat ini telah banyak dikembangkan metode terapi

adjuvan, berupa kemo- dan radioterapi yang melalui berbagai studi telah terbukti

(21)

a.

Modalitas Terapi

-

Pembedahan

Prinsip reseksi karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer bersama

dengan jaringan limfovaskularnya. Namun karena aliran limfatik pada kolon

acapkali mengikuti suplai arteri utama, panjang dari usus yang direseksi

bergantung pada vaskular yang mempendarahi segmen kolon yang terlibat

dengan kanker. Manakala omentum pun terlibat oleh infiltrasi jaringan tumor,

maka harus direseksi secara

en bloc

bersama dengan tumor primernya, yang

mencakup pula pengangkatan kolon normal ke arah proksimal dan distal dari

tumor. Sedikit berbeda dengan karsinoma pada kolon, prinsip reseksi karsinoma

pada rektum lebih kompleks karena struktur anatomis lain di sekitarnya, seperti

ureter, kandung kemih, prostat, vagina, pembuluh iliaka, dan sakrum. Oleh sebab

itu, tidak jarang jika sulit mendapatkan batas tepi sayatan bebas tumor, khususnya

yang telah ekstensi ke dinding usus oleh karena keterbatasan anatomi rongga

pelvis ini.

Berbagai pilihan terapi pembedahan untuk karsinoma kolorektal antara lain:

Pada kolon intraperitoneal dan rektum sepertiga atas

Reseksi dan anastomosis

Rektum sepertiga tengah

Reseksi abdominoperineal, reseksi anterior rendah (

low anterior

resection

), reseksi abdominosakralis, reseksi koloanal, eksisi lokal

(fulgurasi), TME, dan terapi radiasi primer

Rektum sepertiga bawah

Reseksi abdominoperineal, eksisi lokal (fulgurasi), dan terapi radiasi

primer.

4

Seperti yang telah disebutkan, untuk rektum sepertiga tengah, dapat dilakukan

eksisi lokal untuk tumor rektal. Eksisi dilakukan pada area distal sepanjang 10 cm

pada rektum karena area tersebut dapat diakses secara transanal. Salah satu

contohnya adalah eksisi transanal untuk adenoma jinak nonsirkumferensial.

Namun karena segala keterbatasan dari terapi lokal tersebut, lebih

(22)

karsinoma rektum, yaitu pengangkatan tumor bersama dengan jaringan

limfovaskular dengan batas dinding distal sepanjang 2 cm untuk reseksi kuratif.

2

Untuk kanker rektum, sangat direkomendasikan melakukan

total mesorectal

excision

(TME) yang diketahui dapat mengurangi angka rekurensi lokal dan

memperbaiki angka survival. TME pada rektum bagian atas dilakukan sesuai

prosedur TME, sedangkan pada rektum bagian tengah dan bawah harus dilakukan

preservasi pada saraf-saraf otonom untuk mencegah disfungsi seksual dan

bladder. .

TME merupakan teknik diseksi tajam di sepanjang bidang anatomis untuk

memastikan reseksi komplit dari mesenterium rektal saat dilakukan reseksi

rendah dan anterior rendah ekstensif, sampai 5 cm di bawah tumor. Untuk rektum

bagian atas atau reseksi rektosigmoideksisi mesorektal parsial cukup dilakukan

minimal 5 cm distal dari tumor. Keuntungan dari TME selain dari angka

rekurensi yang rendah adalah rendahnya risiko perdarahan dan cedera nervus.

Gambar berikut menyajikan secara skematis bagaimana teknik bedah TME

(23)

Gambar 2.4 Prosedur Total Mesorectal Excision.

Pada dua gambar pertama dilakukan diseksi tajam pada bidang avaskular presakralis, di mana gambar kedua

memperlihatkan diseksi yang mencakup refleksio peritoneal. Pada gambar ketiga dilakukan

diseksi anterior yang melibatkan fasia Denonvilliers.4

Gambar 2.5 Reseksi Abdominoperineal

4

Berkaitan dengan topik besar mengenai karsinoma kolorektal, secara umum

terdapat berbagai macam metode teknik pembedahan untuk karsinoma kolorektal,

yang mana pilihannya bergantung pada stadium dan lokasi karsinoma tersebut.

Menurut panduan pengelolaan adenokarsinoma kolorektal dari Pokja

Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia Revisi tahun 2006, prosedur standar

mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk.

Berikut ini adalah gambaran skematis untuk istilah berbagai reseksi segmental

(24)

Gambar 2.6 Reseksi Kolon. Reseksi segmen A-C: Ileokolektomi; A + B

– D: kolektomi asendens; A + B – F: hemikolektomi kanan; A + B – G: hemikolektomi kanan ekstensif; E + F sampai G +

H: kolektomi transversum; G – I: hemikolektomi kiri; F – I: hemikolektomi kiri ekstensif; J + K: kolektomi

sigmoid (sigmoidektomi); A + B – J: kolektomi subtotal; A + B – K: kolektomi total; A + B – L:

proktokolektomi total.7

-

Kemoterapi Adjuvan dan Neoadjuvan

Pada stadium II, pasien dengan karsinoma kolorektal memiliki risiko tinggi

terjadinya rekurensi sistemik dan perlu mendapatkan kemoterapi. Menurut

panduan penatalaksanaan, beberapa faktor yang menempatkan seorang pasien

pada risiko tinggi terjadinya relaps antara lain:

Derajat keganasan 3-4

Invasi limfatik atau pembuluh darah

Obstruksi usus

Kurang dari 12 KGB yang diperiksa

Klasifikasi T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

Tepi sayatan positif untuk tumor atau tepi sayatan dengan penentuan batas

yang terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan.

Kemoterapi untuk karsinoma kolorektal telah berkembang pesat dalam dekade

terakhir. Beberapa protokol pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang

saat ini dianut, antara lain:

(25)

Protokol Mayo

: leucovorin 20 mg/m

2

bolus intravena hari 1-5; 5-FU 425

mg/m

2

bolus intravena 1 jam setelah leucovorin hari 1-5, diulangi setiap 4

minggu.

Protokol Roswell-Park

: leucovorin 500 mg/m

2

intravena selama 2 jam

hari 1, 8, 15, 22, 29, dan 36; 5-FU 500 mg/m

2

intravena 1 jam setelah

leucovorin pada hari-hari tersebut; diulangi setiap 6 minggu.

Protokol de Gramont

: dekstro-leucovorin 200 mg/m

2

(100 mg/m

2

bila

digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) intravena selama 2 jam,

hari 1 dan 2; 5-FU 400 mg/m

2

bolus intravena, kemudian 600 mg/m

2

intravena selama 22 jam kontinyu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu.

-

Radioterapi

Radiasi dalam kasus karsinoma kolorektal dapat diberikan pada tumor yang

bersifat resektabel maupun nonresektabel. Tujuan dari pemberian radiasi antara

lain:

Mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien dengan

prognosis dari histopatologis yang buruk

Meningkatkan kemungkinan preservasi sfingter

Meningkatkan kemungkinan resektabilitas tumor lokal jauh atau

nonresektabel sebelumnya

Mengurangi beban sel tumor sehingga mengurangi kemungkinan

kontaminasi sel tumor secara hematogenus saat operasi.

Radiasi dapat dilakukan secara eksternal, baik pre- maupun pascaoperatif,

brakiterapi/internal, baik intrakavitas maupun interstitial. Radiasi eksternal

pascaoperatif direkomendasikan untuk diberikan bersama infus 5-FU dan

leucovorinpada karsinoma T3N0. Pemberian brakiterapi endokaviter ditujukan

sebagai alternatif pembedahan pada kanker stadium 0. Kombinasi radiasi eksterna

dengan brakiterapi endokaviter diberikan sebagai alternatif pembedahan pada

stadium I dengan tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi,

(26)

6.

Prognosis dan Komplikasi

a.

Prognosis dan Survivabilitas

Prognosis kanker kolorektal secara skematis disajikan pada gambar berikut ini.

Diketahui bahwa progesivitas alami dari perjalanan klinis karsinoma kolorektal

meliputi invasi lokal, penyebaran limfatik, dan penyebaran hematogenosa. Pada

setiap 100 pasien yang awalnya dievaluasi, 30 orang di antaranya akan secara klinis

terdeteksi telah mengalami metastasis jauh, sedangkan 70 orang sisanya akan

menjalani proses reseksi untuk tumor lokal. Di antara ke-70 orang tersebut, 45 akan

sembuh dan sisanya mengalami rekurensi. Sampai saat ini, melalui berbagai studi

prospektif ditemukan bahwa angka survivabilitas 5 tahun adalah sebesar 62,1%.

Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan prognosis tersebut, dan sedikit

banyak akan menentukan derajat risiko populasi dalam program deteksi dini.

Bagan 2.1 Perjalanan Klinis Natural Karsinoma Kolorektal

4

b.

Komplikasi

-

Rekurensi lokoregional

Kekambuhan lokoregional pada karsinoma di rektum mencakup kekambuhan

anastomosis, tumor bed, dan KGB. Pasien dengan kanker kolorektal sangat

memerlukan pemantauan yang intensif dan komprehensif, terutama pada pasien

yang telah menjalani reseksi tumor primer sesuai prosedur. Alasan yang

mendasari hal tersebut adalah karena 50% akan rekurensi dalam 18 bulan

pascapembedahan dan 90% dalam 3 tahun. Beberapa metode pemeriksaan yang

(27)

kehati-hatian karena terdapat granulasi pascapembedahan, edema, perdarahan,

dan fibrosis yang dapat membuat kerancuan dengan massa tumor yang dimaksud.

Kelemahan lain dari CT-scan (dan MRI) adalah tidak dapat membedakan tumor

jinak dan ganas. Untuk kekambuhan intraluminer, modalitas endoskopi dan

barium kontras ganda dapat digunakan (sensitivitas 97%). Penggunaan antigen

karsinoembrionik (

carcinoembryonic antigen

/CEA) dapat dievaluasi tiap 2-3

bulan selama 2 tahun atau lebih, di mana terjadinya peningkatan mengindikasikan

perlunya evaluasi metastasis. Prosedur kolonoskopi dapat dilakukan tiap 3-5

bulan jika perlu untuk mendeteksi kanker dan polip baru.

-

Metastasis

Metastasis secara hematogenus paling banyak terjadi pada hepar. Melalui studi,

diektahui reseksi metastasis hepar berkaitan dengan angka survivabilitas 5 tahun

sebanyak 25-30%. Pasien yang dapat menjadi kandidat untuk reseksi hepatik

akibat metastasis adalah pasien yang tidak terbukti memiliki tumor ekstrahepatik,

tidak terdapat kontraindikasi medis terhadap pembedahan, dan lesi ditemukan

dalam jumlah yang terbatas dengan batas sayatan negatif. Pada kasus metastasis

yang tidak dapat dilakukan reseksi, dapat diberikan alternatif kemoterapi regional

melalui arteri hepatika (contohnya Fluorodeoksiuridin). Untuk mendeteksi

metastatasis hepar, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan

sensitivitas 57% (berkurang menjadi 20% pada ukuran tumor lebih kecil dari 1

cm). Modalitas diagnostik lain adalah CT scan dengan kontras yang memiliki

sensitivitas tinggi (78-90%).

Situs metastatik lainnya adalah ke organ paru, yang memiliki insiden kurang

lebih 10%. Sampai saat ini belum ada metode diagnostik pilihan untuk kasus

metastasis paru sehingga sejauh ini dapat dilakukan foto polos thoraks rutin untuk

mendeteksi kasus asimptomatik. Situs metastasis lainnya adalah tulang dengan

insidensi 4%. Untuk kasus tersebut,

bone scan

merupakan pilihan metode paling

(28)

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien, 57 tahun, datang dengan perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Melalui anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengalami perdarahan dubur sebanyak + 600

ml, berwarna merah segar, tidak disertai tinja dan lendir. Terdapat riwayat konstipasi sejak 4

bulan sebelum episode perdarahan. Tidak ada riwayat diare dalam 2 bulan terakhir. Tidak ada

riwayat benjolan di perut. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari dubur saat mengedan.

Riwayat perdarahan dari dubur sebelumnya disangkal.

Dari anamensis, diketahui bahwa pasien mengalami perdarahan saluran cerna bawah berupa

hematoskezia (warna merah segar), dimana diagnosis banding utama adalah keganasan

kolorektal dan hemoroid. Kecurigaan keganasan kolorektal diperkuat melalui demografi usia

pasien (> 50 tahun), serta anamnesis faktor risiko keganasan kolorektal, seperti riwayat

merokok selama > 35 tahun, konsumsi alkohol, rendahnya konsumsi serat, dan tingginya

konsumsi makanan kaya akan lemak jenuh. Sementara itu, tidak adanya riwayat benjolan

yang dirasakan keluar dari lubang dubur masih belum dapat menyingkirkan diagnosis

banding hemoroid sehingga diperlukan data tambahan klinis melalui pemeriksaan fisik dan

penunjang. Faktor risiko lain, seperti riwayat keganasan dalam keluarga, tidak ditemukan

pada pasien.

Berdasarkan tinjauan pustaka, kecurigaan keterlibatan kolorektal dapat berupa peningkatan

frekuensi defekasi minimal 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Pada pasien, tidak

didapatkan hal serupa, yang dipikirkan karena presentasi klinis berupa perubahan pola

defekasi bergantung dari lokasi tumor. Perubahan pola defekasi lebih sering didapatkan pada

KKR kolon kiri (desenden) dibandingkan kolon kanan, oleh karena pada KKR kolon kiri

feses masih dalam bentuk cair. Di samping itu, pada kasus karsinoma daerah rektum,

presentasi klinis yang didapatkan lebih sering berupa hematoskezia. Hal tersebut membantu

mengarahkan analisis lokasi tumor yang paling mungkin pada pasien ini adalah di daerah

rektum. Dari literatur, diketahui bahwa sebagian besar KKR bersifat sporadik, seperti yang

terjadi pada pasien.

Pada pemeriksaan fisik, diperoleh indeks massa tubuh (IMT) pasien tergolong dalam kategori

(29)

generalis pada pemeriksaan fisik. Pada colok dubur, teraba massa multipel di arah jam 5-6,

jarak 2 jari dari linea anokutan, tidak menutupi seluruh lumen, permukaan bernodul,

terfiksasi, terdapat nyeri tekan. Perabaan massa pada rektum pasien mendukung kecurigaan

adanya keganasan di daerah rektum, seperti yang diperoleh melalui anamnesis. Massa

tersebut menunjukkan tanda keganasan, yaitu permukaan bernodul yang terfiksasi (tidak

dapat digerakkan), serta terdapat nyeri tekan. Ukuran massa tidak dapat diperkirakan dengan

tepat pada pemeriksaan ini. Diketahui bahwa bentuk khas dari ulkus maligna seringkali

berupa tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah dalam dan ini merupakan bentuk

tersering, tapi tidak ditemukan tanda yang serupa pada pasien.

Derajat keganasan, stadium, lokasi, dan ekstensi massa yang teraba, dapat dikonfirmasi

melalui pemeriksaan penunjang. Hasil CT

scan

abdomen menunjukkan gambaran infiltrasi

minimal ke dasar buli dan tidak didapatkan gambaran metastasis hati. Sesuai dengan kriteria

penetapan stadium tumor menurut AJCC tahun 2010

8

, tumor primer (T) pada pasien

termasuk dalam kategori T4b. Tidak diperoleh tanda-tanda penjalaran ke KGB regional

ataupun metastasis jauh. Secara teoritis, seluruh pasien dengan karsinoma rektum

direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal, yang

merupakan modalitas terbaik untuk mendiagnosis metastasis ke KGB regional. Pada pasien,

hanya dilakukan CT

scan

abdomen sehingga akurasi penentuan metastasis KGB tidak

setinggi akurasi pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal. Hal ini mempengaruhi

penentuan stadium dan tatalaksana. Pada foto polos thorax dan CT scan thorax, tidak

didapatkan gambaran metastasis paru.

Hasil biopsi hanya didapatkan sediaan dari massa yang dicurigai sebagai polip di daerah

kolon sigmoid, sedangkan massa rapuh pada rektum yang teraba pada pemeriksaan colok

dubur tidak dibiopsi. Kesenjangan tersebut akan mempengaruhi penatalaksanaan tumor. Oleh

sebab itu, disarankan biopsi ulang pada pasien. Jika tumor primer terbukti berada di daerah

rektosigmoid, pilihan terapi utama secara pembedahan adalah reseksi abdominoperineal,

yang bertujuan mengangkat massa, baik pada sigmoid maupun rektum. Selain itu, perlu

dilakukan pemeriksaan KGB regional, minimal 12 nodus limfa, yang dilanjutkan dengan

pengangkatan nodus terinfiltrasi secara radikal bila hasil pemeriksaan intraoperatif positif

untuk metastasis tumor. Pada pasien, tidak ditemukan tanda infeksi saluran cerna bawah

(30)

Bila dilakukan reseksi abdominoperineal pada pasien, perlu dilakukan

follow up

, berupa

pemeriksaan CEA setiap 3 bulan selama 2 tahun, dilanjutkan dengan pemeriksaan setiap 6

bulan selama 5 tahun. Kolonoskopi direkomendasikan 1 tahun setelah reseksi dan setiap 2

3

tahun setelahnya jika hasil pemeriksaan sebelumnya negatif.

9,10

Pasien dan keluarga perlu diberikan edukasi, berupa penjelasan mengenai kanker usus besar,

pilihan tatalaksana, dan prognosis. Pendidikan terakhir pasien adalah diploma sehingga

edukasi dipikirkan dapat dimengerti oleh pasien dengan baik.

Program skrining di Indonesia belum berjalan dengan baik sehingga keganasan kolorektal

cenderung ditemukan pada stadium lanjut, dimana terapi kuratif bukan lagi menjadi pilihan.

Untuk meningkatkan survivabilitas, khususnya terhadap kemungkinan rekurensi tumor

(31)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ahnen DJ, Macrae FA, Bendell J. Clinical manifestations, diagnosis, and staging of

colorectal cancer. Date Version 260. 2012 Oct;

2. Kelompok

Kerja

Adenokarsinoma

Kolorektal.

Panduan

Penatalaksanaan

Adenokarsinoma Kolorektal. Jakarta; 2006.

3. Tortora G, Derrickson B. Large intestine. Principles of Anatomy and Physiology. 12th

ed. Wiley; 2009.

4. Chang AE, Morris AM. Colorectal cancer. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty

GM, Maier RV, Upchurch GR, editors. Greenfield’s

Surgery: Scientific Principles and

Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

5. Cappell M. The patophysiology, clinical presentation, and diagnosis of colon cancer,

and adenomatous polyps. The Medical Clinics of North America. 1st ed. Elsevier Inc;

2005.

6. Stein E. Anorectal and Colon Diseases: Textbook and Color Atlas of Proctology. 1st ed.

Limburgerhof: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2002.

7. Bullard KM. Colon, rectum, and anus. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR,

Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed. The

McGraw-Hill Companies; 2007.

8. Obrocea FL, Sajin M, Marinescu EC, Stoica D. Colorectal cancer and the 7th revision of

the TNM staging system: review of changes and suggestions for uniform pathologic

reporting. Romanian J Morphol Embryol Rev Roum Morphol Embryol.

2011;52(2):537

44.

9. Dominic OG, McGarrity T, Dignan M, Lengerich EJ. American College of

Gastroenterology Guidelines for Colorectal Cancer Screening 2008. Am J

Gastroenterol. 2009 Oct;104(10):2626

2627; author reply 2628

2629.

10. Levin B, Lieberman DA, McFarland B, Smith RA, Brooks D, Andrews KS, et al.

Screening and surveillance for the early detection of colorectal cancer and adenomatous

polyps, 2008: a joint guideline from the American Cancer Society, the US Multi-Society

Task Force on Colorectal Cancer, and the American College of Radiology. CA Cancer J

(32)

LAMPIRAN

Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM)

Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM)

Foto polos thorax 23 Desember 2013

(33)
(34)
(35)
(36)
(37)

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum3
Gambar 2.2 Drainase Limfatik Kolorektal4
Gambar 2.3 Proses Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal4
Tabel 2.3 Klasifikasi Stadium Klinis Pasien Karsinoma Kolorektal8
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini hanya menggunakan data primer berupa Al-Quran yang ditafsirkan oleh Muhammad Quraish Shihab, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim

Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari.. situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang OPPORTUNITIES Tentukan 5 – 10 faktor peluang eksternal WEEKNESSES (W) Tentukan 5 – 10 faktor

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

C mengelakkan kejadian tanah runtuh D jambatan tidak perlu dibina di situ. Dinding penahan telah dibina di kawasan cerun bukit yang ditarah disepanjang lebuh raya di

Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya (l985), yakni

Suasana dialogis diatas menuntun analisis Ahmad Amin menggambarkan telah adanya soal tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian dan perselisihan diantara sesame kaum

A adalah lambang dari data garis dasar ( baseline data ), B untuk data perlakuan ( treatment data ), dan A kedua ditujukan untuk mengetahui apakah tanpa