• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM Diajuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM Diajuk"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

Diajukan guna memuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu:

DISUSUN OLEH :

SELVI MULYANI NIM : 12380001

ARISKA DEWI N. NIM : 12380009

NURMI NIM : 11

SRI PATIMAH NIM : 12380058

PRODI MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia –NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM” ini dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun didalam pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hamim Ilyas selaku dosen pembimbing Filsafat Hukum Islam . Dan juga kepada teman –teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan,oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman –teman dan pihak yang berkepentingan.

(3)

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat Hukum islam merupakan kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.

Untuk memahami lebih lenjut mengenai hukum islam perlu pengkajian yang lebih dalam hingga ke akarnya supaya dapat terealisasi dengan baik dalam kehidupan bermasyarkat guna mencapai kemaslahatan umat Islam. Dengan demikian dalam kajian ini sangat di perlukan memahami sumber-sumber hukum yang di gunakan dalam menentukan suatu hukum Islam.

Sumber utama hukum Islam adalah Al-Quran dan As-Sunnah terhadap segala masalah yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum muslimin diperbolehkan berijtihad dengan mempergunakan akalnya guna menentukan ketentuan hukum. Berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam, yang pada hakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu, direstui oleh Rasulullah SAW, bahkan Allah menyebutkan bahwa mempergunakan akal dan pikiran falsafi itu sangat perlu memaham dalam berbagai persoalan.

Filsafat telah ada pada Zaman Rasulullah SAW, saat Muadz ditugaskan sebagai Hakim sekaligus seorang guru ke Negeri Yaman Rasulullah SAW, bertanya “ Dengan dasar apa kamu memutusakan perkara wahai Muadz?” Mu'adz r.a. menjawab, "Aku akan berijtihad mengoptimalkan akal pikiranku."

Rasulullah saw. pun membenarkan ucapan Mu'adz seraya berkata, "Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan petunjuk-Nya kepada utusan Rasul-Nya."

B. Rumusan Masalah

(4)

2. Mengapa Al Qur’an, As Sunnah dan ‘Urf di gunakan sebagai sumber hukum Islam?

3. Bagaimana sumber-sumber hukum tersebut bisa dijadikan hujjah dalam menentukan suatu hukum Islam?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui sumber-sumber hukum islam

2. Dapat mengetahui mengapa sumber hukum islam tersebut di jadikan hujjah dalam menentukan suatu hukum

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Quran

1. Pengertian Al-Quran

Al-Quran berasal dari bahasa Arab,kata al-quran di gunakan untuk maksud nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran secara erminologis juga dapat diartikan sebagai “Lafaz yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dinukilkan secara mutawatir”. Ta’rif ini mengandung beberapa unsure pokok yang menjelaskan hakikat daripada Al-Quran.

Pertama,bahwa Al-Quran itu berbrntuk lafaz yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dan ibaratnya sendii tidaklah disebut Al-Quran. Umpamanya hadis qudsi atau hadis qauli lainnya. Karenanya tidak perlu berwudhu waktu membacanya.

Kedua, bahwa Quran itu adalah berbahasa arab, yang mengandung arti bahwa Al-Quran yang dialihbahasakan kepada bahasa lain atau yang di ibaratkan dengan bahasa asing bukanlah Al-Quran.

Ketiga,Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mengandung arti bahwa wahyu Allah yang disampaikan epada Nabi-nabi terdahulu bukanah Al-Quran.

Keempat, bahwa Al-Quran itu dinuklikan secara mutawatir, mengandung arti bahwa ayat-ayat yang tidak dinuklikan secara mutawatir bukanah disebut Al-Quran.

2. Turunnya Al-Quran

Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nab Muhammad pada tanggal 17 Ramadhan tahhun ke-40 dari kelahiran Nabi. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 185

(6)

185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.. Al-Quran diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-Quran diturunkan secara bengangsur angsur dalam waktu itu. Al-Quran turun dalam dua periode. Pertama, periode sebelum hijrah dalam jangka waktu 15 tahun, ayat-ayat Al-Quran dalam periode itu disebut ayat-ayat makiyah. Kegiatan pokok bagi risalah Nabi dalam periode ini adalah pembinaan kaidah islam. Kedua, periode sesudah hijrah dalam jangka waktu 10 tahun. Ayat-ayat dalam dalam periode ini disebut ayat madaniyah. Kegiatan pokok dari risalah Nabi adalah pembinaan masyarakat islam, maka kebanyakan ayat-ayat yang turun dalam periode ini berbentuk aturan-aturan atau ayat-ayat hukum.

3. Tujuan turunnya Al-Quran

Dengan menganalisis ayat-ayat Al-Quran terutama dari segi fungsinya bagi kehidupan manusia maka terlihat bahwa Allah SWT menurunkan Al-Quran dengan dua tujuan utama. Pertama bagi kepentingan Nabi dan kedua bagi kepentingan umat manusia termauk Nabi.

(7)

oleh ahli bahasa manapun, bahkan mereka tidak mampu berbuat sama meskipun mereka berhimpun untuk itu (Al-Isra’:88).

Tujuan turun Al-Quran bagi kepentingan umat adalah sebagai sumber hidayah atau petunjuk yang akan membimbing umat untu mencapai kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber hidayat disampaikan Allah dalam Al-Quran secara jelas dan dalam frekuensi yang banyak sekali. Ada dua bentuk sumber hidayah yang penting dalam Al-Quran:

Pertama ,sumber ilmu pengethuan yang tersimpan di dalamnya yang melingkupi segala bidang. Kandungan ilmu pengetahuan itu akan dapat membawa manusia yang berhasil menggalinya untuk menguasai rahasia alam, dapat hidup di dalamnya dan bahkan dapat menguasai alam itu sendiri. Ilmu pengetahuan itu akan menunjiki-nya dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Kedua,dalam bentuk tata aturan dalam kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Allah Pencipta, maupun dalam hubungannya dengan sesame manusia, yang akan menjamin kemaslahatan kehidupan umat baik di dunia maupun untuk akhirat.

4. Penjelasan Al-Quran Terhadap Hukum

a. Ayat Al-Quran dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduannya dijelakan sendiri oleh Allah dalam Al-Quran yaitu secara muhkam dan secara mutasyabih ( Ali Imran:7).

                                                  

(8)

mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan ftnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Ayat-ayat yang muhkam ialah ayat yang jelas maknanya tersingkap secara terang yang menghindarkan keraguan arti dan menghilangkan kemngkinan-kemungkinan pemahaman. Adapun yang mutasyabih adalah kebalikannya yaitu lafaz yang tidak pasti artinya hingga dapat dipahami daripadanya dengan beberapa kemungkinan.

Adanya kemungkinan berbagai pemahaman ini data dikarnakan oleh dua hal. Pertama lafaz itu dapat di gunakan untuk dua maksud secara pemahaman yang sama. Umpamanya lafaz quru dalam firman Allah(Al-Baqarah 228) yang dapat berarti suci atau juga haid. Kedua, lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan. Keraguan ini disebabkan penggunaan sifat yang terdapat pada manusia untuk Allah padahal diyakini bahwa Allah tidak akan sama dengan makhluk. Umpamanya penggunaannya kata muka untuk Allah (Ar-Rahman:27) dan penggunaan kata bersemayam untuk Allah (Yunus:3). Ulama yang tidak menginginkan bentuk penyamaan Tuhan ini berusaha menakwilkan atau mengalihkan arti dari lahir kepada arti lain, seperti kata muka Allah diartikan zat Allah dan Allah bersemayam diartikan Allah berkuasa.

(9)

Kedua, penjelasan Al-Quran terhadap hukm berlaku secara garis besar yang masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan Nabi ada yang berbentuk pasti hingga tidak memberikan kemungkinan pemahaman lain. Di samping itu ada pula yang menjelaskan dalam bentuk yang maih memerlukan perincian dan memberikan kemungkinan pemahaman.

Ketiga, memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat. Di sampan itu memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan dmikia satu ayat dapat memberikan beberapa maksud. Upamanya firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 233.

                   

223. isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Ayat –ayat Al-Quraan yang disampaikan dalm bentuk yang muhkam secara penjelasan yang sempurna, penunjukannya terhadap hokum adalah pasti (qath’I dilalah). Tidak mungkin dipahami daripadanya maksud lain dan tidak pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda-beda. Hokum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku universal dan tidak akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempat sudah beruah. Penunjukan yang pasti ini berlaku dalam bidang akidah seperti ibadah-ibadah pokok seperti keharusan salat,serta dalam hal-hal yang norma baik dan buruk tidak akan mengalami perubahan seperti keharusan beruat baik kepada orang tua.

(10)

Penjelasan yan bersifat zanni ini pada umumnya berlaku dalam bidang muamallat dalam arti luas yang mengatur hubungan manusia dengan sesamannya dalam kehidupan masyarakat. Karrena kehidupan masyarakat itu selalu berkembang maka penerapan hukumpun akan mengalami perubahan.

Namun Al-Quran itu sendiri bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan format dan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Quran itu adalah sumber hidayah yang di dalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk undang-undang. Dalam menjelaskan hukum, Al-Quran menggunakan beberapa cara dan ibarat yang perama dalam bentuk tuntunan

5. Al-Quran sebagai sumber hukum

Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tenteng tindak tanduk manusia, maka dapat ditetapkan bahwa pembaruan hukum (law-giver) adalah Allah SWT. Kehendaknya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi ukum islam dan sekaligus juga berarti sebagai dalil utama hukum islam, dengan arti Al-Quran dengan seluruh ayatnya membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pertama berarti bila seseorang ingin menemukan hukum suatu kejadian, maka tindakan pertama ia harus mencari jawab penyelesaiannya dari Al Quran dan selama hukumnya dapat diselesaikan dengan A Quran, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar sekolah. kemudian sebagai sumber utama atau pokok berarti bahwa ia menjadi sumber dari segala sumber hukum. Kekuatan hujjah Al Quran sebagai sumber dan dalil hukum dapat dikaji dari Al Quran itu sendiri dan menyuruh umat manusia mematuhi Allah SWT. Dan Al Quran diinjau dari segi lafaznya, keseluruhannya adalah qat’i dengan arti diyakini kebenarannya dating dari Allah SWT.

B. Sunnah

(11)

Sunnah Nabi ialah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Sunnah dilihat dari segi materi di bagi menjadi tiga yaitu : Sunnah qauliyah (ucapan), Sunnah

fi’liyah (perbuatan), Sunnah taqririyah (ketetapan)1.

Sedangkan Hadits menurut bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu: Jadid berarti baru; Qarib berarti dekat; Khabar berarti berita atau warta, dari ketiga arti tersebut yang sesuai dengan pembahasan disini adalah hadits dalam arti kabar 2, Allah memakai hadits

dalam arti khabar dalam firmannya “maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya (al-quran) jika mereka itu orang-orang yang benar”(qs. Ath-thur : 34)

2. Derajat Dalil (Hujjiyyah)

Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah dan ketentuan ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar dengan al-quran sunnah nabi adalah dalil (hujjah) bagi al-quran, member kesaksian terhadap otoritasnya dan menyuruh umat islam untuk mengikutinya, kata-kata nabi sebagaiman diungkapkan al-quran kepada kita, merupakan wahyu Allah . perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syariah merupakandalil yang menikat. Sementara menafsirkan ayat al-quran yang menegaskan bahwa nabi tidak berbicara menurut kemauannya sendiri, tidak satupun selain wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa wahyu Allah yang diterima oleh Nabi memang menjadi bagian Al-Qur’an tetapi sisanya adalah sunnah.

Kata-kata Nabi adalah hujjah bagi orang yang mendengar Nabi mengatakannya. Bagi kita dan umumnya bagi umat Islam yang menerimanya melalui riwayat-riwayat lisan dan tertulis dari para perawi, mengembalikan putusan yang diperselisihkan kepada Allah berarti merujuk kepada Al-Qur’an dan mengembalikannya kepada Rasul berarti menggunakan sunnah.3

3. Pembagian Sunnah Dari Segi Periwayatannya

1 Prof. Muhannad Abu Zahrah,1994, Ushul Fiqih, PT. Pustaka Firdaus,Jakarta :149 2 Drs. Syarmin Syukur. 1993. Sumber-sumber hokum islam, Al-Ikhlas. Surabaya : 59

3 Dr. Muhammad Hasyim Kamali. 1996. Prinsip dan teori-teori hokum Islam. Pustaka Pelajar.

(12)

Sejak abad pertama kaum muslimin telah menaruh perhatian yang besar terhadap sunnah dengan cara menukil segala ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Dilihat dari segi periwayatannya hadits-hadits tersebut dibagi menjadi dua yaitu :

 Hadits yang bersambung mata rantai perawinya (muttashil as-sanad), dibagi

menjadi :

a) Hadits Mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan mereka tidak mungkin bersepakat bebohong, dengan perawi yang sama banyaknya hingga sanadnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. Jumhul ulama berpendapat bahwa hadits mutawatir itu menghasilkan ilmu yang yakin dan pasti (al’-ilm al-yaqiny al-dharury) seperti ilmu dihasilkan dari hasil penglihatan mata kepala (pandangan langsung), mereka mengemukakan alasan bahwa semua orang sesuai dengan fitrahnya telah sepakat tentang hal tersebut.

b) Hadits Masyhur, ialah hadits yang diriwayatkan dari Nabi, oleh seorang, dua orang atau lebih sedikit dari kalangan sahabat atau diriwayatkan dari sahabat, oleh seorang atau dua orang perawi, kemudian setelah itu tersebar luas hingga diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersepakat berbohong. Kemasyhuran di sini berada pada tingkatana generasi setelah masa sahabat atau masa tabi’in. maka tidak bisa dianggap Hadits Masyhur apabila penyebarannya setelah generasi itu, karena setelah masa pembukuan (tadwin) hadits semua hadits telah masyhur.

c) Hadits Ahad (Khabar Khasshah), menurut istilah imam Syafi’I ialah setiap hadits yang diriwayatkan diriwayatkan Rasulullah SAW oleh seorang, dua oramg, atau sedikit lebih banyak, dan belum mencapai syarat hadits masyhur. Ketiga imam madzhab yaitu, Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad, menerima hadits-hadits ahad apabila telah memenuhi syarat-syarat periwayatan yang shahih. Untuk menerima hadits ahad, imam malik mensyaratkan hadits itu harus tidak bertentangan dengan tradisi masyarakat madinah. Karena ia berpandangan, bahwa tradisi masyarakat madinah yang menyangkut soal agama merupakan riwayat yang masyhur dan menyebar luas.

(13)

Hadits Ghair Muttashil, ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung kepada Nabi SAW. Sebagian ulama menamakannya Hadits Mursal, sebagian yang lainnya menganggap Hadits Mursal adalah hadits dimana seorang perawi

tabi’i tidak menyebutkan nama sahabat yang menyebutkan nama sahabat yang

meriwayatkan hadits tersebut.

Imam Syafi’I tidak memakainya kecuali apabila tabi’I yang meriwayatkan hadits itu telah terkenal dan banyak bertemu dengan kalangan sahabat, seperti Said bin Musayyab di Madinah dan Hasan Basri di Irak. Di samping itu, hadits Mursal tidak bisa diterima dari mereka (para tabi’I tersebut) kecuali apabila diperkuat dengan salah satu dari empat hal sebagai berikut :

a) Hadits Mursal itu diperkuat dengan adanya Hadits Musnad yang bersambung sanadnya dari segi maknanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, yang diambil dan dapat berfungsi sebagai hujjah adalah hadits Musnadnya, bukan Hadits Mursalnya.

b) Hadits Mursal itu diperkuat dengan Hadits Mursal lain yang telah diterima dan dipakai oleh kalangan ulama. Dengan demikian keduanya berfungsi saling menguatkan.

c) Hadits Mursal itu bersesuaian dengan perkataan sebagian sahabat. Maka hal itu sama artinya dengan mengangkat status hadits Mursal menjadi Marfu’ kepada Nabi SAW.

d) Apabila kalangan ulama telah menerima hadits mursal itu, dan segolongan dari mereka mengeluarkan fatwa seperti apa yang terkandung pada hadits itu.4

4. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Quran

Sunnah berfungsi menopang Al-Qur’an dalam menjelaskan hokum-hukum Islam. Bentuk penopang dimaksud dapat dapat dirumuskan kedalam tiga hal sebagai berikut :

Pertama. Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham; merinci ayat yang

mujmal; mentakhsis ayat yang umum, meski kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat

Al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama; dan menjelaskan antara ayat yang

nasikh dan yang mansukh.

(14)

Kedua, Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an. Misalnya : Sunnah dating dengan membawa hokum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut.

Ketiga, Sunnah membawa hokum yang tidak ada ketentuan-ketentuannya di dalam

Al-Qur’an; tidak pula merupakan tambahan terhadap nash Al-Qur’an. Perbuatan Rasul

Tidak diragukan lagi bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabi termasuk ajaran

dan hujjah dalam Agama. Para ulama telah membagi perbuatan-perbuatan Nabi kepada

tiga macam yaitu :

a. Perbuatan yang menyangkut penjelasan Syariat, seperti Shalat, puasa, haji yang dilakukan Nabi. Perbuatan Nabi semacam Nabi semacam itu merupakat syariat yang harus diikuti. Misalnya : praktek jual-beli yang dilakukan Nabi bearti menunjukan bahwa jual-beli tersebut hukumnya mubah, dan setiap perbuatan-perbuatan keagamaan (a’mal diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lainmerupakan rincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global).

b. Perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasarkan dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinan yang lebih dari empat isteri.

c. Perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi yang merupakan tuntutan tabiyat kemanusiaan atau adat kebiasaan yang berlaku di Negeri Arab, seperti memakai pakaian , makan, dan barang-barang halah yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya. Itu semua merupakan perbuatn-perbuatan Nabi yang dilakukan sesuai dengan tabiyat kemanusiaanya dan adat kebiasaan kaumnya.5

C. ‘URF

1. Pengertian ‘Urf

‘Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.6

5Ibid :164-165

6 Zarkasji Abdul Salam dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh Ushul Fiqh I,

(15)

Sedangkan ‘urf dalam istilah Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf memberikan definisi sebagai berikut :

َةَد اَعْلا ّىسُي َو ٍكْرَت ْوَأ ِلْعِف ْوَأ ٍلوَق ْنِم ِهيَلَعاوُراَسَو ُساّنلا ُهَفَراَعَتاَم

Sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat.

Menurut kebanyakan ulama, ‘urf dinamakan juga adat. Sebab perkara yang sudah dikenal itu telah dilakukan berulang kali oleh manusia. Tetapi dalam pemahamannya ada sebagian para ulama yang membedakannya, yaitu :

a. Dilihat dari aspek materi, sebagian ulama menilai bahwa ‘urf lebih umum daripada adat, karena ‘urf mencakup perbuatan sekaligus perkataan. Sedangkan jika dilihat dari aspek pelaku, sebagian ulama menilai bahwa adat lebih umum daripada ‘urf, karena keberlakuannya mencakup perorangan dan kelompok masyarakat, sedangkan ‘urf berlaku hanya untuk kelompok atau komunitas saja,

b. ‘urf terdiri dari ‘urf sahih dan fasid, sedangkan adat tidak memperhatikan pembagian adat baik dan adat buruk.

Dari perbedaan diatas, maka dapat disimpulkan definisi ‘urf, sesuai dengan pernyataan Muhammad Zakariya al-Bardisiy bahwa ‘urf adalah apa yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktik ataupun perkataan yang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadis. Disini ‘urf berperan sebagai penentu masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

2. Macam-macam ‘Urf

‘Urf terbentuk dari saling mengetahui dan menerima dintara manusia walaupun berbeda-beda tingkatan mereka, rakyat umum dan golongan khusus. Berbeda dengan ijma’ yang terbentuk karena kesepakatan ulama, sedangkan rakyat umum tidak campur tangan dalam pembentukannya. Pembagian ‘urf yaitu dapat dilihat dari berbagai segi, dintaranya :

(16)

1) Al ‘Urf al-Qauliy atau Lafzhy, adalah kebiasaan yang berupa perkataan. Seperti

2) Al ‘Urf al-Fi’liy atau Amali, adalah kebiasaan yang berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli tanpa mengucapkan ijab-qabul, kebiasaan jual beli dengan pesanan, dan memasuki pemandian umum tanpa dibatasi oleh waktu tertentu. b. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :

1) Al ‘Urf as-Sahih, adalah kebiasaan yang baik dan dapat diterima karena tidak

bertentangan dengan nash syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, kebiasaan memberi hadiah (perhiasan atau pakaian) dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada wanita yang dipinangnya tidak dihitung sebagai mas kawin, dan kebiasaan indent atau pemesanan barang dengan pembayaran di muka sebagian harganya dan dibayar lunas kemudian bila barangnya sudah diterima.

2) Al ‘Urf al-Fasid, adalah kebiasaan yang tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash syara’. Seperti kebiasaan membuat sesajian untuk tempat-tempat atau benda yang dianggap keramat, praktik riba yang telah mewabah, meminum minuman keras dan berjudi, termasuk praktik suap menyuap dan korupsi.

c. Ditinjau dari segi luas berlakunya, ada dua macam :

1) Al ‘Urf al-‘Am, adalah kebiasaan yang berlaku untuk seluruh tempat sejak dahulu hingga sekarang. Seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita, menganggukan kepala jika setuju dan menggeleng jika tidak setuju dan sebagainya.

2) Al ‘Urf al-Khas, adalah kebiasaan yang berlaku atau hanya dikenal di suatu

(17)

konsumen tidak dapat mengembalikannya, kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

3. Kehujjahan ‘Urf

Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan dalil syara’. Adapun ulama yang berhujjah dengan ‘urf dalam membina hukum Islam mengambil dalil dari beberapa dalil berikut :

ِف ْرُعْلاِب ْرُماَوَوْفَعْلاِذُخ

Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang bodoh” (Q.S Al- A’raf :199).

Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas’ud berkata :

ٌء ْيَس ِاِدْنِع َوُهَف ًائْيَس َن ْوُمِلْسُمْلا ُهاَراَمَو ّنَس َح ِاَدْنِع َوُهَف اّنَس َح َن ْوُمِلْسُمْلا ُهَاَراَمَف

Artinya :Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah dinilai buruk di sisi Allah”.

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam ini patut untuk dijaga dan dipelihara.

Syari’at Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan urusan manusia serta menghilangkan kesempitan. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam surat Al- Hajj ayat 78 :

(18)

menyatu dengan masyarakat, tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

Jumhur fuqaha’ telah banyak berhujjah dengan ‘urf. Dan yang cukup terkenal adalah golongan Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan kebiasaan penduduk Madinah. Karena dilihat dari segi kontinuitas historisnya bahwa penduduk Madinah pada masa Malik dengan masa sebelumnya telah memberikan cirikhas tradisinya yang belum jauh menyimpang dari tradisi Nabi dan Sahabat. Oleh karena itu Malik menganggap tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) sebagai salah satu dalil yang otoritatif dalam berijtihad. Demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.

Imam Syafi'i pun terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Melihat praktik yang berlaku di masyarakat Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid) adalah berlainan, maka penetapan hukumnya pun bisa jadi berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Dan telah biasa terdengar perkataan para Ulama’ yang menyatakan bahwa :7

 ‘Urf adalah syari’at yang muhkamat

 Hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf adalah seperti hukum yang ditetapkan berdasarkan nash

 Apa saja yang bisa dimengerti berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang disyari’atkan menurut syara’

 Hakekat itu bisa ditinggalkan berdasarkan dillah isti’mal (perbuatan adat)

4. Syarat-syarat ‘Urf

1) ‘Urf harus tidak bertentangan dengan nash yang qath’i. maka tidak dibenarkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan, seperti makan harta riba. Sebab ia merupakan ‘urf fasid dan bertentangan dengan Alqur’an, dalam surat Al-Baqarah ayat 275. Apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan dalil yang bersifat umum, maka dalam hal ini ‘urf berfungsi sebagai takhsis daripada dalil yang dzani. Para ahli hukum Islam telah menetapkan tentang sahnya berjual beli dnegan cara pesanan karena disandarkan kepada

(19)

‘urf yang mereka anggap sebagai takhsis terhadap hadis yang melarang berjual beli sesuatu yang tidak dimiliki si penjualnya.

2). ‘Urf itu berlaku umum. Artinya ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat , baik di semua daerah maupun daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tertentu saja maka tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran. Contohnya, jika seorang bapak memberikan perkakas kepada anakanya dari hartanya sendiri, kemudian anaknya membawa perkakas tersebut kepada suaminya, lalu terjadilah persengketaan antara anak dan bapak tentang kepemilikan perkakas tersebut. Bapaknya mengakui bahwa perkakas tersebut dipinjamkan, sedangkan anak tersebut mengakui bahwa perkakas tadi merupakan pemberian bukan pinjaman. Tapi keduanya tidak memiliki bukti atas pengakuannya itu. Dalam hal ini, pengakuan yang diterima adalah pengakuan yang selaras dengan ‘urf yang berlaku umunya dan dikuatkan dengan sumpahnya. Jika ‘urf yang berlaku memberi petunjuk bahwa perkakas tadi berarti pinjaman saja, maka dimenangkan oleh bapaknya, begitu sebaliknya. Namun jika ‘urf diantara manusai sama, artinya menurut sebagian ‘urf perkakas itu dianggap pinjaman dan sebagian ‘urf yang lain dianggap sebagai pemberian, maka dalam ha ini hukum tidak ditetapkan berdasarkan ‘urf. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian yang dimenangkan adalah pengakuan bapaknya, berdasarkan sumpahnya. Sebab dialah yang memberikan, maka dialah yang lebih mengetahui sifat dari pemberian tersebut, apakah ia benar-benar meminjamkan atau tidak.

3. ‘Urf harus berlaku selamanya, maka tidak dibenarkan ‘urf yang datang kemudian.

Misalkan seseorang yang bersumpah untuk tidak memakan daging selamanya, dan saat ia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi. Lalu 5 tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa yang dimaksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.

(20)

hari Ahad dan hari libur. Maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk setiap hari meski ‘urf masyarakat memberlakukan kerja 5 hari.

5. ‘Urf tidak berlaku untuk sesuatu yang telah disepakati. Hal ini sangatlah penting karena bila ‘urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati ulama (dalam hal ini ijma’) maka ‘urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ‘urf bertentangan dengan dalil syara’.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

(21)

sulit dipahami, maka Allah menyuruh utusannya yakni baginda Rosulullah Nabi Muhammad saw. membawa sumber hukum yang kedua yaitu di sebut dengan As Sunnah.

Sunnah Merupakan suatu perkataan, perbuatan serta ketetapan – ketetapan Rosulullah saw. Para ulama berssepakat bahwa sunnah merupakan sumber syariah dan ketentuan ketentuannya mengenai halal dan haram berdirinya sejajar dengan al-quran sunnah nabi adalah dalil (hujjah) bagi al-al-quran, member kesaksian terhadap otoritasnya dan menyuruh umat islam untuk mengikutinya, kata-kata nabi sebagaiman diungkapkan al-quran kepada kita, merupakan wahyu Allah . perbuatan dan ajaran-ajarannya yang menjadi sumber ketentuan syariah merupakandalil yang menikat. Sementara menafsirkan ayat al-quran yang menegaskan bahwa nabi tidak berbicara menurut kemauannya sendiri, tidak satupun selain wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi al-Ghazali mengatakan bahwa beberapa wahyu Allah yang diterima oleh Nabi memang menjadi bagian Al-Qur’an tetapi sisanya adalah sunnah.

Manusia merupakan makhluk social dimana harus berkehidupan dengan masyarakat sekitar dan lingkungan. Setiap daerah memiliki leingkungan yang berbeda-beda. Maka Islam juga mengarahkan dalam menentukan suatu hukum atau peraturan dengan menggunakan ‘Urf sebagai sumberr hukum Yang ketiga. ‘Urf merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dan mereka menyetujui dan mengerjakannya baik dalam bentuk praktik ataupun perkataan yang tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadis.

Daftar Pustaka

Wahhab, Khallaf Abdul. 1999. Ilmu Ushul Fiqh (terjemahan Moh Zuhri Ahmad Qorib). Semarang : Dina Utama

Salam, Abdul. Zarkasji dan Faturrohman,Oman. 1994. Pengantar Ushul Fiqh .,

Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam

(22)

Syukur, Sarmin. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam : Ilmu Ushul Fiqhperbandingan. Surabaya : Al Ikhlas

Zahrah, M Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus Kamali, M Kamali. 1996. Prinsip dan teori-teori hukum Islam. Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

PERANCANGAN SHOT UNTUK MENDUKUNG VISUALISASI HUBUNGAN ANTAR SAUDARA KEMBAR DALAM ANIMASI 2D BERJUDUL “TWIN” Laporan Tugas Akhir Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Dari hasil penelitian berdasarkan minat terhadap kontasepsi tubektomi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang kurang sehingga ibu banyak yang

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui budaya organisasi saat ini pada Kaltim Post Samarinda, mengetahui budaya organisasi yang diharapkan tiga tahun

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Misa,ah, S.Pd.I, pada hari Selasa tanggal 16 Januari 2018 bertempat di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda Tempos Kesuma pada pukul 10.00 -11.00 wita

Data yang diperoleh sebagai hasil penelitian adalah data kuantitas melalui tes sebelum dan sesudah memberikan perlakuan latihan Side Hop terhadap Power otot

Saat ini, peran KKG dan MGMP sebagai wadah profesi guru semakin signifikan. Forum ini memang berfungsi untuk berbagi pengalaman dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

Adapun dalam sufiksasi, misalnya kata ambilin yang terbentuk gabungan morfem afiks {-in} dengan BD /ambil/ jika dalam proses pembentukan kata berupa ({-in} + [ambil] →

Selama periode bulan Januari sampai dengan bulan April 2017, PPID Kementerian Keuangan telah menerima 3 (tiga) keberatan informasi publik yang diajukan kepada Atasan PPID